Alunan musik klasik mengalun merdu di ballroom sebuah hotel yang paling mewah di kota itu. Pejabat setempat mengadakan pesta dan mengundang Daniel sebagai tamu penting karena Daniel adalah pengusaha yang paling disegani dan dihormati di tanah air.Malam ini dia datang ke pesta tersebut bersama Vania. Daniel sebenarnya ingin datang sendiri, tapi Vania terus saja merengek ingin ikut dirinya hingga membuat telinganya pengang."Terima kasih sudah datang, Tuan Moiz. Senang bertemu dengan Anda."Daniel menyambut hangat uluran tangan pejabat yang mengundangnya. "Sama-sama, Pak. Pestanya cukup menyenangkan."Lelaki paruh baya itu tersenyum. "Apa ini, Nona Vania?"Vania yang mendengar namanya disebut sontak memeluk lengan Daniel dengan mesra. "Iya, Pak. Saya, Vania. Calon istri Daniel.""Senang bertemu dengan Anda, Nona Vania. Ternyata Anda lebih cantik jika dilihat langsung.""Ah, Anda bisa saja," ucap Vania malu-malu. "Saya dengar kalian sudah lama bertunangan. Kapan kalian akan meresmikan
Ponsel milik Daniel yang berada di dalam saku celana kembali berdering, tidak lama kemudian bergetar beberapa kali. Daniel sudah menduga, Vania pasti menghubunginya untuk mengetahui di mana keberadaannya.Namun, dia malas menanggapinya. Dia lebih nyaman bersama bocah laki-laki yang baru saja dia temui dari pada berbaur dengan orang-orang dewasa yang penuh dengan kepalsuan di dalam."Om Ganteng tahu ndak? Marvell udah bisa naik sepeda loh ....""Benarkah?" tanya Daniel antusias. Dia terlihat begitu senang mendengar Marvell bercerita."Iya ...." Marvell mengangguk tidak kalah semangat. "Marvell kemarin pergi ke taman naik sepeda sama Mama. Tapi Marvell jatuh karena ada anak kucing yang tiba-tiba lewat.""Kamu baik-baik saja? Apa ada yang luka?" Daniel memperhatikan tubuh Marvell dari atas sampai bawah. Sorot khawatir terpancar jelas dari kedua matanya yang serupa dengan milik Marvell."Ini." Marvell menarik celananya ke atas, menunjukkan lututnya yang sedikit lecet.Melihat apa yang dia
Sedan hitam itu melaju dengan kecepatan sedang di jalanan yang lumayan sepi. Mahes tampak serius mengendarai mobilnya sambil sesekali melirik Marvell yang duduk di kursi khusus anak di sampingnya."Kalau ngantuk tidur saja. Nanti om gendong kamu ke kamar kalau sudah sampai di rumah."Marvell menggeleng pelan meski matanya sudah terasa berat. "Marvell tadi makan pudding coklat sama cookies di sana. Mama nanti marah kalau Marvell gak gosok gigi sebelum tidur.""Anak pintar. Om Mahes bangga sekali sama kamu." Mahes menepuk puncak kepala Marvell dengan penuh sayang lalu menambah kecepatan mobilnya agar cepat tiba di rumah Bellia.Sebenarnya Mahes juga ingin mengajak Bellia ke pesta tadi. Akan tetapi, kondisi Nenek Amira tiba-tiba drop. Mahes pun terpaksa mengajak Marvell sendirian karena dia sudah berjanji akan memberi anak itu makanan enak.Mahes akhirnya tiba di rumah Bellia setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih tiga puluh menit. Mata Marvell yang semula terasa berat sontak ke
Bellia sejak tadi mondar-mandir dari depan ke dalam toko, mengambil bunga, menyiapkan pesanan, dan melayani pelanggan.Hari ini D'Marvell Florist kedatangan lumayan banyak pelanggan hingga membuat Bellia tidak sempat beristirahat sejak toko dibuka."Dit, ada pelanggan baru. Tolong kamu layani, ya? Aku mau masih belum selesai merangkai bunga ini.""Iya, Bell." Wanita yang dipanggil Dita itu segera melayani pelanggan yang baru saja datang sesuai perintah Bellia.Akhir-akhir ini Bellia merasa sedikit kualahan melayani pelanggan, karena itu dia meminta Dita untuk bekerja di toko bunganya. Hasil kerja Dita ternyata cukup memuaskan meski baru bekerja tiga bulan. Dita bahkan cepat akrab dengannya, seperti sahabat yang sudah kenal sejak lama."Ini bunga pesanan Anda, Pak." Bellia mengulurkan seikat bunga mawar merah hasil rangkaiannya ke pelanggan."Wah, bunga ini bagus sekali. Istri saya pasti menyukainya. Terima kasih banyak, Nona.""Sama-sama, Pak. Senang bisa membantu Anda."Pria paruh ba
Daniel tertegun, sepasang iris hitam miliknya terpaku pada Bellia yang berada tepat di hadapannya. Daniel tidak pernah menyangka Tuhan akan mempertemukannya lagi dengan wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya.Jantung Daniel berdetak tidak nyaman. Pada detik ini waktu seolah-olah berhenti bergerak, dunia seolah-olah berhenti berputar, suara-suara di sekitarnya pun mendadak lenyap.Selama tiga puluh detik yang dia lakukan hanya diam memandangi Bellia yang terlihat cantik dalam floral dress tanpa lengan yang dilapisi kardigan tipis bermotif bunga-bunga.Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar, ternyata ada banyak hal yang berubah dari Bellia. Daniel akui Bellia terlihat semakin cantik dan dewasa sekarang."Mama kenal sama Om Ganteng?"Bellia tergagap mendengar pertanyaan Marvell barusan setelah itu mengangguk pelan."Ini Om Ganteng yang waktu itu nemenin Marvell, Ma. Om Ganteng baik sekali ‘kan, Ma?"Bellia tidak tahu harus menjawab apa. Dia sendiri pun masih terkejut dengan apa
"Memangnya kamu siapa? Apa hakmu mencampuri urusan Bellia?" Suasana terasa begitu menegangkan, baik Daniel maupun Mahes tidak ada yang mau mengalah. Dua pria berbadan tegap itu saling melempar pandangan dengan tegas, mempertahankan ego masing-masing. Daniel terus memaksa Bellia agar ikut bersamanya, sedangkan Mahes terus menahan Daniel agar tidak membawa Bellia pergi. "Mama, Marvell takut. Mau pulang ....” Tangis Marvell yang terdengar keras membuat orang-orang semakin penasaran dengan apa yang terjadi dan berkumpul di sekeliling mereka. Bellia bahkan sampai kualahan menenangkan anak itu agar berhenti menangis. "Ini bukan tentang siapa yang berhak atas Bellia, tapi tolong hargai keputusannya. Dia tidak ingin pergi denganmu, Daniel." Kesabaran Mahes habis dan penghormatan yang biasa dia tunjukan pada Daniel lenyap. Mahes enggan menyebut Daniel dengan embel-embel 'Pak' seperti biasa. Amarah tergambar jelas di wajah tampan Daniel. Kedua matanya menatap Mahes dengan tajam dan ding
Sedan hitam itu melaju sedikit kencang, Mahes tampak fokus mengendarai mobilnya sambil sesekali melirik Bellia dan Marvell yang duduk di sampingnya.Untung saja Marvell sudah berhenti menangis, hanya terdengar isakan kecil yang sesekali lolos dari bibir mungilnya. Napasnya pun sudah lebih tenang.Tatapan Mahes beralih pada Bellia. Wanita itu tidak banyak bicara sejak masuk ke dalam mobilnya. Bellia hanya diam, memandangi jalanan dengan tatapan kosong sambil mengusap punggung Marvell dengan lembut. Entah apa yang Bellia pikirkan, Mahes tidak tahu. Ingin bertanya pun dia sungkan, dia akan menunggu sampai Bellia siap bercerita.Helaan napas panjang kembali lolos dari bibir Bellia. Tanpa sadar dia mendekap Marvell yang berada di atas pangkuannya lebih erat ketika teringat dengan pertemuannya dengan Daniel tadi.Sedikit pun Bellia tidak pernah menyangka Tuhan akan mempertemukan dirinya lagi dengan Daniel. Om Ganteng yang selama ini Marvell ceritakan sebelum tidur ternyata adalah Daniel. A
Keesokan harinya, Bellia mencoba menjalani kehidupannya seperti biasa meskipun perasaannya sedikit cemas. Bagaimana pun juga Daniel sudah mengetahui keberadaannya. Dia takut lelaki itu kembali datang lalu memaksa dirinya seperti kemarin hingga membuat Marvell ketakutan. Bellia mengusap puncak kepala Marvell yang sedang makan dengan lembut. Sepasang iris hezel miliknya menatap Marvell dengan penuh sayang. Bellia tidak akan pernah siap jika Marvell diambil darinya. "Marvell, sudah selesai sarapan?" "Sudah, Ma." Marvell mengangguk lalu meletakkan gelas susunya yang sudah kosong di atas meja. Bellia tersenyum lalu mengusap susu yang mengotori sudut bibir anak itu. "Kita berangkat sekolah sekarang, ya?" tanya Bellia dan mendapat anggukan dari Marvell. Dia pun mengeluarkan motornya, setelah itu kembali ke dalam untuk berpamitan pada neneknya. Tiba-tiba saja ponselnya yang berada di dalam saku celana bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari Mahes. Lelaki itu kembali bertanya apak
Bellia lupa kapan terakhir kali dia bisa bernapas dengan lega seperti ini. Selama lima tahun terakhir kehidupan yang dia jalani terasa begitu berat, hingga membuatnya kesulitan untuk sekadar menarik napas.Kejadian malam itu masih membekas di ingatan Bellia sampai sekarang. Dia tidak akan pernah lupa ketika Daniel merenggut mahkota paling berharga di hidupnya dengan tidak sengaja.Saat dia ingin memberi tahu Daniel tentang kehamilannya dan kejadian yang sebenarnya, dia malah melihat Daniel berciuman dengan wanita lain di ruangannya.Akhirnya Bellia memutuskan untuk pergi dari kehidupan Daniel dan mencoba menjalani hidup tanpa bayang-bayang lelaki itu. Awalnya tentu saja tidak mudah, apa lagi kondisi Nenek Amira semakin hari semakin memburuk.Namun, Bellia tidak menyerah begitu saja karena dia memiliki tekad yang begitu kuat demi kesembuhan Nenek Amira serta bayi yang berada di dalam kandungannya.Kehidupan Bellia pun berangsur-angsur membaik setelah Marvell lahir. Kehadiran anak itu m
Bellia tidak bisa menikmati sarapan dengan tenang, dia mengunyah nasi gorengnya dengan enggan, sementara kedua matanya terus mencuri pandang ke arah Daniel yang duduk di hadapannya.Bellia tidak pernah menyangka dia akan kembali berciuman dengan Daniel. Dia bahkan mengalungkan kedua lengannya di leher lelaki itu dan membalas ciumannya tidak kalah panas.Entah setan apa yang sudah merasuki pikirannya. Dia mendadak berubah menjadi lebih liar jika bersama dengan Daniel. Lelaki itu mempunyai pesona dan daya tarik yang sangat kuat dan sulit sekali untuk ditolak.Untung saja Marvell tadi memanggilnya. Jika tidak, dia dan Daniel pasti sudah berakhir di ranjang."Kenapa kamu makan cuma sedikit? Apa kamu tidak berselera?"Pertanyaan Daniel barusan sukses membuat Bellia tergagap. "Em, tidak. Nasi goreng ini enak, kok."Daniel menatap Bellia dengan alis terangkat sebelah. Biasanya Bellia mengajak Marvell bicara saat makan, tapi ibu dari anaknya itu sekarang lebih banyak diam."Kenapa kamu dari t
"Mas Daniel, kamarnya sudah siap."Daniel segera beranjak dari tempat duduknya begitu mendengar suara Bellia, pergi ke kamar yang ada di sebelah."Maaf ya, Mas. Kamarnya jelek."Daniel mengamati kamar bernuansa biru muda itu. Sebuah ranjang berukuran sedang ada di tengah-tengan kamar. Di samping ranjang tersebut ada sebuah meja kayu yang menghadap langsung ke arah jendela. Di sebelah meja tersebut, ada sebuah pot bunga berukuran besar yang membuat suasana terasa lebih segar. Daniel akui kamar ini jauh lebih kecil dari pada kamarnya yang ada di apartemen. Namun, dia tidak mempermasalahkan hal tersebut. Dia hanya merasa sedikit kurang nyaman karena kamar ini tidak dilengkapi dengan mesin pendingin ruangan. Sepertinya dia harus tidur dengan bertelanjang dada agar tidak merasa gerah."Jangan bilang seperti itu, Bie. Kamar ini cukup nyaman. Terima kasih sudah mengizinkanku menginap di rumahmu.""Baiklah kalau begitu, selamat tidur, Mas."Daniel mengangguk, dia langsung melepas kemeja yang
Tiba-tiba saja Bellia menggeliat pelan lalu mengerjapkan kedua matanya perlahan. Dia sontak bangun dan duduk di ujung tempat tidurnya ketika sadar kalau dirinya berada di dalam kamar sementara Daniel berada sangat dekat dengannya.Lelaki itu bahkan menatapnya dengan sangat lekat. Seolah-olah tidak ada hal lain di dunia ini yang lebih imdah selain dirinya.“Ma-Mas Daniel?!” Bellia tersentak, jantungnya berdebar hebat karena mencium aroma musk bercampur dengan keringat yang menguar dari tubuh Daniel. Aroma yang menenangkan sekaligus membuat jantungnya berdebar.“Kamu tadi tidur sangat lelap, aku jadi tidak tega membangunkanmu. Karena itu aku membawamu ke sini,” jelas Daniel tanpa Bellia meminta.“Te-terima kasih,” ucap Bellia terdengar gugup. Bellia pikir Daniel akan segera menjauh dari darinya. Akan tetapi lelaki itu tetap bertahan di posisinya.“Bie ...,” panggil Daniel pelan. Suaranya terdengar rendah tapi dalam membuat Bellia gugup luar biasa.“Em, ya?” Bellia memberanikan diri memb
Bellia tidak langsung menjawab, terlalu banyak kebaikan yang sudah Daniel berikan untuknya. Dia merasa tidak pantas menerima kebaikan lelaki itu lagi.“Bie ....”Bellia tersentak ketika Daniel meraih kedua tangannya dan menggenggamnya dengan lembut. Entah mengapa tatapan Daniel yang begitu meneduhkan tidak mampu membuat perasaannya tenang. Dia justru merasa semakin gelisah.“Jangan pernah merasa tidak pantas menerima bantuanku, Bie.”Ucapan Daniel sukses membuat Bellia terhenyak. Sepasang iris hezelnya menatap Daniel dengan pandangan tidak percaya.Kenapa Daniel bisa membaca pikirannya? Apa lelaki itu seorang cenayang?“Aku bisa tahu apa yang sedang kamu pikirkan karena semua terlihat jelas di wajahmu.”“Maaf ....” Bellia menunduk dalam, dia merasa malu sekali sudah berpikir yang tidak-tidak tentang Daniel.Daniel menggenggam jemari tangan Bellia lebih erat. “Jadi ... bagaimana? Kamu mau menerima bantuanku, ‘kan?”Daniel bertanya dengan sangat hati-hati mengingat Bellia memiliki sifat
Jantung Bellia berdetak tidak karuan ketika melihat pesan yang baru masuk di ponselnya. Rasanya aneh sekali karena dia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Jantungnya sekarang berdegup kencang setiap kali nama Daniel muncul di layar ponselnya. Daniel tidak pernah absen mengirim pesan sejak dia memutuskan untuk memberi lelaki itu kesempatan. Isi pesan yang begitu manis membuatnya sempat berpikir kalau orang yang mengirim pesan bukanlah Daniel. Namun, dugaannya ternyata salah. Orang yang setiap pagi mengirim ucapan selamat pagi tersebut memang Daniel. Bellia tidak pernah menyangka orang sekaku dan sedingin Daniel bisa mengirim kalimat yang begitu manis pada dirinya. Sepertinya lelaki itu benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Awalnya Bellia sempat merasa ragu, tapi Daniel bisa membuktikan jika dirinya benar-benar serius lewat caranya sendiri. Perhatian serta kasih sayang yang lelaki itu berikan perlahan-lahan berhasil meruntuhkan dinding yang dia bangun d
“Kamu tidak turun?”Bellia tergagap, dia tidak menyadari jika mobil yang ditumpanginya sudah tiba di rumah karena terlalu asyik melamun. Daniel bahkan sudah membukakan pintu untuknya.Bellia pun cepat-cepat turun lalu mengucapkan terima kasih.Daniel hanya mengangguk lalu meraih tubuh Marvell yang sudah terlelap ke dalam gendongannya.“Biar saya saja, Pak.”Daniel menggeleng pelan. “Bukakan saja pintunya, biar aku yang menggendong Marvell ke kamar.”Bellia tidak membantah, dia segera membuka pintu rumahnya lalu menuntun Daniel ke kamar untuk menidurkan Marvell.“Apa kita bisa bicara sekarang?”Bellia tersentak, dia pikir Daniel akan langsung kembali ke kota setelah mengantarnya dan Marvell pulang. Akan tetapi lelaki itu langsung bertanya setelah menidurkan Marvell di kamar.“Aku tidak bisa manahannya lagi, Bellia. Kita harus bicara sekarang.”“Baiklah.” Bellia menghela napas panjang, perasaan gugup mulai menguasai dirinya. “Kita bicara di luar.”Bellia berjalan keluar dari kamarnya l
Suasana makan siang kali ini terasa sangat berbeda. Bellia biasanya selalu menanggapi apa yang sedang Marvell dan Daniel bicarakan di meja makan. Akan tetapi, dia kali ini lebih banyak diam dan sibuk dengan makanannya. Dia hanya menanggapi ucapan Marvell, seolah-olah tidak menganggap keberadaan Daniel.“Marvell sudah selesai makan?”“Sudah, Ma.”Bellia beranjak dari tempat duduknya, mengambil piring kotor milik Marvell dan Daniel lalu membawanya ke belakang untuk dicuci. Setelah selesai dia segera mengajak Marvell ke toko karena dia hari ini memiliki pesanan bunga lumayan banyak. Tidak lupa dia menyiapkan segala keperluan Marvell sebelum pergi agar anaknya itu tidak bosan selama menunggunya bekerja.“Aku akan mengantar kalian ke toko.”Bellia tersentak ketika Daniel tiba-tiba mengambil tas yang ada di tangannya menuju mobil lelaki itu.“Tidak perlu, Pak. Kami akan pergi naik motor,” ucap Bellia berusaha setenang mungkin, meski dalam hati dia merasa kesal sekali. Dia sontak berhenti me
Suasana di dalam mobil kembali hening, tapi ketegangan masih sangat terasa. Tangan Daniel mencengkeram kemudi dengan erat hingga buku-buku jarinya gemetar, napasnya pun terdengar tidak beraturan, menunjukkan emosi yang berusaha dia tahan.Kedua mata Daniel memang fokus memperhatikan jalan, tetapi pikirannya melayang pada kejadian di sekolah Marvell tadi. Bayangan Marvell yang menangis tersedu-sedu karena diejek teman-temannya terus melintas di pikirannya.Daniel tidak bisa berhenti menyalahkan diri. Dia merasa gagal dan tidak berguna menjadi seorang ayah. Seharusnya dia ada di sisi Marvell sejak awal. Seharusnya dia melindungi Marvell dari hinaan teman-temannya yang kejam.Seharusnya ....Daniel menarik napas dalam-dalam, berusaha menghalau sesak yang menghimpit dadanya. Andai saja lima tahun lalu dia mau menekan egonya dan mencari Bellia, Marvell tidak akan kehilangan sosok ayah dan mengalami kejadian buruk seperti tadi.Rasanya Daniel ingin sekali kembali ke masa lalu untuk memperba