Acara gathering yang diikuti sebagian besar karyawan D'Moiz Company akan berakhir besok. Hari ini panitia berniat mengajak seluruh peserta melihat air terjun setelah itu pergi ke kebun stroberi.
Pukul delapan pagi seluruh peserta diharapkan sudah berkumpul di lapangan. Beberapa karyawan terlihat antusias mengikuti acara, tapi ada juga yang malas dan ingin lebih memilih merebahkan diri di hotel.
Suasana yang ramai mendadak hening ketika seorang lelaki berambut hitam dengan tubuhnya yang tegap dan atletis berjalan memasuki lapangan diikuti sang sekretaris di belakang. Aura lelaki tersebut terasa sangat dominan membuat semua peserta gathering sontak menundukkan kepala.
"Selamat pagi, Pak Daniel."
Daniel mengangguk sekilas untuk menanggapi sapaan general manager setelah itu menatap orang yang berdiri di hadapannya satu-persatu.
"Apa semuanya sudah berkumpul?"
Semua peserta sontak melihat sisi kanan dan kiri masing-masing untuk memastikan anggota mereka sudah berkumpul di lapangan.
Karena tidak ada yang menjawab Daniel pun berpikir kalau semua peserta sudah berkumpul.
"Baiklah kalau begitu, kalian bisa—"
"Maaf, Pak. Teman saya tidak bisa ikut ke air terjun."
Daniel sontak berhenti bicara lalu menatap gadis berambut hitam sebahu yang berdiri tidak jauh darinya dengan alis terangkat sebelah.
"Kenapa temanmu tidak ikut?"
"Teman saya sedang kurang enak badan, Pak."
Daniel terkejut mendengar jawaban salah satu karyawannya itu, tapi hanya sesaat. Setelah itu dia mengubah wajahnya kembali tenang.
"Siapa nama temanmu?"
"Bellia, Pak."
Daniel terdiam sebentar.
"Baiklah, kalian bisa berangkat sekarang. Dan Khai ...."
Teman sekaligus yang sudah tiga tahun ini menjadi sekretaris Daniel itu mendekat. "Iya, Pak."
"Tolong gantikan aku mengawasi kegiatan mereka. Aku tidak bisa ikut karena salah satu karyawan sedang sakit."
"What the ...." Khai nyaris mengumpat mendengar ucapan Daniel barusan, untung saja dia bisa menahannya. "Maaf sebelumnya, Niel—em, maksud saya, Pak Daniel. Anda tidak bisa membatalkan begitu saja karena ini undangan khusus dari klien penting kita, Pak."
Khai mencoba mengendalikan emosinya. Lagi pula sejak kapan Daniel peduli dengan karyawannya? Apa lagi Bellia hanya karyawan biasa.
"Sudah lakukan saja pekerjaanmu. Lagi pula ini bukan kali pertama aku memintamu untuk menggantikan pekerjaanku. Aku pergi dulu." Daniel menepuk bahu Khai sekilas sebelum beranjak meninggalkan lapangan.
Bukan perkara sulit bagi seorang Daniel Moiz untuk mengetahui di mana kamar karyawannya yang katanya sedang sakit itu. Setelah mendapat informasi dari resepsionis dia langsung pergi ke kamar Bellia yang ada di lantai empat lalu mengetuk pintu kayu yang ada di hadapan.
Sebenarnya Daniel bisa langsung masuk ke kamar Bellia karena hotel yang mereka tempati sekarang adalah miliknya. Namun, Daniel pria yang berpendidikan dan patuh pada aturan. Akhirnya dia memilih untuk mengetuk pintu kayu bercat putih itu lebih dulu.
Bellia yang sedang berbaring di tempat tidur mengerutkan dahi heran ketika mendengar pintu kamarnya di ketuk dari luar. Bellia sempat berpikir yang datang adalah Lisa, tapi temannya itu tidak mungkin mengetuk pintu jika ingin masuk.
Bellia pun menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya lalu beranjak ke depan untuk membuka pintu padahal kepalanya terasa sangat sakit.
"Pak Daniel ...?!" Bellia nyaris ambruk ketika melihat lelaki yang berdiri di hadapannya sekarang. Untung saja dia cepat-cepat bersandar pada dinding sehingga tidak jatuh.
Daniel menatap Bellia dengan lekat. Wajah gadis itu terlihat sangat pucat, bibirnya kering, dan pipinya tirus. Jujur, penampilan Bellia sekarang terlihat sangat memprihatinkan.
Sepertinya apa yang temannya katakan tadi benar kalau Bellia memang sedang kurang enak badan.
"Ada hal penting yang ingin aku tanyakan padamu."
"Em, apa, Pak?" Bellia tidak mampu menyembunyikan kegugupannya meskipun dia sudah berusaha keras menutupinya.
Bagaimana bisa lelaki yang paling dia hindari muncul di hadapannya sekarang?
Ya Tuhan ....
"Apa kamu masuk ke kamarku semalam?"
Bellia tersentak, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat. Bellia bergeming, kaku, dan tidak bisa memikirkan apa pun.
Apa Daniel tahu kalau dia yang tidur bersama lelaki itu semalam?
"Em, ti-tidak."
"Kamu yakin?" Tatapan Daniel semakin tajam membuat jantung Bellia berdetak tidak nyaman.
"I-iya." Bellia mengangguk kaku.
Daniel menghela napas panjang lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan menunjukkan benda tersebut pada Bellia.
"Jepit rambut ini punyamu?"
Tubuh Bellia menegang bagai tersambar petir melihat jepit rambut yang ada di tangan Daniel. Jepit rambut pemberian sang nenek ketika dia berulang tahun yang kesepuluh.
Kenapa jepit rambut tersebut bisa tertinggal di kamar Daniel?
Ah, dia memang ceroboh!
"Jawab pertanyaanku, Bellia," ucap Daniel tenang tapi terdengar menyeramkan di telinga Bellia.
Bagaimana bisa Daniel mengetahui namanya padahal dia tidak pernah memperkenalkan diri pada lelaki itu?
"Sa-saya ...." Bellia memegangi kepalanya yang semakin terasa berat.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Daniel khawatir.
Bellia tidak menjawab karena pandangan matanya tiba-tiba berkunang, napas pun satu-satu.
Bellia sempat mendengar Daniel menyebut kembali namanya sebelum kegelapan merenggut kesadarannya.
Daniel refleks menangkap tubuh Bellia sebelum jatuh.
"Bellia, hei?" Daniel menepuk-nepuk pipi Bellia dengan pelan untuk menyadarkan gadis itu. Namun, Bellia tetap setia memejamkan kedua matanya. Suhu tubuhnya juga sangat panas.Daniel menaruh kedua tangannya di antara lutut dan bahu Bellia. Dengan mudah dia mengangkat tubuh Bellia ke dalam gendongannya.Saat akan melangkah suara seorang wanita tiba-tiba menghentikan pergerakannya."Astaga! Bellia kenapa, Pak?"Lisa baru tiba di depan kamar Bellia, karena curiga dengan atasannya yang tiba-tiba menanyakan Bellia tadi. Namun, justru ia dikejutkan dengan pemandangan yang membuatnya kesal."Sepertinya Bellia pingsan. Apa Bapak mau membawa Bellia ke rumah sakit?"Daniel mengangguk sekilas lalu kembali melangkah. Dia ingin segera membawa Bellia ke rumah sakit agar cepat mendapatkan penanganan. Namun, Lisa lagi-lagi menahannya."Apa saya boleh ikut, Pak?"Daniel membuka mulut hendak bicara, tapi Lisa lebih dulu berkata, "Saya Lisa, teman baik Bellia. Saya kahawatir sekali dengan keadaannya. Tol
Bellia cepat-cepat menutupi lehernya. Padahal dia sudah berusaha menyembunyikannya dengan concealer, tapi Lisa ternyata masih bisa melihat tanda merah tersebut."Bukan apa-apa.""Sungguh?" Lisa menatap Bellia penuh dengan selidik."I-iya, ini hanya bekas gigitan nyamuk."Hanya orang bodoh yang percaya dengan ucapan Bellia. Sayangnya Lisa cukup pintar. Dia tahu kalau Bellia sedang membohonginya, tapi dia memilih diam.Sepertinya memang terjadi sesuatu di antara Daniel dan Bellia semalam, dan tanda merah itu adalah buktinya. Lisa pikir Bellia gadis yang baik dan polos, tapi gadis itu ternyata tidak ada bedanya dengan jalang di luar sana.Dan wanita itu menghabiskan malam dengan pria yang paling diinginkan di ibu kota! Lisa tidak bisa menahan kekesalannya pada Bellia.Bellia sontak menoleh ketika mendengar pintu kamarnya terbuka. Dari arah pintu, Daniel datang bersama seorang dokter paruh baya.Dokter itu langsung memeriksa kondisinya. Untung saja demamnya sudah turun, tapi dia tetap har
Aroma obat-obatan tercium jelas di ruangan serba putih itu. Namun, beberapa lukisan bergambar pemandangan alam yang menempel di dinding membuat suasana terasa lebih hangat.Bellia berulang kali menghela napas panjang sambil memperhatikan langit lewat jendela kaca yang ada di sebelah tempat tidurnya. Heningnya ruangan membuat pikiran Bellia melayang tidak tentu arah.Bellia merasa kesepian dan bosan. Tidak ada teman atau pun keluarga yang menemaninya seperti pasien yang dirawat di bangsal sebelah.Bellia menatap ponselnya dengan ragu. Setelah berpikir beberapa kali akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi tantenya. Namun, teleponnya tidak kunjung diangkat.Bellia pun berusaha menelepon lagi. Setelah beberapa kali mencoba, suara tante akhirnya terdengar di ujung telepon."Ada apa?" tanya Rianty—tante Bellia tanpa mengucap salam dan Bellia tidak merasa tersinggung ketika mendengarnya."Selamat siang, Tante. Bagaimana kabar Tante dan Nenek? Kalian baik, ‘kan?"Rianty tidak menjawab membu
"Kenapa Bapak di sini?" Jantung Bellia berdetak tidak karuan ketika Daniel berjalan mendekatinya. Rasanya dia ingin sekali kabur dari hadapan Daniel sekarang, tapi tubuhnya masih terasa lemas. "Kamu baik-baik saja?" Bellia tanpa sadar meremas selimutnya dengan erat. Setitik keringat dingin pun keluar membasahi pelipisnya. Bellia berusaha keras agar terlihat tenang meskipun dia merasa sangat gugup sekarang. Bellia tidak pernah menyangka Daniel akan kembali ke rumah sakit secepat ini, padahal Daniel tadi mengatakan kalau dia ingin mengikuti acara gathering kantor. "Saya baik-baik saja." "Sungguh?" "I-iya." Bellia memalingkan wajahnya ke arah lain, tidak tahan melihat mata Daniel yang terus menatapnya dalam-dalam, seolah-olah takut terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya. Apa lelaki itu mengkhawatirkannya? Bellia tanpa sadar meremas selimutnya semakin erat untuk menahan perasaan hangat yang menjalari dadanya. Dia tidak boleh merasa senang dengan perhatian kecil yang Daniel berik
Isakan kembali lolos dari bibir mungil Bellia yang meringkuk di atas ranjang sendirian. Sejak kemarin yang dia lakukan hanya menangis di dalam kamar.Bellia terlihat ... sangat menyedihkan.Kabar kehamilan ini begitu mengejutkan baginya. Seumur hidup Bellia tidak pernah membayangkan akan mengandung benih lelaki yang bahkan tidak peduli pada dirinya. Hidup Bellia seketika hancur, dunia seolah-olah runtuh. Dia butuh seseorang untuk berbagi keluh kesahnya, tapi tidak ada satu pun yang peduli dengannya.Bellia mengusap perutnya yang terlihat masih datar dengan tangan gemetar. Kesedihan, penyesalan, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu di dalam dirinya. Sebelum meninggal kedua orang tuanya berpesan agar menjaga diri dan tidak gegabah saat mengambil keputusan.Akan tetapi, kejadian malam itu telah menghancurkan segalanya. Tanpa sengaja dia sudah tidur dengan presdir yang selama ini dia hormati dan diam-diam dia kagumi, hingga hamil."Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" ucap Bellia terdengar
Bellia meremas pinggiran roknya dengan erat. Air mata terlihat menggenang di pelupuk matanya. Rasanya Bellia ingin sekali pergi dari ruangan Daniel tapi kedua kakinya seolah-olah tertancap, tidak mau bergerak.Bellia tidak tahu mengapa hatinya bisa sesakit ini melihat Daniel sedang mencium wanita lain, padahal mereka tidak mempunyai hubungan apa-apa. Mereka hanya orang asing yang tidak sengaja menghabiskan malam bersama.Apa dia cemburu?Bellia tanpa sadar meremas pinggiran roknya semakin erat hingga buku-buku jarinya gemetar untuk menghalau sesak yang menghimpit di dalam dadanya. Dia tidak berhak cemburu dengan Daniel.Ya, tidak mungkin. Akan tetapi, mengapa air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipinya?Ah!"Hei." Bellia tersentak ketika punggungnya ditepuk oleh seseorang dengan pelan. Kedua matanya sontak membulat melihat lelaki yang ada di hadapan."Kamu Bellia, 'kan?" Khaisar yang baru saja kembali dari toilet berusaha mengingat-ingat gadis yang berdiri di hadapannya. "Sedang
"Apa?! Mengundurkan diri?" Mata Anita sontak membulat.Bellia mengangguk tanpa berani menatap Anita."Kenapa mendadak sekali, Bellia? Apa kamu sedang ada masalah?"Bellia menggeleng pelan, dia tidak mungkin memberi tahu Anita alasan yang membuatnya keluar.Anita mengambil surat itu, membacanya dengan cepat lalu menatap Bellia dengan wajah penuh kebingungan. "Ini terlalu mendadak dan perusahaan masih membutuhkan kamu, Bellia. Lagi pula perusahaan kita menerapkan kebijakan one-month notice. Kamu bisa kena denda kalau berhenti tanpa pemberitahuan sebulan sebelumnya. Apa kamu tidak bisa menunggu sebentar lagi?"Bellia tanpa sadar menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat. Dia sudah memikirkan hal ini dan siap dengan segala risikonya. "Saya mengerti, Bu. Tapi maaf, saya benar-benar tidak bisa menunggu satu bulan lagi. Saya harus berhenti."Anita menatap Bellia dengan lekat. "Denda yang harus kamu bayar tidak sedikit, Bellia. Kalau kamu sanggup membayar pun namamu akan di-blacklist dari per
"Apa laporan penjualan bulan ini sudah selesai, Khai? Aku butuh datanya untuk pertemuan besok."Khai memeriksa berkas yang ada di tangannya lalu menjawab, "Sudah, Niel. Penjualan bulan ini meningkat tujuh persen dibanding bulan lalu. Tapi masih ada beberapa area yang mengalami penurunan, terutama di sektor retail.""Sektor retail?" Kening Daniel berkerut dalam, sebagai pengusaha muda yang namanya sudah terkenal di tanah air dia tidak suka jika pendapatan perusahaannya menurun. Sekecil apa pun itu."Kenapa bisa turun?""Karena daya beli masyarakat di pasar lokal turun, selain itu beberapa kompetitor mulai menawarkan diskon besar-besaran. Jadi, kita sedikit tertinggal dalam hal harga."Daniel begitu serius mendengarkan penjelasan Khaisar. "Kita tidak boleh terus-terusan kalah. Siapkan strategi baru dan evaluasi produk mana yang bisa kita promosikan lebih kuat tanpa menurunkan margin terlalu banyak."Khaisar diam-diam tersenyum setelah mendengar penjelasan Daniel. Dia akui kemampuan Dani
Matahari masih belum terbit, tapi Bellia sudah sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Jemari lentiknya begitu terampil menyiapkan bahan dan meracik bumbu masakan.Pagi ini Bellia ingin membuat sambal goreng tahu, tempe, dan kentang serta ayam goreng. Sejak kecil Bellia sudah terbiasa memperhatikan sang nenek yang sedang memasak, karena itu dia tidak merasa kesulitan saat memasak. Marvell pun selalu memuji jika masakan Bellia paling enak sedunia dan Bellia merasa sangat tersentuh ketika mendengarnya.Tepat pukul enam semua masakan Bellia sudah siap dihidangkan. Dia mengambil sebuah kotak makan yang berada di rak setelah itu mengisinya dengan nasi, sambel goreng tempe, dan ayam goreng. Tidak lupa dia menambahkan beberapa potong buah di dalamnya.Bellia tanpa sadar tersenyum ketika melihat bekal yang sudah dia siapkan untuk Daniel hari ini. Terhitung sudah tiga hari berturut-turut dia menyiapkan bekal untuk lelaki itu, padahal Daniel sudah melarangnya mengirim bekal karena tidak ingin merepo
Daniel, Bellia, dan Marvell tidak langsung pulang setelah makan siang. Mereka mampir ke sebuah toko buku dan mainan yang ada di pusat perbelanjaan untuk memenuhi permintaan Marvell.Marvell langsung berlari menuju rak buku khusus untuk anak-anak begitu memasuki toko. Kedua matanya yang mirip Daniel memancarkan binar penuh antusias. Tangannya yang mungil berusaha meraih buku yang berada di rak lumayan tinggi, membuat Bellia tersenyum ketika melihatnya."Marvell boleh pilih dua, Ma?" tanya Marvell terdengar polos.Bellia mengangguk sambil mengusap puncak kepala Marvell dengan gemas. "Boleh, Sayang.""Kalau tiga?" Marvell menatap Bellia dengan penuh harap, mencoba menguji batas kesabaran ibunya.Bellia tertawa kecil. "Jangan banyak-banyak ya, nanti bukunya tidak kebaca semua 'kan sayang."Marvell mengangguk patuh lalu memilih buku dengan penuh pertimbangan. Sedangkan Bellia malah menatap Daniel yang sedang duduk di kursi tunggu sambil memainkan ponselnya.Bellia sadar kalau Daniel lebih
Mata Bellia refleks mencari sosok yang dipanggil oleh Marvell. Ternyata Mahes berdiri di tempat yang berada tidak jauh dari mereka.Lelaki itu memakai kemeja putih dengan lengan yang tergulung rapi hingga sebatas siku. Rambutnya yang hitam tampak sedikit berantakan. Rahang yang biasanya halus kini ditumbuhi jambang tipis. Penampilan Mahes memang sederhana, tapi tetap terlihat tampan.Jujur saja Bellia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan Mahes di tempat ini. Lelaki itu tidak pernah menghubunginya sejak mengungkapkan perasaan pada dirinya. Dia pun tidak pernah berusaha untuk menghubungi Mahes lebih dulu.Perasaan bersalah kembali menyelip di dalam diri Bellia, membuat dadanya terasa sedikit sesak untuk bernapas. Bellia sadar Mahes pasti kecewa sekaligus sakit hati pada dirinya karena dia tidak bisa membalas perasaan lelaki itu. Namun, Bellia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri kalau bukan Mahes lelaki yang dia inginkan untuk mendampingi hidupnya. Bukan Mahes lelaki yang na
Marcedes Benz AMG G65 itu melaju sedikit kencang membelah jalanan yang ramai lancar. Daniel terlihat fokus mengendarai mobilnya sambil sesekali menimpali cerita Marvell yang duduk di kursi khusus untuk anak-anak di belakang.Bellia tanpa sadar tersenyum melihat interaksi di antara Marvell dan Daniel. Meski terlambat, Daniel berusaha keras menjadi sosok ayah yang baik untuk Marvell. Lelaki itu bahkan membeli kursi khusus untuk anak-anak tanpa sepengetahuan dirinya demi keselamatan Marvell.Perhatian sekali, 'kan?"Papa, Papa ....""Iya, Sayang?" Daniel melirik Marvell melalui kaca sepion yang ada di depan sekilas."Marvell tadi dapat bintang lima waktu pelajaran menggambar.""Benarkah?" Kedua mata Daniel terlihat berbinar. Dia merasa begitu bangga dengan putranya."Iya." Marvell mengangguk penuh semangat."Wah, selamat. Anak papa hebat sekali.""Terima kasih banyak, Pa. Apa Marvell akan mendapat hadiah?""Hadiah?" tanya Daniel tidak mengerti."Iya, Marvell ingin lego dan buku cerita ba
Bangunan mewah berlantai empat itu lebih pantas disebut mansion dari pada rumah. Sebuah air mancur dengan patung Dewi Yunani di bagian tengah semakin menambah kemewahan mansion tersebut. Lantainya terbuat dari marmer yang terlihat berkilau jika terkena cahaya lampu. Dindingnya dilapisi cat berwarna beige yang memberi kesan mewah sekaligus elegan.Beberapa pelayan terlihat sibuk dengan tugas mereka. Ada yang menyiapkan sarapan, membersihkan halaman, memotong rumput, dan membersihkan kolam renang.Seorang anak laki-laki berjalan dengan lesu menuruni tangga lalu duduk di meja makan. Di hadapannya sudah terasaji beraneka masakan, tapi tidak ada satu pun yang menggugah seleranya."Selamat pagi, Tuan Daniel. Anda mau susu?" Seorang pelayan mendekat, menawarkan segelas susu yang dijawab gelengan pelan oleh Daniel."Papa sama Mama di mana, Bik?"Pelayan tersebut melirik temannya sesama pelayan yang berdiri tidak jauh darinya, berkomunikasi lewat mata sebentar sebelum menjawab pertanyaan Danie
"Mas Daniel?!" Bellia bergeming di tempat, sepasang iris hezel miliknya terpaku pada lelaki yang seharian ini mengisi seluruh pikirannya.Waktu seolah-olah berhenti bergerak, dunia seolah-olah berhenti berputar. Suara di sekitarnya pun mendadak lenyap. Selama tiga puluh detik yang Bellia lakukan hanya diam memandangi Daniel yang sedang memeluk Marvell dengan erat.Beberapa menit yang lalu dia merasa sangat cemas lantaran Daniel tidak memberi kabar. Namun, lelaki itu tiba-tiba saja muncul di hadapannya seolah-olah tidak terjadi apa pun di antara mereka.Perasaan marah, sedih, sekaligus lega bercampur menjadi satu di dalam diri Bellia. Rasanya Bellia ingin sekali memarahi Daniel yang tidak memberinya kabar hingga membuat perasaannya tidak bisa bernapas dengan tenang. Namun, dia berusaha keras menahannya karena mereka tidak mempunyai hubungan apa-apa meskipun sedang dekat.Dua hari tidak bertemu membuat Daniel sangat rindu dengan Marvell dan Bellia. Padahal mereka sudah melakukan video c
Ucapan Dita terus terngiang-ngiang di telinga Bellia. Apa yang dikatakan Dita tadi memang benar, hubungan yang baik pasti diimbangi dengan komunikasi yang baik pula. Selama ini dia memang jarang mengirim pesan pada Daniel lebih dulu, bahkan mungkin tidak pernah. Selama ini Daniel yang selalu memulai komunikasi di antara mereka.Bellia sebenarnya ingin mengirim pesan pada Daniel tanpa perlu menunggu inisiatif dari lelaki itu. Namun, entah mengapa Bellia selalu merasa takut dan cemas, bahkan sebelum memulainya. Perasaan insecure itu terkadang sering muncul, hingga membuatnya merasa tidak pantas dekat dengan Daniel. Lelaki itu ... terlihat begitu sempurna di matanya, sedangkan dirinya hanya orang biasa.Bellia sering berpikir kalau Daniel ingin dekat dengannya karena ada Marvell di antara mereka. Andai saja Marvell tidak ada, apa Daniel masih ingin dekat dengannya?Bellia menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi sesak yang tiba-tiba menyelip di dalam dadanya. Hilangnya Daniel membuat
Bellia sudah terbiasa hidup sendiri, bahkan sebelum bertemu dengan Daniel. Seharusnya, Bellia tidak perlu khawatir ketika Daniel pergi ke luar kota selama tiga hari. Seharusnya, Bellia bisa menjalani aktivitasnya seperti biasa, sama seperti ketika dia belum bertemu dengan lelaki itu.Namun, entah mengapa Bellia merasa ada sesuatu yang hilang hidupnya. Seperti bulan yang sendirian di langit malam tanpa bintang. Bellia yang biasanya mandiri, kini merasa sedikit kesulitan, mungkin karena dia sudah terbiasa dengan kehadiran Daniel.Bellia akui, beberapa hari ini hubungan mereka menjadi semakin dekat dan hangat. Dia bahkan tidak lagi memakai 'saya' ketika bicara dengan lelaki itu. Selama dua hari ini pun Daniel tidak pernah lupa memberi kabar. Dimulai dengan mengirim ucapan selamat pagi, mengingatkan dirinya dan Marvell agar tidak lupa makan, dan ditutup dengan ucapan selamat malam. Daniel bahkan tidak lupa menyelipkan doa agar dirinya dan Marvell mimpi indah.Manis sekali bukan?Sampai se
Bellia lupa kapan terakhir kali dia bisa bernapas dengan lega seperti ini. Selama lima tahun terakhir kehidupan yang dia jalani terasa begitu berat, hingga membuatnya kesulitan untuk sekadar menarik napas.Kejadian malam itu masih membekas di ingatan Bellia sampai sekarang. Dia tidak akan pernah lupa ketika Daniel merenggut mahkota paling berharga di hidupnya dengan tidak sengaja.Saat dia ingin memberi tahu Daniel tentang kehamilannya dan kejadian yang sebenarnya, dia malah melihat Daniel berciuman dengan wanita lain di ruangannya.Akhirnya Bellia memutuskan untuk pergi dari kehidupan Daniel dan mencoba menjalani hidup tanpa bayang-bayang lelaki itu. Awalnya tentu saja tidak mudah, apa lagi kondisi Nenek Amira semakin hari semakin memburuk.Namun, Bellia tidak menyerah begitu saja karena dia memiliki tekad yang begitu kuat demi kesembuhan Nenek Amira serta bayi yang berada di dalam kandungannya.Kehidupan Bellia pun berangsur-angsur membaik setelah Marvell lahir. Kehadiran anak itu m