Share

5. Sisi Lain Bellia

Aroma obat-obatan tercium jelas di ruangan serba putih itu. Namun, beberapa lukisan bergambar pemandangan alam yang menempel di dinding membuat suasana terasa lebih hangat.

Bellia berulang kali menghela napas panjang sambil memperhatikan langit lewat jendela kaca yang ada di sebelah tempat tidurnya. Heningnya ruangan membuat pikiran Bellia melayang tidak tentu arah.

Bellia merasa kesepian dan bosan. Tidak ada teman atau pun keluarga yang menemaninya seperti pasien yang dirawat di bangsal sebelah.

Bellia menatap ponselnya dengan ragu. Setelah berpikir beberapa kali akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi tantenya. Namun, teleponnya tidak kunjung diangkat.

Bellia pun berusaha menelepon lagi. Setelah beberapa kali mencoba, suara tante akhirnya terdengar di ujung telepon.

"Ada apa?" tanya Rianty—tante Bellia tanpa mengucap salam dan Bellia tidak merasa tersinggung ketika mendengarnya.

"Selamat siang, Tante. Bagaimana kabar Tante dan Nenek? Kalian baik, ‘kan?"

Rianty tidak menjawab membuat Bellia semakin ragu untuk meminta tolong pada tantenya itu.

"Sebenarnya ada sesuatu yang ingin Bellia katakan. Bellia sedang sakit, Tante. Apa Tante bisa menemani Bellia di rumah sakit?"

"Berani sekali kamu memintaku untuk menemanimu di rumah sakit? Kamu tahu sendiri 'kan kalau aku harus merawat nenekmu yang tidak berguna itu?"

Bellia menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat, berusaha menahan rasa kecewa yang menghantam dada.

Bellia sadar Rianty pasti lelah mengurus neneknya yang sering sakit-sakitan. Tetapi, entah mengapa hatinya terasa begitu sakit ketika mendengar ucapan Rianty.

"Maaf, Tante. Bellia tidak tahu harus menghubungi siapa lagi. Bellia benar-benar sakit dan butuh bantuan Tante sekarang."

"Apa kamu pikir aku punya waktu untuk duduk-duduk di rumah sakit? Nenekmu di sini juga sakit dan butuh uang untuk membeli obat, Bellia. Kalau kamu benar-benar menyayangi nenekmu seharusnya kamu mengirim uang, bukan malah memintaku untuk menjagamu di rumah sakit!"

Bellia tanpa sadar meremas selimutnya lebih erat. Dia merasa sangat sedih mendengar ucapan Rianty. Padahal dia sudah menganggap Rianty seperti ibu kandungnya sendiri. 

Namun, Rianty tidak pernah pernah perhatian pada dirinya dan menghargai pengorbanannya. Wanita itu malah meminta uang padahal saat ini dia sedang sakit.

Apa dia egois jika mengharapkan sedikit perhatian dari Rianty?

"Ta-tapi seminggu yang lalu Bellia sudah mengirim uang untuk kebutuhan Nenek. Bellia juga harus membayar sewa kos minggu depan. Bellia sudah tidak punya uang lagi, Tante ...."

Kedua mata Bellia terasa panas, mati-matian dia berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh.

"Kamu pikir uangmu yang sedikit itu bisa mencukupi kebutuhan nenekmu? Kalau kamu sayang dan peduli sama nenekmu seharusnya kamu mengirim uang lebih banyak, Bellia!"

"Ta-tapi ... halo, Tan?" Air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipi Bellia karena Rianty memutus sambungan telepon mereka begitu saja.

Padahal dia sudah memberikan sebagaian besar gajinya untuk kebutuhan sang nenek. Dia bahkan rela makan sehari dua kali untuk menghemat uang. Namun, Rianty tidak pernah puas dan selalu meminta uang.

Air mata itu jatuh berderai-derai membasahi pipi Bellia. Perasaan sedih dan kecewa menekan dadanya begitu kuat hingga membuat napasnya terasa berat. 

Bellia merasa tidak ada satu orang pun yang peduli pada dirinya. Bahkan Rianty selalu menganggapnya sebagai beban.

Bellia cepat-cepat menghapus air matanya ketika mendengar pintu kamarnya terbuka. Tubuh gadis itu sontak menegang ketika tatapan kedua matanya bertemu dengan manik hitam milik lelaki yang berdiri di hadapannya.

"Pak Daniel!?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status