Beranda / Romansa / Cinta Sang Merpati / Chapter 7: Ke Jakarta

Share

Chapter 7: Ke Jakarta

Penulis: Deany Na
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-16 19:00:00

Dini hari di Bandung sudah seperti dini hari di gunung. Hawa sejuk bagai es meleleh menelusup dari celah-celah pakaian. Nadya dan Nur tidur berdua di mobil, sedikit terusik dengan hawa dinginnya. Jaket hitam ukuran laki-laki membungkus tubuh Nadya bagai selimut. Sementara Nur tertutup jaket tebal yang baru ia beli kemarin malam di toko grosir dekat rest area.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan kaca berulang-ulang di sebelah Nur tidur, tapi tidak digubris. Nur masih memejamkan matanya erat, seperti tak ingin diganggu oleh siapapun.

Namun, suara ketukan itu makin sering, kemudian muncul seseorang balik kaca mobil. “Nur ... bangun ... udah subuh ...,” bisiknya.

Seketika Nur menegakkan badan dan menutup mulut saat menguap. Dirinya membuka pintu mobil kemudian meraih tas kecil berisi mukena pada dashboard mobil. Kedua maniknya masih sulit terbuka meski sudah turun. Rupanya yang memanggil adalah Fadil, terlihat membawa sebotol air mineral di tangan.

“Ini, minum dulu. Biar seger,” ujar Fadil seraya menyodorkan botol.

Nur tersenyum dengan mata tertutup, meraih botol tersebut lalu berkata, “Thanks.”

Setelah itu, Nur membuka tutup botol dan meneguknya. Bulu kuduk seketika meremang berkat rasa air yang hambar dan dingin bagai air es. Kedua matanya jadi cemerlang, tidak lagi berat seperti tadi. “Ini air es?” tanya Nur.

“Bukan, air biasa kok.”

Alis Nur bertaut beberapa saat. “Oiya lupa, ini ‘kan Bandung,” ucapnya sambil cengengesan ketika ingat posisinya sekarang.

Jadi, mereka memutuskan untuk menginap semalam di Rest Area Saduma. Sebab kedua pemuda yang bertugas menyetir tampak tak bisa melanjutkan perjalanan karena mengantuk dan lelah. Mereka berangkat dari Jakarta siang hari dan sampai Pangandaran tengah malam. Selama perjalanan, polisi dan perawat di sana yang menangani si pasien.

Para perawat dan polisi terluka cukup serius ketika menggiring pasien masuk ke mobil ambulans. Itu sebabnya, pengelola puskesmas di sana menghubungi Komunitas Mental Health untuk menjemput pasien, puskesmas tersebut tidak sanggup menangani keliaran pasien dan hanya komunitas ini yang mau menerimanya. Sementara komunitas sejenis tidak ada yang berani mengambil risiko. Perawat khusus mental di sana juga terbatas, cukup masuk akal menjadikan hal tersebut sebagai alasan.

Mereka memutuskan untuk kembali ke Jakarta agak siangan setelah menginap semalam di Pangandaran. Masalahnya sekarang, tak ada satu pun Rumah Sakit atau puskesmas yang berani menampung pasien. Alasannya hampir sama. Tidak cukup perawat, sarana dan prasarana yang tidak memadai, bahkan sampai ada yang jujur bahwa mereka takut menanganinya.

“Gimana?” tanya Jaka pada Nadya yang baru saja menghubungi salah satu RS di Jakarta—tempat komunitas mereka berdiri.

Namun, Nadya menggeleng lemas. “Sama aja, mereka menolak.”

“Terus gimana? Masa kita bawa pasien ke panti Sinar Asih? Orang-orang spesialis aja pada gak sanggup, apalagi orang-orang kita?” tanya Jaka bertubi-tubi. Sedangkan Nadya tampak memalingkan wajah, bingung.

Tidak mungkin juga mereka membawa pasien yang sangat ‘berbeda’ ini ke panti yang masih baru dibangun. Tapi, tidak ada pilihan lain.

Fadil dan Nur baru saja selesai salat subuh. Mereka berjalan mendekati Nadya dan Jaka yang berdiri tepat di depan ambulans.

“Lo pada kenapa?” tanya Nur heran.

Nadya dan Jaka, melirik berbarengan. Gerak tubuh mereka terlihat lesu. Nadya menghela napas kemudian berkata, “Puskesmas dan RS, gak ada satu pun yang bersedia menampungnya.” Sudut mata Nadya memandangi badan ambulans di belakang yang berisi pasien.

“Terus gimana sekarang?” tanya Fadil.

“Entah. Pilihan satu-satunya ... membawa pasien ke panti Sinar Asih, di JakPus[1].”

“Kalau gini caranya, mereka sama aja kayak lepas tanggung jawab. Anj*nglah.” Jaka mengumpat. Dia melempar topi hitamnya ke mobil lalu melangkah jauh dari temannya. Dia menghembuskan napas ke langit dengan menolak pinggang.

Nur berlari kecil ke arah Nadya. Melihat Jaka yang emosi, membuatnya sedikit takut. “Menurut gue enggak apa-apa, buat sementara aja. Lagian ada lo yang bisa bikin dia tenang. Gue juga bakal bantu urusin. Gak usah khawatir,” tuturnya sambil menyunggingkan senyum manis. Lipstik warna coral membikin Nur terlihat makin menarik senada dengan kerudungnya.

Dari posisinya yang semula Fadil tersenyum. Senyuman yang hanya ia tunjukkan untuk Nur seorang. Fadil melangkah mendekat teman-temannya sambil membuka pintu mobil yang ada topinya Jaka. “Ayo, berangkat sekarang. Nanti keburu siang.”

“Eh, lu. Nyetir ambulans yang satunya. Ini bagian gua,” tegas Jaka, kedua matanya memberikan kode dengan berkedip.

Awalnya Fadil tidak mengerti maksud dari kedipan Jaka. Tapi setelah melihat Nadya, ia mengatupkan bibir menahan senyum yang hampir terbentuk. “O-oya. Mbak Nur bareng saya lagi ya?” tanya Fadil sedikit tergagap.

Nur melirik Fadil sebentar lalu menatap Nadya sambil menggenggam tangannya. “Kalau ada apa-apa sama pasien, chat gue ya?”

Nadya mengangguk lalu berkata, “Hm, makasih ya, Nur.”

Nur tersenyum hangat lalu menatap Fadil. “Ayuk deh,” jawabnya atas pertanyaan Fadil sambil tersenyum simpul.

Walhasil, mereka berangkat pukul 06.30 WIB. Hanya akan berhenti saat bahan bakar mulai menipis atau saat sampai di tempat tujuan, yaitu panti rehabilitasi untuk para ODGJ. ‘Sinar Asih Bakal Belaka’ sering di singkat SABABE.

***

Zaara, menggerak-gerakkan pulpen di atas buku terbuka dengan sebelah tangan menopang dagu. Akan tetapi, halaman buku masih putih, tak ada coretan hitam sedikitpun di sana.

Padangannya tidak tetap. Ada saatnya Zaara menatap meja guru dengan lekat tapi sedetik kemudian beralih pada murid lain yang mengobrol di sisi kanan dan kiri. Di kiri ada Lalisa dan genknya sementara di kanan berkumpul anak-anak pintar, tampaknya sedang mengerjakan tugas dari pak guru—sebenarnya mereka tidak pintar-pintar amat, hanya memiliki ranking bagus di kelas ini saja.

Mengapa Zaara tidak ada keinginan untuk berbaur? Entahlah, malas. Karena mau sekuat apapun dirinya mencoba, dua kelompok itu tak ada yang sudi menerimanya. Bukan salah mereka juga, mungkin karena dirinya sendiri yang terlalu kaku dan tidak bisa melebur dengan mereka. Itu sebabnya daripada diabaikan serupa orang-orangan sawah yang tak hidup, lebih baik memisahkan diri. Keliatan keren dan misterius menurut Zaara. Padahal yang sebenarnya dia lebih terlihat seperti anak ansos[2].

“Gue jadi kangen Randa. Pulang sekolah nanti ... gue jenguk aja deh,” gumam Zaara sembari menghembuskan napas kasar.

“Zaara Yulanda!”

Tiba-tiba suara cempreng nan memekakkan tersiar dari arah pintu kelas. Yulia baru saja dari kelas lain sembari menggenggam ponsel pintar yang masih memutar video di Metube. Teman-teman di sana, melirik Yulia penasaran, tapi ada juga yang sinis menanggapi teriakan Yulia sebab tidur siangnya terusik.

“Ganggu aja lo, gak liat apa gue lagi tidur?” pekik seorang siswa berandalan pada bangku jajaran paling belakang.

“Hehehe, maap.” Yulia menciut, langkahnya memendek karena takut disemprot lagi oleh preman sekolah.

 Kemudian dirinya duduk sebelah Zaara. Kembali memutar video si cowok liar. “Liat, Ara. Dia langsung viral! Banyak metubers yang membahasnya juga, bahkan sampe ke luar negeri beritanya.”

Zaara menatap layar ponsel beberapa saat kemudian bertanya malas, “Terus apa hubungannya sama gue?”

Yulia mengerutkan kening. “Ya ... gak ada sih. Tapi ‘kan—”

“Stttt!” Ara membungkam mulut Yulia dengan satu telunjuknya. “Gue mau demus mumpung masih jam istirahat. Lo kalau mau gosip sama yang lain aja ya?”

Seketika Yulia memberengut. “Oke oke, gue pikir lo bakal tertarik makanya gue kasih tau. Yadalah, gue ngegibah di kelas 11-E lagi aja sama Sisil.”

Zaara bisa bernapas lega, lantaran Yulia sudah hilang dari pandangan. Bukannya tidak mau mengobrol dengan Yulia, hanya saja dia ingin sehari saja tidak memikirkan si cowok liar. Karena sejak kejadian itu, bayang-bayangnya tidak pernah hilang. Zaara lelah memikirkannya, tapi juga penasaran.

Sebenarnya manusia macam apa dia itu? Kenapa tingkahnya aneh sekali? Zaara meraih ponselnya dan berselancar internet, tak disangka ia menemukan kasus serupa pada tahun 2018 yang terjadi di Luar Negeri. Rupanya kasus seperti ini memang langka, bahkan hanya ada satu kasus di dunia dan kasus di Indonesia ini adalah yang ke dua.

“Sekarang tahun 2025, jaraknya jauh banget.” Zaara terpaku sesaat. “Ah, terserahlah. Pusing kalau dipikirin terus.” Dia menyerah dan memilih untuk melupakan dengan cara mengalihkan semuanya pada musik yang ia dengar.

Bersambung...

_______________________________________

Ket:

[1] Jakarta Pusat

[2] Anti Sosial

Bab terkait

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 8: Kehidupan Baru

    Pukul enam lebih dua puluh menit, Nadya berangkat dari rumah menuju panti Sinar Asih mengunakan motor metic kesayangan. Ia memakai helm SNI dengan kecepatan normal sesuai peraturan berlalu lintas. Tatkala berpapasan dengan lampu merah, Nadya menghentikan laju motornya. Sembari menunggu kendaraan lain lewat, dirinya membuka kaca helm sebentar kemudian mengambil ponsel dari saku jaket hitam dan mengetik pesan pada layar datar di depannya. Jika ada yang bertanya mengapa Nadya mengenakan jaket laki-laki, ia hanya ingin mengembalikan jaket itu pada pemiliknya, Jaka. Bermalam di Rest Area Bandung membuat tubuhnya menggigil itulah sebabnya jaket Jaka ada padanya dan ia lupa mengembalikannya.Biasanya pada jam-jam segini Jaka sudah ada di panti bersama

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-17
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 9: Wanita Aneh

    “Alhamdulillah, Baik. Jang Regi sendiri?”“Saya juga baik, Pak. Bapak di sini mau nonton aja atau?”“Oh, kalau saya baru aja daftarin Merpati Wulung saya di sini. Jang Regi mau liat?”“Boleh.”Seperti tiga bulan lalu, mereka mengobrol dengan baik, bagaikan teman akrab yang baru bertemu setelah sekian lama. Rencana Regi berhasil, selama bercakap-cakap dengan Pak Dedeng ia tidak ditanyai lagi soal merpati yang sudah dijual pada seorang wanita cantik.Tak terasa kontes unggas berbulu cantik akan segera dimulai. Pak Dedeng meminta izin dengan sopan meskipun dirinya lebih tua dari Regi. Mereka akhirnya berpisah, sementara Regi segera menjauh dari kerumunan orang dan keluar dari ruangan in-door tersebut.“Gila! Untung si bapak gak sadar,” sesal Regi. Ia menggeleng sembari menghembuskan napas kasar. “Setidaknya gue bisa ngalihin topik, jadi aman,” gumamnya sambil berjalan mendatangi mo

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-22
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 10: Orang Tua Angkat

    Derit pintu terdengar dibuka. Sosok Jaka terpampang jelas dibaliknya. Ia terlihat memakai topi dan tersenyum pada Theo lalu menatap Nadya. “Sayang, hadiah mainan untuk pasien anak-anak disimpen di mana lagi, ya? Di gudang udah penuh.”“Di ruangan pasien yang kosong aja, jangan sampai anak-anak tahu.”“Em, Theo gak bakal di kasih?”“Enggak, Theo gak suka mainan.”“Oke deh.”Jaka pun keluar dan kembali pada aktivitasnya—merapikan main-main yang ia bawa dari mobil ke ruang tak terpakai. Sedangkan semburat kemerahan menyasar wajah Nadya, mengingat dirinya baru seminggu menikah dengan Jaka. Rasanya seperti mimpi, karena saat itu Jaka melamarnya secara tiba-tiba tanpa menjalin kasih terlebih dulu. Memang mereka sudah saling mengenal satu sama lain sebagai teman, tapi hal itu jauh berbeda. Butuh beberapa minggu untuk Nadya memikirkan lamaran Jaka. Namun, pada akhirnya mereka menikah tanpa halangan yang ber

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-22
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 11: Perempuan Itu (1)

    Agustus 2032Theo Aerlangga, salah satu creator dari beberapa komik yang ada di platform online. Ia sudah menjadi pemuda dengan segudang prestasi. Satu tahun lalu, ada perusahaan dari Jepang, salah seorang perwakilannya menawarkan kontrak eksklusif. Syarat wajib agar dapat dikontrak, dirinya harus pindah ke Jepang dan berkarya di sana. Tentu, Theo tidak mau. Selain sudah merasa nyaman di Indonesia, harapan semasa remaja masih ia genggam erat-erat.“Hee, selesai sudah!” pekik Theo lekas menghempaskan badan pada sandaran kursi. Pen stylus tergeletak sejalan dengannya yang meregangkan tubuh. Tatapannya kuyu karena begadang semalaman untuk menuntaskan episode terakhir.Ingin rasanya langsung tidur dan bermimpi indah, tapi pekerjaannya masih belum selesai. Mau tak mau Theo harus berkutat dengan PC-nya setelah Pen Tablet ia peluk semalaman. Tinggal selangkah lagi, setelah publikasi episode terakhir, pekerjaannya selesai.

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-23
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 12: Perempuan Itu (2)

    Berbeda dengan zaman dulu, memanggil 118 merupakan hal wajib di zaman ini. Selain agar ambulans lebih cepat datang, pasien kritis harus segera ditangani. Namun Theo sama sekali tidak ada keinginan untuk melihat proses penanganan para medis pada tubuh si gadis. Dirinya tak sanggup melihat darah. Warna merah pekat dan kental membuatnya teringat akan darah segar yang keluar ketika Tuannya menyembelih seekor ayam sebagai konsumsi. Masih terekam jelas di benaknya jeritan ngeri tak terelakkan. Sampai sekarang gemetar pada kedua lengan masih tetap ada, meski tidak begitu terlihat jelas.“Pak Theo Aerlangga? Apakah Bapak yang menelepon ambulans?”Theo menengadah. Garis matanya tertuju pada seorang pria berbadan gempal, beliau mengenakan atribut kepolisian. Theo lekas berdiri dari trotoar penuh debu lalu berkata, “Iya, saya. Ada apa ya, Pak?”Si bapak menjelaskan, Theo dibutuhkan keterangannya sebagai saksi. Sedangkan tersangka sudah ditangk

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-24
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 13: Kencan

    “Theo, Mama tadi hubungi Papa, katanya perjodohan kamu sama Lalisa gak bisa dibatalin.”“Terus gimana, Ma? Aku udah punya Zaara,” rengek Theo seraya menggenggam pergelangan ibu angkatnya.Tante Putri menggeleng lemah, ia sendiri bingung, sebab perjodohan Theo dan Lalisa sudah ditentukan sejak lama; saat mereka masih remaja.Sebenarnya Theo sudah menduga hal ini. Seketika mendengkus kesal. Karena Om Regi tidak mungkin setuju perjodohan tersebut dibatalkan, karena orang tua Lalisa bersahabat baik dengan Om Regi, bisa hancur hubungan mereka jika salah satu anaknya tersakiti.Theo pun duduk pada di kursi, depan ruang rawat Zaara. Saat berpikir dia menautkan jemari. “Ma, gimana kalau Lisa yang minta bantalin perjodohannya?”Putri duduk di samping anaknya dengan sebelah alis yang mencuat. “Maksud kamu gimana?”“Aku pengin Lisa yang nyerah sama perjodohan ini. Mungkin kalau kayak gitu, bis

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-25
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 14: Hadirnya Masa Lalu

    Pukul 08.30 malam, Theo sudah rapi, memakai jas dan parfum dengan tatanan rambut seperti hari biasa. Saatnya menjemput Zaara menggunakan mobil pribadi yang terparkir di garasi. Sebetulnya, mobil ini kembali saja sudah untung. Ia pasrah jika mobil silvernya tidak kembali berkat insiden bersama Lisa tempo hari. Tak tahunya Tante Putri yang mengembalikan dengan kondisi utuh. Baguslah, Theo tak usah repot-repot lagi menunggu bus di halte.Ketika sampai depan rumah Zaara, pemiliknya sudah menunggu di depan pintu. Dress brukat warna pastel benar-benar cocok dengan imaje Zaara. Theo tersenyum seraya mengulurkan tangan. “Terima kasih sudah bersedia mengikuti permainanku,” tuturnya menampilkan gigi yang berderet rapi.Zaara memukul lengan Theo dengan tas tangan, sungguh malu mendengar kata-kata tersebut. Berhari-hari mereka latihan menjadi sepasang kekasih, akhirnya ia bisa mengikuti permainan Theo.

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-26
  • Cinta Sang Merpati   Chapter 15: DIA

    “Hai!! Tante bawa makan siang, nih,” seru Tante Putri dengan raut riang gembira. Beliau menyambar lengan Zaara dan duduk di sopa ruang tamu tanpa izin. Rantang modern yang sedari tadi ditenteng, lekas disimpan di meja kaca.Zaara tak bisa berkata-kata. Kehadiran Tante Putri diluar perkiraannya. Zaara berpikir Lalisa yang ada di depan pintu, tapi nyatanya bukan. Setelah Tante Putri menyiapkan lauk dan nasi di meja makan, muncul Theo dari balik pintu yang terbuka. Awalnya ia terkejut melihat pintu tidak dikunci, kemudian berlari ke dapur. Mulutnya menganga tak percaya melihat ada Tante Putri dengan Zaara yang duduk di kursi, tersaji berbagai jenis lauk pauk di meja. Segera ia merapat di samping Zaara, karena Tante Putri menyuruhnya duduk.“Tan—eh maksudku Ma, kok ada di sini? Papa gak di rumah?”“Nanya begitu, emangnya kenapa? Gak boleh?”Selalu dan selalu saja begitu. Setiap ditanya soal Om Regi, beliau seperti tidak

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-26

Bab terbaru

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 18: Move On

    Hari ini, Zaara sudah boleh pulang. Tanpa dipinta, Tante Putri membereskan beberapa barangnya. Zaara tidak enak hati, sebab Tante Putri tampak tulus membantunya. Dia merasa jadi orang jahat karena terlanjur berpura-pura menjadi pacar Theo. Sudah begitu, dia keceplosan mengungkap perasaaannya selama menjalin hubungan tidak nyata ini.Zaara menyesali kelakuannya minggu lalu. Mungkin hal itu pula yang membuat Theo jarang menengoknya. Entah sejak kapan rasa itu dimulai.Apa mungkin karena terlalu sering bertemu, cinta tumbuh begitu saja tanpa diminta? Atau hanya napsu belaka? Entah, Zaara tidak tahu.Yang pasti, saat ini hatinya sedang merindu. Ingin saling bercanda dan tertawa seperti dulu. Namun, bila berhadapan langsung ... Zaara tidak berani untuk memandang.“Za, coba sini. Tante udah masukin barang kamu ke tas. Cek dulu, takut ada yang ketinggalan,” seru Putri memanggil Zaara yang mematung di ranjang.

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 17: Menyatakan Cinta

    Pagi-pagi sekali, sekitar jam 06.30 WIB, Tante Putri sudah ada di depan pintu rumah Lalisa. Rumah tersebut memiliki dua lantai dengan desain modern minimalis. Beliau menekan bell berkali-kali tanpa henti. Membuat penghuninya kebisingan dan tak bisa melanjutkan tidur dengan tenang.Waktu itu, Lalisa tidak tahu siapa orang yang bertamu. Napasnya berhenti di kerongkongan ketika melihat sosok Putri yang menatapnya.“Ta-tante?” Lisa memundurkan tubuh selangkah, “kok ke sini? Ada apa?”“Ayo bicara. Tante tunggu kamu di cafe biasa,” tandasnya kemudian pergi terlebih dahulu meninggalkan Lisa.Melihat kepergian Tante Putri, membuatnya sedikit lega. Namun, perlakuan Putri pada Lisa tidak berakhir sampai disitu saja.Terbukti ketika Lisa sudah duduk di cafe langganan Tante Putri, beliau tak ubahnya mertua jahat yang sedang menatap penuh kebencian. Begitulah sosok Putri di mata Lisa sekarang, padahal nyatanya i

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 16: Ini Cinta?

    Di perjalanan menuju rumah Zaara, Theo sempat mengirim chat. Fokusnya kembali pada setir mobil sambil memandangi aspal rata di depan. Beberapa menit menunggu tak ada balasan. Ponselnya tidak menunjukkan getaran pertanda pesan. Ah, mungkin sedang siap-siap, pikirnya.Selama setengah jam lebih dua puluh, Theo sampai di depan rumah Zaara. Dirinya menekan pagar lalu berjalan memasuki pekarangan rumah, ia menekan bell dekat pintu masuk. Cukup lama menunggu, pintu tidak di buka juga. Dia berinisiatif membuka pintu dari luar, dan terbuka tanpa kendala. Dari sini kecurigaannya terbentuk.Alis bertaut hingga bersatu. Theo mengamati kesuluruhan rumah itu. Tak ada siapa-siapa. Hanya terdapat ponsel tergeletak di lantai dekat meja tamu. “Ini?” gumamnya dengan tatapan yang berubah cemas. Ini ponsel Zaara, anehnya kenapa ada di lantai?“Zaara!” Theo refleks memanggil nama. Lalu berjalan menuju kamar Zaara dan tidak mendapati siapapun.

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 15: DIA

    “Hai!! Tante bawa makan siang, nih,” seru Tante Putri dengan raut riang gembira. Beliau menyambar lengan Zaara dan duduk di sopa ruang tamu tanpa izin. Rantang modern yang sedari tadi ditenteng, lekas disimpan di meja kaca.Zaara tak bisa berkata-kata. Kehadiran Tante Putri diluar perkiraannya. Zaara berpikir Lalisa yang ada di depan pintu, tapi nyatanya bukan. Setelah Tante Putri menyiapkan lauk dan nasi di meja makan, muncul Theo dari balik pintu yang terbuka. Awalnya ia terkejut melihat pintu tidak dikunci, kemudian berlari ke dapur. Mulutnya menganga tak percaya melihat ada Tante Putri dengan Zaara yang duduk di kursi, tersaji berbagai jenis lauk pauk di meja. Segera ia merapat di samping Zaara, karena Tante Putri menyuruhnya duduk.“Tan—eh maksudku Ma, kok ada di sini? Papa gak di rumah?”“Nanya begitu, emangnya kenapa? Gak boleh?”Selalu dan selalu saja begitu. Setiap ditanya soal Om Regi, beliau seperti tidak

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 14: Hadirnya Masa Lalu

    Pukul 08.30 malam, Theo sudah rapi, memakai jas dan parfum dengan tatanan rambut seperti hari biasa. Saatnya menjemput Zaara menggunakan mobil pribadi yang terparkir di garasi. Sebetulnya, mobil ini kembali saja sudah untung. Ia pasrah jika mobil silvernya tidak kembali berkat insiden bersama Lisa tempo hari. Tak tahunya Tante Putri yang mengembalikan dengan kondisi utuh. Baguslah, Theo tak usah repot-repot lagi menunggu bus di halte.Ketika sampai depan rumah Zaara, pemiliknya sudah menunggu di depan pintu. Dress brukat warna pastel benar-benar cocok dengan imaje Zaara. Theo tersenyum seraya mengulurkan tangan. “Terima kasih sudah bersedia mengikuti permainanku,” tuturnya menampilkan gigi yang berderet rapi.Zaara memukul lengan Theo dengan tas tangan, sungguh malu mendengar kata-kata tersebut. Berhari-hari mereka latihan menjadi sepasang kekasih, akhirnya ia bisa mengikuti permainan Theo.

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 13: Kencan

    “Theo, Mama tadi hubungi Papa, katanya perjodohan kamu sama Lalisa gak bisa dibatalin.”“Terus gimana, Ma? Aku udah punya Zaara,” rengek Theo seraya menggenggam pergelangan ibu angkatnya.Tante Putri menggeleng lemah, ia sendiri bingung, sebab perjodohan Theo dan Lalisa sudah ditentukan sejak lama; saat mereka masih remaja.Sebenarnya Theo sudah menduga hal ini. Seketika mendengkus kesal. Karena Om Regi tidak mungkin setuju perjodohan tersebut dibatalkan, karena orang tua Lalisa bersahabat baik dengan Om Regi, bisa hancur hubungan mereka jika salah satu anaknya tersakiti.Theo pun duduk pada di kursi, depan ruang rawat Zaara. Saat berpikir dia menautkan jemari. “Ma, gimana kalau Lisa yang minta bantalin perjodohannya?”Putri duduk di samping anaknya dengan sebelah alis yang mencuat. “Maksud kamu gimana?”“Aku pengin Lisa yang nyerah sama perjodohan ini. Mungkin kalau kayak gitu, bis

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 12: Perempuan Itu (2)

    Berbeda dengan zaman dulu, memanggil 118 merupakan hal wajib di zaman ini. Selain agar ambulans lebih cepat datang, pasien kritis harus segera ditangani. Namun Theo sama sekali tidak ada keinginan untuk melihat proses penanganan para medis pada tubuh si gadis. Dirinya tak sanggup melihat darah. Warna merah pekat dan kental membuatnya teringat akan darah segar yang keluar ketika Tuannya menyembelih seekor ayam sebagai konsumsi. Masih terekam jelas di benaknya jeritan ngeri tak terelakkan. Sampai sekarang gemetar pada kedua lengan masih tetap ada, meski tidak begitu terlihat jelas.“Pak Theo Aerlangga? Apakah Bapak yang menelepon ambulans?”Theo menengadah. Garis matanya tertuju pada seorang pria berbadan gempal, beliau mengenakan atribut kepolisian. Theo lekas berdiri dari trotoar penuh debu lalu berkata, “Iya, saya. Ada apa ya, Pak?”Si bapak menjelaskan, Theo dibutuhkan keterangannya sebagai saksi. Sedangkan tersangka sudah ditangk

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 11: Perempuan Itu (1)

    Agustus 2032Theo Aerlangga, salah satu creator dari beberapa komik yang ada di platform online. Ia sudah menjadi pemuda dengan segudang prestasi. Satu tahun lalu, ada perusahaan dari Jepang, salah seorang perwakilannya menawarkan kontrak eksklusif. Syarat wajib agar dapat dikontrak, dirinya harus pindah ke Jepang dan berkarya di sana. Tentu, Theo tidak mau. Selain sudah merasa nyaman di Indonesia, harapan semasa remaja masih ia genggam erat-erat.“Hee, selesai sudah!” pekik Theo lekas menghempaskan badan pada sandaran kursi. Pen stylus tergeletak sejalan dengannya yang meregangkan tubuh. Tatapannya kuyu karena begadang semalaman untuk menuntaskan episode terakhir.Ingin rasanya langsung tidur dan bermimpi indah, tapi pekerjaannya masih belum selesai. Mau tak mau Theo harus berkutat dengan PC-nya setelah Pen Tablet ia peluk semalaman. Tinggal selangkah lagi, setelah publikasi episode terakhir, pekerjaannya selesai.

  • Cinta Sang Merpati   Chapter 10: Orang Tua Angkat

    Derit pintu terdengar dibuka. Sosok Jaka terpampang jelas dibaliknya. Ia terlihat memakai topi dan tersenyum pada Theo lalu menatap Nadya. “Sayang, hadiah mainan untuk pasien anak-anak disimpen di mana lagi, ya? Di gudang udah penuh.”“Di ruangan pasien yang kosong aja, jangan sampai anak-anak tahu.”“Em, Theo gak bakal di kasih?”“Enggak, Theo gak suka mainan.”“Oke deh.”Jaka pun keluar dan kembali pada aktivitasnya—merapikan main-main yang ia bawa dari mobil ke ruang tak terpakai. Sedangkan semburat kemerahan menyasar wajah Nadya, mengingat dirinya baru seminggu menikah dengan Jaka. Rasanya seperti mimpi, karena saat itu Jaka melamarnya secara tiba-tiba tanpa menjalin kasih terlebih dulu. Memang mereka sudah saling mengenal satu sama lain sebagai teman, tapi hal itu jauh berbeda. Butuh beberapa minggu untuk Nadya memikirkan lamaran Jaka. Namun, pada akhirnya mereka menikah tanpa halangan yang ber

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status