Home / Romansa / Cinta Sang Merpati / Chapter 8: Kehidupan Baru

Share

Chapter 8: Kehidupan Baru

Author: Deany Na
last update Last Updated: 2021-03-17 19:54:46

Pukul enam lebih dua puluh menit, Nadya berangkat dari rumah menuju panti Sinar Asih mengunakan motor metic kesayangan. Ia memakai helm SNI dengan kecepatan normal sesuai peraturan berlalu lintas. Tatkala berpapasan dengan lampu merah, Nadya menghentikan laju motornya. Sembari menunggu kendaraan lain lewat, dirinya membuka kaca helm sebentar kemudian mengambil ponsel dari saku jaket hitam dan mengetik pesan pada layar datar di depannya. Jika ada yang bertanya mengapa Nadya mengenakan jaket laki-laki, ia hanya ingin mengembalikan jaket itu pada pemiliknya, Jaka. Bermalam di Rest Area Bandung membuat tubuhnya menggigil itulah sebabnya jaket Jaka ada padanya dan ia lupa mengembalikannya.

Biasanya pada jam-jam segini Jaka sudah ada di panti bersama anggota lain mengurus beberapa pasien, sebab perawat di panti cukup terbatas. Jaka merupakan salah satu donatur aktif, meski terkadang sifatnya yang mudah marah justru membuat para pasien ketakutan. Jika sudah seperti itu, Nadya dan teman-teman lain harus siap mengambil alih. Sehabis mengetik chat dan memasukkan kembali ponsel dalam saku jaket, Nadya melajukan motor kala lampu merah berganti hijau.

Pagi-pagi begini, Jakarta belum terasa panas. Walaupun begitu Nadya tetap harus menutup kaca helm agar debu tidak sekenanya terhirup. Sejak pandemi lima tahun lalu, ia menjadi sangat peka dengan alat penghidu dan kebersihan dirinya. Banyak wastafel-wastafel umum yang berdiri di taman-taman Jakarta dan tempat lain yang memerlukan tempat cuci tangan. Bagaimanapun juga musibah virus lima tahun lalu, sedikit demi sedikit mengubah gaya hidupnya dan gaya hidup sebagian besar masyarakat Indonesia. Bagus sih. Manusia memang harus dicambuk dulu agar mengerti, termasuk dirinya sendiri.

Motor Nadya berhenti pada salah satu bangunan besar dengan halaman yang cukup luas. Pagar putihnya menjulang dengan pohon mangga dan jambu tertanam indah di halaman, bahkan rantingnya sampai menjorok ke luar pagar. Rumput hijau berseri tak lepas dari pandangan. Nadya lekas memarkirkan motor di halaman panti dengan plang yang bertuliskan ‘Panti Rehabilitasi Sinar Asih Bakal Belaka/SABABE’.

Nadya selalu tersenyum melihat papan raksasa itu. Sekitar setahun lalu resmi berdiri, tak menyangka panti yang dibangun komunitasnya bersama Pak Haji Arifin bisa bertahan hingga sekarang. Para donatur pun kian bertambah hari demi hari. Sebuah rasa yang sulit untuk dijelaskan ini sudah menjadi bagian dari hidupnya dan anggota Komunitas Mental Health.

***

“Ini, Non. Sesuai pesanan tadi,” ujar seorang wanita paruh baya, menyimpan sebuah kotak nasi di meja saji. Kedua matanya membentuk senyuman.

Sekarang ini Nadya sedang berada di dapur panti. Biasanya para perawat di sana akan mengambil kotak nasi satu per satu kemudian menyuapi pasien ODGJ yang tidak bisa makan sendiri. Sementara yang mampu, mereka diajari untuk mengambil sendiri makanan dan berucap ‘Terima kasih’ setelahnya.

Nadya membalas senyuman tadi kemudian segera mengambil kotak nasi dan berkata, “Makasih, Bi Ani. Pasien kali ini memang agak rewel.”

“Masa sih, Non? Rewel gimana?”

“Itu, Bi. Pasiennya gak bisa makan yang berbau amis sama daging-dagingan.”

“Loh, kok gitu? Bibi boleh tau namanya?”

“Em, namanya ... Theo?” Nadya menatap Bi Ani penuh tanya. “Gimana? Bagus gak?”

“Eeeh? Maksud, Non?”

Nadya menghela napas kemudian bercerita tentang pasien yang ia beri nama Theo, pasien ODGJ yang sangat langka, merupakan kasus kedua setelah tujuh tahun berlalu. Sebenarnya asal-usul Theo tidak sejelas kasus sebelumnya, tetapi perilakunya sangat mirip, bedanya pada kasus pertama si pasien bertingkah seperti ayam.

“Jadi nama Theo itu Non yang kasih?”

“Iya, Bi. Soalnya saya gak tahu namanya siapa. Bisa jadi, dia gak punya nama.”

“Tapi kalau Bibi denger-denger ... Dek Theo ini ganteng, ya? Kata perawat lain yang curhat di sini begitu. Terus orangnya liar banget, cuma bisa tenang kalau ada Non Nadya aja katanya,” tutur Bi Ani panjang lebar.

Nadya merenung sebentar, memikirkan kalimat yang cocok. “Um, lumayan sih, Bi. Ganteng. Kayak orang luar gitu, rambut aslinya juga putih. Kalau sekarang emang cuma saya yang bisa ngurusin dia, tapi saya yakin Theo bisa dekat sama yang lain juga.”

“Non Nadya selalu optimis ya? Bibi suka liat Non Nadya kayak gini.”

“Ah, Bibi, bisa aja. Udah dulu deh. Aku mau suapin Theo dulu,” ucap Nadya mengiming-imingi kotak nasi dengan riang. Dirinya segera pergi setelah mendapat anggukan ramah dari Bi Ani.

Nadya menyusuri koridor panti. Dirinya berpapasan dengan Nur yang sedang bermain bersama pasien belia di halaman, Fadil yang duduk di bangku taman terlihat menyuapi pasien manula, sedangkan Jaka tidak ada sama sekali. Mungkinkah Jaka tidak berangkat sekarang? Atau dia telat? Nadya ingin mengirim pesan singkat pada Jaka, tapi sebelum itu ia harus menyuapi Theo dulu.

“Ruang khusus nomor enam ... ah, ini. Sudah lama tidak digunakan aku jadi lupa,” ujar Nadya bicara sendiri. Senyumnya mengembang ketika memasuki ruangan itu. Di dalam ada Theo, tidur di lantai dengan posisi duduk seperti sebelumnya. Langkahnya mendekat dan berjongkok di depan Theo.

“Theo, bangun. Waktunya makan,” ucap Nadya, suaranya berubah pelan berusaha membangunkan Theo.

Kedua mata lekas terbuka. Theo tampak terkejut sesaat, tapi setelahnya tenang kembali. Sudah sekitar dua minggu ini Theo ada di panti. Perkembangan motoriknya berangsur-angsur membaik berkat Nadya yang telaten mengajari Theo cara menggunakan tangan dan kaki. Theo sudah jarang mengeluarkan suara mirip unggas, walau cara tidurnya masih sama. Tentu saja semua butuh proses.

“Theo suka tumis jagung sama nasi ‘kan, mau?” tanya Nadya. Ia tahu Theo belum belajar berbicara dan membaca. Namun, entah mengapa sepertinya Theo sudah tahu apa yang ingin Nadya sampaikan.

Seperti saat ini, Theo bersemangat menyantap sarapannya disuapi oleh Nadya. Begitu sampai pada suapan terakhir, Nadya mulai mengajari Theo cara untuk makan sendiri dengan benar. Cukup berhasil, meski Theo memakan suapan terakhirnya langsung dengan mulut. Kedua tangan Theo sudah bisa memegang piring walau tidak sempurna.

“Bagus, Theo sudah pintar, ya,” puji Nadya sambil mengelus-elus pucuk kepala Theo dan hal itu berhasil membuat perasaan Theo menghangat. Theo memejamkan mata untuk mengekspresikan perasaannya, karena perlakuan Nadya mirip sekali dengan pemiliknya dulu.

Setelah menyuapi Theo, Nadya membuka gorden. Jendelanya sedikit dibuka supaya sirkulasi udara dapat bekerja dengan baik. Sebentar, Nadya memandang Theo. Terlihat lebih kalem dari sebelumnya. Syukurlah, dengan begini Nadya semakin yakin kalau Theo bisa sembuh secepatnya. 

“Tunggu, ya. Kakak mau keluar dulu,” ucap Nadya. Senyum ringan ia tunjukkan sebelum keluar dari ruangan dan menutup pintu. Nadya mulai menyentuh layar ponsel dengan mengirim chat WA pada Jaka.

[Jak, tentang pertanyaan kamu beberapa minggu lalu, aku ingin menjawabnya setelah Theo bisa berjalan. Kamu gak keberatan, kan?]

Lalu Nadya menyentuh ikon kirim pada layar ponselnya, secepat kilat ia mendapat balasan dari Jaka. Saat itu juga lengkung bahagia tercetak jelas pada bibirnya. Dengan menenteng kotak nasi yang sudah kosong, matanya menunjukkan kebahagiaan. Agaknya, balasan dari Jaka kian meningkatkan perasaan Nadya yang sudah menghangat sejak tadi.

***

Tiga bulan berlalu, Regi sudah tidak ingat tentang merpati yang ia beli dari Pak Dedeng. Berkat satu koper uang itu, ia berhasil mengembangkan usaha merpati hiasnya dan meminang seorang gadis. Tak jarang dia menjadi juri atau peserta pada event-event merpati hias yang diselenggarakan dari berbagai daerah. Merpati jenis Jacobin dan Pouter miliknya sempat menyabet juara terfavorit dalam Kontes Merpati Hias Tingkat Nasional 2025.

Hari ini, Regi sedang berada di Lapangan Hijau, Bandung. Ada kontes merpati hias lokal di sini. Semua merpati yang mengikuti perlombaan diwajibkan merpati asli Indonesia—tidak boleh merpati persilangan. Banyak pecinta merpati yang mendaftarkan unggas berbulu cantik mereka ke sini. Lihat saja mobil-mobil mewah dan motor-motor mahal yang terparkir di tepi lapangan, berjejer rapi dan tertata. Bukan hanya itu saja, lapangan luas ini disulap menjadi ruangan in-door, terdapat stan-stan di dalamnya, disediakan oleh penyelenggara event.

Tiba-tiba Regi dikejutkan oleh seseorang yang menepuk pundaknya dari belakang. Bagai sihir, Pak Dedeng sungguhan ada di depannya sekarang. Beliau tersenyum hingga terlihat barisan giginya yang mulai ompong.

“Jang Regi! Kemana aja? Saya baru liat loh di sini. Gimana merpatinya sekarang? Masih ada?”

“Ha? Eh! Pak Dedeng?!” sahut Regi seperti orang yang melihat hantu, ia berbalik dengan mata yang membulat. Kehadiran Pak Dedeng membuat dirinya tak nyaman, karena apa yang ditanyakan si bapak nyatanya sudah tidak ada. “I-itu, Pak!”

“Itu? Itu apa?”

“Eh, maksud saya ... duh, maaf saya kaget tadi, kirain siapa. Bapak gimana kabarnya?” Regi balik bertanya untuk mengalihkan fokus pembicaraan. Satu biji keringat pada lehernya mendadak muncul tanpa permisi.

Bersambung...

_____________________________________

Ket:

[1] Artificial Intelligence/Kecerdasan Buatan.

Related chapters

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 9: Wanita Aneh

    “Alhamdulillah, Baik. Jang Regi sendiri?”“Saya juga baik, Pak. Bapak di sini mau nonton aja atau?”“Oh, kalau saya baru aja daftarin Merpati Wulung saya di sini. Jang Regi mau liat?”“Boleh.”Seperti tiga bulan lalu, mereka mengobrol dengan baik, bagaikan teman akrab yang baru bertemu setelah sekian lama. Rencana Regi berhasil, selama bercakap-cakap dengan Pak Dedeng ia tidak ditanyai lagi soal merpati yang sudah dijual pada seorang wanita cantik.Tak terasa kontes unggas berbulu cantik akan segera dimulai. Pak Dedeng meminta izin dengan sopan meskipun dirinya lebih tua dari Regi. Mereka akhirnya berpisah, sementara Regi segera menjauh dari kerumunan orang dan keluar dari ruangan in-door tersebut.“Gila! Untung si bapak gak sadar,” sesal Regi. Ia menggeleng sembari menghembuskan napas kasar. “Setidaknya gue bisa ngalihin topik, jadi aman,” gumamnya sambil berjalan mendatangi mo

    Last Updated : 2021-03-22
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 10: Orang Tua Angkat

    Derit pintu terdengar dibuka. Sosok Jaka terpampang jelas dibaliknya. Ia terlihat memakai topi dan tersenyum pada Theo lalu menatap Nadya. “Sayang, hadiah mainan untuk pasien anak-anak disimpen di mana lagi, ya? Di gudang udah penuh.”“Di ruangan pasien yang kosong aja, jangan sampai anak-anak tahu.”“Em, Theo gak bakal di kasih?”“Enggak, Theo gak suka mainan.”“Oke deh.”Jaka pun keluar dan kembali pada aktivitasnya—merapikan main-main yang ia bawa dari mobil ke ruang tak terpakai. Sedangkan semburat kemerahan menyasar wajah Nadya, mengingat dirinya baru seminggu menikah dengan Jaka. Rasanya seperti mimpi, karena saat itu Jaka melamarnya secara tiba-tiba tanpa menjalin kasih terlebih dulu. Memang mereka sudah saling mengenal satu sama lain sebagai teman, tapi hal itu jauh berbeda. Butuh beberapa minggu untuk Nadya memikirkan lamaran Jaka. Namun, pada akhirnya mereka menikah tanpa halangan yang ber

    Last Updated : 2021-03-22
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 11: Perempuan Itu (1)

    Agustus 2032Theo Aerlangga, salah satu creator dari beberapa komik yang ada di platform online. Ia sudah menjadi pemuda dengan segudang prestasi. Satu tahun lalu, ada perusahaan dari Jepang, salah seorang perwakilannya menawarkan kontrak eksklusif. Syarat wajib agar dapat dikontrak, dirinya harus pindah ke Jepang dan berkarya di sana. Tentu, Theo tidak mau. Selain sudah merasa nyaman di Indonesia, harapan semasa remaja masih ia genggam erat-erat.“Hee, selesai sudah!” pekik Theo lekas menghempaskan badan pada sandaran kursi. Pen stylus tergeletak sejalan dengannya yang meregangkan tubuh. Tatapannya kuyu karena begadang semalaman untuk menuntaskan episode terakhir.Ingin rasanya langsung tidur dan bermimpi indah, tapi pekerjaannya masih belum selesai. Mau tak mau Theo harus berkutat dengan PC-nya setelah Pen Tablet ia peluk semalaman. Tinggal selangkah lagi, setelah publikasi episode terakhir, pekerjaannya selesai.

    Last Updated : 2021-03-23
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 12: Perempuan Itu (2)

    Berbeda dengan zaman dulu, memanggil 118 merupakan hal wajib di zaman ini. Selain agar ambulans lebih cepat datang, pasien kritis harus segera ditangani. Namun Theo sama sekali tidak ada keinginan untuk melihat proses penanganan para medis pada tubuh si gadis. Dirinya tak sanggup melihat darah. Warna merah pekat dan kental membuatnya teringat akan darah segar yang keluar ketika Tuannya menyembelih seekor ayam sebagai konsumsi. Masih terekam jelas di benaknya jeritan ngeri tak terelakkan. Sampai sekarang gemetar pada kedua lengan masih tetap ada, meski tidak begitu terlihat jelas.“Pak Theo Aerlangga? Apakah Bapak yang menelepon ambulans?”Theo menengadah. Garis matanya tertuju pada seorang pria berbadan gempal, beliau mengenakan atribut kepolisian. Theo lekas berdiri dari trotoar penuh debu lalu berkata, “Iya, saya. Ada apa ya, Pak?”Si bapak menjelaskan, Theo dibutuhkan keterangannya sebagai saksi. Sedangkan tersangka sudah ditangk

    Last Updated : 2021-03-24
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 13: Kencan

    “Theo, Mama tadi hubungi Papa, katanya perjodohan kamu sama Lalisa gak bisa dibatalin.”“Terus gimana, Ma? Aku udah punya Zaara,” rengek Theo seraya menggenggam pergelangan ibu angkatnya.Tante Putri menggeleng lemah, ia sendiri bingung, sebab perjodohan Theo dan Lalisa sudah ditentukan sejak lama; saat mereka masih remaja.Sebenarnya Theo sudah menduga hal ini. Seketika mendengkus kesal. Karena Om Regi tidak mungkin setuju perjodohan tersebut dibatalkan, karena orang tua Lalisa bersahabat baik dengan Om Regi, bisa hancur hubungan mereka jika salah satu anaknya tersakiti.Theo pun duduk pada di kursi, depan ruang rawat Zaara. Saat berpikir dia menautkan jemari. “Ma, gimana kalau Lisa yang minta bantalin perjodohannya?”Putri duduk di samping anaknya dengan sebelah alis yang mencuat. “Maksud kamu gimana?”“Aku pengin Lisa yang nyerah sama perjodohan ini. Mungkin kalau kayak gitu, bis

    Last Updated : 2021-03-25
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 14: Hadirnya Masa Lalu

    Pukul 08.30 malam, Theo sudah rapi, memakai jas dan parfum dengan tatanan rambut seperti hari biasa. Saatnya menjemput Zaara menggunakan mobil pribadi yang terparkir di garasi. Sebetulnya, mobil ini kembali saja sudah untung. Ia pasrah jika mobil silvernya tidak kembali berkat insiden bersama Lisa tempo hari. Tak tahunya Tante Putri yang mengembalikan dengan kondisi utuh. Baguslah, Theo tak usah repot-repot lagi menunggu bus di halte.Ketika sampai depan rumah Zaara, pemiliknya sudah menunggu di depan pintu. Dress brukat warna pastel benar-benar cocok dengan imaje Zaara. Theo tersenyum seraya mengulurkan tangan. “Terima kasih sudah bersedia mengikuti permainanku,” tuturnya menampilkan gigi yang berderet rapi.Zaara memukul lengan Theo dengan tas tangan, sungguh malu mendengar kata-kata tersebut. Berhari-hari mereka latihan menjadi sepasang kekasih, akhirnya ia bisa mengikuti permainan Theo.

    Last Updated : 2021-03-26
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 15: DIA

    “Hai!! Tante bawa makan siang, nih,” seru Tante Putri dengan raut riang gembira. Beliau menyambar lengan Zaara dan duduk di sopa ruang tamu tanpa izin. Rantang modern yang sedari tadi ditenteng, lekas disimpan di meja kaca.Zaara tak bisa berkata-kata. Kehadiran Tante Putri diluar perkiraannya. Zaara berpikir Lalisa yang ada di depan pintu, tapi nyatanya bukan. Setelah Tante Putri menyiapkan lauk dan nasi di meja makan, muncul Theo dari balik pintu yang terbuka. Awalnya ia terkejut melihat pintu tidak dikunci, kemudian berlari ke dapur. Mulutnya menganga tak percaya melihat ada Tante Putri dengan Zaara yang duduk di kursi, tersaji berbagai jenis lauk pauk di meja. Segera ia merapat di samping Zaara, karena Tante Putri menyuruhnya duduk.“Tan—eh maksudku Ma, kok ada di sini? Papa gak di rumah?”“Nanya begitu, emangnya kenapa? Gak boleh?”Selalu dan selalu saja begitu. Setiap ditanya soal Om Regi, beliau seperti tidak

    Last Updated : 2021-03-26
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 16: Ini Cinta?

    Di perjalanan menuju rumah Zaara, Theo sempat mengirim chat. Fokusnya kembali pada setir mobil sambil memandangi aspal rata di depan. Beberapa menit menunggu tak ada balasan. Ponselnya tidak menunjukkan getaran pertanda pesan. Ah, mungkin sedang siap-siap, pikirnya.Selama setengah jam lebih dua puluh, Theo sampai di depan rumah Zaara. Dirinya menekan pagar lalu berjalan memasuki pekarangan rumah, ia menekan bell dekat pintu masuk. Cukup lama menunggu, pintu tidak di buka juga. Dia berinisiatif membuka pintu dari luar, dan terbuka tanpa kendala. Dari sini kecurigaannya terbentuk.Alis bertaut hingga bersatu. Theo mengamati kesuluruhan rumah itu. Tak ada siapa-siapa. Hanya terdapat ponsel tergeletak di lantai dekat meja tamu. “Ini?” gumamnya dengan tatapan yang berubah cemas. Ini ponsel Zaara, anehnya kenapa ada di lantai?“Zaara!” Theo refleks memanggil nama. Lalu berjalan menuju kamar Zaara dan tidak mendapati siapapun.

    Last Updated : 2021-04-10

Latest chapter

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 18: Move On

    Hari ini, Zaara sudah boleh pulang. Tanpa dipinta, Tante Putri membereskan beberapa barangnya. Zaara tidak enak hati, sebab Tante Putri tampak tulus membantunya. Dia merasa jadi orang jahat karena terlanjur berpura-pura menjadi pacar Theo. Sudah begitu, dia keceplosan mengungkap perasaaannya selama menjalin hubungan tidak nyata ini.Zaara menyesali kelakuannya minggu lalu. Mungkin hal itu pula yang membuat Theo jarang menengoknya. Entah sejak kapan rasa itu dimulai.Apa mungkin karena terlalu sering bertemu, cinta tumbuh begitu saja tanpa diminta? Atau hanya napsu belaka? Entah, Zaara tidak tahu.Yang pasti, saat ini hatinya sedang merindu. Ingin saling bercanda dan tertawa seperti dulu. Namun, bila berhadapan langsung ... Zaara tidak berani untuk memandang.“Za, coba sini. Tante udah masukin barang kamu ke tas. Cek dulu, takut ada yang ketinggalan,” seru Putri memanggil Zaara yang mematung di ranjang.

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 17: Menyatakan Cinta

    Pagi-pagi sekali, sekitar jam 06.30 WIB, Tante Putri sudah ada di depan pintu rumah Lalisa. Rumah tersebut memiliki dua lantai dengan desain modern minimalis. Beliau menekan bell berkali-kali tanpa henti. Membuat penghuninya kebisingan dan tak bisa melanjutkan tidur dengan tenang.Waktu itu, Lalisa tidak tahu siapa orang yang bertamu. Napasnya berhenti di kerongkongan ketika melihat sosok Putri yang menatapnya.“Ta-tante?” Lisa memundurkan tubuh selangkah, “kok ke sini? Ada apa?”“Ayo bicara. Tante tunggu kamu di cafe biasa,” tandasnya kemudian pergi terlebih dahulu meninggalkan Lisa.Melihat kepergian Tante Putri, membuatnya sedikit lega. Namun, perlakuan Putri pada Lisa tidak berakhir sampai disitu saja.Terbukti ketika Lisa sudah duduk di cafe langganan Tante Putri, beliau tak ubahnya mertua jahat yang sedang menatap penuh kebencian. Begitulah sosok Putri di mata Lisa sekarang, padahal nyatanya i

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 16: Ini Cinta?

    Di perjalanan menuju rumah Zaara, Theo sempat mengirim chat. Fokusnya kembali pada setir mobil sambil memandangi aspal rata di depan. Beberapa menit menunggu tak ada balasan. Ponselnya tidak menunjukkan getaran pertanda pesan. Ah, mungkin sedang siap-siap, pikirnya.Selama setengah jam lebih dua puluh, Theo sampai di depan rumah Zaara. Dirinya menekan pagar lalu berjalan memasuki pekarangan rumah, ia menekan bell dekat pintu masuk. Cukup lama menunggu, pintu tidak di buka juga. Dia berinisiatif membuka pintu dari luar, dan terbuka tanpa kendala. Dari sini kecurigaannya terbentuk.Alis bertaut hingga bersatu. Theo mengamati kesuluruhan rumah itu. Tak ada siapa-siapa. Hanya terdapat ponsel tergeletak di lantai dekat meja tamu. “Ini?” gumamnya dengan tatapan yang berubah cemas. Ini ponsel Zaara, anehnya kenapa ada di lantai?“Zaara!” Theo refleks memanggil nama. Lalu berjalan menuju kamar Zaara dan tidak mendapati siapapun.

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 15: DIA

    “Hai!! Tante bawa makan siang, nih,” seru Tante Putri dengan raut riang gembira. Beliau menyambar lengan Zaara dan duduk di sopa ruang tamu tanpa izin. Rantang modern yang sedari tadi ditenteng, lekas disimpan di meja kaca.Zaara tak bisa berkata-kata. Kehadiran Tante Putri diluar perkiraannya. Zaara berpikir Lalisa yang ada di depan pintu, tapi nyatanya bukan. Setelah Tante Putri menyiapkan lauk dan nasi di meja makan, muncul Theo dari balik pintu yang terbuka. Awalnya ia terkejut melihat pintu tidak dikunci, kemudian berlari ke dapur. Mulutnya menganga tak percaya melihat ada Tante Putri dengan Zaara yang duduk di kursi, tersaji berbagai jenis lauk pauk di meja. Segera ia merapat di samping Zaara, karena Tante Putri menyuruhnya duduk.“Tan—eh maksudku Ma, kok ada di sini? Papa gak di rumah?”“Nanya begitu, emangnya kenapa? Gak boleh?”Selalu dan selalu saja begitu. Setiap ditanya soal Om Regi, beliau seperti tidak

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 14: Hadirnya Masa Lalu

    Pukul 08.30 malam, Theo sudah rapi, memakai jas dan parfum dengan tatanan rambut seperti hari biasa. Saatnya menjemput Zaara menggunakan mobil pribadi yang terparkir di garasi. Sebetulnya, mobil ini kembali saja sudah untung. Ia pasrah jika mobil silvernya tidak kembali berkat insiden bersama Lisa tempo hari. Tak tahunya Tante Putri yang mengembalikan dengan kondisi utuh. Baguslah, Theo tak usah repot-repot lagi menunggu bus di halte.Ketika sampai depan rumah Zaara, pemiliknya sudah menunggu di depan pintu. Dress brukat warna pastel benar-benar cocok dengan imaje Zaara. Theo tersenyum seraya mengulurkan tangan. “Terima kasih sudah bersedia mengikuti permainanku,” tuturnya menampilkan gigi yang berderet rapi.Zaara memukul lengan Theo dengan tas tangan, sungguh malu mendengar kata-kata tersebut. Berhari-hari mereka latihan menjadi sepasang kekasih, akhirnya ia bisa mengikuti permainan Theo.

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 13: Kencan

    “Theo, Mama tadi hubungi Papa, katanya perjodohan kamu sama Lalisa gak bisa dibatalin.”“Terus gimana, Ma? Aku udah punya Zaara,” rengek Theo seraya menggenggam pergelangan ibu angkatnya.Tante Putri menggeleng lemah, ia sendiri bingung, sebab perjodohan Theo dan Lalisa sudah ditentukan sejak lama; saat mereka masih remaja.Sebenarnya Theo sudah menduga hal ini. Seketika mendengkus kesal. Karena Om Regi tidak mungkin setuju perjodohan tersebut dibatalkan, karena orang tua Lalisa bersahabat baik dengan Om Regi, bisa hancur hubungan mereka jika salah satu anaknya tersakiti.Theo pun duduk pada di kursi, depan ruang rawat Zaara. Saat berpikir dia menautkan jemari. “Ma, gimana kalau Lisa yang minta bantalin perjodohannya?”Putri duduk di samping anaknya dengan sebelah alis yang mencuat. “Maksud kamu gimana?”“Aku pengin Lisa yang nyerah sama perjodohan ini. Mungkin kalau kayak gitu, bis

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 12: Perempuan Itu (2)

    Berbeda dengan zaman dulu, memanggil 118 merupakan hal wajib di zaman ini. Selain agar ambulans lebih cepat datang, pasien kritis harus segera ditangani. Namun Theo sama sekali tidak ada keinginan untuk melihat proses penanganan para medis pada tubuh si gadis. Dirinya tak sanggup melihat darah. Warna merah pekat dan kental membuatnya teringat akan darah segar yang keluar ketika Tuannya menyembelih seekor ayam sebagai konsumsi. Masih terekam jelas di benaknya jeritan ngeri tak terelakkan. Sampai sekarang gemetar pada kedua lengan masih tetap ada, meski tidak begitu terlihat jelas.“Pak Theo Aerlangga? Apakah Bapak yang menelepon ambulans?”Theo menengadah. Garis matanya tertuju pada seorang pria berbadan gempal, beliau mengenakan atribut kepolisian. Theo lekas berdiri dari trotoar penuh debu lalu berkata, “Iya, saya. Ada apa ya, Pak?”Si bapak menjelaskan, Theo dibutuhkan keterangannya sebagai saksi. Sedangkan tersangka sudah ditangk

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 11: Perempuan Itu (1)

    Agustus 2032Theo Aerlangga, salah satu creator dari beberapa komik yang ada di platform online. Ia sudah menjadi pemuda dengan segudang prestasi. Satu tahun lalu, ada perusahaan dari Jepang, salah seorang perwakilannya menawarkan kontrak eksklusif. Syarat wajib agar dapat dikontrak, dirinya harus pindah ke Jepang dan berkarya di sana. Tentu, Theo tidak mau. Selain sudah merasa nyaman di Indonesia, harapan semasa remaja masih ia genggam erat-erat.“Hee, selesai sudah!” pekik Theo lekas menghempaskan badan pada sandaran kursi. Pen stylus tergeletak sejalan dengannya yang meregangkan tubuh. Tatapannya kuyu karena begadang semalaman untuk menuntaskan episode terakhir.Ingin rasanya langsung tidur dan bermimpi indah, tapi pekerjaannya masih belum selesai. Mau tak mau Theo harus berkutat dengan PC-nya setelah Pen Tablet ia peluk semalaman. Tinggal selangkah lagi, setelah publikasi episode terakhir, pekerjaannya selesai.

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 10: Orang Tua Angkat

    Derit pintu terdengar dibuka. Sosok Jaka terpampang jelas dibaliknya. Ia terlihat memakai topi dan tersenyum pada Theo lalu menatap Nadya. “Sayang, hadiah mainan untuk pasien anak-anak disimpen di mana lagi, ya? Di gudang udah penuh.”“Di ruangan pasien yang kosong aja, jangan sampai anak-anak tahu.”“Em, Theo gak bakal di kasih?”“Enggak, Theo gak suka mainan.”“Oke deh.”Jaka pun keluar dan kembali pada aktivitasnya—merapikan main-main yang ia bawa dari mobil ke ruang tak terpakai. Sedangkan semburat kemerahan menyasar wajah Nadya, mengingat dirinya baru seminggu menikah dengan Jaka. Rasanya seperti mimpi, karena saat itu Jaka melamarnya secara tiba-tiba tanpa menjalin kasih terlebih dulu. Memang mereka sudah saling mengenal satu sama lain sebagai teman, tapi hal itu jauh berbeda. Butuh beberapa minggu untuk Nadya memikirkan lamaran Jaka. Namun, pada akhirnya mereka menikah tanpa halangan yang ber

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status