Isakan kembali lolos dari bibir mungil Bellia yang meringkuk di atas ranjang sendirian. Sejak kemarin yang dia lakukan hanya menangis di dalam kamar.
Bellia terlihat ... sangat menyedihkan. Kabar kehamilan ini begitu mengejutkan baginya. Seumur hidup Bellia tidak pernah membayangkan akan mengandung benih lelaki yang bahkan tidak peduli pada dirinya. Hidup Bellia seketika hancur, dunia seolah-olah runtuh. Dia butuh seseorang untuk berbagi keluh kesahnya, tapi tidak ada satu pun yang peduli dengannya. Bellia mengusap perutnya yang terlihat masih datar dengan tangan gemetar. Kesedihan, penyesalan, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu di dalam dirinya. Sebelum meninggal kedua orang tuanya berpesan agar menjaga diri dan tidak gegabah saat mengambil keputusan. Akan tetapi, kejadian malam itu telah menghancurkan segalanya. Tanpa sengaja dia sudah tidur dengan presdir yang selama ini dia hormati dan diam-diam dia kagumi, hingga hamil. "Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" ucap Bellia terdengar putus asa. Rasanya Bellia ingin sekali kembali ke masa sebelum kekacauan ini terjadi. Namun, dia tidak mungkin bisa melakukannya. Getaran dari ponsel yang tergeletak di atas meja menyentak lamunan Bellia. Helaan napas panjang sontak lolos dari bibirnya ketika melihat notifikasi pesan dari Rianty yang muncul di layar. Seperti biasa tantenya selalu minta uang tanpa mau peduli dengan keadaannya. Bellia meletakkan kembali ponselnya di atas meja setelah mengirim pesan balasan untuk Rianty. Tantenya pasti marah karena dia mengatakan tidak bisa mengirim uang, padahal dia ingin memberinya secara langsung sekaligus menengok neneknya. Keesokan harinya Bellia pergi ke rumah Rianty yang berada di pinggir kota. Dia berangkat pukul 7 pagi dan tiba di sana ketika hari sudah menjelang siang. Dia langsung menghampiri neneknya yang terbaring lemah di atas ranjang. "Nek ...." Kesedihan terpancar jelas dari kedua sorot mata Bellia ketika menatap neneknya. Neneknya dulu sangat kuat dah penuh semangat, tapi wanita tua itu sekarang tidak banyak bicara, tatapan matanya terkadang kosong seolah-olah dunia di sekitarnya tidak lagi nyata. "Bellia minta maaf ...." Air mata terlihat menggenang di kedua pelupuk mata Bellia. Mati-matian dia berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh di depan neneknya. "Maaf karena Bellia tidak bisa menjaga diri." Sang nenek hanya diam, tatapannya lurus ke depan. Penyakit dimensia yang diderita nenek dua tahun lalu membuat wanita itu sering kali tidak mengenali orang-orang yang ada di dekatnya, termasuk Bellia. Nenek seolah-olah terjebak di dunianya sendiri hingga tidak bisa memahami curahan hatinya. "Bellia hamil, Nek ...." Air mata itu akhirnya jatuh membasahi pipi Bellia. Kedua tangannya tanpa sadar mencengkeram pinggiran ranjang neneknya dengan erat. "Bellia takut, Nek. Bellia tidak tahu harus melakukan apa karena Pak Daniel juga belum tahu tentang kehamilan Bellia. Bagaimana kalau Pak Daniel menolak anak ini, Nek? Bellia takut ...." Tangis Bellia seketika pecah, isakannya terdengar keras. Bellia terlihat begitu rapuh dan butuh dekapan hangat neneknya untuk menguatkan dirinya. Namun, neneknya hanya diam, menatap pun tidak. Bunyi pintu yang dibuka cukup keras menyantak Bellia. Rianty tiba-tiba datang menghampirinya dengan wajah masam. "Apa yang kamu lakukan di sini? Nangis lagi?" Bellia cepat-cepat menyeka air matanya, berusaha menenangkan diri meskipun hatinya masih kacau. "Bellia kangen sama Nenek, Tante ...." Rianty mendengus sinis. "Kamu pikir masalahmu bisa selesai dengan menangis di sini? Tidak, Bellia. Kamu lihat sendiri nenekmu yang tidak berguna itu sudah diambang hidup dan mati. Dia tidak akan peduli dengan apa pun yang terjadi padamu." Bellia mengepalkan kedua tangannya erat-erat, berusaha meredam amarahnya agar tidak meledak melihat Rianty yang tertawa senang setelah menghinanya. Bellia sadar kondisi neneknya setiap hari semakin memburuk. Akan tetapi, Rianty seharusnya tidak mengatakan hal sekasar itu pada dirinya. Apa lagi di depan neneknya. "Mana uangku!" "Uang, Tante?" Bellia menatap Rianty dengan kening berkerut dalam. "Jangan berlagak bodoh, Bellia. Aku kemarin sudah memintamu untuk mengirim uang. Jadi, mana uangku! Aku harus membeli popok dan kebutuhan lain untuk wanita tua ini." Bellia cepat-cepat menghapus air mata yang jatuh membasahi pipinya lalu tersenyum pada Rianty. Senyum yang tidak sampai ke matanya dan penuh dengan luka. "Tante minta uang untuk kebutuhan Nenek atau modal anak Tante berjudi?" "Kamu ...?!" Rianty menunjuk Bellia. Bellia tersenyum miris, kesabarannya sudah habis. "Apa Tante pikir Bellia tidak tahu kalau uang yang selama ini Bellia kirim sebagian besar Tante berikan ke Anton untuk modal judi? Bellia tahu, Tante. Tapi Bellia memilih diam karena cuma Tante harapan Bellia satu-satunya untuk menjaga Nenek!" Rianty terkejuk mendengarnya, tapi dia tidak boleh terlihat lemah di depan Bellia. "Kamu berani melawanku sekarang?" Bellia menghela napas panjang lalu kembali menatap neneknya. "Bellia pulang dulu ya, Nek. Maaf karena belum bisa menjadi cucu yang baik. Bellia sayang Nenek." Bellia mengecup kening neneknya dengan penuh sayang sebelum pergi. Namun, Rianty malah mencengkeram pergelangan tangannya. "Berikan dulu uangku!" desis Rianty menatap Bellia tajam. Bellia dengan berani melepas tangannya dari cengkeraman Rianty lalu membalas tatapan wanita itu tidak kalah tajam. "Tidak ada uang lagi untuk bulan ini. Bellia pergi dulu, Tante. Permisi ...," ucapnya sebelum pergi. "Argh, sialan! Aku pasti akan membuatmu menyesal karena berani melawanku, Bellia!" Bellia terus melangkah, tidak peduli dengan Rianty yang berteriak seperti orang tidak waras di belakang sana. *** Bellia pikir perasaannya akan sedikit membaik setelah menceritakan masalahnya pada sang nenek. Akan tetapi, perasannya ternyata tetap tidak tenang. Bayi yang berada di dalam perutnya seolah-olah memaksa dirinya agar mengatakan yang sebenarnya pada sang ayah. Haruskah dia menemui Daniel? Sepanjang hari Bellia hanya menatap kosong layar monitornya. Pikiran dan hatinya sangat tidak tenang. Berulang kali Bellia berpikir apakah lebih baik jika dia memberitau Daniel? Namun, jika dia memberitahu Daniel, pria itu akan melakukan apa? “Bellia, kamu dipanggil Pak Daniel,” ucap Anita, atasan Bellia di divisi pemasaran. Bellia tersentak langsung berdiri menatap Anita. “Kenapa … kenapa saya dipanggil Pak Daniel, Bu?” Tanpa menatap Bellia dan fokus pada layar monitor, Anita berkata santai, “Saya juga nggak tahu. Tapi daripada kamu dimarahi Pak Daniel, jadi lebih baik kamu ke ruangannya sekarang.” Pandangan Bellia kosong selama berjalan menuju ruangan Daniel. Mengapa lelaki itu memintanya datang ke ruangannya? Jantung Bellia berdegup kencang ketika dirinya sudah berada di dekat ruangan Daniel. Bellia juga tidak memastikan untuk apa Daniel memanggilnya pada sekretarisnya karena Khaisar tidak ada di tempatnya. Bellia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Bellia mengetuk pintu ruangan Daniel beberapa kali karena tidak ada sahutan dari dalam, hingga Bellia memberanikan diri untuk membuka pintu itu perlahan. Namun, tenggorokannya tercekat dan tubuhnya berhenti di ambang pintu ketika melihat Daniel bersama seorang wanita. Daniel bahkan melingkarkan kedua tangannya di pinggang wanita itu lalu mencium wanita itu dengan mesra.Bellia meremas pinggiran roknya dengan erat. Air mata terlihat menggenang di pelupuk matanya. Rasanya Bellia ingin sekali pergi dari ruangan Daniel tapi kedua kakinya seolah-olah tertancap, tidak mau bergerak.Bellia tidak tahu mengapa hatinya bisa sesakit ini melihat Daniel sedang mencium wanita lain, padahal mereka tidak mempunyai hubungan apa-apa. Mereka hanya orang asing yang tidak sengaja menghabiskan malam bersama.Apa dia cemburu?Bellia tanpa sadar meremas pinggiran roknya semakin erat hingga buku-buku jarinya gemetar untuk menghalau sesak yang menghimpit di dalam dadanya. Dia tidak berhak cemburu dengan Daniel.Ya, tidak mungkin. Akan tetapi, mengapa air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipinya?Ah!"Hei." Bellia tersentak ketika punggungnya ditepuk oleh seseorang dengan pelan. Kedua matanya sontak membulat melihat lelaki yang ada di hadapan."Kamu Bellia, 'kan?" Khaisar yang baru saja kembali dari toilet berusaha mengingat-ingat gadis yang berdiri di hadapannya. "Sedang
"Apa?! Mengundurkan diri?" Mata Anita sontak membulat.Bellia mengangguk tanpa berani menatap Anita."Kenapa mendadak sekali, Bellia? Apa kamu sedang ada masalah?"Bellia menggeleng pelan, dia tidak mungkin memberi tahu Anita alasan yang membuatnya keluar.Anita mengambil surat itu, membacanya dengan cepat lalu menatap Bellia dengan wajah penuh kebingungan. "Ini terlalu mendadak dan perusahaan masih membutuhkan kamu, Bellia. Lagi pula perusahaan kita menerapkan kebijakan one-month notice. Kamu bisa kena denda kalau berhenti tanpa pemberitahuan sebulan sebelumnya. Apa kamu tidak bisa menunggu sebentar lagi?"Bellia tanpa sadar menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat. Dia sudah memikirkan hal ini dan siap dengan segala risikonya. "Saya mengerti, Bu. Tapi maaf, saya benar-benar tidak bisa menunggu satu bulan lagi. Saya harus berhenti."Anita menatap Bellia dengan lekat. "Denda yang harus kamu bayar tidak sedikit, Bellia. Kalau kamu sanggup membayar pun namamu akan di-blacklist dari per
"Apa laporan penjualan bulan ini sudah selesai, Khai? Aku butuh datanya untuk pertemuan besok."Khai memeriksa berkas yang ada di tangannya lalu menjawab, "Sudah, Niel. Penjualan bulan ini meningkat tujuh persen dibanding bulan lalu. Tapi masih ada beberapa area yang mengalami penurunan, terutama di sektor retail.""Sektor retail?" Kening Daniel berkerut dalam, sebagai pengusaha muda yang namanya sudah terkenal di tanah air dia tidak suka jika pendapatan perusahaannya menurun. Sekecil apa pun itu."Kenapa bisa turun?""Karena daya beli masyarakat di pasar lokal turun, selain itu beberapa kompetitor mulai menawarkan diskon besar-besaran. Jadi, kita sedikit tertinggal dalam hal harga."Daniel begitu serius mendengarkan penjelasan Khaisar. "Kita tidak boleh terus-terusan kalah. Siapkan strategi baru dan evaluasi produk mana yang bisa kita promosikan lebih kuat tanpa menurunkan margin terlalu banyak."Khaisar diam-diam tersenyum setelah mendengar penjelasan Daniel. Dia akui kemampuan Dani
Bukan hal sulit bagi Khaisar untuk mencari tahu informasi tentang Bellia. Sebagai sekretaris sekaligus orang kepercayaan Daniel Moiz membuat Khaisar mempunyai keuntungan lebih untuk memanfaatkan jabatannya di perusahaan."Beri aku data anggota divisi marketing atas nama Bellia," pintanya pada HRD.Tanpa banyak tanya HRD segera memberi data yang Khaisar minta. "Ini, Pak.""Terima kasih." Khaisar langsung kembali ke ruangannya setelah mendapat data yang dia inginkan. Dia membaca data Bellia dengan cepat dan mencatat beberapa informasi penting sebelum diserahkan ke Daniel.Saat dia sedang serius membaca, telepon yang ada di atas meja kerjanya tiba-tiba berdering."Ya, Niel?""Apa kamu sudah mendapat informasi yang aku minta?""Iya." Khaisar mengangguk. "Tapi ada—""Berikan padaku!" perintah Daniel tegas lalu memutus sambungan teleponnya.Tanpa menunggu waktu lama Khaisar segera pergi ke ruangan Daniel."Bagaimana?" tanya Daniel. Suaranya terdengar datar, tapi mengandung rasa penasaran ya
"Laporan macam apa ini? Kenapa pendapatan bulan ini hanya meningkat dua persen dari bulan lalu? Kamu tahu sendiri 'kan kalau kita sudah menghabiskan banyak biaya untuk produk ini?" Daniel membanting map di tangannya dengan cukup keras hingga membuat lawan bicaranya berjingkat.Daniel tidak mengerti mengapa hal yang sudah dia susun secara apik tidak ada yang berjalan sesuai dengan rencana sejak Bellia mengundurkan diri dari perusahaannya."Sa-saya sudah berusaha menaikkan penjualan sesuai saran dari Pak Daniel. Maaf kalau hasilnya tidak sesuai dengan keinginan Bapak," ucap karyawan tersebut takut-takut.Daniel menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan agar emosinya tidak meledak. Daniel biasanya selalu bisa mengendalikan apa pun yang ada di sekitarnya, akan tetapi entah mengapa akhir-akhir ini dia sering kehilangan fokus, gampang marah, dan tidak bisa berpikir jernih.Pekerjaan yang biasanya dia selesaikan dengan mudah kini berantakan hingga membuat Khaisar terpaksa harus me
"Engh ...." Kaki gadis bermata hezel itu bergerak gelisah, napasnya pun terdengar memburu. Sentuhan lembut lelaki yang sedang menindih tubuhnya membuat tubuh Bellia semakin terasa panas."Ah!" Bellia kembali mendesah ketika lelaki itu mencium bibirnya. Dia memejamkan kedua matanya perlahan lalu entah dorongan dari mana, Bellia membalas ciuman lelaki itu tidak kalah panas.Rasanya sungguh gila dan mendebarkan.Kening Bellia berkerut samar, dalam hati dia bertanya-tanya ada apa dengan dirinya? Mengapa setiap sentuhan pria itu rasanya begitu nikmat?Pengalaman ini adalah pertama kali untuknya, jadi Bellia tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada dirinya.Namun, lelaki itu tiba-tiba berhenti menciumnya lalu menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.Apa dia melakukan kesalahan?"Ke-kena ... ugh ...." Bellia tidak menyelesaikan kalimatnya karena bibirnya kembali dibungkam. Bellia tidak bisa memikirkan apa pun sekarang, pikirannya kosong.Setiap detik terasa begitu gila dan mendeb
Acara gathering yang diikuti sebagian besar karyawan D'Moiz Company akan berakhir besok. Hari ini panitia berniat mengajak seluruh peserta melihat air terjun setelah itu pergi ke kebun stroberi.Pukul delapan pagi seluruh peserta diharapkan sudah berkumpul di lapangan. Beberapa karyawan terlihat antusias mengikuti acara, tapi ada juga yang malas dan ingin lebih memilih merebahkan diri di hotel.Suasana yang ramai mendadak hening ketika seorang lelaki berambut hitam dengan tubuhnya yang tegap dan atletis berjalan memasuki lapangan diikuti sang sekretaris di belakang. Aura lelaki tersebut terasa sangat dominan membuat semua peserta gathering sontak menundukkan kepala."Selamat pagi, Pak Daniel."Daniel mengangguk sekilas untuk menanggapi sapaan general manager setelah itu menatap orang yang berdiri di hadapannya satu-persatu."Apa semuanya sudah berkumpul?"Semua peserta sontak melihat sisi kanan dan kiri masing-masing untuk memastikan anggota mereka sudah berkumpul di lapangan.Karena
"Bellia, hei?" Daniel menepuk-nepuk pipi Bellia dengan pelan untuk menyadarkan gadis itu. Namun, Bellia tetap setia memejamkan kedua matanya. Suhu tubuhnya juga sangat panas.Daniel menaruh kedua tangannya di antara lutut dan bahu Bellia. Dengan mudah dia mengangkat tubuh Bellia ke dalam gendongannya.Saat akan melangkah suara seorang wanita tiba-tiba menghentikan pergerakannya."Astaga! Bellia kenapa, Pak?"Lisa baru tiba di depan kamar Bellia, karena curiga dengan atasannya yang tiba-tiba menanyakan Bellia tadi. Namun, justru ia dikejutkan dengan pemandangan yang membuatnya kesal."Sepertinya Bellia pingsan. Apa Bapak mau membawa Bellia ke rumah sakit?"Daniel mengangguk sekilas lalu kembali melangkah. Dia ingin segera membawa Bellia ke rumah sakit agar cepat mendapatkan penanganan. Namun, Lisa lagi-lagi menahannya."Apa saya boleh ikut, Pak?"Daniel membuka mulut hendak bicara, tapi Lisa lebih dulu berkata, "Saya Lisa, teman baik Bellia. Saya kahawatir sekali dengan keadaannya. Tol