Home / Romansa / Cinta Sang Merpati / Chapter 9: Wanita Aneh

Share

Chapter 9: Wanita Aneh

Author: Deany Na
last update Last Updated: 2021-03-22 00:11:08

“Alhamdulillah, Baik. Jang Regi sendiri?”

“Saya juga baik, Pak. Bapak di sini mau nonton aja atau?”

“Oh, kalau saya baru aja daftarin Merpati Wulung saya di sini. Jang Regi mau liat?”

“Boleh.”

Seperti tiga bulan lalu, mereka mengobrol dengan baik, bagaikan teman akrab yang baru bertemu setelah sekian lama. Rencana Regi berhasil, selama bercakap-cakap dengan Pak Dedeng ia tidak ditanyai lagi soal merpati yang sudah dijual pada seorang wanita cantik.

Tak terasa kontes unggas berbulu cantik akan segera dimulai. Pak Dedeng meminta izin dengan sopan meskipun dirinya lebih tua dari Regi. Mereka akhirnya berpisah, sementara Regi segera menjauh dari kerumunan orang dan keluar dari ruangan in-door tersebut.

“Gila! Untung si bapak gak sadar,” sesal Regi. Ia menggeleng sembari menghembuskan napas kasar. “Setidaknya gue bisa ngalihin topik, jadi aman,” gumamnya sambil berjalan mendatangi mobil yang di parkir dekat pohon jambu air. Tapi, gue jadi penasaran sama merpati yang gue jual itu. Padahal kualitasnya jempolan, pikirnya.

Lama berdiri di samping mobil, seorang wanita mendekati Regi. Wanita berhoodie abu itu menepuk pundak Regi perlahan. Namun, karena pikirannya sedang di tempat lain, Regi terperanjat sampai berbalik dengan mata menatap horor tanpa suara.

“Maaf, saya membuat Anda terkejut, ya?” tanya si wanita begitu santai.

Rasanya ingin marah. Tapi melihat wanita berbodi bagus di hadapannya sekarang membuat emosi negatif menguap tanpa sisa.

***

“Jadi, Nona ingin saya mengadopsi remaja laki-laki ini?” tanya Regi, ia duduk bersebelahan dengan si wanita di dalam mobil. Lalu mengamati foto yang diberikan si wanita. Dalam foto tersebut, terdapat seorang remaja laki-laki yang diajari cara berjalan oleh seorang gadis. Remaja itu berambut putih, sangat aneh sekali.

“Iya, untuk semua biaya hidupnya biar Tuan saya yang menanggung.”

Regi mengernyit, ia menatap wanita di hadapannya. Wanita itu sungguh tak punya ekspresi yang menyenangkan, hanya datar sejak mereka bertemu. “Memangnya kenapa dengan anak ini?”

“Anda tidak perlu tahu.”

Agak menjengkelkan. Jawabannya tidak memuaskan sama sekali. Pandangan Regi terpaku pada klakson mobil. “Baiklah. Tapi bagaimana Nona bisa menemukan saya?”

“Saya masih memiliki nomor ponsel Anda. Saya bisa melacak nomor ponsel.”

Njir! Serem juga ini cewek. Kata-katanya kayak agak aneh gitu. Semakin lama jawaban si wanita terasa kaku. Rasanya seperti sedang mengobrol dengan AI[1] Google Asisten, tapi yang ini lebih canggih berkali-kali lipat.

“Anda mau menerima tawaran dari saya?” tanya si wanita.

“Hm, boleh juga.” Padahal Regi belum menjawab secara pasti. Namun, si wanita langsung berkata, “Baiklah kalau begitu saya pamit. Jangan lupa informasikan setiap perkembangannya melalui pesan chat.” Wanita cantik itu pergi begitu saja meninggalkan Regi yang masih mencerna setiap perkataan darinya.

Bukan main, sepertinya memang ada yang tidak beres dengan wanita itu. Pertama kali bertemu, Regi merasa tidak begini perangainya. Ia ingat seringai di bibir merona si wanita. Sedangkan yang sekarang, seperti orang yang berbeda.

Mendadak, ponselnya berdering. Pada layar terdapat nama si penelepon, ‘Majikanku’. Regi lekas mengangkat teleponnya. “Halo, sayang. Iya maaf, aku pulang sekarang deh. Kamu mau aku bawain apa di sini? Oya, ok. Siap.”

Panggilan telepon terputus. Napasnya terasa lebih berat dan dalam selepas mengobrol dengan seseorang bernama ‘Majikan’. Ingatannya kembali pada obrolan dengan si wanita. Tampaknya akan membutuhkan waktu cukup lama untuk menuntaskan misi ini, karena Regi harus meminta izin dulu kepada sang majikan.

“Semoga berjalan lancar,” gumamnya berdoa sepenuh hati.

***

Nadya dan Pak Haji Arifin berjalan berbarengan di koridor panti. Mereka berbincang-bincang soal perkembangan para pasien di sana.

“Selamat ya, saya ikut senang mendengar kabar pernikahan Nak Nadya dan Nak Jaka. Maafkan bapak tidak bisa menghadiri acara pernikahan kalian,” tutur Pak Haji.

Nadya memandangi lantai koridor, merasa segan jika harus bertatap muka. “Tidak apa-apa Pak Haji, saya udah senang bapak masih ingat. Terima kasih untuk kado pernikahannya.”

Merekapun kembali mengobrol hingga tak terasa sampai di depan pintu ruangan pemilik panti. Sebelum masuk ke dalam Pak Haji Arifin mendadak berbalik. “Ngomong-ngomong soal pasien remaja yang berkelakuan aneh, gimana keadaannya sekarang?”

Nadya memeluk lengan sembari tersenyum simpul. Ia menjawab, “Baik, baik sekali. Perkembangannya sangat pesat, bahkan sekarang sudah bisa berjalan. Saya enggak nyangka bisa secepat itu. Dia juga udah bisa ngobrol walau masih sedikit terkendala.”

“MasyaAllah, baguslah kalau begitu. Nak Nadya sudah kasih nama?”

“Sudah, namanya Theo.”

“Bagus, namanya cocok. Tapi, untuk rambut aslinya ... lebih baik diwarnai hitam saja. Bagaimana?”

Nadya menatap lantai, cukup setuju dengan usulan Pak Haji Arifin. Mungkin setelah ini, dirinya akan mengajak Theo pergi ke salon. Sekalian memotong rambut yang sudah panjang dan juga poninya hampir menutupi mata.

“Sebenarnya saya mengusulkan begitu karena ada yang ingin mengadopsinya. Bagaimana menurut Nak Nadya?”

Nadya mengerjap, menatap Pak Haji lekat. “Mengadopsi? Siapa?”

“Sepasang suami-istri muda.”

“Bukan, maksud saya siapa yang akan diadopsi?”

“Nak Theo. Bapak belum memutuskan apa-apa karena ingin tahu bagaimana pendapat Nak Nadya.”

Alis Nadya berkerut, ada secercah keraguan dalam dada. “Bapak menyimpan berkas-berkas penting soal pengadopsi? Saya ingin tahu dulu riwayat hidup mereka.”

“Ada, di ruangan saya. Nak Nadya tunggu di sini sebentar, ya.”

Nadya mengangguk dan tersenyum ramah. Pak Haji segera mengambil berkas-berkas penting dari sepasang pengadopsi dan menyerahkannya pada Nadya.

“Saya pinjam ini sebentar, boleh?”

“Ya, silakan. Jangan lupa dikembalikan kalau sudah,” ujar Pak Haji dengan nada jenaka.

“Hehehe, siap! Bapak gak usah khawatir, pasti saya kembalikan.”

Sementara di kamarnya, Theo sedang membaca buku, membuka lembar demi lembarnya. Berawal dari buku ‘Aku Ibu Budi’ hingga buku untuk para remaja SMA, semua yang sudah dibaca akan disimpan bertumpuk di samping tempat tidur. Sudah 5 bulan lebih Theo ada di panti Sinar Asih, tidak kesulitan lagi untuk berjalan atau sekadar mandi dan makan sendiri. Nadya pun sudah jarang menemuinya, padahal dirinya sangat merindukan Nadya. Bukan karena dia menyukai Nadya, hanya saja keinginan bertemu ini bak seorang adik yang merindukan kakaknya.

Theo menutup buku agak keras, ia sudah selesai membaca. Mendadak suara ketukan pintu terdengar. Theo menoleh dan lekas bangkit dari duduk. Seketika hati kian berbunga kala menatap seorang Nadya tersenyum padanya.

“Pagi,” sapa Nadya agak canggung, “sudah sarapan?”

“Sudah.” Meski Theo telah membaca banyak buku, tapi cara bicaranya masih kaku dan belum terlatih. Beberapa kata kadang agak sulit untuk diungkapkan.

“Kamu habis baca buku apa?” tanya Nadya kemudian duduk bersamaan dengan Theo di pinggir ranjang.

Theo lekas menyodorkan buku pada Nadya, rupanya itu adalah buku pelajaran yang dibelikan oleh perawat lain. Pandangan Nadya tertuju pada tumpukkan buku di belakang Theo. Sebagian judulnya tak jauh berbeda dengan yang digenggamnya sekarang. “Sepertinya kamu ingin sekolah seperti yang lain, ya?” tanya Nadya menatap lekat manik hitam Theo. Nadya dengar dari curhatan para perawat yang mengurusnya, Theo sering memperhatikan anak-anak sekolah yang lewat dari balik pagar panti. Bahkan Theo pernah keluar pagar hanya karena penasaran dengan remaja-remaja seusianya.

Sementara Theo sekadar menjawab pertanyaan Nadya dengan satu kata saja. Raut wajahnya belum menunjukkan banyak ekspresi layaknya manusia biasa, terlihat datar sepanjang hari.

“Tapi, kalau bacaannya buku pelajaran terus, kamu bakal kesulitan berbicara loh.” Nadya tersenyum kemudian menunjukkan buku yang ia sembunyikan dibalik punggung. Pantas saja sejak tadi satu tangannya terus berada di belakang.

Theo penasaran, sangat-sangat penasaran. Namun, otot mukanya tidak berubah sedikitpun. Ia bertanya, “Itu buku apa?”

“Ini buku ‘Cara-Cara Berkomunikasi Dengan Baik dan Benar’. Mau membacanya?”

“Aku mau.” Theo menerima buku tersebut dan mulai membaca dengan serius.

Seulas senyum mengembang pada bibirnya. Sudah sebulan lebih Nadya tidak menjenguk Theo setelah berhasil mengajarkan cara berjalan dengan baik. Bukan karena tidak peduli, tapi karena ia menjadi lebih sibuk akibat urusan pribadi.

Bersambung...

Related chapters

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 10: Orang Tua Angkat

    Derit pintu terdengar dibuka. Sosok Jaka terpampang jelas dibaliknya. Ia terlihat memakai topi dan tersenyum pada Theo lalu menatap Nadya. “Sayang, hadiah mainan untuk pasien anak-anak disimpen di mana lagi, ya? Di gudang udah penuh.”“Di ruangan pasien yang kosong aja, jangan sampai anak-anak tahu.”“Em, Theo gak bakal di kasih?”“Enggak, Theo gak suka mainan.”“Oke deh.”Jaka pun keluar dan kembali pada aktivitasnya—merapikan main-main yang ia bawa dari mobil ke ruang tak terpakai. Sedangkan semburat kemerahan menyasar wajah Nadya, mengingat dirinya baru seminggu menikah dengan Jaka. Rasanya seperti mimpi, karena saat itu Jaka melamarnya secara tiba-tiba tanpa menjalin kasih terlebih dulu. Memang mereka sudah saling mengenal satu sama lain sebagai teman, tapi hal itu jauh berbeda. Butuh beberapa minggu untuk Nadya memikirkan lamaran Jaka. Namun, pada akhirnya mereka menikah tanpa halangan yang ber

    Last Updated : 2021-03-22
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 11: Perempuan Itu (1)

    Agustus 2032Theo Aerlangga, salah satu creator dari beberapa komik yang ada di platform online. Ia sudah menjadi pemuda dengan segudang prestasi. Satu tahun lalu, ada perusahaan dari Jepang, salah seorang perwakilannya menawarkan kontrak eksklusif. Syarat wajib agar dapat dikontrak, dirinya harus pindah ke Jepang dan berkarya di sana. Tentu, Theo tidak mau. Selain sudah merasa nyaman di Indonesia, harapan semasa remaja masih ia genggam erat-erat.“Hee, selesai sudah!” pekik Theo lekas menghempaskan badan pada sandaran kursi. Pen stylus tergeletak sejalan dengannya yang meregangkan tubuh. Tatapannya kuyu karena begadang semalaman untuk menuntaskan episode terakhir.Ingin rasanya langsung tidur dan bermimpi indah, tapi pekerjaannya masih belum selesai. Mau tak mau Theo harus berkutat dengan PC-nya setelah Pen Tablet ia peluk semalaman. Tinggal selangkah lagi, setelah publikasi episode terakhir, pekerjaannya selesai.

    Last Updated : 2021-03-23
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 12: Perempuan Itu (2)

    Berbeda dengan zaman dulu, memanggil 118 merupakan hal wajib di zaman ini. Selain agar ambulans lebih cepat datang, pasien kritis harus segera ditangani. Namun Theo sama sekali tidak ada keinginan untuk melihat proses penanganan para medis pada tubuh si gadis. Dirinya tak sanggup melihat darah. Warna merah pekat dan kental membuatnya teringat akan darah segar yang keluar ketika Tuannya menyembelih seekor ayam sebagai konsumsi. Masih terekam jelas di benaknya jeritan ngeri tak terelakkan. Sampai sekarang gemetar pada kedua lengan masih tetap ada, meski tidak begitu terlihat jelas.“Pak Theo Aerlangga? Apakah Bapak yang menelepon ambulans?”Theo menengadah. Garis matanya tertuju pada seorang pria berbadan gempal, beliau mengenakan atribut kepolisian. Theo lekas berdiri dari trotoar penuh debu lalu berkata, “Iya, saya. Ada apa ya, Pak?”Si bapak menjelaskan, Theo dibutuhkan keterangannya sebagai saksi. Sedangkan tersangka sudah ditangk

    Last Updated : 2021-03-24
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 13: Kencan

    “Theo, Mama tadi hubungi Papa, katanya perjodohan kamu sama Lalisa gak bisa dibatalin.”“Terus gimana, Ma? Aku udah punya Zaara,” rengek Theo seraya menggenggam pergelangan ibu angkatnya.Tante Putri menggeleng lemah, ia sendiri bingung, sebab perjodohan Theo dan Lalisa sudah ditentukan sejak lama; saat mereka masih remaja.Sebenarnya Theo sudah menduga hal ini. Seketika mendengkus kesal. Karena Om Regi tidak mungkin setuju perjodohan tersebut dibatalkan, karena orang tua Lalisa bersahabat baik dengan Om Regi, bisa hancur hubungan mereka jika salah satu anaknya tersakiti.Theo pun duduk pada di kursi, depan ruang rawat Zaara. Saat berpikir dia menautkan jemari. “Ma, gimana kalau Lisa yang minta bantalin perjodohannya?”Putri duduk di samping anaknya dengan sebelah alis yang mencuat. “Maksud kamu gimana?”“Aku pengin Lisa yang nyerah sama perjodohan ini. Mungkin kalau kayak gitu, bis

    Last Updated : 2021-03-25
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 14: Hadirnya Masa Lalu

    Pukul 08.30 malam, Theo sudah rapi, memakai jas dan parfum dengan tatanan rambut seperti hari biasa. Saatnya menjemput Zaara menggunakan mobil pribadi yang terparkir di garasi. Sebetulnya, mobil ini kembali saja sudah untung. Ia pasrah jika mobil silvernya tidak kembali berkat insiden bersama Lisa tempo hari. Tak tahunya Tante Putri yang mengembalikan dengan kondisi utuh. Baguslah, Theo tak usah repot-repot lagi menunggu bus di halte.Ketika sampai depan rumah Zaara, pemiliknya sudah menunggu di depan pintu. Dress brukat warna pastel benar-benar cocok dengan imaje Zaara. Theo tersenyum seraya mengulurkan tangan. “Terima kasih sudah bersedia mengikuti permainanku,” tuturnya menampilkan gigi yang berderet rapi.Zaara memukul lengan Theo dengan tas tangan, sungguh malu mendengar kata-kata tersebut. Berhari-hari mereka latihan menjadi sepasang kekasih, akhirnya ia bisa mengikuti permainan Theo.

    Last Updated : 2021-03-26
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 15: DIA

    “Hai!! Tante bawa makan siang, nih,” seru Tante Putri dengan raut riang gembira. Beliau menyambar lengan Zaara dan duduk di sopa ruang tamu tanpa izin. Rantang modern yang sedari tadi ditenteng, lekas disimpan di meja kaca.Zaara tak bisa berkata-kata. Kehadiran Tante Putri diluar perkiraannya. Zaara berpikir Lalisa yang ada di depan pintu, tapi nyatanya bukan. Setelah Tante Putri menyiapkan lauk dan nasi di meja makan, muncul Theo dari balik pintu yang terbuka. Awalnya ia terkejut melihat pintu tidak dikunci, kemudian berlari ke dapur. Mulutnya menganga tak percaya melihat ada Tante Putri dengan Zaara yang duduk di kursi, tersaji berbagai jenis lauk pauk di meja. Segera ia merapat di samping Zaara, karena Tante Putri menyuruhnya duduk.“Tan—eh maksudku Ma, kok ada di sini? Papa gak di rumah?”“Nanya begitu, emangnya kenapa? Gak boleh?”Selalu dan selalu saja begitu. Setiap ditanya soal Om Regi, beliau seperti tidak

    Last Updated : 2021-03-26
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 16: Ini Cinta?

    Di perjalanan menuju rumah Zaara, Theo sempat mengirim chat. Fokusnya kembali pada setir mobil sambil memandangi aspal rata di depan. Beberapa menit menunggu tak ada balasan. Ponselnya tidak menunjukkan getaran pertanda pesan. Ah, mungkin sedang siap-siap, pikirnya.Selama setengah jam lebih dua puluh, Theo sampai di depan rumah Zaara. Dirinya menekan pagar lalu berjalan memasuki pekarangan rumah, ia menekan bell dekat pintu masuk. Cukup lama menunggu, pintu tidak di buka juga. Dia berinisiatif membuka pintu dari luar, dan terbuka tanpa kendala. Dari sini kecurigaannya terbentuk.Alis bertaut hingga bersatu. Theo mengamati kesuluruhan rumah itu. Tak ada siapa-siapa. Hanya terdapat ponsel tergeletak di lantai dekat meja tamu. “Ini?” gumamnya dengan tatapan yang berubah cemas. Ini ponsel Zaara, anehnya kenapa ada di lantai?“Zaara!” Theo refleks memanggil nama. Lalu berjalan menuju kamar Zaara dan tidak mendapati siapapun.

    Last Updated : 2021-04-10
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 17: Menyatakan Cinta

    Pagi-pagi sekali, sekitar jam 06.30 WIB, Tante Putri sudah ada di depan pintu rumah Lalisa. Rumah tersebut memiliki dua lantai dengan desain modern minimalis. Beliau menekan bell berkali-kali tanpa henti. Membuat penghuninya kebisingan dan tak bisa melanjutkan tidur dengan tenang.Waktu itu, Lalisa tidak tahu siapa orang yang bertamu. Napasnya berhenti di kerongkongan ketika melihat sosok Putri yang menatapnya.“Ta-tante?” Lisa memundurkan tubuh selangkah, “kok ke sini? Ada apa?”“Ayo bicara. Tante tunggu kamu di cafe biasa,” tandasnya kemudian pergi terlebih dahulu meninggalkan Lisa.Melihat kepergian Tante Putri, membuatnya sedikit lega. Namun, perlakuan Putri pada Lisa tidak berakhir sampai disitu saja.Terbukti ketika Lisa sudah duduk di cafe langganan Tante Putri, beliau tak ubahnya mertua jahat yang sedang menatap penuh kebencian. Begitulah sosok Putri di mata Lisa sekarang, padahal nyatanya i

    Last Updated : 2021-04-19

Latest chapter

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 18: Move On

    Hari ini, Zaara sudah boleh pulang. Tanpa dipinta, Tante Putri membereskan beberapa barangnya. Zaara tidak enak hati, sebab Tante Putri tampak tulus membantunya. Dia merasa jadi orang jahat karena terlanjur berpura-pura menjadi pacar Theo. Sudah begitu, dia keceplosan mengungkap perasaaannya selama menjalin hubungan tidak nyata ini.Zaara menyesali kelakuannya minggu lalu. Mungkin hal itu pula yang membuat Theo jarang menengoknya. Entah sejak kapan rasa itu dimulai.Apa mungkin karena terlalu sering bertemu, cinta tumbuh begitu saja tanpa diminta? Atau hanya napsu belaka? Entah, Zaara tidak tahu.Yang pasti, saat ini hatinya sedang merindu. Ingin saling bercanda dan tertawa seperti dulu. Namun, bila berhadapan langsung ... Zaara tidak berani untuk memandang.“Za, coba sini. Tante udah masukin barang kamu ke tas. Cek dulu, takut ada yang ketinggalan,” seru Putri memanggil Zaara yang mematung di ranjang.

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 17: Menyatakan Cinta

    Pagi-pagi sekali, sekitar jam 06.30 WIB, Tante Putri sudah ada di depan pintu rumah Lalisa. Rumah tersebut memiliki dua lantai dengan desain modern minimalis. Beliau menekan bell berkali-kali tanpa henti. Membuat penghuninya kebisingan dan tak bisa melanjutkan tidur dengan tenang.Waktu itu, Lalisa tidak tahu siapa orang yang bertamu. Napasnya berhenti di kerongkongan ketika melihat sosok Putri yang menatapnya.“Ta-tante?” Lisa memundurkan tubuh selangkah, “kok ke sini? Ada apa?”“Ayo bicara. Tante tunggu kamu di cafe biasa,” tandasnya kemudian pergi terlebih dahulu meninggalkan Lisa.Melihat kepergian Tante Putri, membuatnya sedikit lega. Namun, perlakuan Putri pada Lisa tidak berakhir sampai disitu saja.Terbukti ketika Lisa sudah duduk di cafe langganan Tante Putri, beliau tak ubahnya mertua jahat yang sedang menatap penuh kebencian. Begitulah sosok Putri di mata Lisa sekarang, padahal nyatanya i

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 16: Ini Cinta?

    Di perjalanan menuju rumah Zaara, Theo sempat mengirim chat. Fokusnya kembali pada setir mobil sambil memandangi aspal rata di depan. Beberapa menit menunggu tak ada balasan. Ponselnya tidak menunjukkan getaran pertanda pesan. Ah, mungkin sedang siap-siap, pikirnya.Selama setengah jam lebih dua puluh, Theo sampai di depan rumah Zaara. Dirinya menekan pagar lalu berjalan memasuki pekarangan rumah, ia menekan bell dekat pintu masuk. Cukup lama menunggu, pintu tidak di buka juga. Dia berinisiatif membuka pintu dari luar, dan terbuka tanpa kendala. Dari sini kecurigaannya terbentuk.Alis bertaut hingga bersatu. Theo mengamati kesuluruhan rumah itu. Tak ada siapa-siapa. Hanya terdapat ponsel tergeletak di lantai dekat meja tamu. “Ini?” gumamnya dengan tatapan yang berubah cemas. Ini ponsel Zaara, anehnya kenapa ada di lantai?“Zaara!” Theo refleks memanggil nama. Lalu berjalan menuju kamar Zaara dan tidak mendapati siapapun.

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 15: DIA

    “Hai!! Tante bawa makan siang, nih,” seru Tante Putri dengan raut riang gembira. Beliau menyambar lengan Zaara dan duduk di sopa ruang tamu tanpa izin. Rantang modern yang sedari tadi ditenteng, lekas disimpan di meja kaca.Zaara tak bisa berkata-kata. Kehadiran Tante Putri diluar perkiraannya. Zaara berpikir Lalisa yang ada di depan pintu, tapi nyatanya bukan. Setelah Tante Putri menyiapkan lauk dan nasi di meja makan, muncul Theo dari balik pintu yang terbuka. Awalnya ia terkejut melihat pintu tidak dikunci, kemudian berlari ke dapur. Mulutnya menganga tak percaya melihat ada Tante Putri dengan Zaara yang duduk di kursi, tersaji berbagai jenis lauk pauk di meja. Segera ia merapat di samping Zaara, karena Tante Putri menyuruhnya duduk.“Tan—eh maksudku Ma, kok ada di sini? Papa gak di rumah?”“Nanya begitu, emangnya kenapa? Gak boleh?”Selalu dan selalu saja begitu. Setiap ditanya soal Om Regi, beliau seperti tidak

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 14: Hadirnya Masa Lalu

    Pukul 08.30 malam, Theo sudah rapi, memakai jas dan parfum dengan tatanan rambut seperti hari biasa. Saatnya menjemput Zaara menggunakan mobil pribadi yang terparkir di garasi. Sebetulnya, mobil ini kembali saja sudah untung. Ia pasrah jika mobil silvernya tidak kembali berkat insiden bersama Lisa tempo hari. Tak tahunya Tante Putri yang mengembalikan dengan kondisi utuh. Baguslah, Theo tak usah repot-repot lagi menunggu bus di halte.Ketika sampai depan rumah Zaara, pemiliknya sudah menunggu di depan pintu. Dress brukat warna pastel benar-benar cocok dengan imaje Zaara. Theo tersenyum seraya mengulurkan tangan. “Terima kasih sudah bersedia mengikuti permainanku,” tuturnya menampilkan gigi yang berderet rapi.Zaara memukul lengan Theo dengan tas tangan, sungguh malu mendengar kata-kata tersebut. Berhari-hari mereka latihan menjadi sepasang kekasih, akhirnya ia bisa mengikuti permainan Theo.

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 13: Kencan

    “Theo, Mama tadi hubungi Papa, katanya perjodohan kamu sama Lalisa gak bisa dibatalin.”“Terus gimana, Ma? Aku udah punya Zaara,” rengek Theo seraya menggenggam pergelangan ibu angkatnya.Tante Putri menggeleng lemah, ia sendiri bingung, sebab perjodohan Theo dan Lalisa sudah ditentukan sejak lama; saat mereka masih remaja.Sebenarnya Theo sudah menduga hal ini. Seketika mendengkus kesal. Karena Om Regi tidak mungkin setuju perjodohan tersebut dibatalkan, karena orang tua Lalisa bersahabat baik dengan Om Regi, bisa hancur hubungan mereka jika salah satu anaknya tersakiti.Theo pun duduk pada di kursi, depan ruang rawat Zaara. Saat berpikir dia menautkan jemari. “Ma, gimana kalau Lisa yang minta bantalin perjodohannya?”Putri duduk di samping anaknya dengan sebelah alis yang mencuat. “Maksud kamu gimana?”“Aku pengin Lisa yang nyerah sama perjodohan ini. Mungkin kalau kayak gitu, bis

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 12: Perempuan Itu (2)

    Berbeda dengan zaman dulu, memanggil 118 merupakan hal wajib di zaman ini. Selain agar ambulans lebih cepat datang, pasien kritis harus segera ditangani. Namun Theo sama sekali tidak ada keinginan untuk melihat proses penanganan para medis pada tubuh si gadis. Dirinya tak sanggup melihat darah. Warna merah pekat dan kental membuatnya teringat akan darah segar yang keluar ketika Tuannya menyembelih seekor ayam sebagai konsumsi. Masih terekam jelas di benaknya jeritan ngeri tak terelakkan. Sampai sekarang gemetar pada kedua lengan masih tetap ada, meski tidak begitu terlihat jelas.“Pak Theo Aerlangga? Apakah Bapak yang menelepon ambulans?”Theo menengadah. Garis matanya tertuju pada seorang pria berbadan gempal, beliau mengenakan atribut kepolisian. Theo lekas berdiri dari trotoar penuh debu lalu berkata, “Iya, saya. Ada apa ya, Pak?”Si bapak menjelaskan, Theo dibutuhkan keterangannya sebagai saksi. Sedangkan tersangka sudah ditangk

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 11: Perempuan Itu (1)

    Agustus 2032Theo Aerlangga, salah satu creator dari beberapa komik yang ada di platform online. Ia sudah menjadi pemuda dengan segudang prestasi. Satu tahun lalu, ada perusahaan dari Jepang, salah seorang perwakilannya menawarkan kontrak eksklusif. Syarat wajib agar dapat dikontrak, dirinya harus pindah ke Jepang dan berkarya di sana. Tentu, Theo tidak mau. Selain sudah merasa nyaman di Indonesia, harapan semasa remaja masih ia genggam erat-erat.“Hee, selesai sudah!” pekik Theo lekas menghempaskan badan pada sandaran kursi. Pen stylus tergeletak sejalan dengannya yang meregangkan tubuh. Tatapannya kuyu karena begadang semalaman untuk menuntaskan episode terakhir.Ingin rasanya langsung tidur dan bermimpi indah, tapi pekerjaannya masih belum selesai. Mau tak mau Theo harus berkutat dengan PC-nya setelah Pen Tablet ia peluk semalaman. Tinggal selangkah lagi, setelah publikasi episode terakhir, pekerjaannya selesai.

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 10: Orang Tua Angkat

    Derit pintu terdengar dibuka. Sosok Jaka terpampang jelas dibaliknya. Ia terlihat memakai topi dan tersenyum pada Theo lalu menatap Nadya. “Sayang, hadiah mainan untuk pasien anak-anak disimpen di mana lagi, ya? Di gudang udah penuh.”“Di ruangan pasien yang kosong aja, jangan sampai anak-anak tahu.”“Em, Theo gak bakal di kasih?”“Enggak, Theo gak suka mainan.”“Oke deh.”Jaka pun keluar dan kembali pada aktivitasnya—merapikan main-main yang ia bawa dari mobil ke ruang tak terpakai. Sedangkan semburat kemerahan menyasar wajah Nadya, mengingat dirinya baru seminggu menikah dengan Jaka. Rasanya seperti mimpi, karena saat itu Jaka melamarnya secara tiba-tiba tanpa menjalin kasih terlebih dulu. Memang mereka sudah saling mengenal satu sama lain sebagai teman, tapi hal itu jauh berbeda. Butuh beberapa minggu untuk Nadya memikirkan lamaran Jaka. Namun, pada akhirnya mereka menikah tanpa halangan yang ber

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status