"Bellia, hei?" Daniel menepuk-nepuk pipi Bellia dengan pelan untuk menyadarkan gadis itu. Namun, Bellia tetap setia memejamkan kedua matanya. Suhu tubuhnya juga sangat panas.
Daniel menaruh kedua tangannya di antara lutut dan bahu Bellia. Dengan mudah dia mengangkat tubuh Bellia ke dalam gendongannya.
Saat akan melangkah suara seorang wanita tiba-tiba menghentikan pergerakannya.
"Astaga! Bellia kenapa, Pak?"
Lisa baru tiba di depan kamar Bellia, karena curiga dengan atasannya yang tiba-tiba menanyakan Bellia tadi. Namun, justru ia dikejutkan dengan pemandangan yang membuatnya kesal.
"Sepertinya Bellia pingsan. Apa Bapak mau membawa Bellia ke rumah sakit?"
Daniel mengangguk sekilas lalu kembali melangkah. Dia ingin segera membawa Bellia ke rumah sakit agar cepat mendapatkan penanganan. Namun, Lisa lagi-lagi menahannya.
"Apa saya boleh ikut, Pak?"
Daniel membuka mulut hendak bicara, tapi Lisa lebih dulu berkata, "Saya Lisa, teman baik Bellia. Saya kahawatir sekali dengan keadaannya. Tolong izinkan saya ikut ke rumah sakit, Pak."
Daniel memperhatikan Lisa dengan lekat. Dilihat dari tatapan matanya sepertinya Lisa memang benar-benar mengkhawatirkan Bellia.
"Baiklah."
Lisa tersenyum senang lalu mengucapkan terima kasih pada Daniel. Sebelum pergi dia meminta izin pada Daniel untuk mengambil tasnya di kamar.
Senyum Lisa seketika lenyap ketika tiba di kamar. Jujur saja rasa kesal di hati Lisa masih belum hilang sejak melihat Daniel yang begitu peduli pada Bellia. Daniel bahkan ingin membawa Bellia ke rumah sakit padahal lelaki itu bisa menyuruh orang lain.
Daniel sekarang tidak terlihat seperti presdir dingin yang tak tersentuh. Daniel malah terlihat seperti pria yang khawatir dengan kekasihnya.
Kenapa Daniel begitu mengkhawatirkan Bellia? Apa mereka mempunyai hubungan spesial?
Kening Lisa semakin berkerut dalam ketika melihat benda berkilau di dekat pintu kamar hotelnya. Wajah gadis itu sontak berubah keras setelah tahu kalau benda itu adalah jepit rambut Bellia.
Mengapa jepit rambut Bellia itu bisa ada di depan pintu kamar? Bukannya selalu Bellia kenakan? Atau … tadi dari kejauhan Lisa melihat Daniel menunjukkan sesuatu pada Bellia sebelum Bellia pingsan.
Jadi, yang ditujukan Daniel tadi pada Bellia adalah jepit rambut Bellia? Tetapi, mengapa jepit rambut Bellia bisa ada di tangan Daniel?
Entah kenapa firasatnya mengatakan jika ada sesuatu yang terjadi di antara Daniel dan Bellia. Apa lagi tingkah Bellia aneh sekali hari ini.
Daniel berjalan dengan tenang menuju mobilnya yang sudah siap di depan. Dia sudah menduga akan banyak pasang mata yang terkejut sekaligus heran melihatnya turun sambil menggendong Bellia. Namun, Daniel terlihat tidak peduli, lagi pula dia sudah terbiasa menjadi pusat perhatian.
Daniel duduk di kursi belakang lalu meletakkan kepala Bellia dengan hati-hati di atas pangkuannya. Lisa ingin menemani Bellia duduk di belakang, tapi Daniel malah menyuruhnya untuk duduk di depan.
"Em, baik, Pak." Lisa mengembuskan napas kecewa lalu duduk di depan dengan terpaksa.
Jarak dari hotel ke rumah sakit tidak terlalu jauh. Butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk tiba di sana. Daniel langsung membawa Bellia ke UGD dan meminta dokter untuk memeriksanya.
"Tolong tunggu di luar."
Daniel mengangguk. Dia menunggu dokter selesai memeriksa Bellia di kursi kosong yang berada tepat di depan ruang UGD. Sementara Lisa memilih duduk di kursi yang agak jauh dari Daniel.
Detik demi detik berlalu. Lima belas menit kemudian dokter yang memeriksa Bellia tiba-tiba keluar dan bertanya siapa wali gadis itu.
"Saya, Dokter." Daniel sontak berdiri dari tempat duduknya lalu menghampiri dokter itu.
"Bagaimana keadaan Bellia?" tanyanya begitu tiba di ruangan dokter.
Lelaki berjas putih itu pun menjelaskan secara singkat tentang kondisi Bellia. Bellia ternyata mengalami gejala tifus dan kelelahan. Dia menyarankan agar Bellia dirawat selama dua sampai tiga hari untuk memulihkan kembali kesehatannya.
Daniel mengucapkan terima kasih pada dokter tersebut lalu pergi ke kamar Bellia. Ada perasaan aneh yang tidak Daniel mengerti sontak menyelip di dalam dirinya ketika melihat Bellia yang terbaring tidak sadarkan diri dengan tangan yang diinfus.
Daniel tersentak melihat jemari tangan Bellia yang tiba-tiba bergerak. "Kamu sudah sadar?"
Bellia mengerjapkan kedua matanya perlahan. Awalnya semua terlihat samar, tapi lama-kelamaan berubah jelas ketika cahaya putih yang menerebos masuk ke dalam indra penglihatannya.
"Syukurlah kamu sudah sadar."
Bellia sontak menoleh, menatap lelaki berwajah tampan yang duduk di sampingnya. "Pak Daniel?"
"Jangan bicara dulu, aku akan memanggil dokter untuk memeriksamu."
Bellia gelapan, jujur saja Bellia bingung kenapa dirinya tiba-tiba bisa berada di rumah sakit bersama Daniel. Padahal dia ingin sekali menghindari lelaki itu.
"Syukurlah kamu sudah sadar, Bell."
"Lisa!?" Bellia menatap Lisa dengan dahi berkerut dalam. Dia tidak sadar kalau ada orang lain di kamarnya karena terlalu fokus menatap Daniel.
Lisa berjalan menghampiri Bellia sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Kamu tadi pingsan, makanya Pak Daniel membawamu ke sini," jelasnya tanpa Bellia meminta.
Bellia sontak mengingat kejadian yang dialaminya beberapa jam yang lalu. Saat itu dia sedang beristirahat di kamar karena sakit kepala. Tiba-tiba saja Daniel mengetuk pintu kamarnya lalu bertanya tentang jepit rambut miliknya yang tertinggal di kamar lelaki itu.
Bellia belum siap menghadapi Daniel dan merasa sangat tertekan. Apalagi kondisinya sedang kurang enak badan. Sepertinya karena alasan itulah dia sampai pingsan.
"Syukurlah ada kamu, Lis. Aku pikir cuma di rumah sakit berdua sama Pak Daniel."
"Memangnya kenapa kalau cuma berdua?"
"Ti-tidak kenapa-kenapa." Bellia membuang pandangannya ke arah lain. Dia takut Lisa curiga kalau terjadi sesuatu di antara dirinya dan Daniel.
"Apa aku boleh tanya sesuatu, Bell?"
"Em, tentu ...," jawab Bellia ragu. Entah kenapa perasaan Bellia mendadak tidak tenang. Apa lagi tatapan Lisa tidak terlihat bersahabat seperti biasa.
"Apa ada sesuatu di antara kamu dan Pak Daniel?"
Bellia terkejut mendengar pertanyaan Lisa, tapi dia cepat-cepat mengubah wajahnya kembali tenang.
"Ti-tidak. Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?"
"Aku heran saja melihat Pak Daniel peduli sama kamu. Kalian benaran tidak punya hubungan apa-apa, ‘kan?"
"Tidak ada, Lis. Sungguh, aku tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Pak Daniel. Lagi pula aku cuma karyawan biasa. Aku tidak mungkin berani mendekati pria sempurna seperti Pak Daniel."
"Lalu ini apa?"
Tubuh Bellia menegang ketika Lisa menyentuh tanda merah yang dibuat Daniel di lehernya.
Bellia cepat-cepat menutupi lehernya. Padahal dia sudah berusaha menyembunyikannya dengan concealer, tapi Lisa ternyata masih bisa melihat tanda merah tersebut."Bukan apa-apa.""Sungguh?" Lisa menatap Bellia penuh dengan selidik."I-iya, ini hanya bekas gigitan nyamuk."Hanya orang bodoh yang percaya dengan ucapan Bellia. Sayangnya Lisa cukup pintar. Dia tahu kalau Bellia sedang membohonginya, tapi dia memilih diam.Sepertinya memang terjadi sesuatu di antara Daniel dan Bellia semalam, dan tanda merah itu adalah buktinya. Lisa pikir Bellia gadis yang baik dan polos, tapi gadis itu ternyata tidak ada bedanya dengan jalang di luar sana.Dan wanita itu menghabiskan malam dengan pria yang paling diinginkan di ibu kota! Lisa tidak bisa menahan kekesalannya pada Bellia.Bellia sontak menoleh ketika mendengar pintu kamarnya terbuka. Dari arah pintu, Daniel datang bersama seorang dokter paruh baya.Dokter itu langsung memeriksa kondisinya. Untung saja demamnya sudah turun, tapi dia tetap har
Aroma obat-obatan tercium jelas di ruangan serba putih itu. Namun, beberapa lukisan bergambar pemandangan alam yang menempel di dinding membuat suasana terasa lebih hangat.Bellia berulang kali menghela napas panjang sambil memperhatikan langit lewat jendela kaca yang ada di sebelah tempat tidurnya. Heningnya ruangan membuat pikiran Bellia melayang tidak tentu arah.Bellia merasa kesepian dan bosan. Tidak ada teman atau pun keluarga yang menemaninya seperti pasien yang dirawat di bangsal sebelah.Bellia menatap ponselnya dengan ragu. Setelah berpikir beberapa kali akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi tantenya. Namun, teleponnya tidak kunjung diangkat.Bellia pun berusaha menelepon lagi. Setelah beberapa kali mencoba, suara tante akhirnya terdengar di ujung telepon."Ada apa?" tanya Rianty—tante Bellia tanpa mengucap salam dan Bellia tidak merasa tersinggung ketika mendengarnya."Selamat siang, Tante. Bagaimana kabar Tante dan Nenek? Kalian baik, ‘kan?"Rianty tidak menjawab membu
"Kenapa Bapak di sini?" Jantung Bellia berdetak tidak karuan ketika Daniel berjalan mendekatinya. Rasanya dia ingin sekali kabur dari hadapan Daniel sekarang, tapi tubuhnya masih terasa lemas. "Kamu baik-baik saja?" Bellia tanpa sadar meremas selimutnya dengan erat. Setitik keringat dingin pun keluar membasahi pelipisnya. Bellia berusaha keras agar terlihat tenang meskipun dia merasa sangat gugup sekarang. Bellia tidak pernah menyangka Daniel akan kembali ke rumah sakit secepat ini, padahal Daniel tadi mengatakan kalau dia ingin mengikuti acara gathering kantor. "Saya baik-baik saja." "Sungguh?" "I-iya." Bellia memalingkan wajahnya ke arah lain, tidak tahan melihat mata Daniel yang terus menatapnya dalam-dalam, seolah-olah takut terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya. Apa lelaki itu mengkhawatirkannya? Bellia tanpa sadar meremas selimutnya semakin erat untuk menahan perasaan hangat yang menjalari dadanya. Dia tidak boleh merasa senang dengan perhatian kecil yang Daniel berik
Isakan kembali lolos dari bibir mungil Bellia yang meringkuk di atas ranjang sendirian. Sejak kemarin yang dia lakukan hanya menangis di dalam kamar.Bellia terlihat ... sangat menyedihkan.Kabar kehamilan ini begitu mengejutkan baginya. Seumur hidup Bellia tidak pernah membayangkan akan mengandung benih lelaki yang bahkan tidak peduli pada dirinya. Hidup Bellia seketika hancur, dunia seolah-olah runtuh. Dia butuh seseorang untuk berbagi keluh kesahnya, tapi tidak ada satu pun yang peduli dengannya.Bellia mengusap perutnya yang terlihat masih datar dengan tangan gemetar. Kesedihan, penyesalan, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu di dalam dirinya. Sebelum meninggal kedua orang tuanya berpesan agar menjaga diri dan tidak gegabah saat mengambil keputusan.Akan tetapi, kejadian malam itu telah menghancurkan segalanya. Tanpa sengaja dia sudah tidur dengan presdir yang selama ini dia hormati dan diam-diam dia kagumi, hingga hamil."Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" ucap Bellia terdengar
Bellia meremas pinggiran roknya dengan erat. Air mata terlihat menggenang di pelupuk matanya. Rasanya Bellia ingin sekali pergi dari ruangan Daniel tapi kedua kakinya seolah-olah tertancap, tidak mau bergerak.Bellia tidak tahu mengapa hatinya bisa sesakit ini melihat Daniel sedang mencium wanita lain, padahal mereka tidak mempunyai hubungan apa-apa. Mereka hanya orang asing yang tidak sengaja menghabiskan malam bersama.Apa dia cemburu?Bellia tanpa sadar meremas pinggiran roknya semakin erat hingga buku-buku jarinya gemetar untuk menghalau sesak yang menghimpit di dalam dadanya. Dia tidak berhak cemburu dengan Daniel.Ya, tidak mungkin. Akan tetapi, mengapa air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipinya?Ah!"Hei." Bellia tersentak ketika punggungnya ditepuk oleh seseorang dengan pelan. Kedua matanya sontak membulat melihat lelaki yang ada di hadapan."Kamu Bellia, 'kan?" Khaisar yang baru saja kembali dari toilet berusaha mengingat-ingat gadis yang berdiri di hadapannya. "Sedang
"Apa?! Mengundurkan diri?" Mata Anita sontak membulat.Bellia mengangguk tanpa berani menatap Anita."Kenapa mendadak sekali, Bellia? Apa kamu sedang ada masalah?"Bellia menggeleng pelan, dia tidak mungkin memberi tahu Anita alasan yang membuatnya keluar.Anita mengambil surat itu, membacanya dengan cepat lalu menatap Bellia dengan wajah penuh kebingungan. "Ini terlalu mendadak dan perusahaan masih membutuhkan kamu, Bellia. Lagi pula perusahaan kita menerapkan kebijakan one-month notice. Kamu bisa kena denda kalau berhenti tanpa pemberitahuan sebulan sebelumnya. Apa kamu tidak bisa menunggu sebentar lagi?"Bellia tanpa sadar menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat. Dia sudah memikirkan hal ini dan siap dengan segala risikonya. "Saya mengerti, Bu. Tapi maaf, saya benar-benar tidak bisa menunggu satu bulan lagi. Saya harus berhenti."Anita menatap Bellia dengan lekat. "Denda yang harus kamu bayar tidak sedikit, Bellia. Kalau kamu sanggup membayar pun namamu akan di-blacklist dari per
"Apa laporan penjualan bulan ini sudah selesai, Khai? Aku butuh datanya untuk pertemuan besok."Khai memeriksa berkas yang ada di tangannya lalu menjawab, "Sudah, Niel. Penjualan bulan ini meningkat tujuh persen dibanding bulan lalu. Tapi masih ada beberapa area yang mengalami penurunan, terutama di sektor retail.""Sektor retail?" Kening Daniel berkerut dalam, sebagai pengusaha muda yang namanya sudah terkenal di tanah air dia tidak suka jika pendapatan perusahaannya menurun. Sekecil apa pun itu."Kenapa bisa turun?""Karena daya beli masyarakat di pasar lokal turun, selain itu beberapa kompetitor mulai menawarkan diskon besar-besaran. Jadi, kita sedikit tertinggal dalam hal harga."Daniel begitu serius mendengarkan penjelasan Khaisar. "Kita tidak boleh terus-terusan kalah. Siapkan strategi baru dan evaluasi produk mana yang bisa kita promosikan lebih kuat tanpa menurunkan margin terlalu banyak."Khaisar diam-diam tersenyum setelah mendengar penjelasan Daniel. Dia akui kemampuan Dani
Bukan hal sulit bagi Khaisar untuk mencari tahu informasi tentang Bellia. Sebagai sekretaris sekaligus orang kepercayaan Daniel Moiz membuat Khaisar mempunyai keuntungan lebih untuk memanfaatkan jabatannya di perusahaan."Beri aku data anggota divisi marketing atas nama Bellia," pintanya pada HRD.Tanpa banyak tanya HRD segera memberi data yang Khaisar minta. "Ini, Pak.""Terima kasih." Khaisar langsung kembali ke ruangannya setelah mendapat data yang dia inginkan. Dia membaca data Bellia dengan cepat dan mencatat beberapa informasi penting sebelum diserahkan ke Daniel.Saat dia sedang serius membaca, telepon yang ada di atas meja kerjanya tiba-tiba berdering."Ya, Niel?""Apa kamu sudah mendapat informasi yang aku minta?""Iya." Khaisar mengangguk. "Tapi ada—""Berikan padaku!" perintah Daniel tegas lalu memutus sambungan teleponnya.Tanpa menunggu waktu lama Khaisar segera pergi ke ruangan Daniel."Bagaimana?" tanya Daniel. Suaranya terdengar datar, tapi mengandung rasa penasaran ya
Bellia lupa kapan terakhir kali dia bisa bernapas dengan lega seperti ini. Selama lima tahun terakhir kehidupan yang dia jalani terasa begitu berat, hingga membuatnya kesulitan untuk sekadar menarik napas.Kejadian malam itu masih membekas di ingatan Bellia sampai sekarang. Dia tidak akan pernah lupa ketika Daniel merenggut mahkota paling berharga di hidupnya dengan tidak sengaja.Saat dia ingin memberi tahu Daniel tentang kehamilannya dan kejadian yang sebenarnya, dia malah melihat Daniel berciuman dengan wanita lain di ruangannya.Akhirnya Bellia memutuskan untuk pergi dari kehidupan Daniel dan mencoba menjalani hidup tanpa bayang-bayang lelaki itu. Awalnya tentu saja tidak mudah, apa lagi kondisi Nenek Amira semakin hari semakin memburuk.Namun, Bellia tidak menyerah begitu saja karena dia memiliki tekad yang begitu kuat demi kesembuhan Nenek Amira serta bayi yang berada di dalam kandungannya.Kehidupan Bellia pun berangsur-angsur membaik setelah Marvell lahir. Kehadiran anak itu m
Bellia tidak bisa menikmati sarapan dengan tenang, dia mengunyah nasi gorengnya dengan enggan, sementara kedua matanya terus mencuri pandang ke arah Daniel yang duduk di hadapannya.Bellia tidak pernah menyangka dia akan kembali berciuman dengan Daniel. Dia bahkan mengalungkan kedua lengannya di leher lelaki itu dan membalas ciumannya tidak kalah panas.Entah setan apa yang sudah merasuki pikirannya. Dia mendadak berubah menjadi lebih liar jika bersama dengan Daniel. Lelaki itu mempunyai pesona dan daya tarik yang sangat kuat dan sulit sekali untuk ditolak.Untung saja Marvell tadi memanggilnya. Jika tidak, dia dan Daniel pasti sudah berakhir di ranjang."Kenapa kamu makan cuma sedikit? Apa kamu tidak berselera?"Pertanyaan Daniel barusan sukses membuat Bellia tergagap. "Em, tidak. Nasi goreng ini enak, kok."Daniel menatap Bellia dengan alis terangkat sebelah. Biasanya Bellia mengajak Marvell bicara saat makan, tapi ibu dari anaknya itu sekarang lebih banyak diam."Kenapa kamu dari t
"Mas Daniel, kamarnya sudah siap."Daniel segera beranjak dari tempat duduknya begitu mendengar suara Bellia, pergi ke kamar yang ada di sebelah."Maaf ya, Mas. Kamarnya jelek."Daniel mengamati kamar bernuansa biru muda itu. Sebuah ranjang berukuran sedang ada di tengah-tengan kamar. Di samping ranjang tersebut ada sebuah meja kayu yang menghadap langsung ke arah jendela. Di sebelah meja tersebut, ada sebuah pot bunga berukuran besar yang membuat suasana terasa lebih segar. Daniel akui kamar ini jauh lebih kecil dari pada kamarnya yang ada di apartemen. Namun, dia tidak mempermasalahkan hal tersebut. Dia hanya merasa sedikit kurang nyaman karena kamar ini tidak dilengkapi dengan mesin pendingin ruangan. Sepertinya dia harus tidur dengan bertelanjang dada agar tidak merasa gerah."Jangan bilang seperti itu, Bie. Kamar ini cukup nyaman. Terima kasih sudah mengizinkanku menginap di rumahmu.""Baiklah kalau begitu, selamat tidur, Mas."Daniel mengangguk, dia langsung melepas kemeja yang
Tiba-tiba saja Bellia menggeliat pelan lalu mengerjapkan kedua matanya perlahan. Dia sontak bangun dan duduk di ujung tempat tidurnya ketika sadar kalau dirinya berada di dalam kamar sementara Daniel berada sangat dekat dengannya.Lelaki itu bahkan menatapnya dengan sangat lekat. Seolah-olah tidak ada hal lain di dunia ini yang lebih imdah selain dirinya.“Ma-Mas Daniel?!” Bellia tersentak, jantungnya berdebar hebat karena mencium aroma musk bercampur dengan keringat yang menguar dari tubuh Daniel. Aroma yang menenangkan sekaligus membuat jantungnya berdebar.“Kamu tadi tidur sangat lelap, aku jadi tidak tega membangunkanmu. Karena itu aku membawamu ke sini,” jelas Daniel tanpa Bellia meminta.“Te-terima kasih,” ucap Bellia terdengar gugup. Bellia pikir Daniel akan segera menjauh dari darinya. Akan tetapi lelaki itu tetap bertahan di posisinya.“Bie ...,” panggil Daniel pelan. Suaranya terdengar rendah tapi dalam membuat Bellia gugup luar biasa.“Em, ya?” Bellia memberanikan diri memb
Bellia tidak langsung menjawab, terlalu banyak kebaikan yang sudah Daniel berikan untuknya. Dia merasa tidak pantas menerima kebaikan lelaki itu lagi.“Bie ....”Bellia tersentak ketika Daniel meraih kedua tangannya dan menggenggamnya dengan lembut. Entah mengapa tatapan Daniel yang begitu meneduhkan tidak mampu membuat perasaannya tenang. Dia justru merasa semakin gelisah.“Jangan pernah merasa tidak pantas menerima bantuanku, Bie.”Ucapan Daniel sukses membuat Bellia terhenyak. Sepasang iris hezelnya menatap Daniel dengan pandangan tidak percaya.Kenapa Daniel bisa membaca pikirannya? Apa lelaki itu seorang cenayang?“Aku bisa tahu apa yang sedang kamu pikirkan karena semua terlihat jelas di wajahmu.”“Maaf ....” Bellia menunduk dalam, dia merasa malu sekali sudah berpikir yang tidak-tidak tentang Daniel.Daniel menggenggam jemari tangan Bellia lebih erat. “Jadi ... bagaimana? Kamu mau menerima bantuanku, ‘kan?”Daniel bertanya dengan sangat hati-hati mengingat Bellia memiliki sifat
Jantung Bellia berdetak tidak karuan ketika melihat pesan yang baru masuk di ponselnya. Rasanya aneh sekali karena dia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Jantungnya sekarang berdegup kencang setiap kali nama Daniel muncul di layar ponselnya. Daniel tidak pernah absen mengirim pesan sejak dia memutuskan untuk memberi lelaki itu kesempatan. Isi pesan yang begitu manis membuatnya sempat berpikir kalau orang yang mengirim pesan bukanlah Daniel. Namun, dugaannya ternyata salah. Orang yang setiap pagi mengirim ucapan selamat pagi tersebut memang Daniel. Bellia tidak pernah menyangka orang sekaku dan sedingin Daniel bisa mengirim kalimat yang begitu manis pada dirinya. Sepertinya lelaki itu benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Awalnya Bellia sempat merasa ragu, tapi Daniel bisa membuktikan jika dirinya benar-benar serius lewat caranya sendiri. Perhatian serta kasih sayang yang lelaki itu berikan perlahan-lahan berhasil meruntuhkan dinding yang dia bangun d
“Kamu tidak turun?”Bellia tergagap, dia tidak menyadari jika mobil yang ditumpanginya sudah tiba di rumah karena terlalu asyik melamun. Daniel bahkan sudah membukakan pintu untuknya.Bellia pun cepat-cepat turun lalu mengucapkan terima kasih.Daniel hanya mengangguk lalu meraih tubuh Marvell yang sudah terlelap ke dalam gendongannya.“Biar saya saja, Pak.”Daniel menggeleng pelan. “Bukakan saja pintunya, biar aku yang menggendong Marvell ke kamar.”Bellia tidak membantah, dia segera membuka pintu rumahnya lalu menuntun Daniel ke kamar untuk menidurkan Marvell.“Apa kita bisa bicara sekarang?”Bellia tersentak, dia pikir Daniel akan langsung kembali ke kota setelah mengantarnya dan Marvell pulang. Akan tetapi lelaki itu langsung bertanya setelah menidurkan Marvell di kamar.“Aku tidak bisa manahannya lagi, Bellia. Kita harus bicara sekarang.”“Baiklah.” Bellia menghela napas panjang, perasaan gugup mulai menguasai dirinya. “Kita bicara di luar.”Bellia berjalan keluar dari kamarnya l
Suasana makan siang kali ini terasa sangat berbeda. Bellia biasanya selalu menanggapi apa yang sedang Marvell dan Daniel bicarakan di meja makan. Akan tetapi, dia kali ini lebih banyak diam dan sibuk dengan makanannya. Dia hanya menanggapi ucapan Marvell, seolah-olah tidak menganggap keberadaan Daniel.“Marvell sudah selesai makan?”“Sudah, Ma.”Bellia beranjak dari tempat duduknya, mengambil piring kotor milik Marvell dan Daniel lalu membawanya ke belakang untuk dicuci. Setelah selesai dia segera mengajak Marvell ke toko karena dia hari ini memiliki pesanan bunga lumayan banyak. Tidak lupa dia menyiapkan segala keperluan Marvell sebelum pergi agar anaknya itu tidak bosan selama menunggunya bekerja.“Aku akan mengantar kalian ke toko.”Bellia tersentak ketika Daniel tiba-tiba mengambil tas yang ada di tangannya menuju mobil lelaki itu.“Tidak perlu, Pak. Kami akan pergi naik motor,” ucap Bellia berusaha setenang mungkin, meski dalam hati dia merasa kesal sekali. Dia sontak berhenti me
Suasana di dalam mobil kembali hening, tapi ketegangan masih sangat terasa. Tangan Daniel mencengkeram kemudi dengan erat hingga buku-buku jarinya gemetar, napasnya pun terdengar tidak beraturan, menunjukkan emosi yang berusaha dia tahan.Kedua mata Daniel memang fokus memperhatikan jalan, tetapi pikirannya melayang pada kejadian di sekolah Marvell tadi. Bayangan Marvell yang menangis tersedu-sedu karena diejek teman-temannya terus melintas di pikirannya.Daniel tidak bisa berhenti menyalahkan diri. Dia merasa gagal dan tidak berguna menjadi seorang ayah. Seharusnya dia ada di sisi Marvell sejak awal. Seharusnya dia melindungi Marvell dari hinaan teman-temannya yang kejam.Seharusnya ....Daniel menarik napas dalam-dalam, berusaha menghalau sesak yang menghimpit dadanya. Andai saja lima tahun lalu dia mau menekan egonya dan mencari Bellia, Marvell tidak akan kehilangan sosok ayah dan mengalami kejadian buruk seperti tadi.Rasanya Daniel ingin sekali kembali ke masa lalu untuk memperba