Aroma obat-obatan tercium jelas di ruangan serba putih itu. Namun, beberapa lukisan bergambar pemandangan alam yang menempel di dinding membuat suasana terasa lebih hangat.
Bellia berulang kali menghela napas panjang sambil memperhatikan langit lewat jendela kaca yang ada di sebelah tempat tidurnya. Heningnya ruangan membuat pikiran Bellia melayang tidak tentu arah. Bellia merasa kesepian dan bosan. Tidak ada teman atau pun keluarga yang menemaninya seperti pasien yang dirawat di bangsal sebelah. Bellia menatap ponselnya dengan ragu. Setelah berpikir beberapa kali akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi tantenya. Namun, teleponnya tidak kunjung diangkat. Bellia pun berusaha menelepon lagi. Setelah beberapa kali mencoba, suara tante akhirnya terdengar di ujung telepon. "Ada apa?" tanya Rianty—tante Bellia tanpa mengucap salam dan Bellia tidak merasa tersinggung ketika mendengarnya. "Selamat siang, Tante. Bagaimana kabar Tante dan Nenek? Kalian baik, ‘kan?" Rianty tidak menjawab membuat Bellia semakin ragu untuk meminta tolong pada tantenya itu. "Sebenarnya ada sesuatu yang ingin Bellia katakan. Bellia sedang sakit, Tante. Apa Tante bisa menemani Bellia di rumah sakit?" "Berani sekali kamu memintaku untuk menemanimu di rumah sakit? Kamu tahu sendiri 'kan kalau aku harus merawat nenekmu yang tidak berguna itu?" Bellia menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat, berusaha menahan rasa kecewa yang menghantam dada. Bellia sadar Rianty pasti lelah mengurus neneknya yang sering sakit-sakitan. Tetapi, entah mengapa hatinya terasa begitu sakit ketika mendengar ucapan Rianty. "Maaf, Tante. Bellia tidak tahu harus menghubungi siapa lagi. Bellia benar-benar sakit dan butuh bantuan Tante sekarang." "Apa kamu pikir aku punya waktu untuk duduk-duduk di rumah sakit? Nenekmu di sini juga sakit dan butuh uang untuk membeli obat, Bellia. Kalau kamu benar-benar menyayangi nenekmu seharusnya kamu mengirim uang, bukan malah memintaku untuk menjagamu di rumah sakit!" Bellia tanpa sadar meremas selimutnya lebih erat. Dia merasa sangat sedih mendengar ucapan Rianty. Padahal dia sudah menganggap Rianty seperti ibu kandungnya sendiri. Namun, Rianty tidak pernah pernah perhatian pada dirinya dan menghargai pengorbanannya. Wanita itu malah meminta uang padahal saat ini dia sedang sakit. Apa dia egois jika mengharapkan sedikit perhatian dari Rianty? "Ta-tapi seminggu yang lalu Bellia sudah mengirim uang untuk kebutuhan Nenek. Bellia juga harus membayar sewa kos minggu depan. Bellia sudah tidak punya uang lagi, Tante ...." Kedua mata Bellia terasa panas, mati-matian dia berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. "Kamu pikir uangmu yang sedikit itu bisa mencukupi kebutuhan nenekmu? Kalau kamu sayang dan peduli sama nenekmu seharusnya kamu mengirim uang lebih banyak, Bellia!" "Ta-tapi ... halo, Tan?" Air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipi Bellia karena Rianty memutus sambungan telepon mereka begitu saja. Padahal dia sudah memberikan sebagaian besar gajinya untuk kebutuhan sang nenek. Dia bahkan rela makan sehari dua kali untuk menghemat uang. Namun, Rianty tidak pernah puas dan selalu meminta uang. Air mata itu jatuh berderai-derai membasahi pipi Bellia. Perasaan sedih dan kecewa menekan dadanya begitu kuat hingga membuat napasnya terasa berat. Bellia merasa tidak ada satu orang pun yang peduli pada dirinya. Bahkan Rianty selalu menganggapnya sebagai beban. Bellia cepat-cepat menghapus air matanya ketika mendengar pintu kamarnya terbuka. Tubuh gadis itu sontak menegang ketika tatapan kedua matanya bertemu dengan manik hitam milik lelaki yang berdiri di hadapannya. "Pak Daniel!?""Kenapa Bapak di sini?"Jantung Bellia berdetak tidak karuan ketika Daniel berjalan mendekatinya. Rasanya dia ingin sekali kabur dari hadapan Daniel sekarang, tapi tubuhnya masih terasa lemas."Kamu baik-baik saja?"Bellia tanpa sadar meremas selimutnya dengan erat. Setitik keringat dingin pun keluar membasahi pelipisnya. Bellia berusaha keras agar terlihat tenang meskipun dia merasa sangat gugup sekarang.Bellia tidak pernah menyangka Daniel akan kembali ke rumah sakit secepat ini, padahal Daniel tadi mengatakan kalau dia ingin mengikuti acara gathering kantor."Saya baik-baik saja.""Sungguh?""I-iya." Bellia memalingkan wajahnya ke arah lain, tidak tahan melihat mata Daniel yang terus menatapnya dalam-dalam, seolah-olah takut terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya.Apa lelaki itu mengkhawatirkannya?Bellia tanpa sadar meremas selimutnya semakin erat untuk menahan perasaan hangat yang menjalari dadanya. Dia tidak boleh merasa senang dengan perhatian kecil yang Daniel berikan, lagi
Isakan kembali lolos dari bibir mungil Bellia yang meringkuk di atas ranjang sendirian. Sejak kemarin yang dia lakukan hanya menangis di dalam kamar.Bellia terlihat ... sangat menyedihkan.Kabar kehamilan ini begitu mengejutkan baginya. Seumur hidup Bellia tidak pernah membayangkan akan mengandung benih lelaki yang bahkan tidak peduli pada dirinya. Hidup Bellia seketika hancur, dunia seolah-olah runtuh. Dia butuh seseorang untuk berbagi keluh kesahnya, tapi tidak ada satu pun yang peduli dengannya.Bellia mengusap perutnya yang terlihat masih datar dengan tangan gemetar. Kesedihan, penyesalan, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu di dalam dirinya. Sebelum meninggal kedua orang tuanya berpesan agar menjaga diri dan tidak gegabah saat mengambil keputusan.Akan tetapi, kejadian malam itu telah menghancurkan segalanya. Tanpa sengaja dia sudah tidur dengan presdir yang selama ini dia hormati dan diam-diam dia kagumi, hingga hamil."Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" ucap Bellia terdengar
Bellia meremas pinggiran roknya dengan erat. Air mata terlihat menggenang di pelupuk matanya. Rasanya Bellia ingin sekali pergi dari ruangan Daniel tapi kedua kakinya seolah-olah tertancap, tidak mau bergerak.Bellia tidak tahu mengapa hatinya bisa sesakit ini melihat Daniel sedang mencium wanita lain, padahal mereka tidak mempunyai hubungan apa-apa. Mereka hanya orang asing yang tidak sengaja menghabiskan malam bersama.Apa dia cemburu?Bellia tanpa sadar meremas pinggiran roknya semakin erat hingga buku-buku jarinya gemetar untuk menghalau sesak yang menghimpit di dalam dadanya. Dia tidak berhak cemburu dengan Daniel.Ya, tidak mungkin. Akan tetapi, mengapa air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipinya?Ah!"Hei." Bellia tersentak ketika punggungnya ditepuk oleh seseorang dengan pelan. Kedua matanya sontak membulat melihat lelaki yang ada di hadapan."Kamu Bellia, 'kan?" Khaisar yang baru saja kembali dari toilet berusaha mengingat-ingat gadis yang berdiri di hadapannya. "Sedang
"Apa?! Mengundurkan diri?" Mata Anita sontak membulat.Bellia mengangguk tanpa berani menatap Anita."Kenapa mendadak sekali, Bellia? Apa kamu sedang ada masalah?"Bellia menggeleng pelan, dia tidak mungkin memberi tahu Anita alasan yang membuatnya keluar.Anita mengambil surat itu, membacanya dengan cepat lalu menatap Bellia dengan wajah penuh kebingungan. "Ini terlalu mendadak dan perusahaan masih membutuhkan kamu, Bellia. Lagi pula perusahaan kita menerapkan kebijakan one-month notice. Kamu bisa kena denda kalau berhenti tanpa pemberitahuan sebulan sebelumnya. Apa kamu tidak bisa menunggu sebentar lagi?"Bellia tanpa sadar menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat. Dia sudah memikirkan hal ini dan siap dengan segala risikonya. "Saya mengerti, Bu. Tapi maaf, saya benar-benar tidak bisa menunggu satu bulan lagi. Saya harus berhenti."Anita menatap Bellia dengan lekat. "Denda yang harus kamu bayar tidak sedikit, Bellia. Kalau kamu sanggup membayar pun namamu akan di-blacklist dari per
"Apa laporan penjualan bulan ini sudah selesai, Khai? Aku butuh datanya untuk pertemuan besok."Khai memeriksa berkas yang ada di tangannya lalu menjawab, "Sudah, Niel. Penjualan bulan ini meningkat tujuh persen dibanding bulan lalu. Tapi masih ada beberapa area yang mengalami penurunan, terutama di sektor retail.""Sektor retail?" Kening Daniel berkerut dalam, sebagai pengusaha muda yang namanya sudah terkenal di tanah air dia tidak suka jika pendapatan perusahaannya menurun. Sekecil apa pun itu."Kenapa bisa turun?""Karena daya beli masyarakat di pasar lokal turun, selain itu beberapa kompetitor mulai menawarkan diskon besar-besaran. Jadi, kita sedikit tertinggal dalam hal harga."Daniel begitu serius mendengarkan penjelasan Khaisar. "Kita tidak boleh terus-terusan kalah. Siapkan strategi baru dan evaluasi produk mana yang bisa kita promosikan lebih kuat tanpa menurunkan margin terlalu banyak."Khaisar diam-diam tersenyum setelah mendengar penjelasan Daniel. Dia akui kemampuan Dani
Bukan hal sulit bagi Khaisar untuk mencari tahu informasi tentang Bellia. Sebagai sekretaris sekaligus orang kepercayaan Daniel Moiz membuat Khaisar mempunyai keuntungan lebih untuk memanfaatkan jabatannya di perusahaan."Beri aku data anggota divisi marketing atas nama Bellia," pintanya pada HRD.Tanpa banyak tanya HRD segera memberi data yang Khaisar minta. "Ini, Pak.""Terima kasih." Khaisar langsung kembali ke ruangannya setelah mendapat data yang dia inginkan. Dia membaca data Bellia dengan cepat dan mencatat beberapa informasi penting sebelum diserahkan ke Daniel.Saat dia sedang serius membaca, telepon yang ada di atas meja kerjanya tiba-tiba berdering."Ya, Niel?""Apa kamu sudah mendapat informasi yang aku minta?""Iya." Khaisar mengangguk. "Tapi ada—""Berikan padaku!" perintah Daniel tegas lalu memutus sambungan teleponnya.Tanpa menunggu waktu lama Khaisar segera pergi ke ruangan Daniel."Bagaimana?" tanya Daniel. Suaranya terdengar datar, tapi mengandung rasa penasaran ya
"Laporan macam apa ini? Kenapa pendapatan bulan ini hanya meningkat dua persen dari bulan lalu? Kamu tahu sendiri 'kan kalau kita sudah menghabiskan banyak biaya untuk produk ini?" Daniel membanting map di tangannya dengan cukup keras hingga membuat lawan bicaranya berjingkat.Daniel tidak mengerti mengapa hal yang sudah dia susun secara apik tidak ada yang berjalan sesuai dengan rencana sejak Bellia mengundurkan diri dari perusahaannya."Sa-saya sudah berusaha menaikkan penjualan sesuai saran dari Pak Daniel. Maaf kalau hasilnya tidak sesuai dengan keinginan Bapak," ucap karyawan tersebut takut-takut.Daniel menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan agar emosinya tidak meledak. Daniel biasanya selalu bisa mengendalikan apa pun yang ada di sekitarnya, akan tetapi entah mengapa akhir-akhir ini dia sering kehilangan fokus, gampang marah, dan tidak bisa berpikir jernih.Pekerjaan yang biasanya dia selesaikan dengan mudah kini berantakan hingga membuat Khaisar terpaksa harus me
"Engh ...." Kaki gadis bermata hezel itu bergerak gelisah, napasnya pun terdengar memburu. Sentuhan lembut lelaki yang sedang menindih tubuhnya membuat tubuh Bellia semakin terasa panas."Ah!" Bellia kembali mendesah ketika lelaki itu mencium bibirnya. Dia memejamkan kedua matanya perlahan lalu entah dorongan dari mana, Bellia membalas ciuman lelaki itu tidak kalah panas.Rasanya sungguh gila dan mendebarkan.Kening Bellia berkerut samar, dalam hati dia bertanya-tanya ada apa dengan dirinya? Mengapa setiap sentuhan pria itu rasanya begitu nikmat?Pengalaman ini adalah pertama kali untuknya, jadi Bellia tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada dirinya.Namun, lelaki itu tiba-tiba berhenti menciumnya lalu menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.Apa dia melakukan kesalahan?"Ke-kena ... ugh ...." Bellia tidak menyelesaikan kalimatnya karena bibirnya kembali dibungkam. Bellia tidak bisa memikirkan apa pun sekarang, pikirannya kosong.Setiap detik terasa begitu gila dan mendeb