"Bellia, hei?" Daniel menepuk-nepuk pipi Bellia dengan pelan untuk menyadarkan gadis itu. Namun, Bellia tetap setia memejamkan kedua matanya. Suhu tubuhnya juga sangat panas.
Daniel menaruh kedua tangannya di antara lutut dan bahu Bellia. Dengan mudah dia mengangkat tubuh Bellia ke dalam gendongannya.
Saat akan melangkah suara seorang wanita tiba-tiba menghentikan pergerakannya.
"Astaga! Bellia kenapa, Pak?"
Lisa baru tiba di depan kamar Bellia, karena curiga dengan atasannya yang tiba-tiba menanyakan Bellia tadi. Namun, justru ia dikejutkan dengan pemandangan yang membuatnya kesal.
"Sepertinya Bellia pingsan. Apa Bapak mau membawa Bellia ke rumah sakit?"
Daniel mengangguk sekilas lalu kembali melangkah. Dia ingin segera membawa Bellia ke rumah sakit agar cepat mendapatkan penanganan. Namun, Lisa lagi-lagi menahannya.
"Apa saya boleh ikut, Pak?"
Daniel membuka mulut hendak bicara, tapi Lisa lebih dulu berkata, "Saya Lisa, teman baik Bellia. Saya kahawatir sekali dengan keadaannya. Tolong izinkan saya ikut ke rumah sakit, Pak."
Daniel memperhatikan Lisa dengan lekat. Dilihat dari tatapan matanya sepertinya Lisa memang benar-benar mengkhawatirkan Bellia.
"Baiklah."
Lisa tersenyum senang lalu mengucapkan terima kasih pada Daniel. Sebelum pergi dia meminta izin pada Daniel untuk mengambil tasnya di kamar.
Senyum Lisa seketika lenyap ketika tiba di kamar. Jujur saja rasa kesal di hati Lisa masih belum hilang sejak melihat Daniel yang begitu peduli pada Bellia. Daniel bahkan ingin membawa Bellia ke rumah sakit padahal lelaki itu bisa menyuruh orang lain.
Daniel sekarang tidak terlihat seperti presdir dingin yang tak tersentuh. Daniel malah terlihat seperti pria yang khawatir dengan kekasihnya.
Kenapa Daniel begitu mengkhawatirkan Bellia? Apa mereka mempunyai hubungan spesial?
Kening Lisa semakin berkerut dalam ketika melihat benda berkilau di dekat pintu kamar hotelnya. Wajah gadis itu sontak berubah keras setelah tahu kalau benda itu adalah jepit rambut Bellia.
Mengapa jepit rambut Bellia itu bisa ada di depan pintu kamar? Bukannya selalu Bellia kenakan? Atau … tadi dari kejauhan Lisa melihat Daniel menunjukkan sesuatu pada Bellia sebelum Bellia pingsan.
Jadi, yang ditujukan Daniel tadi pada Bellia adalah jepit rambut Bellia? Tetapi, mengapa jepit rambut Bellia bisa ada di tangan Daniel?
Entah kenapa firasatnya mengatakan jika ada sesuatu yang terjadi di antara Daniel dan Bellia. Apa lagi tingkah Bellia aneh sekali hari ini.
Daniel berjalan dengan tenang menuju mobilnya yang sudah siap di depan. Dia sudah menduga akan banyak pasang mata yang terkejut sekaligus heran melihatnya turun sambil menggendong Bellia. Namun, Daniel terlihat tidak peduli, lagi pula dia sudah terbiasa menjadi pusat perhatian.
Daniel duduk di kursi belakang lalu meletakkan kepala Bellia dengan hati-hati di atas pangkuannya. Lisa ingin menemani Bellia duduk di belakang, tapi Daniel malah menyuruhnya untuk duduk di depan.
"Em, baik, Pak." Lisa mengembuskan napas kecewa lalu duduk di depan dengan terpaksa.
Jarak dari hotel ke rumah sakit tidak terlalu jauh. Butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk tiba di sana. Daniel langsung membawa Bellia ke UGD dan meminta dokter untuk memeriksanya.
"Tolong tunggu di luar."
Daniel mengangguk. Dia menunggu dokter selesai memeriksa Bellia di kursi kosong yang berada tepat di depan ruang UGD. Sementara Lisa memilih duduk di kursi yang agak jauh dari Daniel.
Detik demi detik berlalu. Lima belas menit kemudian dokter yang memeriksa Bellia tiba-tiba keluar dan bertanya siapa wali gadis itu.
"Saya, Dokter." Daniel sontak berdiri dari tempat duduknya lalu menghampiri dokter itu.
"Bagaimana keadaan Bellia?" tanyanya begitu tiba di ruangan dokter.
Lelaki berjas putih itu pun menjelaskan secara singkat tentang kondisi Bellia. Bellia ternyata mengalami gejala tifus dan kelelahan. Dia menyarankan agar Bellia dirawat selama dua sampai tiga hari untuk memulihkan kembali kesehatannya.
Daniel mengucapkan terima kasih pada dokter tersebut lalu pergi ke kamar Bellia. Ada perasaan aneh yang tidak Daniel mengerti sontak menyelip di dalam dirinya ketika melihat Bellia yang terbaring tidak sadarkan diri dengan tangan yang diinfus.
Daniel tersentak melihat jemari tangan Bellia yang tiba-tiba bergerak. "Kamu sudah sadar?"
Bellia mengerjapkan kedua matanya perlahan. Awalnya semua terlihat samar, tapi lama-kelamaan berubah jelas ketika cahaya putih yang menerebos masuk ke dalam indra penglihatannya.
"Syukurlah kamu sudah sadar."
Bellia sontak menoleh, menatap lelaki berwajah tampan yang duduk di sampingnya. "Pak Daniel?"
"Jangan bicara dulu, aku akan memanggil dokter untuk memeriksamu."
Bellia gelapan, jujur saja Bellia bingung kenapa dirinya tiba-tiba bisa berada di rumah sakit bersama Daniel. Padahal dia ingin sekali menghindari lelaki itu.
"Syukurlah kamu sudah sadar, Bell."
"Lisa!?" Bellia menatap Lisa dengan dahi berkerut dalam. Dia tidak sadar kalau ada orang lain di kamarnya karena terlalu fokus menatap Daniel.
Lisa berjalan menghampiri Bellia sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Kamu tadi pingsan, makanya Pak Daniel membawamu ke sini," jelasnya tanpa Bellia meminta.
Bellia sontak mengingat kejadian yang dialaminya beberapa jam yang lalu. Saat itu dia sedang beristirahat di kamar karena sakit kepala. Tiba-tiba saja Daniel mengetuk pintu kamarnya lalu bertanya tentang jepit rambut miliknya yang tertinggal di kamar lelaki itu.
Bellia belum siap menghadapi Daniel dan merasa sangat tertekan. Apalagi kondisinya sedang kurang enak badan. Sepertinya karena alasan itulah dia sampai pingsan.
"Syukurlah ada kamu, Lis. Aku pikir cuma di rumah sakit berdua sama Pak Daniel."
"Memangnya kenapa kalau cuma berdua?"
"Ti-tidak kenapa-kenapa." Bellia membuang pandangannya ke arah lain. Dia takut Lisa curiga kalau terjadi sesuatu di antara dirinya dan Daniel.
"Apa aku boleh tanya sesuatu, Bell?"
"Em, tentu ...," jawab Bellia ragu. Entah kenapa perasaan Bellia mendadak tidak tenang. Apa lagi tatapan Lisa tidak terlihat bersahabat seperti biasa.
"Apa ada sesuatu di antara kamu dan Pak Daniel?"
Bellia terkejut mendengar pertanyaan Lisa, tapi dia cepat-cepat mengubah wajahnya kembali tenang.
"Ti-tidak. Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?"
"Aku heran saja melihat Pak Daniel peduli sama kamu. Kalian benaran tidak punya hubungan apa-apa, ‘kan?"
"Tidak ada, Lis. Sungguh, aku tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Pak Daniel. Lagi pula aku cuma karyawan biasa. Aku tidak mungkin berani mendekati pria sempurna seperti Pak Daniel."
"Lalu ini apa?"
Tubuh Bellia menegang ketika Lisa menyentuh tanda merah yang dibuat Daniel di lehernya.
Bellia cepat-cepat menutupi lehernya. Padahal dia sudah berusaha menyembunyikannya dengan concealer, tapi Lisa ternyata masih bisa melihat tanda merah tersebut."Bukan apa-apa.""Sungguh?" Lisa menatap Bellia penuh dengan selidik."I-iya, ini hanya bekas gigitan nyamuk."Hanya orang bodoh yang percaya dengan ucapan Bellia. Sayangnya Lisa cukup pintar. Dia tahu kalau Bellia sedang membohonginya, tapi dia memilih diam.Sepertinya memang terjadi sesuatu di antara Daniel dan Bellia semalam, dan tanda merah itu adalah buktinya. Lisa pikir Bellia gadis yang baik dan polos, tapi gadis itu ternyata tidak ada bedanya dengan jalang di luar sana.Dan wanita itu menghabiskan malam dengan pria yang paling diinginkan di ibu kota! Lisa tidak bisa menahan kekesalannya pada Bellia.Bellia sontak menoleh ketika mendengar pintu kamarnya terbuka. Dari arah pintu, Daniel datang bersama seorang dokter paruh baya.Dokter itu langsung memeriksa kondisinya. Untung saja demamnya sudah turun, tapi dia tetap har
Aroma obat-obatan tercium jelas di ruangan serba putih itu. Namun, beberapa lukisan bergambar pemandangan alam yang menempel di dinding membuat suasana terasa lebih hangat.Bellia berulang kali menghela napas panjang sambil memperhatikan langit lewat jendela kaca yang ada di sebelah tempat tidurnya. Heningnya ruangan membuat pikiran Bellia melayang tidak tentu arah.Bellia merasa kesepian dan bosan. Tidak ada teman atau pun keluarga yang menemaninya seperti pasien yang dirawat di bangsal sebelah.Bellia menatap ponselnya dengan ragu. Setelah berpikir beberapa kali akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi tantenya. Namun, teleponnya tidak kunjung diangkat.Bellia pun berusaha menelepon lagi. Setelah beberapa kali mencoba, suara tante akhirnya terdengar di ujung telepon."Ada apa?" tanya Rianty—tante Bellia tanpa mengucap salam dan Bellia tidak merasa tersinggung ketika mendengarnya."Selamat siang, Tante. Bagaimana kabar Tante dan Nenek? Kalian baik, ‘kan?"Rianty tidak menjawab membu
"Kenapa Bapak di sini?" Jantung Bellia berdetak tidak karuan ketika Daniel berjalan mendekatinya. Rasanya dia ingin sekali kabur dari hadapan Daniel sekarang, tapi tubuhnya masih terasa lemas. "Kamu baik-baik saja?" Bellia tanpa sadar meremas selimutnya dengan erat. Setitik keringat dingin pun keluar membasahi pelipisnya. Bellia berusaha keras agar terlihat tenang meskipun dia merasa sangat gugup sekarang. Bellia tidak pernah menyangka Daniel akan kembali ke rumah sakit secepat ini, padahal Daniel tadi mengatakan kalau dia ingin mengikuti acara gathering kantor. "Saya baik-baik saja." "Sungguh?" "I-iya." Bellia memalingkan wajahnya ke arah lain, tidak tahan melihat mata Daniel yang terus menatapnya dalam-dalam, seolah-olah takut terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya. Apa lelaki itu mengkhawatirkannya? Bellia tanpa sadar meremas selimutnya semakin erat untuk menahan perasaan hangat yang menjalari dadanya. Dia tidak boleh merasa senang dengan perhatian kecil yang Daniel berik
Isakan kembali lolos dari bibir mungil Bellia yang meringkuk di atas ranjang sendirian. Sejak kemarin yang dia lakukan hanya menangis di dalam kamar.Bellia terlihat ... sangat menyedihkan.Kabar kehamilan ini begitu mengejutkan baginya. Seumur hidup Bellia tidak pernah membayangkan akan mengandung benih lelaki yang bahkan tidak peduli pada dirinya. Hidup Bellia seketika hancur, dunia seolah-olah runtuh. Dia butuh seseorang untuk berbagi keluh kesahnya, tapi tidak ada satu pun yang peduli dengannya.Bellia mengusap perutnya yang terlihat masih datar dengan tangan gemetar. Kesedihan, penyesalan, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu di dalam dirinya. Sebelum meninggal kedua orang tuanya berpesan agar menjaga diri dan tidak gegabah saat mengambil keputusan.Akan tetapi, kejadian malam itu telah menghancurkan segalanya. Tanpa sengaja dia sudah tidur dengan presdir yang selama ini dia hormati dan diam-diam dia kagumi, hingga hamil."Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" ucap Bellia terdengar
Bellia meremas pinggiran roknya dengan erat. Air mata terlihat menggenang di pelupuk matanya. Rasanya Bellia ingin sekali pergi dari ruangan Daniel tapi kedua kakinya seolah-olah tertancap, tidak mau bergerak.Bellia tidak tahu mengapa hatinya bisa sesakit ini melihat Daniel sedang mencium wanita lain, padahal mereka tidak mempunyai hubungan apa-apa. Mereka hanya orang asing yang tidak sengaja menghabiskan malam bersama.Apa dia cemburu?Bellia tanpa sadar meremas pinggiran roknya semakin erat hingga buku-buku jarinya gemetar untuk menghalau sesak yang menghimpit di dalam dadanya. Dia tidak berhak cemburu dengan Daniel.Ya, tidak mungkin. Akan tetapi, mengapa air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipinya?Ah!"Hei." Bellia tersentak ketika punggungnya ditepuk oleh seseorang dengan pelan. Kedua matanya sontak membulat melihat lelaki yang ada di hadapan."Kamu Bellia, 'kan?" Khaisar yang baru saja kembali dari toilet berusaha mengingat-ingat gadis yang berdiri di hadapannya. "Sedang
"Apa?! Mengundurkan diri?" Mata Anita sontak membulat.Bellia mengangguk tanpa berani menatap Anita."Kenapa mendadak sekali, Bellia? Apa kamu sedang ada masalah?"Bellia menggeleng pelan, dia tidak mungkin memberi tahu Anita alasan yang membuatnya keluar.Anita mengambil surat itu, membacanya dengan cepat lalu menatap Bellia dengan wajah penuh kebingungan. "Ini terlalu mendadak dan perusahaan masih membutuhkan kamu, Bellia. Lagi pula perusahaan kita menerapkan kebijakan one-month notice. Kamu bisa kena denda kalau berhenti tanpa pemberitahuan sebulan sebelumnya. Apa kamu tidak bisa menunggu sebentar lagi?"Bellia tanpa sadar menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat. Dia sudah memikirkan hal ini dan siap dengan segala risikonya. "Saya mengerti, Bu. Tapi maaf, saya benar-benar tidak bisa menunggu satu bulan lagi. Saya harus berhenti."Anita menatap Bellia dengan lekat. "Denda yang harus kamu bayar tidak sedikit, Bellia. Kalau kamu sanggup membayar pun namamu akan di-blacklist dari per
"Apa laporan penjualan bulan ini sudah selesai, Khai? Aku butuh datanya untuk pertemuan besok."Khai memeriksa berkas yang ada di tangannya lalu menjawab, "Sudah, Niel. Penjualan bulan ini meningkat tujuh persen dibanding bulan lalu. Tapi masih ada beberapa area yang mengalami penurunan, terutama di sektor retail.""Sektor retail?" Kening Daniel berkerut dalam, sebagai pengusaha muda yang namanya sudah terkenal di tanah air dia tidak suka jika pendapatan perusahaannya menurun. Sekecil apa pun itu."Kenapa bisa turun?""Karena daya beli masyarakat di pasar lokal turun, selain itu beberapa kompetitor mulai menawarkan diskon besar-besaran. Jadi, kita sedikit tertinggal dalam hal harga."Daniel begitu serius mendengarkan penjelasan Khaisar. "Kita tidak boleh terus-terusan kalah. Siapkan strategi baru dan evaluasi produk mana yang bisa kita promosikan lebih kuat tanpa menurunkan margin terlalu banyak."Khaisar diam-diam tersenyum setelah mendengar penjelasan Daniel. Dia akui kemampuan Dani
Bukan hal sulit bagi Khaisar untuk mencari tahu informasi tentang Bellia. Sebagai sekretaris sekaligus orang kepercayaan Daniel Moiz membuat Khaisar mempunyai keuntungan lebih untuk memanfaatkan jabatannya di perusahaan."Beri aku data anggota divisi marketing atas nama Bellia," pintanya pada HRD.Tanpa banyak tanya HRD segera memberi data yang Khaisar minta. "Ini, Pak.""Terima kasih." Khaisar langsung kembali ke ruangannya setelah mendapat data yang dia inginkan. Dia membaca data Bellia dengan cepat dan mencatat beberapa informasi penting sebelum diserahkan ke Daniel.Saat dia sedang serius membaca, telepon yang ada di atas meja kerjanya tiba-tiba berdering."Ya, Niel?""Apa kamu sudah mendapat informasi yang aku minta?""Iya." Khaisar mengangguk. "Tapi ada—""Berikan padaku!" perintah Daniel tegas lalu memutus sambungan teleponnya.Tanpa menunggu waktu lama Khaisar segera pergi ke ruangan Daniel."Bagaimana?" tanya Daniel. Suaranya terdengar datar, tapi mengandung rasa penasaran ya
Bellia cepat-cepat menghampiri Marvell dan Daniel. Raut cemas tergambar jelas di wajah cantiknya. Bellia merasa panik sekali melihat Marvell menangis hingga lupa kalau dia ingin memarahi Daniel yang mengirim truk makanan ke sekolah tanpa meminta izin pada dirinya. “Marvell kenapa? Kenapa kamu menangis? Apa kamu jatuh?” Marvell mengangkat wajahnya perlahan lalu mengulurkan kedua tangannya ke atas. Bellia langsung meraih tubuh Marvell ke dalam dekapan, lalu meriksa tubuh anak itu dari atas sampai bawah untuk memastikan jika tidak ada yang terluka. Bellia akhirnya bisa bernapas sedikit lega setelah memastikan kalau Marvell baik-baik saja. Dia pun menepuk-nepuk punggung Marvell dengan pelan agar perasaan anak itu menjadi lebih tenang. “Marvell, jangan menangis lagi, ya? Mama di sini ....” Hati Bellia begitu terisis mendengar tangisan Marvell. Dalam hati dia bertanya-tanya apa yang terjadi pada Marvell hingga membuat anak itu menangis sehebat ini. Apa Marvell baru saja dimarahi guru
Suasana di sekolah Marvell yang biasanya sepi tiba-tiba berubah ramai. Truk-truk makanan berjejer rapi di halaman sekolah, masing-masing dihiasi logo perusahaan milik Daniel. Para siswa, guru, bahkan staf sekolah berkerumun dengan penuh rasa ingin tahu. Kepala sekolah sendiri tampak tergopoh-gopoh keluar dari ruangannya, tersenyum lebar menyambut Daniel, lelaki yang menjadi pusat perhatian siang itu. Daniel berdiri tegap di samping salah satu truk, mengenakan jas kasual yang tetap memancarkan wibawanya. Dia berbicara singkat dengan kepala sekolah, menjelaskan bahwa ini adalah bentuk perhatian untuk anak-anak di sekolah, terutama untuk Marvell. Kepala sekolah yang merasa tersanjung terus mengucapkan terima kasih, bahkan mengundang Daniel masuk ke dalam ruangan. Namun, Daniel menolak dengan sopan, lebih memilih menunggu di halaman agar bisa melihat Marvell. Senyum tipis menghiasi bibir Daniel ketika Marvell yang berjalan keluar dari kelas bersama teman-temannya dengan lesu. Anak itu
"Papa ada urusan penting di kantor dan harus berangkat pagi-pagi sekali, Sayang. Jadi Papa tidak sempat pamit sama Marvell." Marvell menatap Bellia dengan sayu. "Jadi, Papa gak ninggalin Marvell lagi?" Bellia menggeleng pelan lalu mengusap air mata yang membasahi pipi Marvell. "Tidak, Sayang. Papa tidak mungkin meninggalkan Marvell lagi," ucapnya terdengar menenangkan meski di dalam hatinya dia merasa sangat bersalah sudah membohongi Marvell. "Marvell mandi dulu, ya? Setelah itu sarapan lalu berangkat sekolah." Marvell mengangguk lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sedangkan Bellia kembali ke dapur untuk menyelesaikan masakannya yang sempat tertunda. Selama memasak Bellia tidak berhenti memikirkan Marvell. Semakin besar, Marvell sepertinya mulai sadar jika hubungan mama dan papanya tidak sama seperti orang tua pada umumnya. Apa lagi Daniel tidak tinggal satu rumah bersama mereka. Lelaki itu hanya datang saat jam makan siang, setelah itu kembali ke kota untuk men
Daniel langsung mengantar Marvell dan Bellia pulang setelah selesai makan malam. Daniel sebenarnya ingin mengajak Marvell pergi ke toko mainan sebelum pulang, tetapi Marvell mengantuk. Akhirnya dia terpaksa mengantar mereka kembali ke rumah.Suasana di dalam mobil begitu hening. Tidak ada yang membuka suara di antara keduanya. Daniel terlihat fokus mengendarai mobilnya sambil sesekali melirik Bellia yang duduk di sampingnya. Wanita itu sejak tadi hanya diam, memperhatikan jalanan lewat kaca mobil yang ada di sampingnya.Daniel tanpa sadar mendengkus kesal. Apa jalanan itu lebih menarik daripada dirinya?“Bell ...,” panggil Daniel pelan tetapi sukses membuat Bellia tersentak.“Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkanmu.”Bellia hanya mengangguk. Jujur saja dia tidak tahan terjebak di situasi yang sangat canggung bersama Daniel dan ingin cepat-cepat keluar dari mobil lelaki itu.“Bagaimana keadaan nenekmu?” Daniel akhirnya bertanya, mencoba menghilangkan rasa canggung yang sempat melingku
Bellia terkejut mendengarnya, tetapi Daniel malah tertawa.“Aku hanya bercanda,” ucap Daniel sambil mengusap puncak kepala Bellia dengan gemas. Dia buru-buru menurunkan tangannya setelah sadar dengan apa yang baru saja dirinya lakukan.“Sorry ...,” ucapnya pelan.Bellia hanya mengangguk sambil berusaha menormalkan kembali detak jantungnya.Keesokan harinya Daniel menepati ucapannya untuk datang menemui mereka. Seperti biasa dia menemani Marvell bermain sebentar setelah itu makan siang bersama Marvell dan Bellia.Obrolan mereka di meja makan mengalir begitu saja, tetapi lebih didominasi oleh Marvell yang menceritakan aktivitasnya di sekolah.“Kalian nanti malam ada acara?”Bellia seketika berhenti mengunyah makanannya lantas menatap Daniel dengan penuh tanda tanya.“Aku ingin mengajak kalian makan malam bersama.”Bellia tidak mampu menyembuyikan keterkejutannya, berbagai kemungkinan buruk seketika melintas di pikirannya.Bagaimana kalau ada orang yang melihatnya makan malam bersama Mar
Bellia sedang sibuk memotong sayur untuk dijadikan sup di dapur. Samar-samar telinganya mendengar Marvell yang sedang asyik menyusun lego dengan Daniel di ruang tengah. Terkadang Marvell tertawa kecil, bertanya tentang hal yang tidak dia ketahui, dan menceritakan banyak hal pada Daniel.Bellia tidak pernah menyangka jika hari ini akan tiba. Hari di mana Marvell akhirnya mengetahui siapa ayah kandungnya.Bellia pikir Marvell sudah bahagia hidup berdua dengannya. Sebagai seorang ibu pun dia sudah berusaha memberi yang terbaik untuk anak itu.Namun, dia ternyata salah. Marvell tetap membutuhkan sosok ayah untuk mendampingi hidupnya, lalu Daniel tiba-tiba saja datang dan menawarkan diri untuk merawat Marvell bersama-sama.Awalnya Bellia merasa ragu, apa lagi Daniel selama ini selalu bersikap dingin pada siapa pun. Akan tetapi, sosok Daniel yang dia lihat tadi benar-benar berbeda.Lelaki itu berbicara dengan sangat lembut pada Marvell. Tidak ada nada dingin dan intimidasi yang keluar dari
Bellia menatap kertas yang Daniel tunjukkan pada dirinya dengan perasaan tidak karuan, antara takut dan cemas. Terlebih setelah melihat logo sebuah rumah sakit yang tertulis di sana. Tanpa sadar dia menggelengkan kepala, menolak permintaan Daniel.“Kamu baca sendiri atau perlu aku yang membacanya?” tanya Daniel, suaranya terdengar rendah tetapi tegas. Menuntut Bellia agar segera membaca surat tersebut.Jantung Bellia berdetak tidak nyaman, setitik keringat dingin keluar membasahi pelipisnya, wajahnya pun berubah pucat. Bellia terlihat seperti anak kucing yang berhadapan dengan seekor serigala.Tatapan tajam Daniel membuat Bellia tidak berdaya. Dia tunduk, takluk di hadapan lelaki itu.Dengan tangan gemetar dia meraih kertas tersebut lalu membacanya. Sepasang iris hezel miliknya memperhatikan dengan lekat setiap kata yang tertulis di sana. Semakin ke bawah, jantung Bellia berdetak semakin tidak karuan. Apa lagi setelah menemukan hasil tes DNA Marvell dan Daniel.“99,99 persen cocok,”
Kaki Daniel bergerak gelisah, decakan kesal berulang kali lolos dari bibirnya. Daniel berusaha fokus memeriksa berkas yang ada di tangannya. Akan tetapi, dia tidak bisa fokus karena memikirkan hasil tes DNA-nya dan Marvell yang akan keluar hari ini.Waktu satu minggu terlalu lama bagi Daniel. Setiap hari dia terus mendesak rumah sakit yang dipilih Khaisar agar cepat memproses tes DNA-nya dan Marvell. Akan tetapi, ternyata banyak sekali prosedur yang harus mereka lakukan dan pihak rumah sakit memintanya untuk menunggu paling lama satu minggu.Daniel refleks mengangkat kepalanya ketika mendengar pintu ruangannya terbuka. Dia cepat-cepat beranjak dari tempat duduknya lalu menghampiri Khaisar yang baru masuk ke ruangannya dengan tidak sabar.“Bagaimana?”Khaisar tersenyum lalu mengambil sebuah amplop berlogo rumah sakit dari dalam tas yang dibawanya, setelah itu dia menyerahkannya ke Daniel.“Ini.”Daniel menatap amplop di tangan Khaisar dengan jantung berdetak hebat. Debarannya bahkan ja
Kondisi Amira berangsur-angsur membaik setelah lima hari dirawat di rumah sakit. Selama itu pula Bellia tidak pernah absen menjaga wanita itu. Dia hanya pulang sebentar untuk mengantar Marvell ke sekolah, setelah itu kembali ke rumah sakit dan meminta tolong Dita untuk menjemput Marvell di sekolah.Awalnya Marvell sempat protes karena selama lima hari ini waktunya lebih banyak tersita di rumah sakit. Sebagai seorang ibu Bellia sangat paham dengan apa yang Marvell rasakan. Anak itu pasti merindukan dirinya.Sejak kecil Marvell tidak pernah lepas darinya. Anak itu selalu ikut ke mana pun dia pergi. Dia bahkan membawa Marvell ke toko bunga sepulang sekolah karena dia tidak ingin merepotkan suster yang merawat neneknya di rumah. Mungkin karena alasan itu Marvell menjadi sangat bergantung pada dirinya.Jujur saja Bellia sebenarnya juga merindukan Marvell. Dia ingin mengantar jemput Marvell di sekolah seperti biasa, menemani anak itu mengerjakan tugas sekolah, menyiapkan sarapan, dan mem