Bukan hal sulit bagi Khaisar untuk mencari tahu informasi tentang Bellia. Sebagai sekretaris sekaligus orang kepercayaan Daniel Moiz membuat Khaisar mempunyai keuntungan lebih untuk memanfaatkan jabatannya di perusahaan."Beri aku data anggota divisi marketing atas nama Bellia," pintanya pada HRD.Tanpa banyak tanya HRD segera memberi data yang Khaisar minta. "Ini, Pak.""Terima kasih." Khaisar langsung kembali ke ruangannya setelah mendapat data yang dia inginkan. Dia membaca data Bellia dengan cepat dan mencatat beberapa informasi penting sebelum diserahkan ke Daniel.Saat dia sedang serius membaca, telepon yang ada di atas meja kerjanya tiba-tiba berdering."Ya, Niel?""Apa kamu sudah mendapat informasi yang aku minta?""Iya." Khaisar mengangguk. "Tapi ada—""Berikan padaku!" perintah Daniel tegas lalu memutus sambungan teleponnya.Tanpa menunggu waktu lama Khaisar segera pergi ke ruangan Daniel."Bagaimana?" tanya Daniel. Suaranya terdengar datar, tapi mengandung rasa penasaran ya
"Laporan macam apa ini? Kenapa pendapatan bulan ini hanya meningkat dua persen dari bulan lalu? Kamu tahu sendiri 'kan kalau kita sudah menghabiskan banyak biaya untuk produk ini?" Daniel membanting map di tangannya dengan cukup keras hingga membuat lawan bicaranya berjingkat.Daniel tidak mengerti mengapa hal yang sudah dia susun secara apik tidak ada yang berjalan sesuai dengan rencana sejak Bellia mengundurkan diri dari perusahaannya."Sa-saya sudah berusaha menaikkan penjualan sesuai saran dari Pak Daniel. Maaf kalau hasilnya tidak sesuai dengan keinginan Bapak," ucap karyawan tersebut takut-takut.Daniel menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan agar emosinya tidak meledak. Daniel biasanya selalu bisa mengendalikan apa pun yang ada di sekitarnya, akan tetapi entah mengapa akhir-akhir ini dia sering kehilangan fokus, gampang marah, dan tidak bisa berpikir jernih.Pekerjaan yang biasanya dia selesaikan dengan mudah kini berantakan hingga membuat Khaisar terpaksa harus me
Salah satu sudut bibir Vania terangkat samar mendengar ucapan Daniel. Vania tahu, di antara mereka memang tidak pernah ada cinta. Namun, setiap Vania menemui Daniel, lelaki itu akan menjamah dan menghujamnya.Kini, lelaki itu terang-terangan mengingatkan dirinya tentang hubungan mereka.Ada sesuatu yang berubah dari Daniel."Ya, aku masih ingat, jadi jangan repot-repot mengingatkan. Tapi apa aku salah kalau aku merindukan tunanganku sendiri?" balas Vania, kedua bahunya terangkat sambil tangannya bersidekap di depan dada.Tawa remeh keluar dari mulut Daniel, lalu dia kembali menyeringai. "Apa aku perlu menjawab pertanyaanmu, Vania?"Daniel menghela napas panjang lalu menyandarkan punggungnya di kursi. Sepasang iris hitam miliknya menatap Vania dengan tajam."Tidak," jawab Daniel tenang membuat wajah Vania mengeras. Daniel kembali memusatkan perhatiannya pada berkas-berkas yang ada di meja. Tanpa menoleh pada Vania, lelaki itu berujar dingin, "Pergi dari ruanganku sekarang.""Apa?!" Va
Sudah lima menit berlalu, tapi Daniel masih bertahan di dalam mobil. Menimang-nimang haruskah dia pergi ke rumah yang sudah bertahun-tahun dia tinggalkan. Tempat di mana ingatan-ingatan buruk mengendap, tersembunyi di balik dindingnya yang mewah.Daniel selalu merasa sesak setiap kali pulang ke rumah. Terlalu banyak kenangan buruk yang dia alami di sana dan dia tidak ingin mengingatnya.Daniel menghela napas panjang lalu membawa mobilnya melewati gerbang yang otomatis terbuka. Dia menatap bangunan megah itu dengan penuh perasaan sebelum masuk ke sana.Tidak ada orang yang menyambut kedatangannya. Dari ruang tamu dia bisa mendengar tawa sang ayah yang menggema di ruang tengah. "Sayang, tolong ambilkan aku minum.""Iya, Mas." Wanita yang dipanggil sayang oleh ayah kandung Daniel itu pun beranjak dari tempat duduknya. Kedua matanya sontak membulat ketika melihat Daniel yang berdiri di pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah."Daniel!"Samudra sontak mengalihkan pandang dari layar te
Waktu berjalan begitu cepat. Bellia menjalani hidup yang tidak mudah setelah memutuskan untuk pergi dari kehidupan Daniel, dan dia harus merawat neneknya yang sudah tua dan sakit demensia.Dia tinggal di sebuah rumah kecil dengan halaman yang cukup luas di pinggir kota. Bellia tidak sengaja mendapatkan rumah tersebut dari iklan yang lewat di media sosial. Setelah tawar-menawar dan menemukan harga yang pas, akhirnya Bellia memutuskan untuk menyewa rumah itu dan tinggal di sana.Bellia mengalami masa-masa yang sulit di awal kehamilan. Dia sering merasa pusing dan mual. Namun, dia tetap memaksakan diri untuk bekerja karena dia tidak mempunyai uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan sang Nenek.Bellia pernah menjadi buruh jahit, menjual kue, hingga menjadi penjaga toko. Sayangnya, uang yang dia dapat ternyata tidak cukup untuk biaya hidup. Apa lagi neneknya masih memerlukan perawatan medis.Namun, Bellia tidak menyerah. Dia berusaha keras mencari jalan keluar meski harus jatuh ba
Sekarang sudah hampir tengah malam, tapi entah kenapa kedua mata Bellia sulit sekali untuk dipejamkan. Sejak tadi yang dia lakukan hanya diam memandangi wajah Marvell yang sedang tertidur lelap sambil sesekali menghela napas panjang.Jujur saja pertanyaan Mahes di toko bunga tadi terus mengusik pikirannya. Marvell memang mirip sekali dengan Daniel. Bellia takut orang-orang yang pernah melihat atau mengenal Daniel akan curiga jika Marvell adalah anak kandung Daniel seiring dengan Marvell tumbuh semakin besar.Untung saja dia tadi bisa mengalihkan pembicaraan sehingga Mahes tidak membahas Marvell lagi.Ngomong-ngomong soal Daniel, tidak terasa sudah lima tahun lebih Bellia pergi meninggalkan lelaki itu. Bellia pikir waktu bisa menyembuhkan semuanya, akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Dia tidak bisa berhenti memikirkan Daniel.Sejak kejadian malam itu yang begitu membekas di ingatan Bellia, meskipun dia selalu berusaha terlihat biasa saja di depan orang lain. Wajah tampan sert
Sabtu pagi ini cuaca lumayan dingin, mungkin karena hujan turun deras semalam dan orang-orang memilih bergelung di balik selimut yang tebal agar tetap merasa sangat. Namun, Bellia sudah siap pergi bekerja dibantu oleh seorang teman.“Mama kerja dulu, ya. Marvell baik-baik di rumah sama Nenek dan Om Mahes. Janji?”Marvell mengangguk-angguk lalu menautkan jari kelingkingnya yang mungil ke jari kelingking Bellia.“Anak pintar.” Bellia mengusap puncak kepala Marvell dengan penuh sayang lalu menatap Mahes yang berdiri tepat di belakang Marvell.“Aku titip Marvell sebentar ya, Mas. Maaf kalau aku merepotkan Mas lagi.”Mahes menghela napas panjang. “Sudah berapa kali aku katakan, aku tidak merasa direpotkan sama sekali, Bellia. Jangan minta maaf.”“Tapi ....”“Kalau kamu minta maaf terus, aku tidak mau berteman denganmu lagi.”“Eh, jangan gitu!” teriak Bellia panik membuat Mahes seketika tersenyum. Bellia sangat keras kepala dan harus digertak sedikit agar tidak melawan ucapannya.“Baiklah,
Daniel begitu serius membaca berkas yang baru saja disodorkan Khaisar, padahal sekarang sudah wakutnya untuk pulang."Apa hasilnya cuma ini?" tanya Daniel, suaranya rendah tapi penuh tekanan. "Aku lihat pendapatan kita di bawah dua puluh persen dari target yang kita tetapkan."Khaisar menghela napas panjang. "Ada kendala dari tim marketing. Mereka masih belum menemukan strategi yang pas untuk menarik klien baru."Daniel menyandarkan punggungnya di kursi, sepasang iris hitamnya menatap Khaisar dengan tajam. "Bukankah kita sudah membahas hal ini di pertemuan terakhir? Seingatku, kita sudah memberi tim marketing dana tambahan untuk riset pasar. Kenapa hasilnya masih seperti ini?"Khaisar membetulkan letak kaca matanya lalu menjawab, "Menurut mereka, produk yang kita keluarkan masih kalah dengan kompetitor. Dan mereka meminta waktu untuk menyusun strategi baru.""Kita sudah terlalu banyak memberi mereka 'waktu lebih', Khai. Aku akan mengganti kepala divisi marketing kalau mereka tidak bis
Bellia cepat-cepat menghampiri Marvell dan Daniel. Raut cemas tergambar jelas di wajah cantiknya. Bellia merasa panik sekali melihat Marvell menangis hingga lupa kalau dia ingin memarahi Daniel yang mengirim truk makanan ke sekolah tanpa meminta izin pada dirinya. “Marvell kenapa? Kenapa kamu menangis? Apa kamu jatuh?” Marvell mengangkat wajahnya perlahan lalu mengulurkan kedua tangannya ke atas. Bellia langsung meraih tubuh Marvell ke dalam dekapan, lalu meriksa tubuh anak itu dari atas sampai bawah untuk memastikan jika tidak ada yang terluka. Bellia akhirnya bisa bernapas sedikit lega setelah memastikan kalau Marvell baik-baik saja. Dia pun menepuk-nepuk punggung Marvell dengan pelan agar perasaan anak itu menjadi lebih tenang. “Marvell, jangan menangis lagi, ya? Mama di sini ....” Hati Bellia begitu terisis mendengar tangisan Marvell. Dalam hati dia bertanya-tanya apa yang terjadi pada Marvell hingga membuat anak itu menangis sehebat ini. Apa Marvell baru saja dimarahi guru
Suasana di sekolah Marvell yang biasanya sepi tiba-tiba berubah ramai. Truk-truk makanan berjejer rapi di halaman sekolah, masing-masing dihiasi logo perusahaan milik Daniel. Para siswa, guru, bahkan staf sekolah berkerumun dengan penuh rasa ingin tahu. Kepala sekolah sendiri tampak tergopoh-gopoh keluar dari ruangannya, tersenyum lebar menyambut Daniel, lelaki yang menjadi pusat perhatian siang itu. Daniel berdiri tegap di samping salah satu truk, mengenakan jas kasual yang tetap memancarkan wibawanya. Dia berbicara singkat dengan kepala sekolah, menjelaskan bahwa ini adalah bentuk perhatian untuk anak-anak di sekolah, terutama untuk Marvell. Kepala sekolah yang merasa tersanjung terus mengucapkan terima kasih, bahkan mengundang Daniel masuk ke dalam ruangan. Namun, Daniel menolak dengan sopan, lebih memilih menunggu di halaman agar bisa melihat Marvell. Senyum tipis menghiasi bibir Daniel ketika Marvell yang berjalan keluar dari kelas bersama teman-temannya dengan lesu. Anak itu
"Papa ada urusan penting di kantor dan harus berangkat pagi-pagi sekali, Sayang. Jadi Papa tidak sempat pamit sama Marvell." Marvell menatap Bellia dengan sayu. "Jadi, Papa gak ninggalin Marvell lagi?" Bellia menggeleng pelan lalu mengusap air mata yang membasahi pipi Marvell. "Tidak, Sayang. Papa tidak mungkin meninggalkan Marvell lagi," ucapnya terdengar menenangkan meski di dalam hatinya dia merasa sangat bersalah sudah membohongi Marvell. "Marvell mandi dulu, ya? Setelah itu sarapan lalu berangkat sekolah." Marvell mengangguk lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sedangkan Bellia kembali ke dapur untuk menyelesaikan masakannya yang sempat tertunda. Selama memasak Bellia tidak berhenti memikirkan Marvell. Semakin besar, Marvell sepertinya mulai sadar jika hubungan mama dan papanya tidak sama seperti orang tua pada umumnya. Apa lagi Daniel tidak tinggal satu rumah bersama mereka. Lelaki itu hanya datang saat jam makan siang, setelah itu kembali ke kota untuk men
Daniel langsung mengantar Marvell dan Bellia pulang setelah selesai makan malam. Daniel sebenarnya ingin mengajak Marvell pergi ke toko mainan sebelum pulang, tetapi Marvell mengantuk. Akhirnya dia terpaksa mengantar mereka kembali ke rumah.Suasana di dalam mobil begitu hening. Tidak ada yang membuka suara di antara keduanya. Daniel terlihat fokus mengendarai mobilnya sambil sesekali melirik Bellia yang duduk di sampingnya. Wanita itu sejak tadi hanya diam, memperhatikan jalanan lewat kaca mobil yang ada di sampingnya.Daniel tanpa sadar mendengkus kesal. Apa jalanan itu lebih menarik daripada dirinya?“Bell ...,” panggil Daniel pelan tetapi sukses membuat Bellia tersentak.“Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkanmu.”Bellia hanya mengangguk. Jujur saja dia tidak tahan terjebak di situasi yang sangat canggung bersama Daniel dan ingin cepat-cepat keluar dari mobil lelaki itu.“Bagaimana keadaan nenekmu?” Daniel akhirnya bertanya, mencoba menghilangkan rasa canggung yang sempat melingku
Bellia terkejut mendengarnya, tetapi Daniel malah tertawa.“Aku hanya bercanda,” ucap Daniel sambil mengusap puncak kepala Bellia dengan gemas. Dia buru-buru menurunkan tangannya setelah sadar dengan apa yang baru saja dirinya lakukan.“Sorry ...,” ucapnya pelan.Bellia hanya mengangguk sambil berusaha menormalkan kembali detak jantungnya.Keesokan harinya Daniel menepati ucapannya untuk datang menemui mereka. Seperti biasa dia menemani Marvell bermain sebentar setelah itu makan siang bersama Marvell dan Bellia.Obrolan mereka di meja makan mengalir begitu saja, tetapi lebih didominasi oleh Marvell yang menceritakan aktivitasnya di sekolah.“Kalian nanti malam ada acara?”Bellia seketika berhenti mengunyah makanannya lantas menatap Daniel dengan penuh tanda tanya.“Aku ingin mengajak kalian makan malam bersama.”Bellia tidak mampu menyembuyikan keterkejutannya, berbagai kemungkinan buruk seketika melintas di pikirannya.Bagaimana kalau ada orang yang melihatnya makan malam bersama Mar
Bellia sedang sibuk memotong sayur untuk dijadikan sup di dapur. Samar-samar telinganya mendengar Marvell yang sedang asyik menyusun lego dengan Daniel di ruang tengah. Terkadang Marvell tertawa kecil, bertanya tentang hal yang tidak dia ketahui, dan menceritakan banyak hal pada Daniel.Bellia tidak pernah menyangka jika hari ini akan tiba. Hari di mana Marvell akhirnya mengetahui siapa ayah kandungnya.Bellia pikir Marvell sudah bahagia hidup berdua dengannya. Sebagai seorang ibu pun dia sudah berusaha memberi yang terbaik untuk anak itu.Namun, dia ternyata salah. Marvell tetap membutuhkan sosok ayah untuk mendampingi hidupnya, lalu Daniel tiba-tiba saja datang dan menawarkan diri untuk merawat Marvell bersama-sama.Awalnya Bellia merasa ragu, apa lagi Daniel selama ini selalu bersikap dingin pada siapa pun. Akan tetapi, sosok Daniel yang dia lihat tadi benar-benar berbeda.Lelaki itu berbicara dengan sangat lembut pada Marvell. Tidak ada nada dingin dan intimidasi yang keluar dari
Bellia menatap kertas yang Daniel tunjukkan pada dirinya dengan perasaan tidak karuan, antara takut dan cemas. Terlebih setelah melihat logo sebuah rumah sakit yang tertulis di sana. Tanpa sadar dia menggelengkan kepala, menolak permintaan Daniel.“Kamu baca sendiri atau perlu aku yang membacanya?” tanya Daniel, suaranya terdengar rendah tetapi tegas. Menuntut Bellia agar segera membaca surat tersebut.Jantung Bellia berdetak tidak nyaman, setitik keringat dingin keluar membasahi pelipisnya, wajahnya pun berubah pucat. Bellia terlihat seperti anak kucing yang berhadapan dengan seekor serigala.Tatapan tajam Daniel membuat Bellia tidak berdaya. Dia tunduk, takluk di hadapan lelaki itu.Dengan tangan gemetar dia meraih kertas tersebut lalu membacanya. Sepasang iris hezel miliknya memperhatikan dengan lekat setiap kata yang tertulis di sana. Semakin ke bawah, jantung Bellia berdetak semakin tidak karuan. Apa lagi setelah menemukan hasil tes DNA Marvell dan Daniel.“99,99 persen cocok,”
Kaki Daniel bergerak gelisah, decakan kesal berulang kali lolos dari bibirnya. Daniel berusaha fokus memeriksa berkas yang ada di tangannya. Akan tetapi, dia tidak bisa fokus karena memikirkan hasil tes DNA-nya dan Marvell yang akan keluar hari ini.Waktu satu minggu terlalu lama bagi Daniel. Setiap hari dia terus mendesak rumah sakit yang dipilih Khaisar agar cepat memproses tes DNA-nya dan Marvell. Akan tetapi, ternyata banyak sekali prosedur yang harus mereka lakukan dan pihak rumah sakit memintanya untuk menunggu paling lama satu minggu.Daniel refleks mengangkat kepalanya ketika mendengar pintu ruangannya terbuka. Dia cepat-cepat beranjak dari tempat duduknya lalu menghampiri Khaisar yang baru masuk ke ruangannya dengan tidak sabar.“Bagaimana?”Khaisar tersenyum lalu mengambil sebuah amplop berlogo rumah sakit dari dalam tas yang dibawanya, setelah itu dia menyerahkannya ke Daniel.“Ini.”Daniel menatap amplop di tangan Khaisar dengan jantung berdetak hebat. Debarannya bahkan ja
Kondisi Amira berangsur-angsur membaik setelah lima hari dirawat di rumah sakit. Selama itu pula Bellia tidak pernah absen menjaga wanita itu. Dia hanya pulang sebentar untuk mengantar Marvell ke sekolah, setelah itu kembali ke rumah sakit dan meminta tolong Dita untuk menjemput Marvell di sekolah.Awalnya Marvell sempat protes karena selama lima hari ini waktunya lebih banyak tersita di rumah sakit. Sebagai seorang ibu Bellia sangat paham dengan apa yang Marvell rasakan. Anak itu pasti merindukan dirinya.Sejak kecil Marvell tidak pernah lepas darinya. Anak itu selalu ikut ke mana pun dia pergi. Dia bahkan membawa Marvell ke toko bunga sepulang sekolah karena dia tidak ingin merepotkan suster yang merawat neneknya di rumah. Mungkin karena alasan itu Marvell menjadi sangat bergantung pada dirinya.Jujur saja Bellia sebenarnya juga merindukan Marvell. Dia ingin mengantar jemput Marvell di sekolah seperti biasa, menemani anak itu mengerjakan tugas sekolah, menyiapkan sarapan, dan mem