"Kenapa Bapak di sini?"
Jantung Bellia berdetak tidak karuan ketika Daniel berjalan mendekatinya. Rasanya dia ingin sekali kabur dari hadapan Daniel sekarang, tapi tubuhnya masih terasa lemas. "Kamu baik-baik saja?" Bellia tanpa sadar meremas selimutnya dengan erat. Setitik keringat dingin pun keluar membasahi pelipisnya. Bellia berusaha keras agar terlihat tenang meskipun dia merasa sangat gugup sekarang. Bellia tidak pernah menyangka Daniel akan kembali ke rumah sakit secepat ini, padahal Daniel tadi mengatakan kalau dia ingin mengikuti acara gathering kantor. "Saya baik-baik saja." "Sungguh?" "I-iya." Bellia memalingkan wajahnya ke arah lain, tidak tahan melihat mata Daniel yang terus menatapnya dalam-dalam, seolah-olah takut terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya. Apa lelaki itu mengkhawatirkannya? Bellia tanpa sadar meremas selimutnya semakin erat untuk menahan perasaan hangat yang menjalari dadanya. Dia tidak boleh merasa senang dengan perhatian kecil yang Daniel berikan. "Aku pikir kamu habis menangis," ucap Daniel santai sambil meletakkan buah stroberi yang dibawanya di atas meja samping tempat tidur Bellia. "Ba-Bapak bilang apa?" Bellia sontak menatap Daniel. Apa terlihat jelas kalau dia habis menangis? Bellia cepat-cepat merapikan penampilannya dan mengubah raut wajahnya agar terlihat lebih segar. Namun, sepertinya percuma karena Daniel sepertinya sempat mendengarnya menangis saat berbicara dengan Rianty di telepon tadi. "Sudahlah lupakan. Apa kamu butuh sesuatu?" tanya Daniel dengan nada lembut yang tidak biasa hingga membuat Bellia kembali gugup. "Em, tidak." Bellia menggeleng pelan. "Kenapa Bapak ke sini? Bukankah acara kantor belum selesai?" Bellia diam-diam merutuki mulutnya yang asal bicara. Seharusnya dia tidak bertanya agar Daniel cepat pergi dari kamarnya. Jujur saja berada di dekat Daniel membuat Bellia merasa tidak nyaman. "Kenapa kamu terus bertanya? Apa kamu tidak senang melihatku?" Bellia refleks mengangguk, sedetik kemudian dia menggeleng cepat setelah menyadari raut wajah Daniel yang berubah tidak senang. "Ti-tidak. Maksud saya bukan begitu, saya cuma—" "Cuma apa?" Bellia tanpa sadar menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat. Dia tidak mungkin mengatakan kalau dia merasa tidak nyaman dengan keberadaan Daniel. "Maaf." Bellia menunduk, tidak berani menatap Daniel. Daniel menarik sebuah kursi yang ada di dekat ranjang Bellia lalu mendudukkan diri di sana. "Di mana tantemu? Apa dia belum datang?" Pertanyaan Daniel barusan sukses membuat Bellia tergagap. Apa yang harus dia katakan? Haruskah dia memberi tahu Daniel kalau tantenya tidak akan pernah datang? Tidak. Dia tidak boleh mengatakan yang sebenarnya karena Daniel akan terus berada di sini jika tahu tantenya tidak mau menemaninya di rumah sakit. "Ta-tante saya sedang berada di jalan, mungkin sebentar lagi datang." "Jawab pertanyaanku dengan jelas, aku tidak mau mendengar jawaban ragu-ragu seperti itu." Daniel bersandar lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sepasang iris hitam miliknya menatap Bellia dengan lekat. "Se-setengah jam. I-iya, setengah jam lagi." "Kalau begitu aku akan menunggu di sini sampai tantemu datang." "A-apa?!" Bellia ingin menolak, tapi Daniel paling tidak suka jika ada seseorang yang membantahnya. Akhirnya Bellia hanya bisa parah dan berharap semoga ada keajaiban yang bisa membuat Daniel pergi dari hadapannya. Waktu tiga puluh menit terasa sangat lama bagi Bellia. Bellia tidak tahu mengapa Daniel memilih menemaninya di rumah sakit padahal lelaki itu terus mendapat telepon dari sekretarisnya untuk membahas pekerjaan. Apa Daniel memang peduli pada dirinya? Tidak. Bellia lagi-lagi memilih menahan perasaannya, tidak ingin menganggap perhatian kecil Daniel seperti hal yang istimewa. "Baiklah, segera kirim dokumennya padaku kalau kamu sudah selesai memperbaikinya." Daniel memasukkan ponselnya ke dalam saku celana lalu kembali menghampiri Bellia. "Sekarang sudah jam lima lewat tiga puluh menit. Sepertinya tantemu tidak datang ...." Daniel menahan ucapannya, ingin melihat bagaimana ekspresi Bellia. "Atau memang tidak ingin datang," ucapnya tenang, berbanding terbalik dengan Bellia yang merasa sangat gugup sekarang. Seperti seekor kancil yang ketahuan mencuri timun. "Ka-kalau Bapak ingin kembali sekarang tidak apa-apa. Saya bisa di sini sendiri. Terima kasih sudah menemani saya." "Kamu mengusirku?" Daniel menatap Bellia dengan alis terangkat sebelah. "Bu-bukan begitu." Bellia menggerak-gerakkan kedua tangannya di depan wajah. "Saya cuma tidak ingin membuat Bapak semakin repot." Daniel hanya diam, kedua matanya menatap Bellia dengan pandangan yang sulit diartikan membuat perasaan Bellia mendadak tidak tenang. "Kamu benar-benar tidak mengingatnya?" Deg. Tubuh Bellia menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat mendengar pertanyaan Daniel barusan. Bellia sengaja bersikap biasa, seolah-olah tidak terjadi sesuatu di antara dirinya dan Daniel untuk melindungi perasaannya sendiri. Lagi pula tadi malam adalah kesalahan, dan Bellia takut jika Daniel tahu soal tadi malam, atasannya mungkin akan memecatnya atau bahkan menuntutnya. "Maksud, Bapak?" Bellia pura-pura tidak mengerti. Senyum tipis terangkat di salah satu sudut bibir Daniel melihat reaksi Bellia. "Masih belum mau mengaku rupanya.” Daniel meraih tangan Bellia, lalu meletakkan sebuah jepit rambut di atas telapak tangan gadis itu. “Ini, aku kembalikan padamu." Bellia bergeming di tempat. Dia hanya diam melihat Daniel yang berjalan meninggalkan kamarnya dengan air mata yang perlahan jatuh membasahi pipinya. *** Waktu begitu cepat berlalu, Bellia kembali bekerja di kantor seperti biasa meskipun sebulan terakhir dia harus bermain kucing-kucingan dengan Daniel. Dia selalu menghindar jika tidak sengaja bertemu dengan lelaki itu. Entah di lorong, lobi, atau kantin. Daniel tahu apa yang dilakukan Bellia dan itu membuat Daniel merasa sangat kesal. Dia bingung mengapa Bellia tiba-tiba berubah dan semakin menjauhinya. Gadis itu selalu memiliki alasan untuk menghindar setiap kali dia ingin mendekat. "Bell, Pak Daniel minta kamu untuk menyelesaikan laporan ini." "Lagi?" Bellia terkejut melihat tumpukan berkas yang Lisa taruh di atas meja kerjanya. "Tapi sebentar lagi jam pulang, Lis." Lisa mengangkat bahu acuh tak acuh. "Aku juga tidak tahu, Pak Daniel tadi cuma bilang kalau kamu harus menyelesaikan laporan ini malam ini juga." Bellia menghela napas panjang, lagi-lagi Daniel sengaja memberinya banyak pekerjaan. Lelaki itu bahkan tidak segan memarahinya di depan karyawan, padahal dia cuma melakukan kesalahan kecil. Jujur saja Bellia merasa sangat lelah, tapi dia tidak punya pilihan selain mengerjakan laporan tersebut. Setelah menyelesaikan laporan-laporan itu, Bellia tiba di rumah saat hari sudah gelap, tetapi tiba-tiba saja perut bagian bawahnya terasa kram, seperti ada yang meremasnya dengan kuat. Bellia berjalan menuju kamarnya sambil berpegangan pada tembok lalu duduk di tepi ranjang. Perutnya memang sering sakit saat akan datang bulan, tapi rasa sakitnya kali ini agak berbeda. Dia bahkan sering mual, apa lagi ketika pagi. Tubuh Bellia tiba-tiba menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak. Wajahnya pun seketika berubah pucat ketika sadar kalau dia belum datang bulan sampai sekarang. Apa mungkin .... Bellia beranjak dari tempat duduknya. Dia langsung pergi ke apotek untuk membeli test pack dan hasilnya ternyata .... positif. Dia hamil. Hidup Bellia seketika hancur, dunia seolah-olah runtuh. Apa yang dia dan Daniel lakukan malam itu telah menghadirkan sebuah kehidupan baru di rahimnya. Apa yang harus Bellia lakukan? Haruskah dia memberi tahu Daniel kalau dia mengandung anaknya? Akan tetapi, bagaimana jika Daniel menolak? Apakah dia siap?Isakan kembali lolos dari bibir mungil Bellia yang meringkuk di atas ranjang sendirian. Sejak kemarin yang dia lakukan hanya menangis di dalam kamar.Bellia terlihat ... sangat menyedihkan.Kabar kehamilan ini begitu mengejutkan baginya. Seumur hidup Bellia tidak pernah membayangkan akan mengandung benih lelaki yang bahkan tidak peduli pada dirinya. Hidup Bellia seketika hancur, dunia seolah-olah runtuh. Dia butuh seseorang untuk berbagi keluh kesahnya, tapi tidak ada satu pun yang peduli dengannya.Bellia mengusap perutnya yang terlihat masih datar dengan tangan gemetar. Kesedihan, penyesalan, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu di dalam dirinya. Sebelum meninggal kedua orang tuanya berpesan agar menjaga diri dan tidak gegabah saat mengambil keputusan.Akan tetapi, kejadian malam itu telah menghancurkan segalanya. Tanpa sengaja dia sudah tidur dengan presdir yang selama ini dia hormati dan diam-diam dia kagumi, hingga hamil."Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" ucap Bellia terdengar
Bellia meremas pinggiran roknya dengan erat. Air mata terlihat menggenang di pelupuk matanya. Rasanya Bellia ingin sekali pergi dari ruangan Daniel tapi kedua kakinya seolah-olah tertancap, tidak mau bergerak.Bellia tidak tahu mengapa hatinya bisa sesakit ini melihat Daniel sedang mencium wanita lain, padahal mereka tidak mempunyai hubungan apa-apa. Mereka hanya orang asing yang tidak sengaja menghabiskan malam bersama.Apa dia cemburu?Bellia tanpa sadar meremas pinggiran roknya semakin erat hingga buku-buku jarinya gemetar untuk menghalau sesak yang menghimpit di dalam dadanya. Dia tidak berhak cemburu dengan Daniel.Ya, tidak mungkin. Akan tetapi, mengapa air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipinya?Ah!"Hei." Bellia tersentak ketika punggungnya ditepuk oleh seseorang dengan pelan. Kedua matanya sontak membulat melihat lelaki yang ada di hadapan."Kamu Bellia, 'kan?" Khaisar yang baru saja kembali dari toilet berusaha mengingat-ingat gadis yang berdiri di hadapannya. "Sedang
"Apa?! Mengundurkan diri?" Mata Anita sontak membulat.Bellia mengangguk tanpa berani menatap Anita."Kenapa mendadak sekali, Bellia? Apa kamu sedang ada masalah?"Bellia menggeleng pelan, dia tidak mungkin memberi tahu Anita alasan yang membuatnya keluar.Anita mengambil surat itu, membacanya dengan cepat lalu menatap Bellia dengan wajah penuh kebingungan. "Ini terlalu mendadak dan perusahaan masih membutuhkan kamu, Bellia. Lagi pula perusahaan kita menerapkan kebijakan one-month notice. Kamu bisa kena denda kalau berhenti tanpa pemberitahuan sebulan sebelumnya. Apa kamu tidak bisa menunggu sebentar lagi?"Bellia tanpa sadar menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat. Dia sudah memikirkan hal ini dan siap dengan segala risikonya. "Saya mengerti, Bu. Tapi maaf, saya benar-benar tidak bisa menunggu satu bulan lagi. Saya harus berhenti."Anita menatap Bellia dengan lekat. "Denda yang harus kamu bayar tidak sedikit, Bellia. Kalau kamu sanggup membayar pun namamu akan di-blacklist dari per
"Apa laporan penjualan bulan ini sudah selesai, Khai? Aku butuh datanya untuk pertemuan besok."Khai memeriksa berkas yang ada di tangannya lalu menjawab, "Sudah, Niel. Penjualan bulan ini meningkat tujuh persen dibanding bulan lalu. Tapi masih ada beberapa area yang mengalami penurunan, terutama di sektor retail.""Sektor retail?" Kening Daniel berkerut dalam, sebagai pengusaha muda yang namanya sudah terkenal di tanah air dia tidak suka jika pendapatan perusahaannya menurun. Sekecil apa pun itu."Kenapa bisa turun?""Karena daya beli masyarakat di pasar lokal turun, selain itu beberapa kompetitor mulai menawarkan diskon besar-besaran. Jadi, kita sedikit tertinggal dalam hal harga."Daniel begitu serius mendengarkan penjelasan Khaisar. "Kita tidak boleh terus-terusan kalah. Siapkan strategi baru dan evaluasi produk mana yang bisa kita promosikan lebih kuat tanpa menurunkan margin terlalu banyak."Khaisar diam-diam tersenyum setelah mendengar penjelasan Daniel. Dia akui kemampuan Dani
Bukan hal sulit bagi Khaisar untuk mencari tahu informasi tentang Bellia. Sebagai sekretaris sekaligus orang kepercayaan Daniel Moiz membuat Khaisar mempunyai keuntungan lebih untuk memanfaatkan jabatannya di perusahaan."Beri aku data anggota divisi marketing atas nama Bellia," pintanya pada HRD.Tanpa banyak tanya HRD segera memberi data yang Khaisar minta. "Ini, Pak.""Terima kasih." Khaisar langsung kembali ke ruangannya setelah mendapat data yang dia inginkan. Dia membaca data Bellia dengan cepat dan mencatat beberapa informasi penting sebelum diserahkan ke Daniel.Saat dia sedang serius membaca, telepon yang ada di atas meja kerjanya tiba-tiba berdering."Ya, Niel?""Apa kamu sudah mendapat informasi yang aku minta?""Iya." Khaisar mengangguk. "Tapi ada—""Berikan padaku!" perintah Daniel tegas lalu memutus sambungan teleponnya.Tanpa menunggu waktu lama Khaisar segera pergi ke ruangan Daniel."Bagaimana?" tanya Daniel. Suaranya terdengar datar, tapi mengandung rasa penasaran ya
"Laporan macam apa ini? Kenapa pendapatan bulan ini hanya meningkat dua persen dari bulan lalu? Kamu tahu sendiri 'kan kalau kita sudah menghabiskan banyak biaya untuk produk ini?" Daniel membanting map di tangannya dengan cukup keras hingga membuat lawan bicaranya berjingkat.Daniel tidak mengerti mengapa hal yang sudah dia susun secara apik tidak ada yang berjalan sesuai dengan rencana sejak Bellia mengundurkan diri dari perusahaannya."Sa-saya sudah berusaha menaikkan penjualan sesuai saran dari Pak Daniel. Maaf kalau hasilnya tidak sesuai dengan keinginan Bapak," ucap karyawan tersebut takut-takut.Daniel menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan agar emosinya tidak meledak. Daniel biasanya selalu bisa mengendalikan apa pun yang ada di sekitarnya, akan tetapi entah mengapa akhir-akhir ini dia sering kehilangan fokus, gampang marah, dan tidak bisa berpikir jernih.Pekerjaan yang biasanya dia selesaikan dengan mudah kini berantakan hingga membuat Khaisar terpaksa harus me
Salah satu sudut bibir Vania terangkat samar mendengar ucapan Daniel. Vania tahu, di antara mereka memang tidak pernah ada cinta. Namun, setiap Vania menemui Daniel, lelaki itu akan menjamah dan menghujamnya.Kini, lelaki itu terang-terangan mengingatkan dirinya tentang hubungan mereka.Ada sesuatu yang berubah dari Daniel."Ya, aku masih ingat, jadi jangan repot-repot mengingatkan. Tapi apa aku salah kalau aku merindukan tunanganku sendiri?" balas Vania, kedua bahunya terangkat sambil tangannya bersidekap di depan dada.Tawa remeh keluar dari mulut Daniel, lalu dia kembali menyeringai. "Apa aku perlu menjawab pertanyaanmu, Vania?"Daniel menghela napas panjang lalu menyandarkan punggungnya di kursi. Sepasang iris hitam miliknya menatap Vania dengan tajam."Tidak," jawab Daniel tenang membuat wajah Vania mengeras. Daniel kembali memusatkan perhatiannya pada berkas-berkas yang ada di meja. Tanpa menoleh pada Vania, lelaki itu berujar dingin, "Pergi dari ruanganku sekarang.""Apa?!" Va
Sudah lima menit berlalu, tapi Daniel masih bertahan di dalam mobil. Menimang-nimang haruskah dia pergi ke rumah yang sudah bertahun-tahun dia tinggalkan. Tempat di mana ingatan-ingatan buruk mengendap, tersembunyi di balik dindingnya yang mewah.Daniel selalu merasa sesak setiap kali pulang ke rumah. Terlalu banyak kenangan buruk yang dia alami di sana dan dia tidak ingin mengingatnya.Daniel menghela napas panjang lalu membawa mobilnya melewati gerbang yang otomatis terbuka. Dia menatap bangunan megah itu dengan penuh perasaan sebelum masuk ke sana.Tidak ada orang yang menyambut kedatangannya. Dari ruang tamu dia bisa mendengar tawa sang ayah yang menggema di ruang tengah. "Sayang, tolong ambilkan aku minum.""Iya, Mas." Wanita yang dipanggil sayang oleh ayah kandung Daniel itu pun beranjak dari tempat duduknya. Kedua matanya sontak membulat ketika melihat Daniel yang berdiri di pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah."Daniel!"Samudra sontak mengalihkan pandang dari layar te
Matahari masih belum terbit, tapi Bellia sudah sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Jemari lentiknya begitu terampil menyiapkan bahan dan meracik bumbu masakan.Pagi ini Bellia ingin membuat sambal goreng tahu, tempe, dan kentang serta ayam goreng. Sejak kecil Bellia sudah terbiasa memperhatikan sang nenek yang sedang memasak, karena itu dia tidak merasa kesulitan saat memasak. Marvell pun selalu memuji jika masakan Bellia paling enak sedunia dan Bellia merasa sangat tersentuh ketika mendengarnya.Tepat pukul enam semua masakan Bellia sudah siap dihidangkan. Dia mengambil sebuah kotak makan yang berada di rak setelah itu mengisinya dengan nasi, sambel goreng tempe, dan ayam goreng. Tidak lupa dia menambahkan beberapa potong buah di dalamnya.Bellia tanpa sadar tersenyum ketika melihat bekal yang sudah dia siapkan untuk Daniel hari ini. Terhitung sudah tiga hari berturut-turut dia menyiapkan bekal untuk lelaki itu, padahal Daniel sudah melarangnya mengirim bekal karena tidak ingin merepo
Daniel, Bellia, dan Marvell tidak langsung pulang setelah makan siang. Mereka mampir ke sebuah toko buku dan mainan yang ada di pusat perbelanjaan untuk memenuhi permintaan Marvell.Marvell langsung berlari menuju rak buku khusus untuk anak-anak begitu memasuki toko. Kedua matanya yang mirip Daniel memancarkan binar penuh antusias. Tangannya yang mungil berusaha meraih buku yang berada di rak lumayan tinggi, membuat Bellia tersenyum ketika melihatnya."Marvell boleh pilih dua, Ma?" tanya Marvell terdengar polos.Bellia mengangguk sambil mengusap puncak kepala Marvell dengan gemas. "Boleh, Sayang.""Kalau tiga?" Marvell menatap Bellia dengan penuh harap, mencoba menguji batas kesabaran ibunya.Bellia tertawa kecil. "Jangan banyak-banyak ya, nanti bukunya tidak kebaca semua 'kan sayang."Marvell mengangguk patuh lalu memilih buku dengan penuh pertimbangan. Sedangkan Bellia malah menatap Daniel yang sedang duduk di kursi tunggu sambil memainkan ponselnya.Bellia sadar kalau Daniel lebih
Mata Bellia refleks mencari sosok yang dipanggil oleh Marvell. Ternyata Mahes berdiri di tempat yang berada tidak jauh dari mereka.Lelaki itu memakai kemeja putih dengan lengan yang tergulung rapi hingga sebatas siku. Rambutnya yang hitam tampak sedikit berantakan. Rahang yang biasanya halus kini ditumbuhi jambang tipis. Penampilan Mahes memang sederhana, tapi tetap terlihat tampan.Jujur saja Bellia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan Mahes di tempat ini. Lelaki itu tidak pernah menghubunginya sejak mengungkapkan perasaan pada dirinya. Dia pun tidak pernah berusaha untuk menghubungi Mahes lebih dulu.Perasaan bersalah kembali menyelip di dalam diri Bellia, membuat dadanya terasa sedikit sesak untuk bernapas. Bellia sadar Mahes pasti kecewa sekaligus sakit hati pada dirinya karena dia tidak bisa membalas perasaan lelaki itu. Namun, Bellia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri kalau bukan Mahes lelaki yang dia inginkan untuk mendampingi hidupnya. Bukan Mahes lelaki yang na
Marcedes Benz AMG G65 itu melaju sedikit kencang membelah jalanan yang ramai lancar. Daniel terlihat fokus mengendarai mobilnya sambil sesekali menimpali cerita Marvell yang duduk di kursi khusus untuk anak-anak di belakang.Bellia tanpa sadar tersenyum melihat interaksi di antara Marvell dan Daniel. Meski terlambat, Daniel berusaha keras menjadi sosok ayah yang baik untuk Marvell. Lelaki itu bahkan membeli kursi khusus untuk anak-anak tanpa sepengetahuan dirinya demi keselamatan Marvell.Perhatian sekali, 'kan?"Papa, Papa ....""Iya, Sayang?" Daniel melirik Marvell melalui kaca sepion yang ada di depan sekilas."Marvell tadi dapat bintang lima waktu pelajaran menggambar.""Benarkah?" Kedua mata Daniel terlihat berbinar. Dia merasa begitu bangga dengan putranya."Iya." Marvell mengangguk penuh semangat."Wah, selamat. Anak papa hebat sekali.""Terima kasih banyak, Pa. Apa Marvell akan mendapat hadiah?""Hadiah?" tanya Daniel tidak mengerti."Iya, Marvell ingin lego dan buku cerita ba
Bangunan mewah berlantai empat itu lebih pantas disebut mansion dari pada rumah. Sebuah air mancur dengan patung Dewi Yunani di bagian tengah semakin menambah kemewahan mansion tersebut. Lantainya terbuat dari marmer yang terlihat berkilau jika terkena cahaya lampu. Dindingnya dilapisi cat berwarna beige yang memberi kesan mewah sekaligus elegan.Beberapa pelayan terlihat sibuk dengan tugas mereka. Ada yang menyiapkan sarapan, membersihkan halaman, memotong rumput, dan membersihkan kolam renang.Seorang anak laki-laki berjalan dengan lesu menuruni tangga lalu duduk di meja makan. Di hadapannya sudah terasaji beraneka masakan, tapi tidak ada satu pun yang menggugah seleranya."Selamat pagi, Tuan Daniel. Anda mau susu?" Seorang pelayan mendekat, menawarkan segelas susu yang dijawab gelengan pelan oleh Daniel."Papa sama Mama di mana, Bik?"Pelayan tersebut melirik temannya sesama pelayan yang berdiri tidak jauh darinya, berkomunikasi lewat mata sebentar sebelum menjawab pertanyaan Danie
"Mas Daniel?!" Bellia bergeming di tempat, sepasang iris hezel miliknya terpaku pada lelaki yang seharian ini mengisi seluruh pikirannya.Waktu seolah-olah berhenti bergerak, dunia seolah-olah berhenti berputar. Suara di sekitarnya pun mendadak lenyap. Selama tiga puluh detik yang Bellia lakukan hanya diam memandangi Daniel yang sedang memeluk Marvell dengan erat.Beberapa menit yang lalu dia merasa sangat cemas lantaran Daniel tidak memberi kabar. Namun, lelaki itu tiba-tiba saja muncul di hadapannya seolah-olah tidak terjadi apa pun di antara mereka.Perasaan marah, sedih, sekaligus lega bercampur menjadi satu di dalam diri Bellia. Rasanya Bellia ingin sekali memarahi Daniel yang tidak memberinya kabar hingga membuat perasaannya tidak bisa bernapas dengan tenang. Namun, dia berusaha keras menahannya karena mereka tidak mempunyai hubungan apa-apa meskipun sedang dekat.Dua hari tidak bertemu membuat Daniel sangat rindu dengan Marvell dan Bellia. Padahal mereka sudah melakukan video c
Ucapan Dita terus terngiang-ngiang di telinga Bellia. Apa yang dikatakan Dita tadi memang benar, hubungan yang baik pasti diimbangi dengan komunikasi yang baik pula. Selama ini dia memang jarang mengirim pesan pada Daniel lebih dulu, bahkan mungkin tidak pernah. Selama ini Daniel yang selalu memulai komunikasi di antara mereka.Bellia sebenarnya ingin mengirim pesan pada Daniel tanpa perlu menunggu inisiatif dari lelaki itu. Namun, entah mengapa Bellia selalu merasa takut dan cemas, bahkan sebelum memulainya. Perasaan insecure itu terkadang sering muncul, hingga membuatnya merasa tidak pantas dekat dengan Daniel. Lelaki itu ... terlihat begitu sempurna di matanya, sedangkan dirinya hanya orang biasa.Bellia sering berpikir kalau Daniel ingin dekat dengannya karena ada Marvell di antara mereka. Andai saja Marvell tidak ada, apa Daniel masih ingin dekat dengannya?Bellia menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi sesak yang tiba-tiba menyelip di dalam dadanya. Hilangnya Daniel membuat
Bellia sudah terbiasa hidup sendiri, bahkan sebelum bertemu dengan Daniel. Seharusnya, Bellia tidak perlu khawatir ketika Daniel pergi ke luar kota selama tiga hari. Seharusnya, Bellia bisa menjalani aktivitasnya seperti biasa, sama seperti ketika dia belum bertemu dengan lelaki itu.Namun, entah mengapa Bellia merasa ada sesuatu yang hilang hidupnya. Seperti bulan yang sendirian di langit malam tanpa bintang. Bellia yang biasanya mandiri, kini merasa sedikit kesulitan, mungkin karena dia sudah terbiasa dengan kehadiran Daniel.Bellia akui, beberapa hari ini hubungan mereka menjadi semakin dekat dan hangat. Dia bahkan tidak lagi memakai 'saya' ketika bicara dengan lelaki itu. Selama dua hari ini pun Daniel tidak pernah lupa memberi kabar. Dimulai dengan mengirim ucapan selamat pagi, mengingatkan dirinya dan Marvell agar tidak lupa makan, dan ditutup dengan ucapan selamat malam. Daniel bahkan tidak lupa menyelipkan doa agar dirinya dan Marvell mimpi indah.Manis sekali bukan?Sampai se
Bellia lupa kapan terakhir kali dia bisa bernapas dengan lega seperti ini. Selama lima tahun terakhir kehidupan yang dia jalani terasa begitu berat, hingga membuatnya kesulitan untuk sekadar menarik napas.Kejadian malam itu masih membekas di ingatan Bellia sampai sekarang. Dia tidak akan pernah lupa ketika Daniel merenggut mahkota paling berharga di hidupnya dengan tidak sengaja.Saat dia ingin memberi tahu Daniel tentang kehamilannya dan kejadian yang sebenarnya, dia malah melihat Daniel berciuman dengan wanita lain di ruangannya.Akhirnya Bellia memutuskan untuk pergi dari kehidupan Daniel dan mencoba menjalani hidup tanpa bayang-bayang lelaki itu. Awalnya tentu saja tidak mudah, apa lagi kondisi Nenek Amira semakin hari semakin memburuk.Namun, Bellia tidak menyerah begitu saja karena dia memiliki tekad yang begitu kuat demi kesembuhan Nenek Amira serta bayi yang berada di dalam kandungannya.Kehidupan Bellia pun berangsur-angsur membaik setelah Marvell lahir. Kehadiran anak itu m