Si pejantan sudah tak telanjang lagi. Kaus putih dan celana pendek kakao membungkus tubuhnya. Dia berjongkok di sisi dalam ambulans. Surai putih bersihnya tampak mengkilat terkena sinar lampu jalan yang menelusup kaca mobil. Kondisinya sekarang tidak kotor seperti sebelumnya.
Tiba-tiba mobil yang dia tumpangi terguncang karena parkir di sebuah rest area, Bandung. Terdapat plang raksasa bertuliskan ‘Rest Area Saduma’.
Pejantan sempat mematung, ia berjinjit kemudian menuju kaca mobil. Samar-samar terlihat empat manusia berkumpul di sisi kanan ambulans.
Di luar, cahaya matahari sudah hilang diganti oleh bulan yang berpendar menghiasi malam. Seorang gadis dengan rambut diikat membawa sekotak nasi, tampak berjalan mendekati ambulans beserta dua pemuda lainnya.
Pemuda dengan topi hitam terbalik membuka pintu belakang ambulans. Ia berkata pada gadis itu, “Gua baru pertama kali liat pasien kayak gini. Lu aja yang kasih makan, Nad.” Manik cokelatnya meneliti pergerakan si pejantan. Sorot matanya menunjukkan rasa takjub dan heran secara bersamaan.
Sementara gadis yang dipanggil ‘Nad’ menghela napas enggan. “Mentang-mentang aku suka pelihara binatang ... enak banget ya, suruh-suruh?” hardiknya dengan mata mendelik.
Si pemuda bertopi langsung menampilkan senyum lebar tanpa dosa. “Tapi, emang lu yang bikin dia mau mandi dan pake baju. Dari pada sama kita, ya gak, Dil?” tanyanya pada Fadil—pemuda yang memakai tas selempang hitam—tepat di sisi kanan ambulans.
“Betul, kalau Mas Jaka sama saya yang kasih makan takutnya kabur. Kayaknya cuma Mbak Nadya yang bisa ngurusin pasien kali ini, hehe,” tutur Fadil, cari aman.
“Bilang aja kalian takut.”
Nadya malas meladeni dua lelaki bernyali kecil. Kedua kakinya lekas menginjak tepi ambulans dan berjinjit masuk. Dia menampilkan senyum terbaik pada si pejantan.
Awalnya, kotak nasi memang ditepis dengan kedua tangan mengepak layaknya sayap, sebab belum terlihat jelas wajah Nadya. Namun, setelah begitu dekat, hanya tinggal beberapa buku jari lagi, pejantan berhenti membekur.
Dua pemuda yang menonton tampak terkagum-kagum. Jaka bertepuk tangan secara otomatis. Dia pun menyenggol Fadil agar bertepuk tangan juga. “Hebat! Hebat! Udah cocok jadi ibu kamu, Nad!” serunya antusias.
“Ibu apaan?”
Meski tidak begitu terlihat, si pejantan bisa memastikan bahwa Nadya tersenyum sesaat. Sayangnya, dia sama sekali tidak mengerti apa arti dari lengkungan bibir itu. Irisnya kembali fokus pada tangan Nadya yang menyodorkan sendok beserta nasi dan lauk.
Pejantan tidak tahu harus bagaimana, karena paruhnya sudah hilang. Rasanya ingin sekali memakan itu, tapi sulit. Bahkan sekarang dia bingung dengan diri sendiri. Mengapa pemikirannya menjadi serumit ini?
“Kenapa? Adik enggak lapar?” tanya Nadya.
“Dia gak ngerti omongan lu, Nad,” kata Jaka.
“Aku tau!”
“Mending simpen aja nasi kotaknya. Nanti juga dimakan sendiri.”
“Gak! Aku mau suapin dia sampe kenyang.”
Jaka menghela napas kemudian. Jika seorang Nadya sudah keras kepala, memang susah untuk dirayu. “Ya, oke. Gua sama Fadil mau ke minimarket dulu beli rokok ya?”
“Nur, ke mana?” tanya Nadya tanpa menoleh.
“Dia masih salat di mushola. Tunggu aja, entar juga balik.”
Dengan suara datar Nadya berucap, “Yaudah.”
Jaka mulai dongkol, ia membuka topi seraya mengacak-acak rambut lalu memakainya lagi. “Yuk, lah. Cabut!” ajaknya segera beranjak menuju minimarket diikuti Fadil.
***
Selama berbelanja di minimarket dekat rest area, mereka terpisah. Masing-masing membeli barang sesuai kebutuhan. Jaka membeli lima kotak rokok lalu mengantri di kasir. Lain halnya dengan Fadil, dia justru membeli satu keranjang cemilan berbagai jenis, bentuk, dan rasa. Melihat itu semua, membuat rahang Jaka menganga.
“Gila! Lu beneran pengin makan itu semua?”
“Saya baru sembuh dari sakit kemarin, jadi kurusan. Ibu nyuruh makan banyak biar gemukan.”
“Geli banget gua denger kata-katanya,” gumam Jaka. Saat di tatap Fadil, ia mengalihkan pandangan pada kaleng-kaleng susu di samping.
Tampak Fadil keheranan dengan tingkah Jaka kemudian bertanya, “Mas Jaka bilang apa tadi?”
“Enggak, bukan apa-apa.” Jaka menggeleng dengan bola mata membesar.
Selepas orang di depannya pergi, Jaka langsung menaruh lima kotak rokok dengan bungkus warna putih di meja kasir. Sambil menunggu semua belanjaan dihitung, dua bungkus permen dia ambil. Hal tersebut dilakukan untuk menyembunyikan rasa sungkannya pada Fadil.
Mbak kasir membungkus lima kotak rokok dan dua bungkus permen Mint lalu menyebutkan jumlah pembelian. Jaka mengambil dompet dari saku celana kemudian membayar.
Sebelum melepas kembalian dan kresek putih, mbak kasir mulai kepo, “Mas, yang punya ambulans di luar ya?”
Jaka melirik dua ambulans yang masih setia menunggunya. Ia menjawab, “Iya.” Lalu menarik kembalian uang kertas dan kresek putih dengan ogah-ogahan.
Si mbak kasir malah menarik lagi uang kertas di tangan. “Isinya manyat ya, Mas? Kalau orang sakit gak mungkin masnya sempet belanja di sini.”
Jaka tidak menjawab, maniknya justru mengernyit pertanda tak suka.
Bukannya berhenti mbak kasir malah menambah pertanyaan sambil cekikikan. “Kok gak jawab, Mas? Lagi sariawannya? Hihihi.”
Seketika uang ditarik paksa. Mbak kasir langsung tersentak dan mematung di tempat. Sebelum pergi Jaka berucap, “Kerja tuh yang bener. Jangan sambil ngurusin hidup orang, Mbak. Ngerti?!”
“Ng-ngerti, Mas.”
Wajah Fadil ikut menegang, dia bergegas membayar belanjaannya setelah dihitung oleh mbak kasir. Kemudian menyusul Jaka dengan satu kresek besar di tangan.
“Mas, kenapa? Kok ngegas?” tanya Fadil setelah menyelaraskan langkahnya dengan Jaka.
Namun, Jaka sekadar menjawab, “Gak papa.
Seketika Fadil menutup mulutnya rapat-rapat. Tak ingin terkena dampaknya seperti mbak yang tadi.
Jaka dan Fadil telah sampai ambulans berbarengan dengan Nadya yang menutup pintu belakang mobil.
Nadya berbalik. Seketika alisnya bertaut melihat raut wajah Jaka. “Tuh muka kusut amat. Ada apa?”
Bukannya menjawab, Jaka malah salah tingkah. Dia berdeham, kedua pipinya memanas. “Gak, bukan apa-apa.”
“Oh, yaudah,” ucap Nadya menimpali.
Dari jauh, gadis muda berkerudung baru saja selesai sembahyang. Dia Nur, bergegas menghampiri teman-temannya dari arah mushola.
“Duh, maaf ya, guys. Gue kelamaan,” ujarnya dengan napas putus-putus. Dia memeluk tas kecil berisi mukena[2].
Dari atas sampai bawah Nadya memandangi Nur, perempuan itu sudah rapi dengan lipstik warna coral kegemarannya. “Gak masalah. Lagian kita juga masih lama di sini. Makan malemnya jadi, kan?” tanyanya pada teman-teman yang lain.
“Jadi dong. Saya udah bawa banyak cemilan buat kita berempat nih,” jawab Fadil sambil menyerahkan kresek yang dari tadi ia jinjing. Nadya menyambutnya dengan hati berbunga. Memang cemilan selalu bisa menaikan mood-nya.
“Loh, katanya itu semua buat lu sendiri?”
“Kapan saya bilang begitu?”
Jaka bungkam. Memang Fadil tidak pernah bilang kalau semua cemilan itu untuk sendiri. Rasanya Jaka semakin tidak enak hati karena telah mengumpatkan sesuatu yang tidak sopan pada Fadil.
“Gua gak ikut makan, deh. Belum laper,” ucap Jaka mengalihkan fokus obrolan.
“Tumben. Biasanya paling garcep, apa lagi kalau makan-makannya dibayarin,” ujar Nadya.
“Buat sekarang ada kecualinya, ha ha ha.” Jaka tertawa garing. Tidak lucu sama sekali padahal Nadya termasuk orang yang mudah tertawa. Apa lagi Fadil dan Nur, mereka justru heran melihatnya.
“Yaudah. Nih, jatah buatmu,” ucap Nadya lalu melempar sebungkus kripik kentang pada Jaka. “Kita makan-makan dulu ya? Bye bye, Jaka.” Lalu melambai dengan wajah berseri.
Jaka menatap lekat Nadya hingga punggungnya menghilang bersama Nur dan Fadil. Netranya memandangi bungkus kripik dan tersenyum tipis. “Kekanakan banget. Masa gue cemburu sama pasien,” gumamnya.
Penasaran dengan kondisi pasien, Jaka mengintipnya sebentar dari balik kaca mobil. Sayup-sayup terlihat pasien yang tertidur dengan posisi duduk. Pasien kali ini emang keliatan beda banget, pikirnya.
Bersambung...
______________________________________
Ket:
[1] Orang Dalam Gangguan Jiwa.
[2] Kain selubung berjahit untuk menutup aurat wanita Islam pada waktu salat.
Dini hari di Bandung sudah seperti dini hari di gunung. Hawa sejuk bagai es meleleh menelusup dari celah-celah pakaian. Nadya dan Nur tidur berdua di mobil, sedikit terusik dengan hawa dinginnya. Jaket hitam ukuran laki-laki membungkus tubuh Nadya bagai selimut. Sementara Nur tertutup jaket tebal yang baru ia beli kemarin malam di toko grosir dekat rest area.Tiba-tiba terdengar suara ketukan kaca berulang-ulang di sebelah Nur tidur, tapi tidak digubris. Nur masih memejamkan matanya erat, seperti tak ingin diganggu oleh siapapun.Namun, suara ketukan itu makin sering, kemudian muncul seseorang balik kaca mobil. “Nur ... bangun ... udah subuh ...,” bisiknya.Seketika Nur menegakkan badan dan menutup mulut saat menguap. Dirinya membuka pintu mobil kemudian meraih tas kecil berisi mukena padadashboardmobil. Kedua maniknya masih sulit terbuka meski sudah turun. Rupanya yang memanggil adalah Fadil, terlihat membawa s
Pukul enam lebih dua puluh menit, Nadya berangkat dari rumah menuju panti Sinar Asih mengunakan motor metic kesayangan. Ia memakai helm SNI dengan kecepatan normal sesuai peraturan berlalu lintas. Tatkala berpapasan dengan lampu merah, Nadya menghentikan laju motornya. Sembari menunggu kendaraan lain lewat, dirinya membuka kaca helm sebentar kemudian mengambil ponsel dari saku jaket hitam dan mengetik pesan pada layar datar di depannya. Jika ada yang bertanya mengapa Nadya mengenakan jaket laki-laki, ia hanya ingin mengembalikan jaket itu pada pemiliknya, Jaka. Bermalam di Rest Area Bandung membuat tubuhnya menggigil itulah sebabnya jaket Jaka ada padanya dan ia lupa mengembalikannya.Biasanya pada jam-jam segini Jaka sudah ada di panti bersama
“Alhamdulillah, Baik. Jang Regi sendiri?”“Saya juga baik, Pak. Bapak di sini mau nonton aja atau?”“Oh, kalau saya baru aja daftarin Merpati Wulung saya di sini. Jang Regi mau liat?”“Boleh.”Seperti tiga bulan lalu, mereka mengobrol dengan baik, bagaikan teman akrab yang baru bertemu setelah sekian lama. Rencana Regi berhasil, selama bercakap-cakap dengan Pak Dedeng ia tidak ditanyai lagi soal merpati yang sudah dijual pada seorang wanita cantik.Tak terasa kontes unggas berbulu cantik akan segera dimulai. Pak Dedeng meminta izin dengan sopan meskipun dirinya lebih tua dari Regi. Mereka akhirnya berpisah, sementara Regi segera menjauh dari kerumunan orang dan keluar dari ruangan in-door tersebut.“Gila! Untung si bapak gak sadar,” sesal Regi. Ia menggeleng sembari menghembuskan napas kasar. “Setidaknya gue bisa ngalihin topik, jadi aman,” gumamnya sambil berjalan mendatangi mo
Derit pintu terdengar dibuka. Sosok Jaka terpampang jelas dibaliknya. Ia terlihat memakai topi dan tersenyum pada Theo lalu menatap Nadya. “Sayang, hadiah mainan untuk pasien anak-anak disimpen di mana lagi, ya? Di gudang udah penuh.”“Di ruangan pasien yang kosong aja, jangan sampai anak-anak tahu.”“Em, Theo gak bakal di kasih?”“Enggak, Theo gak suka mainan.”“Oke deh.”Jaka pun keluar dan kembali pada aktivitasnya—merapikan main-main yang ia bawa dari mobil ke ruang tak terpakai. Sedangkan semburat kemerahan menyasar wajah Nadya, mengingat dirinya baru seminggu menikah dengan Jaka. Rasanya seperti mimpi, karena saat itu Jaka melamarnya secara tiba-tiba tanpa menjalin kasih terlebih dulu. Memang mereka sudah saling mengenal satu sama lain sebagai teman, tapi hal itu jauh berbeda. Butuh beberapa minggu untuk Nadya memikirkan lamaran Jaka. Namun, pada akhirnya mereka menikah tanpa halangan yang ber
Agustus 2032Theo Aerlangga, salah satu creator dari beberapa komik yang ada di platform online. Ia sudah menjadi pemuda dengan segudang prestasi. Satu tahun lalu, ada perusahaan dari Jepang, salah seorang perwakilannya menawarkan kontrak eksklusif. Syarat wajib agar dapat dikontrak, dirinya harus pindah ke Jepang dan berkarya di sana. Tentu, Theo tidak mau. Selain sudah merasa nyaman di Indonesia, harapan semasa remaja masih ia genggam erat-erat.“Hee, selesai sudah!” pekik Theo lekas menghempaskan badan pada sandaran kursi. Pen stylus tergeletak sejalan dengannya yang meregangkan tubuh. Tatapannya kuyu karena begadang semalaman untuk menuntaskan episode terakhir.Ingin rasanya langsung tidur dan bermimpi indah, tapi pekerjaannya masih belum selesai. Mau tak mau Theo harus berkutat dengan PC-nya setelah Pen Tablet ia peluk semalaman. Tinggal selangkah lagi, setelah publikasi episode terakhir, pekerjaannya selesai.
Berbeda dengan zaman dulu, memanggil 118 merupakan hal wajib di zaman ini. Selain agar ambulans lebih cepat datang, pasien kritis harus segera ditangani. Namun Theo sama sekali tidak ada keinginan untuk melihat proses penanganan para medis pada tubuh si gadis. Dirinya tak sanggup melihat darah. Warna merah pekat dan kental membuatnya teringat akan darah segar yang keluar ketika Tuannya menyembelih seekor ayam sebagai konsumsi. Masih terekam jelas di benaknya jeritan ngeri tak terelakkan. Sampai sekarang gemetar pada kedua lengan masih tetap ada, meski tidak begitu terlihat jelas.“Pak Theo Aerlangga? Apakah Bapak yang menelepon ambulans?”Theo menengadah. Garis matanya tertuju pada seorang pria berbadan gempal, beliau mengenakan atribut kepolisian. Theo lekas berdiri dari trotoar penuh debu lalu berkata, “Iya, saya. Ada apa ya, Pak?”Si bapak menjelaskan, Theo dibutuhkan keterangannya sebagai saksi. Sedangkan tersangka sudah ditangk
“Theo, Mama tadi hubungi Papa, katanya perjodohan kamu sama Lalisa gak bisa dibatalin.”“Terus gimana, Ma? Aku udah punya Zaara,” rengek Theo seraya menggenggam pergelangan ibu angkatnya.Tante Putri menggeleng lemah, ia sendiri bingung, sebab perjodohan Theo dan Lalisa sudah ditentukan sejak lama; saat mereka masih remaja.Sebenarnya Theo sudah menduga hal ini. Seketika mendengkus kesal. Karena Om Regi tidak mungkin setuju perjodohan tersebut dibatalkan, karena orang tua Lalisa bersahabat baik dengan Om Regi, bisa hancur hubungan mereka jika salah satu anaknya tersakiti.Theo pun duduk pada di kursi, depan ruang rawat Zaara. Saat berpikir dia menautkan jemari. “Ma, gimana kalau Lisa yang minta bantalin perjodohannya?”Putri duduk di samping anaknya dengan sebelah alis yang mencuat. “Maksud kamu gimana?”“Aku pengin Lisa yang nyerah sama perjodohan ini. Mungkin kalau kayak gitu, bis
Pukul 08.30 malam, Theo sudah rapi, memakai jas dan parfum dengan tatanan rambut seperti hari biasa. Saatnya menjemput Zaara menggunakan mobil pribadi yang terparkir di garasi. Sebetulnya, mobil ini kembali saja sudah untung. Ia pasrah jika mobil silvernya tidak kembali berkat insiden bersama Lisa tempo hari. Tak tahunya Tante Putri yang mengembalikan dengan kondisi utuh. Baguslah, Theo tak usah repot-repot lagi menunggu bus di halte.Ketika sampai depan rumah Zaara, pemiliknya sudah menunggu di depan pintu. Dress brukat warna pastel benar-benar cocok dengan imaje Zaara. Theo tersenyum seraya mengulurkan tangan. “Terima kasih sudah bersedia mengikuti permainanku,” tuturnya menampilkan gigi yang berderet rapi.Zaara memukul lengan Theo dengan tas tangan, sungguh malu mendengar kata-kata tersebut. Berhari-hari mereka latihan menjadi sepasang kekasih, akhirnya ia bisa mengikuti permainan Theo.
Hari ini, Zaara sudah boleh pulang. Tanpa dipinta, Tante Putri membereskan beberapa barangnya. Zaara tidak enak hati, sebab Tante Putri tampak tulus membantunya. Dia merasa jadi orang jahat karena terlanjur berpura-pura menjadi pacar Theo. Sudah begitu, dia keceplosan mengungkap perasaaannya selama menjalin hubungan tidak nyata ini.Zaara menyesali kelakuannya minggu lalu. Mungkin hal itu pula yang membuat Theo jarang menengoknya. Entah sejak kapan rasa itu dimulai.Apa mungkin karena terlalu sering bertemu, cinta tumbuh begitu saja tanpa diminta? Atau hanya napsu belaka? Entah, Zaara tidak tahu.Yang pasti, saat ini hatinya sedang merindu. Ingin saling bercanda dan tertawa seperti dulu. Namun, bila berhadapan langsung ... Zaara tidak berani untuk memandang.“Za, coba sini. Tante udah masukin barang kamu ke tas. Cek dulu, takut ada yang ketinggalan,” seru Putri memanggil Zaara yang mematung di ranjang.
Pagi-pagi sekali, sekitar jam 06.30 WIB, Tante Putri sudah ada di depan pintu rumah Lalisa. Rumah tersebut memiliki dua lantai dengan desain modern minimalis. Beliau menekan bell berkali-kali tanpa henti. Membuat penghuninya kebisingan dan tak bisa melanjutkan tidur dengan tenang.Waktu itu, Lalisa tidak tahu siapa orang yang bertamu. Napasnya berhenti di kerongkongan ketika melihat sosok Putri yang menatapnya.“Ta-tante?” Lisa memundurkan tubuh selangkah, “kok ke sini? Ada apa?”“Ayo bicara. Tante tunggu kamu di cafe biasa,” tandasnya kemudian pergi terlebih dahulu meninggalkan Lisa.Melihat kepergian Tante Putri, membuatnya sedikit lega. Namun, perlakuan Putri pada Lisa tidak berakhir sampai disitu saja.Terbukti ketika Lisa sudah duduk di cafe langganan Tante Putri, beliau tak ubahnya mertua jahat yang sedang menatap penuh kebencian. Begitulah sosok Putri di mata Lisa sekarang, padahal nyatanya i
Di perjalanan menuju rumah Zaara, Theo sempat mengirim chat. Fokusnya kembali pada setir mobil sambil memandangi aspal rata di depan. Beberapa menit menunggu tak ada balasan. Ponselnya tidak menunjukkan getaran pertanda pesan. Ah, mungkin sedang siap-siap, pikirnya.Selama setengah jam lebih dua puluh, Theo sampai di depan rumah Zaara. Dirinya menekan pagar lalu berjalan memasuki pekarangan rumah, ia menekan bell dekat pintu masuk. Cukup lama menunggu, pintu tidak di buka juga. Dia berinisiatif membuka pintu dari luar, dan terbuka tanpa kendala. Dari sini kecurigaannya terbentuk.Alis bertaut hingga bersatu. Theo mengamati kesuluruhan rumah itu. Tak ada siapa-siapa. Hanya terdapat ponsel tergeletak di lantai dekat meja tamu. “Ini?” gumamnya dengan tatapan yang berubah cemas. Ini ponsel Zaara, anehnya kenapa ada di lantai?“Zaara!” Theo refleks memanggil nama. Lalu berjalan menuju kamar Zaara dan tidak mendapati siapapun.
“Hai!! Tante bawa makan siang, nih,” seru Tante Putri dengan raut riang gembira. Beliau menyambar lengan Zaara dan duduk di sopa ruang tamu tanpa izin. Rantang modern yang sedari tadi ditenteng, lekas disimpan di meja kaca.Zaara tak bisa berkata-kata. Kehadiran Tante Putri diluar perkiraannya. Zaara berpikir Lalisa yang ada di depan pintu, tapi nyatanya bukan. Setelah Tante Putri menyiapkan lauk dan nasi di meja makan, muncul Theo dari balik pintu yang terbuka. Awalnya ia terkejut melihat pintu tidak dikunci, kemudian berlari ke dapur. Mulutnya menganga tak percaya melihat ada Tante Putri dengan Zaara yang duduk di kursi, tersaji berbagai jenis lauk pauk di meja. Segera ia merapat di samping Zaara, karena Tante Putri menyuruhnya duduk.“Tan—eh maksudku Ma, kok ada di sini? Papa gak di rumah?”“Nanya begitu, emangnya kenapa? Gak boleh?”Selalu dan selalu saja begitu. Setiap ditanya soal Om Regi, beliau seperti tidak
Pukul 08.30 malam, Theo sudah rapi, memakai jas dan parfum dengan tatanan rambut seperti hari biasa. Saatnya menjemput Zaara menggunakan mobil pribadi yang terparkir di garasi. Sebetulnya, mobil ini kembali saja sudah untung. Ia pasrah jika mobil silvernya tidak kembali berkat insiden bersama Lisa tempo hari. Tak tahunya Tante Putri yang mengembalikan dengan kondisi utuh. Baguslah, Theo tak usah repot-repot lagi menunggu bus di halte.Ketika sampai depan rumah Zaara, pemiliknya sudah menunggu di depan pintu. Dress brukat warna pastel benar-benar cocok dengan imaje Zaara. Theo tersenyum seraya mengulurkan tangan. “Terima kasih sudah bersedia mengikuti permainanku,” tuturnya menampilkan gigi yang berderet rapi.Zaara memukul lengan Theo dengan tas tangan, sungguh malu mendengar kata-kata tersebut. Berhari-hari mereka latihan menjadi sepasang kekasih, akhirnya ia bisa mengikuti permainan Theo.
“Theo, Mama tadi hubungi Papa, katanya perjodohan kamu sama Lalisa gak bisa dibatalin.”“Terus gimana, Ma? Aku udah punya Zaara,” rengek Theo seraya menggenggam pergelangan ibu angkatnya.Tante Putri menggeleng lemah, ia sendiri bingung, sebab perjodohan Theo dan Lalisa sudah ditentukan sejak lama; saat mereka masih remaja.Sebenarnya Theo sudah menduga hal ini. Seketika mendengkus kesal. Karena Om Regi tidak mungkin setuju perjodohan tersebut dibatalkan, karena orang tua Lalisa bersahabat baik dengan Om Regi, bisa hancur hubungan mereka jika salah satu anaknya tersakiti.Theo pun duduk pada di kursi, depan ruang rawat Zaara. Saat berpikir dia menautkan jemari. “Ma, gimana kalau Lisa yang minta bantalin perjodohannya?”Putri duduk di samping anaknya dengan sebelah alis yang mencuat. “Maksud kamu gimana?”“Aku pengin Lisa yang nyerah sama perjodohan ini. Mungkin kalau kayak gitu, bis
Berbeda dengan zaman dulu, memanggil 118 merupakan hal wajib di zaman ini. Selain agar ambulans lebih cepat datang, pasien kritis harus segera ditangani. Namun Theo sama sekali tidak ada keinginan untuk melihat proses penanganan para medis pada tubuh si gadis. Dirinya tak sanggup melihat darah. Warna merah pekat dan kental membuatnya teringat akan darah segar yang keluar ketika Tuannya menyembelih seekor ayam sebagai konsumsi. Masih terekam jelas di benaknya jeritan ngeri tak terelakkan. Sampai sekarang gemetar pada kedua lengan masih tetap ada, meski tidak begitu terlihat jelas.“Pak Theo Aerlangga? Apakah Bapak yang menelepon ambulans?”Theo menengadah. Garis matanya tertuju pada seorang pria berbadan gempal, beliau mengenakan atribut kepolisian. Theo lekas berdiri dari trotoar penuh debu lalu berkata, “Iya, saya. Ada apa ya, Pak?”Si bapak menjelaskan, Theo dibutuhkan keterangannya sebagai saksi. Sedangkan tersangka sudah ditangk
Agustus 2032Theo Aerlangga, salah satu creator dari beberapa komik yang ada di platform online. Ia sudah menjadi pemuda dengan segudang prestasi. Satu tahun lalu, ada perusahaan dari Jepang, salah seorang perwakilannya menawarkan kontrak eksklusif. Syarat wajib agar dapat dikontrak, dirinya harus pindah ke Jepang dan berkarya di sana. Tentu, Theo tidak mau. Selain sudah merasa nyaman di Indonesia, harapan semasa remaja masih ia genggam erat-erat.“Hee, selesai sudah!” pekik Theo lekas menghempaskan badan pada sandaran kursi. Pen stylus tergeletak sejalan dengannya yang meregangkan tubuh. Tatapannya kuyu karena begadang semalaman untuk menuntaskan episode terakhir.Ingin rasanya langsung tidur dan bermimpi indah, tapi pekerjaannya masih belum selesai. Mau tak mau Theo harus berkutat dengan PC-nya setelah Pen Tablet ia peluk semalaman. Tinggal selangkah lagi, setelah publikasi episode terakhir, pekerjaannya selesai.
Derit pintu terdengar dibuka. Sosok Jaka terpampang jelas dibaliknya. Ia terlihat memakai topi dan tersenyum pada Theo lalu menatap Nadya. “Sayang, hadiah mainan untuk pasien anak-anak disimpen di mana lagi, ya? Di gudang udah penuh.”“Di ruangan pasien yang kosong aja, jangan sampai anak-anak tahu.”“Em, Theo gak bakal di kasih?”“Enggak, Theo gak suka mainan.”“Oke deh.”Jaka pun keluar dan kembali pada aktivitasnya—merapikan main-main yang ia bawa dari mobil ke ruang tak terpakai. Sedangkan semburat kemerahan menyasar wajah Nadya, mengingat dirinya baru seminggu menikah dengan Jaka. Rasanya seperti mimpi, karena saat itu Jaka melamarnya secara tiba-tiba tanpa menjalin kasih terlebih dulu. Memang mereka sudah saling mengenal satu sama lain sebagai teman, tapi hal itu jauh berbeda. Butuh beberapa minggu untuk Nadya memikirkan lamaran Jaka. Namun, pada akhirnya mereka menikah tanpa halangan yang ber