"Kenapa Bapak di sini?"
Jantung Bellia berdetak tidak karuan ketika Daniel berjalan mendekatinya. Rasanya dia ingin sekali kabur dari hadapan Daniel sekarang, tapi tubuhnya masih terasa lemas. "Kamu baik-baik saja?" Bellia tanpa sadar meremas selimutnya dengan erat. Setitik keringat dingin pun keluar membasahi pelipisnya. Bellia berusaha keras agar terlihat tenang meskipun dia merasa sangat gugup sekarang. Bellia tidak pernah menyangka Daniel akan kembali ke rumah sakit secepat ini, padahal Daniel tadi mengatakan kalau dia ingin mengikuti acara gathering kantor. "Saya baik-baik saja." "Sungguh?" "I-iya." Bellia memalingkan wajahnya ke arah lain, tidak tahan melihat mata Daniel yang terus menatapnya dalam-dalam, seolah-olah takut terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya. Apa lelaki itu mengkhawatirkannya? Bellia tanpa sadar meremas selimutnya semakin erat untuk menahan perasaan hangat yang menjalari dadanya. Dia tidak boleh merasa senang dengan perhatian kecil yang Daniel berikan. "Aku pikir kamu habis menangis," ucap Daniel santai sambil meletakkan buah stroberi yang dibawanya di atas meja samping tempat tidur Bellia. "Ba-Bapak bilang apa?" Bellia sontak menatap Daniel. Apa terlihat jelas kalau dia habis menangis? Bellia cepat-cepat merapikan penampilannya dan mengubah raut wajahnya agar terlihat lebih segar. Namun, sepertinya percuma karena Daniel sepertinya sempat mendengarnya menangis saat berbicara dengan Rianty di telepon tadi. "Sudahlah lupakan. Apa kamu butuh sesuatu?" tanya Daniel dengan nada lembut yang tidak biasa hingga membuat Bellia kembali gugup. "Em, tidak." Bellia menggeleng pelan. "Kenapa Bapak ke sini? Bukankah acara kantor belum selesai?" Bellia diam-diam merutuki mulutnya yang asal bicara. Seharusnya dia tidak bertanya agar Daniel cepat pergi dari kamarnya. Jujur saja berada di dekat Daniel membuat Bellia merasa tidak nyaman. "Kenapa kamu terus bertanya? Apa kamu tidak senang melihatku?" Bellia refleks mengangguk, sedetik kemudian dia menggeleng cepat setelah menyadari raut wajah Daniel yang berubah tidak senang. "Ti-tidak. Maksud saya bukan begitu, saya cuma—" "Cuma apa?" Bellia tanpa sadar menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat. Dia tidak mungkin mengatakan kalau dia merasa tidak nyaman dengan keberadaan Daniel. "Maaf." Bellia menunduk, tidak berani menatap Daniel. Daniel menarik sebuah kursi yang ada di dekat ranjang Bellia lalu mendudukkan diri di sana. "Di mana tantemu? Apa dia belum datang?" Pertanyaan Daniel barusan sukses membuat Bellia tergagap. Apa yang harus dia katakan? Haruskah dia memberi tahu Daniel kalau tantenya tidak akan pernah datang? Tidak. Dia tidak boleh mengatakan yang sebenarnya karena Daniel akan terus berada di sini jika tahu tantenya tidak mau menemaninya di rumah sakit. "Ta-tante saya sedang berada di jalan, mungkin sebentar lagi datang." "Jawab pertanyaanku dengan jelas, aku tidak mau mendengar jawaban ragu-ragu seperti itu." Daniel bersandar lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sepasang iris hitam miliknya menatap Bellia dengan lekat. "Se-setengah jam. I-iya, setengah jam lagi." "Kalau begitu aku akan menunggu di sini sampai tantemu datang." "A-apa?!" Bellia ingin menolak, tapi Daniel paling tidak suka jika ada seseorang yang membantahnya. Akhirnya Bellia hanya bisa parah dan berharap semoga ada keajaiban yang bisa membuat Daniel pergi dari hadapannya. Waktu tiga puluh menit terasa sangat lama bagi Bellia. Bellia tidak tahu mengapa Daniel memilih menemaninya di rumah sakit padahal lelaki itu terus mendapat telepon dari sekretarisnya untuk membahas pekerjaan. Apa Daniel memang peduli pada dirinya? Tidak. Bellia lagi-lagi memilih menahan perasaannya, tidak ingin menganggap perhatian kecil Daniel seperti hal yang istimewa. "Baiklah, segera kirim dokumennya padaku kalau kamu sudah selesai memperbaikinya." Daniel memasukkan ponselnya ke dalam saku celana lalu kembali menghampiri Bellia. "Sekarang sudah jam lima lewat tiga puluh menit. Sepertinya tantemu tidak datang ...." Daniel menahan ucapannya, ingin melihat bagaimana ekspresi Bellia. "Atau memang tidak ingin datang," ucapnya tenang, berbanding terbalik dengan Bellia yang merasa sangat gugup sekarang. Seperti seekor kancil yang ketahuan mencuri timun. "Ka-kalau Bapak ingin kembali sekarang tidak apa-apa. Saya bisa di sini sendiri. Terima kasih sudah menemani saya." "Kamu mengusirku?" Daniel menatap Bellia dengan alis terangkat sebelah. "Bu-bukan begitu." Bellia menggerak-gerakkan kedua tangannya di depan wajah. "Saya cuma tidak ingin membuat Bapak semakin repot." Daniel hanya diam, kedua matanya menatap Bellia dengan pandangan yang sulit diartikan membuat perasaan Bellia mendadak tidak tenang. "Kamu benar-benar tidak mengingatnya?" Deg. Tubuh Bellia menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat mendengar pertanyaan Daniel barusan. Bellia sengaja bersikap biasa, seolah-olah tidak terjadi sesuatu di antara dirinya dan Daniel untuk melindungi perasaannya sendiri. Lagi pula tadi malam adalah kesalahan, dan Bellia takut jika Daniel tahu soal tadi malam, atasannya mungkin akan memecatnya atau bahkan menuntutnya. "Maksud, Bapak?" Bellia pura-pura tidak mengerti. Senyum tipis terangkat di salah satu sudut bibir Daniel melihat reaksi Bellia. "Masih belum mau mengaku rupanya.” Daniel meraih tangan Bellia, lalu meletakkan sebuah jepit rambut di atas telapak tangan gadis itu. “Ini, aku kembalikan padamu." Bellia bergeming di tempat. Dia hanya diam melihat Daniel yang berjalan meninggalkan kamarnya dengan air mata yang perlahan jatuh membasahi pipinya. *** Waktu begitu cepat berlalu, Bellia kembali bekerja di kantor seperti biasa meskipun sebulan terakhir dia harus bermain kucing-kucingan dengan Daniel. Dia selalu menghindar jika tidak sengaja bertemu dengan lelaki itu. Entah di lorong, lobi, atau kantin. Daniel tahu apa yang dilakukan Bellia dan itu membuat Daniel merasa sangat kesal. Dia bingung mengapa Bellia tiba-tiba berubah dan semakin menjauhinya. Gadis itu selalu memiliki alasan untuk menghindar setiap kali dia ingin mendekat. "Bell, Pak Daniel minta kamu untuk menyelesaikan laporan ini." "Lagi?" Bellia terkejut melihat tumpukan berkas yang Lisa taruh di atas meja kerjanya. "Tapi sebentar lagi jam pulang, Lis." Lisa mengangkat bahu acuh tak acuh. "Aku juga tidak tahu, Pak Daniel tadi cuma bilang kalau kamu harus menyelesaikan laporan ini malam ini juga." Bellia menghela napas panjang, lagi-lagi Daniel sengaja memberinya banyak pekerjaan. Lelaki itu bahkan tidak segan memarahinya di depan karyawan, padahal dia cuma melakukan kesalahan kecil. Jujur saja Bellia merasa sangat lelah, tapi dia tidak punya pilihan selain mengerjakan laporan tersebut. Setelah menyelesaikan laporan-laporan itu, Bellia tiba di rumah saat hari sudah gelap, tetapi tiba-tiba saja perut bagian bawahnya terasa kram, seperti ada yang meremasnya dengan kuat. Bellia berjalan menuju kamarnya sambil berpegangan pada tembok lalu duduk di tepi ranjang. Perutnya memang sering sakit saat akan datang bulan, tapi rasa sakitnya kali ini agak berbeda. Dia bahkan sering mual, apa lagi ketika pagi. Tubuh Bellia tiba-tiba menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak. Wajahnya pun seketika berubah pucat ketika sadar kalau dia belum datang bulan sampai sekarang. Apa mungkin .... Bellia beranjak dari tempat duduknya. Dia langsung pergi ke apotek untuk membeli test pack dan hasilnya ternyata .... positif. Dia hamil. Hidup Bellia seketika hancur, dunia seolah-olah runtuh. Apa yang dia dan Daniel lakukan malam itu telah menghadirkan sebuah kehidupan baru di rahimnya. Apa yang harus Bellia lakukan? Haruskah dia memberi tahu Daniel kalau dia mengandung anaknya? Akan tetapi, bagaimana jika Daniel menolak? Apakah dia siap?Isakan kembali lolos dari bibir mungil Bellia yang meringkuk di atas ranjang sendirian. Sejak kemarin yang dia lakukan hanya menangis di dalam kamar.Bellia terlihat ... sangat menyedihkan.Kabar kehamilan ini begitu mengejutkan baginya. Seumur hidup Bellia tidak pernah membayangkan akan mengandung benih lelaki yang bahkan tidak peduli pada dirinya. Hidup Bellia seketika hancur, dunia seolah-olah runtuh. Dia butuh seseorang untuk berbagi keluh kesahnya, tapi tidak ada satu pun yang peduli dengannya.Bellia mengusap perutnya yang terlihat masih datar dengan tangan gemetar. Kesedihan, penyesalan, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu di dalam dirinya. Sebelum meninggal kedua orang tuanya berpesan agar menjaga diri dan tidak gegabah saat mengambil keputusan.Akan tetapi, kejadian malam itu telah menghancurkan segalanya. Tanpa sengaja dia sudah tidur dengan presdir yang selama ini dia hormati dan diam-diam dia kagumi, hingga hamil."Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" ucap Bellia terdengar
Bellia meremas pinggiran roknya dengan erat. Air mata terlihat menggenang di pelupuk matanya. Rasanya Bellia ingin sekali pergi dari ruangan Daniel tapi kedua kakinya seolah-olah tertancap, tidak mau bergerak.Bellia tidak tahu mengapa hatinya bisa sesakit ini melihat Daniel sedang mencium wanita lain, padahal mereka tidak mempunyai hubungan apa-apa. Mereka hanya orang asing yang tidak sengaja menghabiskan malam bersama.Apa dia cemburu?Bellia tanpa sadar meremas pinggiran roknya semakin erat hingga buku-buku jarinya gemetar untuk menghalau sesak yang menghimpit di dalam dadanya. Dia tidak berhak cemburu dengan Daniel.Ya, tidak mungkin. Akan tetapi, mengapa air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipinya?Ah!"Hei." Bellia tersentak ketika punggungnya ditepuk oleh seseorang dengan pelan. Kedua matanya sontak membulat melihat lelaki yang ada di hadapan."Kamu Bellia, 'kan?" Khaisar yang baru saja kembali dari toilet berusaha mengingat-ingat gadis yang berdiri di hadapannya. "Sedang
"Apa?! Mengundurkan diri?" Mata Anita sontak membulat.Bellia mengangguk tanpa berani menatap Anita."Kenapa mendadak sekali, Bellia? Apa kamu sedang ada masalah?"Bellia menggeleng pelan, dia tidak mungkin memberi tahu Anita alasan yang membuatnya keluar.Anita mengambil surat itu, membacanya dengan cepat lalu menatap Bellia dengan wajah penuh kebingungan. "Ini terlalu mendadak dan perusahaan masih membutuhkan kamu, Bellia. Lagi pula perusahaan kita menerapkan kebijakan one-month notice. Kamu bisa kena denda kalau berhenti tanpa pemberitahuan sebulan sebelumnya. Apa kamu tidak bisa menunggu sebentar lagi?"Bellia tanpa sadar menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat. Dia sudah memikirkan hal ini dan siap dengan segala risikonya. "Saya mengerti, Bu. Tapi maaf, saya benar-benar tidak bisa menunggu satu bulan lagi. Saya harus berhenti."Anita menatap Bellia dengan lekat. "Denda yang harus kamu bayar tidak sedikit, Bellia. Kalau kamu sanggup membayar pun namamu akan di-blacklist dari per
"Apa laporan penjualan bulan ini sudah selesai, Khai? Aku butuh datanya untuk pertemuan besok."Khai memeriksa berkas yang ada di tangannya lalu menjawab, "Sudah, Niel. Penjualan bulan ini meningkat tujuh persen dibanding bulan lalu. Tapi masih ada beberapa area yang mengalami penurunan, terutama di sektor retail.""Sektor retail?" Kening Daniel berkerut dalam, sebagai pengusaha muda yang namanya sudah terkenal di tanah air dia tidak suka jika pendapatan perusahaannya menurun. Sekecil apa pun itu."Kenapa bisa turun?""Karena daya beli masyarakat di pasar lokal turun, selain itu beberapa kompetitor mulai menawarkan diskon besar-besaran. Jadi, kita sedikit tertinggal dalam hal harga."Daniel begitu serius mendengarkan penjelasan Khaisar. "Kita tidak boleh terus-terusan kalah. Siapkan strategi baru dan evaluasi produk mana yang bisa kita promosikan lebih kuat tanpa menurunkan margin terlalu banyak."Khaisar diam-diam tersenyum setelah mendengar penjelasan Daniel. Dia akui kemampuan Dani
Bukan hal sulit bagi Khaisar untuk mencari tahu informasi tentang Bellia. Sebagai sekretaris sekaligus orang kepercayaan Daniel Moiz membuat Khaisar mempunyai keuntungan lebih untuk memanfaatkan jabatannya di perusahaan."Beri aku data anggota divisi marketing atas nama Bellia," pintanya pada HRD.Tanpa banyak tanya HRD segera memberi data yang Khaisar minta. "Ini, Pak.""Terima kasih." Khaisar langsung kembali ke ruangannya setelah mendapat data yang dia inginkan. Dia membaca data Bellia dengan cepat dan mencatat beberapa informasi penting sebelum diserahkan ke Daniel.Saat dia sedang serius membaca, telepon yang ada di atas meja kerjanya tiba-tiba berdering."Ya, Niel?""Apa kamu sudah mendapat informasi yang aku minta?""Iya." Khaisar mengangguk. "Tapi ada—""Berikan padaku!" perintah Daniel tegas lalu memutus sambungan teleponnya.Tanpa menunggu waktu lama Khaisar segera pergi ke ruangan Daniel."Bagaimana?" tanya Daniel. Suaranya terdengar datar, tapi mengandung rasa penasaran ya
"Laporan macam apa ini? Kenapa pendapatan bulan ini hanya meningkat dua persen dari bulan lalu? Kamu tahu sendiri 'kan kalau kita sudah menghabiskan banyak biaya untuk produk ini?" Daniel membanting map di tangannya dengan cukup keras hingga membuat lawan bicaranya berjingkat.Daniel tidak mengerti mengapa hal yang sudah dia susun secara apik tidak ada yang berjalan sesuai dengan rencana sejak Bellia mengundurkan diri dari perusahaannya."Sa-saya sudah berusaha menaikkan penjualan sesuai saran dari Pak Daniel. Maaf kalau hasilnya tidak sesuai dengan keinginan Bapak," ucap karyawan tersebut takut-takut.Daniel menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan agar emosinya tidak meledak. Daniel biasanya selalu bisa mengendalikan apa pun yang ada di sekitarnya, akan tetapi entah mengapa akhir-akhir ini dia sering kehilangan fokus, gampang marah, dan tidak bisa berpikir jernih.Pekerjaan yang biasanya dia selesaikan dengan mudah kini berantakan hingga membuat Khaisar terpaksa harus me
Salah satu sudut bibir Vania terangkat samar mendengar ucapan Daniel. Vania tahu, di antara mereka memang tidak pernah ada cinta. Namun, setiap Vania menemui Daniel, lelaki itu akan menjamah dan menghujamnya.Kini, lelaki itu terang-terangan mengingatkan dirinya tentang hubungan mereka.Ada sesuatu yang berubah dari Daniel."Ya, aku masih ingat, jadi jangan repot-repot mengingatkan. Tapi apa aku salah kalau aku merindukan tunanganku sendiri?" balas Vania, kedua bahunya terangkat sambil tangannya bersidekap di depan dada.Tawa remeh keluar dari mulut Daniel, lalu dia kembali menyeringai. "Apa aku perlu menjawab pertanyaanmu, Vania?"Daniel menghela napas panjang lalu menyandarkan punggungnya di kursi. Sepasang iris hitam miliknya menatap Vania dengan tajam."Tidak," jawab Daniel tenang membuat wajah Vania mengeras. Daniel kembali memusatkan perhatiannya pada berkas-berkas yang ada di meja. Tanpa menoleh pada Vania, lelaki itu berujar dingin, "Pergi dari ruanganku sekarang.""Apa?!" Va
Sudah lima menit berlalu, tapi Daniel masih bertahan di dalam mobil. Menimang-nimang haruskah dia pergi ke rumah yang sudah bertahun-tahun dia tinggalkan. Tempat di mana ingatan-ingatan buruk mengendap, tersembunyi di balik dindingnya yang mewah.Daniel selalu merasa sesak setiap kali pulang ke rumah. Terlalu banyak kenangan buruk yang dia alami di sana dan dia tidak ingin mengingatnya.Daniel menghela napas panjang lalu membawa mobilnya melewati gerbang yang otomatis terbuka. Dia menatap bangunan megah itu dengan penuh perasaan sebelum masuk ke sana.Tidak ada orang yang menyambut kedatangannya. Dari ruang tamu dia bisa mendengar tawa sang ayah yang menggema di ruang tengah. "Sayang, tolong ambilkan aku minum.""Iya, Mas." Wanita yang dipanggil sayang oleh ayah kandung Daniel itu pun beranjak dari tempat duduknya. Kedua matanya sontak membulat ketika melihat Daniel yang berdiri di pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah."Daniel!"Samudra sontak mengalihkan pandang dari layar te
Bellia lupa kapan terakhir kali dia bisa bernapas dengan lega seperti ini. Selama lima tahun terakhir kehidupan yang dia jalani terasa begitu berat, hingga membuatnya kesulitan untuk sekadar menarik napas.Kejadian malam itu masih membekas di ingatan Bellia sampai sekarang. Dia tidak akan pernah lupa ketika Daniel merenggut mahkota paling berharga di hidupnya dengan tidak sengaja.Saat dia ingin memberi tahu Daniel tentang kehamilannya dan kejadian yang sebenarnya, dia malah melihat Daniel berciuman dengan wanita lain di ruangannya.Akhirnya Bellia memutuskan untuk pergi dari kehidupan Daniel dan mencoba menjalani hidup tanpa bayang-bayang lelaki itu. Awalnya tentu saja tidak mudah, apa lagi kondisi Nenek Amira semakin hari semakin memburuk.Namun, Bellia tidak menyerah begitu saja karena dia memiliki tekad yang begitu kuat demi kesembuhan Nenek Amira serta bayi yang berada di dalam kandungannya.Kehidupan Bellia pun berangsur-angsur membaik setelah Marvell lahir. Kehadiran anak itu m
Bellia tidak bisa menikmati sarapan dengan tenang, dia mengunyah nasi gorengnya dengan enggan, sementara kedua matanya terus mencuri pandang ke arah Daniel yang duduk di hadapannya.Bellia tidak pernah menyangka dia akan kembali berciuman dengan Daniel. Dia bahkan mengalungkan kedua lengannya di leher lelaki itu dan membalas ciumannya tidak kalah panas.Entah setan apa yang sudah merasuki pikirannya. Dia mendadak berubah menjadi lebih liar jika bersama dengan Daniel. Lelaki itu mempunyai pesona dan daya tarik yang sangat kuat dan sulit sekali untuk ditolak.Untung saja Marvell tadi memanggilnya. Jika tidak, dia dan Daniel pasti sudah berakhir di ranjang."Kenapa kamu makan cuma sedikit? Apa kamu tidak berselera?"Pertanyaan Daniel barusan sukses membuat Bellia tergagap. "Em, tidak. Nasi goreng ini enak, kok."Daniel menatap Bellia dengan alis terangkat sebelah. Biasanya Bellia mengajak Marvell bicara saat makan, tapi ibu dari anaknya itu sekarang lebih banyak diam."Kenapa kamu dari t
"Mas Daniel, kamarnya sudah siap."Daniel segera beranjak dari tempat duduknya begitu mendengar suara Bellia, pergi ke kamar yang ada di sebelah."Maaf ya, Mas. Kamarnya jelek."Daniel mengamati kamar bernuansa biru muda itu. Sebuah ranjang berukuran sedang ada di tengah-tengan kamar. Di samping ranjang tersebut ada sebuah meja kayu yang menghadap langsung ke arah jendela. Di sebelah meja tersebut, ada sebuah pot bunga berukuran besar yang membuat suasana terasa lebih segar. Daniel akui kamar ini jauh lebih kecil dari pada kamarnya yang ada di apartemen. Namun, dia tidak mempermasalahkan hal tersebut. Dia hanya merasa sedikit kurang nyaman karena kamar ini tidak dilengkapi dengan mesin pendingin ruangan. Sepertinya dia harus tidur dengan bertelanjang dada agar tidak merasa gerah."Jangan bilang seperti itu, Bie. Kamar ini cukup nyaman. Terima kasih sudah mengizinkanku menginap di rumahmu.""Baiklah kalau begitu, selamat tidur, Mas."Daniel mengangguk, dia langsung melepas kemeja yang
Tiba-tiba saja Bellia menggeliat pelan lalu mengerjapkan kedua matanya perlahan. Dia sontak bangun dan duduk di ujung tempat tidurnya ketika sadar kalau dirinya berada di dalam kamar sementara Daniel berada sangat dekat dengannya.Lelaki itu bahkan menatapnya dengan sangat lekat. Seolah-olah tidak ada hal lain di dunia ini yang lebih imdah selain dirinya.“Ma-Mas Daniel?!” Bellia tersentak, jantungnya berdebar hebat karena mencium aroma musk bercampur dengan keringat yang menguar dari tubuh Daniel. Aroma yang menenangkan sekaligus membuat jantungnya berdebar.“Kamu tadi tidur sangat lelap, aku jadi tidak tega membangunkanmu. Karena itu aku membawamu ke sini,” jelas Daniel tanpa Bellia meminta.“Te-terima kasih,” ucap Bellia terdengar gugup. Bellia pikir Daniel akan segera menjauh dari darinya. Akan tetapi lelaki itu tetap bertahan di posisinya.“Bie ...,” panggil Daniel pelan. Suaranya terdengar rendah tapi dalam membuat Bellia gugup luar biasa.“Em, ya?” Bellia memberanikan diri memb
Bellia tidak langsung menjawab, terlalu banyak kebaikan yang sudah Daniel berikan untuknya. Dia merasa tidak pantas menerima kebaikan lelaki itu lagi.“Bie ....”Bellia tersentak ketika Daniel meraih kedua tangannya dan menggenggamnya dengan lembut. Entah mengapa tatapan Daniel yang begitu meneduhkan tidak mampu membuat perasaannya tenang. Dia justru merasa semakin gelisah.“Jangan pernah merasa tidak pantas menerima bantuanku, Bie.”Ucapan Daniel sukses membuat Bellia terhenyak. Sepasang iris hezelnya menatap Daniel dengan pandangan tidak percaya.Kenapa Daniel bisa membaca pikirannya? Apa lelaki itu seorang cenayang?“Aku bisa tahu apa yang sedang kamu pikirkan karena semua terlihat jelas di wajahmu.”“Maaf ....” Bellia menunduk dalam, dia merasa malu sekali sudah berpikir yang tidak-tidak tentang Daniel.Daniel menggenggam jemari tangan Bellia lebih erat. “Jadi ... bagaimana? Kamu mau menerima bantuanku, ‘kan?”Daniel bertanya dengan sangat hati-hati mengingat Bellia memiliki sifat
Jantung Bellia berdetak tidak karuan ketika melihat pesan yang baru masuk di ponselnya. Rasanya aneh sekali karena dia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Jantungnya sekarang berdegup kencang setiap kali nama Daniel muncul di layar ponselnya. Daniel tidak pernah absen mengirim pesan sejak dia memutuskan untuk memberi lelaki itu kesempatan. Isi pesan yang begitu manis membuatnya sempat berpikir kalau orang yang mengirim pesan bukanlah Daniel. Namun, dugaannya ternyata salah. Orang yang setiap pagi mengirim ucapan selamat pagi tersebut memang Daniel. Bellia tidak pernah menyangka orang sekaku dan sedingin Daniel bisa mengirim kalimat yang begitu manis pada dirinya. Sepertinya lelaki itu benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Awalnya Bellia sempat merasa ragu, tapi Daniel bisa membuktikan jika dirinya benar-benar serius lewat caranya sendiri. Perhatian serta kasih sayang yang lelaki itu berikan perlahan-lahan berhasil meruntuhkan dinding yang dia bangun d
“Kamu tidak turun?”Bellia tergagap, dia tidak menyadari jika mobil yang ditumpanginya sudah tiba di rumah karena terlalu asyik melamun. Daniel bahkan sudah membukakan pintu untuknya.Bellia pun cepat-cepat turun lalu mengucapkan terima kasih.Daniel hanya mengangguk lalu meraih tubuh Marvell yang sudah terlelap ke dalam gendongannya.“Biar saya saja, Pak.”Daniel menggeleng pelan. “Bukakan saja pintunya, biar aku yang menggendong Marvell ke kamar.”Bellia tidak membantah, dia segera membuka pintu rumahnya lalu menuntun Daniel ke kamar untuk menidurkan Marvell.“Apa kita bisa bicara sekarang?”Bellia tersentak, dia pikir Daniel akan langsung kembali ke kota setelah mengantarnya dan Marvell pulang. Akan tetapi lelaki itu langsung bertanya setelah menidurkan Marvell di kamar.“Aku tidak bisa manahannya lagi, Bellia. Kita harus bicara sekarang.”“Baiklah.” Bellia menghela napas panjang, perasaan gugup mulai menguasai dirinya. “Kita bicara di luar.”Bellia berjalan keluar dari kamarnya l
Suasana makan siang kali ini terasa sangat berbeda. Bellia biasanya selalu menanggapi apa yang sedang Marvell dan Daniel bicarakan di meja makan. Akan tetapi, dia kali ini lebih banyak diam dan sibuk dengan makanannya. Dia hanya menanggapi ucapan Marvell, seolah-olah tidak menganggap keberadaan Daniel.“Marvell sudah selesai makan?”“Sudah, Ma.”Bellia beranjak dari tempat duduknya, mengambil piring kotor milik Marvell dan Daniel lalu membawanya ke belakang untuk dicuci. Setelah selesai dia segera mengajak Marvell ke toko karena dia hari ini memiliki pesanan bunga lumayan banyak. Tidak lupa dia menyiapkan segala keperluan Marvell sebelum pergi agar anaknya itu tidak bosan selama menunggunya bekerja.“Aku akan mengantar kalian ke toko.”Bellia tersentak ketika Daniel tiba-tiba mengambil tas yang ada di tangannya menuju mobil lelaki itu.“Tidak perlu, Pak. Kami akan pergi naik motor,” ucap Bellia berusaha setenang mungkin, meski dalam hati dia merasa kesal sekali. Dia sontak berhenti me
Suasana di dalam mobil kembali hening, tapi ketegangan masih sangat terasa. Tangan Daniel mencengkeram kemudi dengan erat hingga buku-buku jarinya gemetar, napasnya pun terdengar tidak beraturan, menunjukkan emosi yang berusaha dia tahan.Kedua mata Daniel memang fokus memperhatikan jalan, tetapi pikirannya melayang pada kejadian di sekolah Marvell tadi. Bayangan Marvell yang menangis tersedu-sedu karena diejek teman-temannya terus melintas di pikirannya.Daniel tidak bisa berhenti menyalahkan diri. Dia merasa gagal dan tidak berguna menjadi seorang ayah. Seharusnya dia ada di sisi Marvell sejak awal. Seharusnya dia melindungi Marvell dari hinaan teman-temannya yang kejam.Seharusnya ....Daniel menarik napas dalam-dalam, berusaha menghalau sesak yang menghimpit dadanya. Andai saja lima tahun lalu dia mau menekan egonya dan mencari Bellia, Marvell tidak akan kehilangan sosok ayah dan mengalami kejadian buruk seperti tadi.Rasanya Daniel ingin sekali kembali ke masa lalu untuk memperba