Share

6. Positif?!

"Kenapa Bapak di sini?"

Jantung Bellia berdetak tidak karuan ketika Daniel berjalan mendekatinya. Rasanya dia ingin sekali kabur dari hadapan Daniel sekarang, tapi tubuhnya masih terasa lemas.

"Kamu baik-baik saja?"

Bellia tanpa sadar meremas selimutnya dengan erat. Setitik keringat dingin pun keluar membasahi pelipisnya. Bellia berusaha keras agar terlihat tenang meskipun dia merasa sangat gugup sekarang.

Bellia tidak pernah menyangka Daniel akan kembali ke rumah sakit secepat ini, padahal Daniel tadi mengatakan kalau dia ingin mengikuti acara gathering kantor.

"Saya baik-baik saja."

"Sungguh?"

"I-iya." Bellia memalingkan wajahnya ke arah lain, tidak tahan melihat mata Daniel yang terus menatapnya dalam-dalam, seolah-olah takut terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya.

Apa lelaki itu mengkhawatirkannya?

Bellia tanpa sadar meremas selimutnya semakin erat untuk menahan perasaan hangat yang menjalari dadanya. Dia tidak boleh merasa senang dengan perhatian kecil yang Daniel berikan, lagi pula Daniel memang perhatian dengan karyawannya.

"Aku pikir kamu habis menangis," ucap Daniel santai sambil meletakkan buah stroberi yang dibawanya di atas meja samping tempat tidur Bellia.

"Ba-Bapak bilang apa?" Bellia sontak menatap Daniel.

Apa terlihat jelas kalau dia habis menangis?

Bellia cepat-cepat merapikan penampilannya dan mengubah raut wajahnya agar terlihat lebih segar. Namun, sepertinya percuma karena Daniel sepertinya sempat mendengarnya menangis saat berbicara dengan Rianty di telepon tadi.

"Sudahlah lupakan. Apa kamu butuh sesuatu?" tanya Daniel dengan nada lembut yang tidak biasa hingga membuat Bellia kembali gugup.

"Em, tidak." Bellia menggeleng pelan. "Kenapa Bapak ke sini? Bukankah acara kantor belum selesai?"

Bellia diam-diam merutuki mulutnya yang asal bicara. Seharusnya dia tidak bertanya agar Daniel cepat pergi dari kamarnya. Jujur saja berada di dekat Daniel membuat Bellia merasa tidak nyaman.

"Kenapa kamu terus bertanya? Apa kamu tidak senang melihatku?"

Bellia refleks mengangguk, sedetik kemudian dia menggeleng cepat setelah menyadari raut wajah Daniel yang berubah tidak senang. "Ti-tidak. Maksud saya bukan begitu, saya cuma—"

"Cuma apa?"

Bellia tanpa sadar menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat. Dia tidak mungkin mengatakan kalau dia merasa tidak nyaman dengan keberadaan Daniel.

"Maaf." Bellia menunduk, tidak berani menatap Daniel.

Daniel menarik sebuah kursi yang ada di dekat ranjang Bellia lalu mendudukkan diri di sana.

"Di mana tantemu? Apa dia belum datang?"

Pertanyaan Daniel barusan sukses membuat Bellia tergagap. Apa yang harus dia katakan? Haruskah dia memberi tahu Daniel kalau tantenya tidak akan pernah datang?

Tidak.

Dia tidak boleh mengatakan yang sebenarnya karena Daniel akan terus berada di sini jika tahu tantenya tidak mau menemaninya di rumah sakit.

"Ta-tante saya sedang berada di jalan, mungkin sebentar lagi datang."

"Jawab pertanyaanku dengan jelas, aku tidak mau mendengar jawaban ragu-ragu seperti itu." Daniel bersandar lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sepasang iris hitam miliknya menatap Bellia dengan lekat.

"Se-setengah jam. I-iya, setengah jam lagi."

"Kalau begitu aku akan menunggu di sini sampai tantemu datang."

"A-apa?!"

Bellia ingin menolak, tapi Daniel paling tidak suka jika ada seseorang yang membantahnya. Akhirnya Bellia hanya bisa parah dan berharap semoga ada keajaiban yang bisa membuat Daniel pergi dari hadapannya.

Waktu tiga puluh menit terasa sangat lama bagi Bellia. Bellia tidak tahu mengapa Daniel memilih menemaninya di rumah sakit padahal lelaki itu terus mendapat telepon dari sekretarisnya untuk membahas pekerjaan.

Apa Daniel memang peduli pada dirinya?

Tidak.

Bellia lagi-lagi memilih menahan perasaannya, tidak ingin menganggap perhatian kecil Daniel seperti hal yang istimewa.

"Baiklah, segera kirim dokumennya padaku kalau kamu sudah selesai memperbaikinya." Daniel memasukkan ponselnya ke dalam saku celana lalu kembali menghampiri Bellia.

"Sekarang sudah jam lima lewat tiga puluh menit. Sepertinya tantemu tidak datang ...." Daniel menahan ucapannya, ingin melihat bagaimana ekspresi Bellia.

"Atau memang tidak ingin datang," ucapnya tenang, berbanding terbalik dengan Bellia yang merasa sangat gugup sekarang. Seperti seekor kancil yang ketahuan mencuri timun.

"Ka-kalau Bapak ingin kembali sekarang tidak apa-apa. Saya bisa di sini sendiri. Terima kasih sudah menemani saya."

"Kamu mengusirku?" Daniel menatap Bellia dengan alis terangkat sebelah.

"Bu-bukan begitu." Bellia menggerak-gerakkan kedua tangannya di depan wajah. "Saya cuma tidak ingin membuat Bapak semakin repot."

Daniel hanya diam, kedua matanya menatap Bellia dengan pandangan yang sulit diartikan membuat perasaan Bellia mendadak tidak tenang.

"Kamu benar-benar tidak mengingatnya?"

Deg.

Tubuh Bellia menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat mendengar pertanyaan Daniel barusan.

Bellia sengaja bersikap biasa, seolah-olah tidak terjadi sesuatu di antara dirinya dan Daniel untuk melindungi perasaannya sendiri. Lagi pula tadi malam adalah kesalahan, dan Bellia takut jika Daniel tahu soal tadi malam, atasannya mungkin akan memecatnya atau bahkan menuntutnya.

Bellia juga tidak ingin jatuh ke dalam pesona Daniel terlalu dalam, terlebih di saat lelaki itu tidak menganggap spesial apa yang mereka lakukan semalam. Lagi pula lelaki tampan, mapan, dan kaya seperti Daniel pasti sudah sering tidur dengan wanita lain, 'kan?

"Maksud, Bapak?" Bellia pura-pura tidak mengerti.

Senyum tipis terangkat di salah satu sudut bibir Daniel melihat reaksi Bellia. "Masih belum mau mengaku rupanya.” Daniel meraih tangan Bellia, lalu meletakkan sebuah jepit rambut di atas telapak tangan gadis itu. “Ini, aku kembalikan padamu." 

Bellia bergeming di tempat. Dia hanya diam melihat Daniel yang berjalan meninggalkan kamarnya dengan air mata yang perlahan jatuh membasahi pipinya.

***

Waktu begitu cepat berlalu, Bellia kembali bekerja di kantor seperti biasa meskipun sebulan terakhir dia harus bermain kucing-kucingan dengan Daniel. Dia selalu menghindar jika tidak sengaja bertemu dengan lelaki itu. Entah di lorong, lobi, atau kantin.

Daniel tahu apa yang dilakukan Bellia dan itu membuat Daniel merasa sangat kesal. Dia bingung mengapa Bellia tiba-tiba berubah dan semakin menjauhinya. Gadis itu selalu memiliki alasan untuk menghindar setiap kali dia ingin mendekat.

"Bell, Pak Daniel minta kamu untuk menyelesaikan laporan ini."

"Lagi?" Bellia terkejut melihat tumpukan berkas yang Lisa taruh di atas meja kerjanya. "Tapi sebentar lagi jam pulang, Lis."

Lisa mengangkat bahu acuh tak acuh. "Aku juga tidak tahu, Pak Daniel tadi cuma bilang kalau kamu harus menyelesaikan laporan ini malam ini juga."

Bellia menghela napas panjang, lagi-lagi Daniel sengaja memberinya banyak pekerjaan. Lelaki itu bahkan tidak segan memarahinya di depan karyawan, padahal dia cuma melakukan kesalahan kecil. Jujur saja Bellia merasa sangat lelah, tapi dia tidak punya pilihan selain mengerjakan laporan tersebut.

Setelah menyelesaikan laporan-laporan itu, Bellia tiba di rumah saat hari sudah gelap, tetapi tiba-tiba saja perut bagian bawahnya terasa kram, seperti ada yang meremasnya dengan kuat.

Bellia berjalan menuju kamarnya sambil berpegangan pada tembok lalu duduk di tepi ranjang. Perutnya memang sering sakit saat akan datang bulan, tapi rasa sakitnya kali ini agak berbeda. Dia bahkan sering mual, apa lagi ketika pagi.

Tubuh Bellia tiba-tiba menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak. Wajahnya pun seketika berubah pucat ketika sadar kalau dia belum datang bulan sampai sekarang.

Apa mungkin ....

Bellia beranjak dari tempat duduknya. Dia langsung pergi ke apotek untuk membeli test pack dan hasilnya ternyata .... positif. 

Dia hamil.

Hidup Bellia seketika hancur, dunia seolah-olah runtuh. Apa yang dia dan Daniel lakukan malam itu telah menghadirkan sebuah kehidupan baru di rahimnya.

Apa yang harus Bellia lakukan? Haruskah dia memberi tahu Daniel kalau dia mengandung anaknya?

Akan tetapi, bagaimana jika Daniel menolak? Apakah dia siap?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status