Share

7. Terpuruk

Isakan kembali lolos dari bibir mungil Bellia yang meringkuk di atas ranjang sendirian. Sejak kemarin yang dia lakukan hanya menangis di dalam kamar.

Bellia terlihat ... sangat menyedihkan.

Kabar kehamilan ini begitu mengejutkan baginya. Seumur hidup Bellia tidak pernah membayangkan akan mengandung benih lelaki yang bahkan tidak peduli pada dirinya. Hidup Bellia seketika hancur, dunia seolah-olah runtuh. Dia butuh seseorang untuk berbagi keluh kesahnya, tapi tidak ada satu pun yang peduli dengannya.

Bellia mengusap perutnya yang terlihat masih datar dengan tangan gemetar. Kesedihan, penyesalan, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu di dalam dirinya. Sebelum meninggal kedua orang tuanya berpesan agar menjaga diri dan tidak gegabah saat mengambil keputusan.

Akan tetapi, kejadian malam itu telah menghancurkan segalanya. Tanpa sengaja dia sudah tidur dengan presdir yang selama ini dia hormati dan diam-diam dia kagumi, hingga hamil.

"Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" ucap Bellia terdengar putus asa.

Rasanya Bellia ingin sekali kembali ke masa sebelum kekacauan ini terjadi. Namun, dia tidak mungkin bisa melakukannya.

Getaran dari ponsel yang tergeletak di atas meja menyentak lamunan Bellia. Helaan napas panjang sontak lolos dari bibirnya ketika melihat notifikasi pesan dari Rianty yang muncul di layar. Seperti biasa tantenya selalu minta uang tanpa mau peduli dengan keadaannya.

Bellia meletakkan kembali ponselnya di atas meja setelah mengirim pesan balasan untuk Rianty. Tantenya pasti marah karena dia mengatakan tidak bisa mengirim uang, padahal dia ingin memberinya secara langsung sekaligus menengok neneknya.

Keesokan harinya Bellia pergi ke rumah Rianty yang berada di pinggir kota. Dia berangkat pukul 7 pagi dan tiba di sana ketika hari sudah menjelang siang. Dia langsung menghampiri neneknya yang terbaring lemah di atas ranjang.

"Nek ...."

Kesedihan terpancar jelas dari kedua sorot mata Bellia ketika menatap neneknya. Neneknya dulu sangat kuat dah penuh semangat, tapi wanita tua itu sekarang tidak banyak bicara, tatapan matanya terkadang kosong seolah-olah dunia di sekitarnya tidak lagi nyata.

"Bellia minta maaf ...." Air mata terlihat menggenang di kedua pelupuk mata Bellia. Mati-matian dia berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh di depan neneknya.

"Maaf karena Bellia tidak bisa menjaga diri."

Sang nenek hanya diam, tatapannya lurus ke depan. Penyakit dimensia yang diderita nenek dua tahun lalu membuat wanita itu sering kali tidak mengenali orang-orang yang ada di dekatnya, termasuk Bellia. Nenek seolah-olah terjebak di dunianya sendiri hingga tidak bisa memahami curahan hatinya.

"Bellia hamil, Nek ...." Air mata itu akhirnya jatuh membasahi pipi Bellia. Kedua tangannya tanpa sadar mencengkeram pinggiran ranjang neneknya dengan erat.

"Bellia takut, Nek. Bellia tidak tahu harus melakukan apa karena Pak Daniel juga belum tahu tentang kehamilan Bellia. Bagaimana kalau Pak Daniel menolak anak ini, Nek? Bellia takut ...."

Tangis Bellia seketika pecah, isakannya terdengar keras. Bellia terlihat begitu rapuh dan butuh dekapan hangat neneknya untuk menguatkan dirinya. Namun, neneknya hanya diam, menatap pun tidak.

Bunyi pintu yang dibuka cukup keras menyantak Bellia.

Rianty tiba-tiba datang menghampirinya dengan wajah masam. "Apa yang kamu lakukan di sini? Nangis lagi?"

Bellia cepat-cepat menyeka air matanya, berusaha menenangkan diri meskipun hatinya masih kacau. "Bellia kangen sama Nenek, Tante ...."

Rianty mendengus sinis. "Kamu pikir masalahmu bisa selesai dengan menangis di sini? Tidak, Bellia. Kamu lihat sendiri nenekmu yang tidak berguna itu sudah diambang hidup dan mati. Dia tidak akan peduli dengan apa pun yang terjadi padamu."

Bellia mengepalkan kedua tangannya erat-erat, berusaha meredam amarahnya agar tidak meledak melihat Rianty yang tertawa senang setelah menghinanya. Bellia sadar kondisi neneknya setiap hari semakin memburuk. Akan tetapi, Rianty seharusnya tidak mengatakan hal sekasar itu pada dirinya. Apa lagi di depan neneknya.

"Mana uangku!"

"Uang, Tante?" Bellia menatap Rianty dengan kening berkerut dalam.

"Jangan berlagak bodoh, Bellia. Aku kemarin sudah memintamu untuk mengirim uang. Jadi, mana uangku! Aku harus membeli popok dan kebutuhan lain untuk wanita tua ini."

Bellia cepat-cepat menghapus air mata yang jatuh membasahi pipinya lalu tersenyum pada Rianty. Senyum yang tidak sampai ke matanya dan penuh dengan luka. "Tante minta uang untuk kebutuhan Nenek atau modal anak Tante berjudi?"

"Kamu ...?!" Rianty menunjuk Bellia.

Bellia tersenyum miris, kesabarannya sudah habis. "Apa Tante pikir Bellia tidak tahu kalau uang yang selama ini Bellia kirim sebagian besar Tante berikan ke Anton untuk modal judi? Bellia tahu, Tante. Tapi Bellia memilih diam karena cuma Tante harapan Bellia satu-satunya untuk menjaga Nenek!"

Rianty terkejuk mendengarnya, tapi dia tidak boleh terlihat lemah di depan Bellia. "Kamu berani melawanku sekarang?"

Bellia menghela napas panjang lalu kembali menatap neneknya. "Bellia pulang dulu ya, Nek. Maaf karena belum bisa menjadi cucu yang baik. Bellia sayang Nenek."

Bellia mengecup kening neneknya dengan penuh sayang sebelum pergi. Namun, Rianty malah mencengkeram pergelangan tangannya.

"Berikan dulu uangku!" desis Rianty menatap Bellia tajam.

Bellia dengan berani melepas tangannya dari cengkeraman Rianty lalu membalas tatapan wanita itu tidak kalah tajam. "Tidak ada uang lagi untuk bulan ini. Bellia pergi dulu, Tante. Permisi ...," ucapnya sebelum pergi.

"Argh, sialan! Aku pasti akan membuatmu menyesal karena berani melawanku, Bellia!"

Bellia terus melangkah, tidak peduli dengan Rianty yang berteriak seperti orang tidak waras di belakang sana.

***

Bellia pikir perasaannya akan sedikit membaik setelah menceritakan masalahnya pada sang nenek. Akan tetapi, perasannya ternyata tetap tidak tenang. Bayi yang berada di dalam perutnya seolah-olah memaksa dirinya agar mengatakan yang sebenarnya pada sang ayah.

Haruskah dia menemui Daniel?

Sepanjang hari Bellia hanya menatap kosong layar monitornya. Pikiran dan hatinya sangat tidak tenang. Berulang kali Bellia berpikir apakah lebih baik jika dia memberitau Daniel? Namun, jika dia memberitahu Daniel, pria itu akan melakukan apa?

“Bellia, kamu dipanggil Pak Daniel,” ucap Anita, atasan Bellia di divisi pemasaran.

Bellia tersentak langsung berdiri menatap Anita. “Kenapa … kenapa saya dipanggil Pak Daniel, Bu?”

Tanpa menatap Bellia dan fokus pada layar monitor, Anita berkata santai, “Saya juga nggak tahu. Tapi daripada kamu dimarahi Pak Daniel, jadi lebih baik kamu ke ruangannya sekarang.”

Pandangan Bellia kosong selama berjalan menuju ruangan Daniel. Mengapa lelaki itu memintanya datang ke ruangannya?

Jantung Bellia berdegup kencang ketika dirinya sudah berada di dekat ruangan Daniel. Bellia juga tidak memastikan untuk apa Daniel memanggilnya pada sekretarisnya karena Khaisar tidak ada di tempatnya.

Bellia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Bellia mengetuk pintu ruangan Daniel beberapa kali karena tidak ada sahutan dari dalam, hingga Bellia memberanikan diri untuk membuka pintu itu perlahan.

Namun, tenggorokannya tercekat dan tubuhnya berhenti di ambang pintu ketika melihat Daniel bersama seorang wanita. Daniel bahkan melingkarkan kedua tangannya di pinggang wanita itu lalu mencium wanita itu dengan mesra.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status