Beranda / Romansa / Cinta Sang Merpati / Chapter 1: Sepasang Merpati

Share

Cinta Sang Merpati
Cinta Sang Merpati
Penulis: Deany Na

Chapter 1: Sepasang Merpati

Penulis: Deany Na
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-10 16:57:24

Suara sumbang seorang pemuda terdengar memekakkan, mengikuti alunan musik dari lubang-lubang radio yang tidak kalah kerasnya. Pemuda tersebut melajukan kendaraan beroda empat menuju Kota Bandung, tampak di google maps dari layar ponselnya, menempel erat pada dashboard mobil.

Dari mulai bangunan perkantoran, supermarket, hingga mall yang tinggi menjulang beralih menjadi bangunan-bangunan sedang dan kecil. Perjalanannya tak lama lagi berakhir setelah melewati pepohonan berjejer di sepanjang jalan. Hawa sejuk semakin terasa pada setiap inci kulitnya. Dia memilih mematikan AC agar tubuh tidak membeku. Suasana Bandung mulai terasa kental setelah melewati beberapa persimpangan jalan dan stasiun-stasiun di sana.

Pemuda tersebut memberhentikan kendaraannya tepat di sebuah rumah dengan halaman depan yang cukup luas. Ketika menengok google maps, lingkaran biru menunjukan lokasinya berada di Kecamatan Majalaya.

Dia menurunkan kaca mobil, sudah ada seorang pria menunggu di depan rumah, terdapat garasi mobil di samping kanan rumah. Pemuda itu segera memarkirkan mobil kesayangan di luar garasi berlantai semen setelah pagar besi digeser oleh pemiliknya.

Dia keluar dari mobil berlogo ‘T’. Pakaian yang digunakannya sangat sederhana sekali. Hanya kaus hitam bertuliskan 'Komunitas Pecinta Merpati' dengan sablon bergambar merpati tepat di tengah dada. Tak lupa celana pendek berwarna abu-abu di bawah lutut dengan saku di kedua sisinya. Dia menyisir rambut hitamnya kebelakang, sambil mematut diri di depan kaca mobil.

“Assalamu'alaikum!” seru si pemuda dengan senyum melintang, lalu melangkah lebar menghampiri pria berkaus putih dan bercelana hitam itu. “Bapak Dedeng Koswara, ‘kan?”

“Wa'alaikumussalam. Iya, ini saya, Dedeng. Asli,” jawab Pak Dedeng langsung menyalami pemuda di depannya dengan tersenyum ramah sekali.

“Ah, kirain salah alamat, hehe. Ini saya Regi Aerlangga, Pak. Yang mau beli merpati hias bapak,” jelas Regi, cengirannya terlihat jelas setelah mengusap dada. Lega.

“Oh, hayu atuh, Jang Regi. Urang ngopi hela,” ajak Pak Dedeng sambil merangkul Regi masuk ke rumahnya. [Oh, ayo, Nak Regi. Kita ngopi dulu].

“Engh, ngopi?”

“Iya, ngopi,” ujarnya seraya memperagakan tangan mengaduk kopi.

Regi menolak. Kedua tangannya terangkat dan menggeleng pelan. “Enggak, deh, Pak. Saya mau liat-liat merpatinya dulu, boleh?”

“Boleh-boleh. Kandangna sebelah sini,” jawabnya sembari mempersilakan Regi berjalan terlebih dahulu. Mereka melangkah beriringan menuju ke belakang rumah Pak Dedeng.

Kicauan merpati anakan sudah terdengar sejak tadi. Semakin nyaring ketika mereka sampai di sebuah kandang burung berbentuk rumah, berdinding kawat, dengan atap dari seng bercat putih. Banyak sekali jenis merpati di dalam, ada juga yang terbang keluar lewat pintu kayu—di dekat atap—bercat putih yang sengaja di buka oleh pemiliknya.

Sisi luar terdapat beberapa pohon tertanam. Dahan dan daunnya menutupi atap, membentuk kesan asri di sekitar kandang. Padahal arloji pada tangan menunjukkan pukul dua belas lewat tiga puluh menit, yang seharusnya mentari menyorotkan hawa panas dari sinarnya. Namun, ini Bandung. Tetap terasa sejuk meski bayangan diri hanya terlihat seperempat dari badan.

Pak Dedeng membuka pintu, mempersilakan Regi masuk terlebih dahulu. “Maaf, ya, Jang. Sedikit kotor kandangna.”

“Enggak juga, Pak. Bersih kok di sini.”

Kondisi di dalam kandang benar-benar bersih sebenarnya—mungkin Pak Dedeng sekadar berbasa-basi. Lalu karena warna kandang dominan putih, jadi lebih enak di pandang. Regi menengok sisi kiri dan kanan kandang, terbentang meja panjang, di atasnya berjejer rumah burung layaknya kos-kosan berbentuk kotak. Dia langsung mengenali bahan dasar rumah burung, terbuat dari aluminium sehingga mudah untuk dibersihkan.

“Jadi, kalau Jang Regi lagi nyari indukan, ada di sebelah sini," ujar Pak Dedeng mengacu pada kotak di kanan, terhitung lima kotak dari depan, "kalau sebelah sana kebanyakan masih piyik[1] dan baru di lepas dari indukna. Jadi, suarana teh masih 'kikk kikk kikk' gitu.”

Regi hanya mengangguk-angguk saja sambil memicingkan mata. “Kalau merpati yang baru dijodohkan ada enggak, Pak?” tanyanya seraya mengapit jempol di dagu.”

“Ada, sebelah sini,” ujar Pak Dedeng beralih pada kotak sebelah kiri. Regi ikut memutar tubuh kemudian menunduk bersamaan dengan Pak Dedeng.

“Oh! Sepasang Merpati Show King!” seru Regi, matanya mengerjap, berbinar cerah ketika pintu kotak dibuka. Sedangkan sepasang merpati di dalam kotak perlahan mundur ke pojokan.

“Bapak menangkarkan merpati hias apa saja selain jenis ini?” tanya Regi setelah puas menatap merpati dengan bulunya yang putih bersih itu. 

“Ada banyak, kalau di sini cuma ada 4 jenis. Termasuk yang ini, Lahore, Fantail, sama satu lagi Saxon Fairy Swallow.

“Waduh, sangar-sangar, ya.” Dengan senyuman yang tidak pernah pudar, Regi menolak pinggang seraya berucap, “Saya boleh liat-liat yang lain 'kan, Pak?”

“Oh, boleh atuh. Silakan diliat-liat dulu, Jang.”

Mendengar persetujuan dari pemiliknya, Regi tersenyum lima jari, telapak tangan digosokkan sampai terasa hangat. Satu per satu rumah para merpati ia buka.

Pada rumah pertama, sepasang Merpati Show King tadi mundur kembali ke sudut. Warna bulunya sangat bersih dan seputih susu. Merpati jantan berdiri dengan dada membusung, sementara betinanya berlindung di balik si jantan. Pada sarang kayu berisi jerami, belum ada bekas retakan cangkang telur ataupun lelehan lendir dan air, menandakan bahwa mereka belum menjadi indukan.

“Benar-benar baru dijodohin ya. Cara breeding-nya gimana nih, Pak?” tanya Regi, tangannya berusaha menangkap si pejantan, namun lolos berkali-kali.

“Saya mah cuma pakek satu cara aja kalau di sini. Biarin aja indukna meloloh anakna sampe siap dipisahin. Kalau di penangkaran yang satuna saya pakek cara babuan juga,” jelas Pak Dedeng.

Regi mengangguk lagi, cukup paham dengan penjelasan Pak Dedeng, “Jadi selain di sini, bapak menangkarkan beberapa jenis merpati hias di tempat lain juga?”

“Uhun, Jang. Soalna kalau di dieu sadaya mah terlalu sempit kandangna.” [Iya, Nak. Soalnya kalau di sini semua terlalu sempit kandangnya.]

Untungnya Regi sedikit belajar tentang bahasa Sunda, sehingga dirinya cukup mengerti perkataan dari Pak Dedeng.

Regi kembali membuka rumah merpati. Kali ini, giliran Merpati Lahore yang terlihat begitu anggun. Corak hitam dari paruh dan pialnya membelah leher hingga punggung dan sayap, mirip seperti penguin. Tampak si betina sedang mengerami telur-telurnya dan membekur pelan agak terganggu. Sementara sang jantan berdiri di dekat betinanya, melirik-lirik waspada.

“Yang ini udah bertelor toh, Pak?”

“Iya, kalau yang itu baru kemarin bertelur.”

“Wah, keren!” seru Regi, melanjutkan kembali melihat-lihat yang lain.

Pada rumah burung ke tiga ada sepasang Merpati Fantail. Ciri yang paling menonjol yaitu pada ekor mereka yang menyerupai kipas.

Yang terakhir memiliki nama cukup panjang, yaitu Saxon Fairy Swallow. Sesuai dengan namanya 'peri', jenis merpati yang satu ini menang sangatlah menarik. Bagian kepala sampai ekor berwarna dasar putih. Sedangkan sayap dan bulu-bulu kaki berwarna lain—sesuai induknya. Pada kepalanya terdapat noktah warna—yang hanya memenuhi dahinya saja. Sementara kakinya terbungkus oleh bulu-bulu hias. Jika dirawat dan tidak banyak yang patah, kakinya akan terlihat seperti mengenakan sandal bulu.

Dari kejauhan terdengar kumandang azan asar, tidak terasa sudah selama ini Regi berada di kandang merpati, rasanya tidak ingin keluar.

“Saya mau salat dulu, ya, Jang. Istri saya lagi buat kopi, Jang Regi bisa duduk dulu di teras rumah,” jelas Pak Dedeng, memasukan kembali ponsel ke dalam saku celana setelah mengetik sesuatu pada layarnya.

“Oke, Pak. Siap!” Regi mengacungkan jempolnya dengan senyuman seperti biasa. Seketika netranya melirik rumah kotak berisi Merpati Show King setelah Pak Dedeng tak tampak keberadaannya.

Regi membuka lagi pintu seukuran rumah kotak itu. Tatapannya tajam dengan seringai aneh mencuat dari bibir. Sang merpati jantan tampak waswas, menatap Regi dengan mata bulatnya.

“Kalian akan kubeli sebentar lagi. Jadi, siap-siap, oke?”

Sang jantan merasakan aura aneh dari manusia di depannya. Itu sebabnya dari pertama melihat Regi, si pejantan refleks melindungi betinanya.

Bersambung... 

________________________________________


Ket:

[1] Merpati anakan, masih belum lengkap lar-nya.

Bab terkait

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 2: Manusia (1)

    Di depan rumah Pak Dedeng, Regi menabur pakan burung dua kali. Seketika gerombolan merpati langsung menyambar dan menukik ke bawah, mematuk-matuk pakan yang sudah di tebar, suara bekur mereka terdengar kian rusuh. Seulas senyum terukir jelas pada bibirnya.Langkah terdengar dari belakang, Regi menoleh dan mendapati Pak Dedeng berjalan sembari membawa sangkar burung yang ditutup kain hitam.

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-11
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 3: Manusia (2)

    Rombongan Bus Pariwisata bergerak dari arah Ibu Kota menuju Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Terdapat poster besar yang ditempel pada kedua sisi bus, bertuliskan SMA N 1 MAMETI. Setiap bus diberi nomor sesuai urutan dari kelas 11-A sampai 11-F. Kebanyakan siswa masih terlelap, hanya bus dari kelas 11-F saja yang terdengar bising. Kebisingan tersebut berasal dari beberapa siswa dan siswi di kursi belakang. Mereka menyanyikan banyak lagu dengan irama acakadut, tak berseni sama sekali.“Arghh! Ara! Kuping lo gak sakit apa? Ih, diem mulu!” protes Yuliana Latifa, teman sebangku Zaara Yulanda—Ara merupakan nama panggilan akrabnya. Yulia menarik-narik lengan Ara memaksanya bangkit dari duduk.

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-12
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 4: Manusia (3)

    “Enghh, gak ... ada apa-apa kak ....” Kalimatnya tergantung di udara.Sekilas Yulia tampak menyinggung Ara, ia berbisik, “Namanya Alif, Alif.”“Ah, iya, Kak Alif, ehehe.” Ara tertawa garing, hanya dirinya yang tertawa. Kak Alif justru menghembuskan napas dalam. Sedangkan Yulia dan teman lainnya terlihat menahan tawa.***Sepanjang perjalanan mengitari Cagar Alam, Zaara berusaha keras untuk memperhatikan penjelasan Kak Alif. Ia mencatat semua hal yang penting-penting saja.Dari destinasi pertama, situs Batu Kalde atau Sapi Gumarang. Situs prasasti ini diyakini merupakan reruntuhan sebuah Candi Hindu Kuno. Pada candi terdapat sebuah arca berbentuk anak sapi, dipercaya sebagai jelmaan Raden Arya Sapi Gumarang. Kala itu beliau menjabat sebagai menteri pertanian Kerajaan Pananjung.Destinasi yang kedua sebenarnya

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-13
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 5: Manusia (4)

    Manusia berkulit putih kemerahan itu berjalan menggunakan kedua kaki, terlihat tanpa busana. Kakinya penuh luka lecet akibat ranting beserta kerikil yang tersebar di tanah. Sementara kedua lengan menempel lekat pada badan.Saat itu, betisnya mulai berguncang hebat, ia tersungkur karena tidak sanggup menahan berat tubuh. Napas beradu cepat sejalan dengan dada yang naik turun. Garis rahang yang tegas menandakan bahwa ia seorang laki-laki. Rambutnya yang seputih susu kini lusuh dan lepek penuh keringat, sangat mirip dengan uban.Monyet-monyet ekor panjang mulai turun dari pohon-pohon besar untuk mengamati. Mereka berkomunikasi dengan sesama, namun tidak berani untuk mendekati si laki-laki. Saat matanya menjeling, para monyet berlarian ke segala arah lalu memanjat pohon-pohon di sekitar. Laki-laki itu memperhatikan cara berjalan dan kabur kumpulan monyet tadi.Laki-laki itu mulai menjejakkan kaki dengan tangan sebagai penopa

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-14
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 6: Perjalanan

    Si pejantan sudah tak telanjang lagi. Kaus putih dan celana pendek kakao membungkus tubuhnya. Dia berjongkok di sisi dalam ambulans. Surai putih bersihnya tampak mengkilat terkena sinar lampu jalan yang menelusup kaca mobil. Kondisinya sekarang tidak kotor seperti sebelumnya.Tiba-tiba mobil yang dia tumpangi terguncang karena parkir di sebuah rest area, Bandung. Terdapat plang raksasa bertuliskan ‘Rest Area Saduma’.Pejantan sempat mematung, ia berjinjit kemudian menuju kaca mobil. Samar-samar terlihat empat manus

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-15
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 7: Ke Jakarta

    Dini hari di Bandung sudah seperti dini hari di gunung. Hawa sejuk bagai es meleleh menelusup dari celah-celah pakaian. Nadya dan Nur tidur berdua di mobil, sedikit terusik dengan hawa dinginnya. Jaket hitam ukuran laki-laki membungkus tubuh Nadya bagai selimut. Sementara Nur tertutup jaket tebal yang baru ia beli kemarin malam di toko grosir dekat rest area.Tiba-tiba terdengar suara ketukan kaca berulang-ulang di sebelah Nur tidur, tapi tidak digubris. Nur masih memejamkan matanya erat, seperti tak ingin diganggu oleh siapapun.Namun, suara ketukan itu makin sering, kemudian muncul seseorang balik kaca mobil. “Nur ... bangun ... udah subuh ...,” bisiknya.Seketika Nur menegakkan badan dan menutup mulut saat menguap. Dirinya membuka pintu mobil kemudian meraih tas kecil berisi mukena padadashboardmobil. Kedua maniknya masih sulit terbuka meski sudah turun. Rupanya yang memanggil adalah Fadil, terlihat membawa s

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-16
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 8: Kehidupan Baru

    Pukul enam lebih dua puluh menit, Nadya berangkat dari rumah menuju panti Sinar Asih mengunakan motor metic kesayangan. Ia memakai helm SNI dengan kecepatan normal sesuai peraturan berlalu lintas. Tatkala berpapasan dengan lampu merah, Nadya menghentikan laju motornya. Sembari menunggu kendaraan lain lewat, dirinya membuka kaca helm sebentar kemudian mengambil ponsel dari saku jaket hitam dan mengetik pesan pada layar datar di depannya. Jika ada yang bertanya mengapa Nadya mengenakan jaket laki-laki, ia hanya ingin mengembalikan jaket itu pada pemiliknya, Jaka. Bermalam di Rest Area Bandung membuat tubuhnya menggigil itulah sebabnya jaket Jaka ada padanya dan ia lupa mengembalikannya.Biasanya pada jam-jam segini Jaka sudah ada di panti bersama

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-17
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 9: Wanita Aneh

    “Alhamdulillah, Baik. Jang Regi sendiri?”“Saya juga baik, Pak. Bapak di sini mau nonton aja atau?”“Oh, kalau saya baru aja daftarin Merpati Wulung saya di sini. Jang Regi mau liat?”“Boleh.”Seperti tiga bulan lalu, mereka mengobrol dengan baik, bagaikan teman akrab yang baru bertemu setelah sekian lama. Rencana Regi berhasil, selama bercakap-cakap dengan Pak Dedeng ia tidak ditanyai lagi soal merpati yang sudah dijual pada seorang wanita cantik.Tak terasa kontes unggas berbulu cantik akan segera dimulai. Pak Dedeng meminta izin dengan sopan meskipun dirinya lebih tua dari Regi. Mereka akhirnya berpisah, sementara Regi segera menjauh dari kerumunan orang dan keluar dari ruangan in-door tersebut.“Gila! Untung si bapak gak sadar,” sesal Regi. Ia menggeleng sembari menghembuskan napas kasar. “Setidaknya gue bisa ngalihin topik, jadi aman,” gumamnya sambil berjalan mendatangi mo

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-22

Bab terbaru

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 18: Move On

    Hari ini, Zaara sudah boleh pulang. Tanpa dipinta, Tante Putri membereskan beberapa barangnya. Zaara tidak enak hati, sebab Tante Putri tampak tulus membantunya. Dia merasa jadi orang jahat karena terlanjur berpura-pura menjadi pacar Theo. Sudah begitu, dia keceplosan mengungkap perasaaannya selama menjalin hubungan tidak nyata ini.Zaara menyesali kelakuannya minggu lalu. Mungkin hal itu pula yang membuat Theo jarang menengoknya. Entah sejak kapan rasa itu dimulai.Apa mungkin karena terlalu sering bertemu, cinta tumbuh begitu saja tanpa diminta? Atau hanya napsu belaka? Entah, Zaara tidak tahu.Yang pasti, saat ini hatinya sedang merindu. Ingin saling bercanda dan tertawa seperti dulu. Namun, bila berhadapan langsung ... Zaara tidak berani untuk memandang.“Za, coba sini. Tante udah masukin barang kamu ke tas. Cek dulu, takut ada yang ketinggalan,” seru Putri memanggil Zaara yang mematung di ranjang.

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 17: Menyatakan Cinta

    Pagi-pagi sekali, sekitar jam 06.30 WIB, Tante Putri sudah ada di depan pintu rumah Lalisa. Rumah tersebut memiliki dua lantai dengan desain modern minimalis. Beliau menekan bell berkali-kali tanpa henti. Membuat penghuninya kebisingan dan tak bisa melanjutkan tidur dengan tenang.Waktu itu, Lalisa tidak tahu siapa orang yang bertamu. Napasnya berhenti di kerongkongan ketika melihat sosok Putri yang menatapnya.“Ta-tante?” Lisa memundurkan tubuh selangkah, “kok ke sini? Ada apa?”“Ayo bicara. Tante tunggu kamu di cafe biasa,” tandasnya kemudian pergi terlebih dahulu meninggalkan Lisa.Melihat kepergian Tante Putri, membuatnya sedikit lega. Namun, perlakuan Putri pada Lisa tidak berakhir sampai disitu saja.Terbukti ketika Lisa sudah duduk di cafe langganan Tante Putri, beliau tak ubahnya mertua jahat yang sedang menatap penuh kebencian. Begitulah sosok Putri di mata Lisa sekarang, padahal nyatanya i

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 16: Ini Cinta?

    Di perjalanan menuju rumah Zaara, Theo sempat mengirim chat. Fokusnya kembali pada setir mobil sambil memandangi aspal rata di depan. Beberapa menit menunggu tak ada balasan. Ponselnya tidak menunjukkan getaran pertanda pesan. Ah, mungkin sedang siap-siap, pikirnya.Selama setengah jam lebih dua puluh, Theo sampai di depan rumah Zaara. Dirinya menekan pagar lalu berjalan memasuki pekarangan rumah, ia menekan bell dekat pintu masuk. Cukup lama menunggu, pintu tidak di buka juga. Dia berinisiatif membuka pintu dari luar, dan terbuka tanpa kendala. Dari sini kecurigaannya terbentuk.Alis bertaut hingga bersatu. Theo mengamati kesuluruhan rumah itu. Tak ada siapa-siapa. Hanya terdapat ponsel tergeletak di lantai dekat meja tamu. “Ini?” gumamnya dengan tatapan yang berubah cemas. Ini ponsel Zaara, anehnya kenapa ada di lantai?“Zaara!” Theo refleks memanggil nama. Lalu berjalan menuju kamar Zaara dan tidak mendapati siapapun.

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 15: DIA

    “Hai!! Tante bawa makan siang, nih,” seru Tante Putri dengan raut riang gembira. Beliau menyambar lengan Zaara dan duduk di sopa ruang tamu tanpa izin. Rantang modern yang sedari tadi ditenteng, lekas disimpan di meja kaca.Zaara tak bisa berkata-kata. Kehadiran Tante Putri diluar perkiraannya. Zaara berpikir Lalisa yang ada di depan pintu, tapi nyatanya bukan. Setelah Tante Putri menyiapkan lauk dan nasi di meja makan, muncul Theo dari balik pintu yang terbuka. Awalnya ia terkejut melihat pintu tidak dikunci, kemudian berlari ke dapur. Mulutnya menganga tak percaya melihat ada Tante Putri dengan Zaara yang duduk di kursi, tersaji berbagai jenis lauk pauk di meja. Segera ia merapat di samping Zaara, karena Tante Putri menyuruhnya duduk.“Tan—eh maksudku Ma, kok ada di sini? Papa gak di rumah?”“Nanya begitu, emangnya kenapa? Gak boleh?”Selalu dan selalu saja begitu. Setiap ditanya soal Om Regi, beliau seperti tidak

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 14: Hadirnya Masa Lalu

    Pukul 08.30 malam, Theo sudah rapi, memakai jas dan parfum dengan tatanan rambut seperti hari biasa. Saatnya menjemput Zaara menggunakan mobil pribadi yang terparkir di garasi. Sebetulnya, mobil ini kembali saja sudah untung. Ia pasrah jika mobil silvernya tidak kembali berkat insiden bersama Lisa tempo hari. Tak tahunya Tante Putri yang mengembalikan dengan kondisi utuh. Baguslah, Theo tak usah repot-repot lagi menunggu bus di halte.Ketika sampai depan rumah Zaara, pemiliknya sudah menunggu di depan pintu. Dress brukat warna pastel benar-benar cocok dengan imaje Zaara. Theo tersenyum seraya mengulurkan tangan. “Terima kasih sudah bersedia mengikuti permainanku,” tuturnya menampilkan gigi yang berderet rapi.Zaara memukul lengan Theo dengan tas tangan, sungguh malu mendengar kata-kata tersebut. Berhari-hari mereka latihan menjadi sepasang kekasih, akhirnya ia bisa mengikuti permainan Theo.

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 13: Kencan

    “Theo, Mama tadi hubungi Papa, katanya perjodohan kamu sama Lalisa gak bisa dibatalin.”“Terus gimana, Ma? Aku udah punya Zaara,” rengek Theo seraya menggenggam pergelangan ibu angkatnya.Tante Putri menggeleng lemah, ia sendiri bingung, sebab perjodohan Theo dan Lalisa sudah ditentukan sejak lama; saat mereka masih remaja.Sebenarnya Theo sudah menduga hal ini. Seketika mendengkus kesal. Karena Om Regi tidak mungkin setuju perjodohan tersebut dibatalkan, karena orang tua Lalisa bersahabat baik dengan Om Regi, bisa hancur hubungan mereka jika salah satu anaknya tersakiti.Theo pun duduk pada di kursi, depan ruang rawat Zaara. Saat berpikir dia menautkan jemari. “Ma, gimana kalau Lisa yang minta bantalin perjodohannya?”Putri duduk di samping anaknya dengan sebelah alis yang mencuat. “Maksud kamu gimana?”“Aku pengin Lisa yang nyerah sama perjodohan ini. Mungkin kalau kayak gitu, bis

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 12: Perempuan Itu (2)

    Berbeda dengan zaman dulu, memanggil 118 merupakan hal wajib di zaman ini. Selain agar ambulans lebih cepat datang, pasien kritis harus segera ditangani. Namun Theo sama sekali tidak ada keinginan untuk melihat proses penanganan para medis pada tubuh si gadis. Dirinya tak sanggup melihat darah. Warna merah pekat dan kental membuatnya teringat akan darah segar yang keluar ketika Tuannya menyembelih seekor ayam sebagai konsumsi. Masih terekam jelas di benaknya jeritan ngeri tak terelakkan. Sampai sekarang gemetar pada kedua lengan masih tetap ada, meski tidak begitu terlihat jelas.“Pak Theo Aerlangga? Apakah Bapak yang menelepon ambulans?”Theo menengadah. Garis matanya tertuju pada seorang pria berbadan gempal, beliau mengenakan atribut kepolisian. Theo lekas berdiri dari trotoar penuh debu lalu berkata, “Iya, saya. Ada apa ya, Pak?”Si bapak menjelaskan, Theo dibutuhkan keterangannya sebagai saksi. Sedangkan tersangka sudah ditangk

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 11: Perempuan Itu (1)

    Agustus 2032Theo Aerlangga, salah satu creator dari beberapa komik yang ada di platform online. Ia sudah menjadi pemuda dengan segudang prestasi. Satu tahun lalu, ada perusahaan dari Jepang, salah seorang perwakilannya menawarkan kontrak eksklusif. Syarat wajib agar dapat dikontrak, dirinya harus pindah ke Jepang dan berkarya di sana. Tentu, Theo tidak mau. Selain sudah merasa nyaman di Indonesia, harapan semasa remaja masih ia genggam erat-erat.“Hee, selesai sudah!” pekik Theo lekas menghempaskan badan pada sandaran kursi. Pen stylus tergeletak sejalan dengannya yang meregangkan tubuh. Tatapannya kuyu karena begadang semalaman untuk menuntaskan episode terakhir.Ingin rasanya langsung tidur dan bermimpi indah, tapi pekerjaannya masih belum selesai. Mau tak mau Theo harus berkutat dengan PC-nya setelah Pen Tablet ia peluk semalaman. Tinggal selangkah lagi, setelah publikasi episode terakhir, pekerjaannya selesai.

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 10: Orang Tua Angkat

    Derit pintu terdengar dibuka. Sosok Jaka terpampang jelas dibaliknya. Ia terlihat memakai topi dan tersenyum pada Theo lalu menatap Nadya. “Sayang, hadiah mainan untuk pasien anak-anak disimpen di mana lagi, ya? Di gudang udah penuh.”“Di ruangan pasien yang kosong aja, jangan sampai anak-anak tahu.”“Em, Theo gak bakal di kasih?”“Enggak, Theo gak suka mainan.”“Oke deh.”Jaka pun keluar dan kembali pada aktivitasnya—merapikan main-main yang ia bawa dari mobil ke ruang tak terpakai. Sedangkan semburat kemerahan menyasar wajah Nadya, mengingat dirinya baru seminggu menikah dengan Jaka. Rasanya seperti mimpi, karena saat itu Jaka melamarnya secara tiba-tiba tanpa menjalin kasih terlebih dulu. Memang mereka sudah saling mengenal satu sama lain sebagai teman, tapi hal itu jauh berbeda. Butuh beberapa minggu untuk Nadya memikirkan lamaran Jaka. Namun, pada akhirnya mereka menikah tanpa halangan yang ber

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status