Manusia berkulit putih kemerahan itu berjalan menggunakan kedua kaki, terlihat tanpa busana. Kakinya penuh luka lecet akibat ranting beserta kerikil yang tersebar di tanah. Sementara kedua lengan menempel lekat pada badan.
Saat itu, betisnya mulai berguncang hebat, ia tersungkur karena tidak sanggup menahan berat tubuh. Napas beradu cepat sejalan dengan dada yang naik turun. Garis rahang yang tegas menandakan bahwa ia seorang laki-laki. Rambutnya yang seputih susu kini lusuh dan lepek penuh keringat, sangat mirip dengan uban.
Monyet-monyet ekor panjang mulai turun dari pohon-pohon besar untuk mengamati. Mereka berkomunikasi dengan sesama, namun tidak berani untuk mendekati si laki-laki. Saat matanya menjeling, para monyet berlarian ke segala arah lalu memanjat pohon-pohon di sekitar. Laki-laki itu memperhatikan cara berjalan dan kabur kumpulan monyet tadi.
Laki-laki itu mulai menjejakkan kaki dengan tangan sebagai penopang tubuh, berusaha meniru gaya berdiri monyet. Akan tetapi usahanya gagal. Yang ada, dia terjerembab dengan wajah mencium tanah lagi. Rasa sakit bukan kepalang pada hidung, membuat matanya terpejam erat.
Walhasil, dia berjalan layaknya burung lagi, walaupun sering jatuh karena sulit menyeimbangkan badan. Hingga dirinya sampai di sebuah gua. Dari kejauhan terdapat papan nama bertuliskan ‘Gua Parat’. Ia segera masuk ke gua dan beristirahat di sana.
Laki-laki itu duduk dekat batu stalagmit dengan lengan yang masih merapat ke badan. Sejenak, ia terpejam dalam diam sebelum akhirnya mengusap butiran tanah yang menempel pada lengan dengan bibir dan pipi. Netranya lalu memandangi badan sendiri. Semua bagian tubuh terlihat asing baginya. Dari kaki hingga dada, ia tidak pernah membayangkan atau memimpikan bisa seperti ini. Penglihatan pun berubah dan menurun kualitas visualnya dalam menangkap cahaya yang masuk.
Mengapa aku jadi seperti ini? Semua buluku hilang dan tubuh ini terasa berat, pikirnya lalu menatap langit gua penuh kelelawar. Meski berisik, hal itu tidak begitu mengganggu. Ingatannya justru melayang pada sebuah kenangan dengan sang kekasih. Syukurlah ia tidak lupa, walau pun memori bersama orang tua telah lenyap.
Di luar gua tiba-tiba terdengar keributan. Kelelawar yang bertengger di langit-langit tampak beterbangan keluar. Sedangkan dirinya meloncat seraya mengepakkan tangan berniat terbang. Namun, bukannya terbang dirinya malah terjengkang kebelakang. Ia berputar-putar untuk mengekspresikan rasa sakit di kepala. Insting unggasnya mengatakan, ada banyak sekali manusia di luar.
Aku, aku harus sembunyi! pikirnya. Segera berjalan dengan kaki berjinjit dan terjatuh beberapa kali. Kedua mata tidak dapat melihat apapun, sangat gelap dan pengap. Beruntung, para manusia bergerak lambat, sehingga dirinya memiliki waktu untuk bersembunyi di balik bebatuan besar yang ada di dalam gua.
Laki-laki itu berjongkok saat bersembunyi. Suara para manusia sangat menakutkan baginya sekarang. Bahkan ketika seorang remaja menemukannya, ia kian panik dan meloncat di hadapan manusia itu. Dirinya berlari ke dalam untuk bersembunyi di balik bebatuan, tidak ingin melihat rupa manusia.
***
Beberapa jam setelah kekacauan terjadi berkat teriakan Zaara, orang-orang penting dari kepolisian dan puskesmas setempat berdatangan. Mereka mengangkut si pejantan ke dalam mobil ambulans—yang mereka kira sebagai orang cacat mental.
Sementara Zaara, segera dipapah oleh Yulia keluar Cagar Alam untuk menghindari keramaian setelah sadar dari pinsan. Pak Amar terlihat berbincang dengan pengurus Cagar Alam, sedangkan semua murid kelas 11-F diarahkan ke dalam bus, biarpun kegiatan wisata belum selesai.
Yulia membawa sebotol Nizone kemudian memberikannya pada Zaara yang sedang duduk di tangga bus.
“Makasih.” Zaara meraih botol tersebut, menghela sejenak. Ia kemudian membuka botol dengan jemari yang masih gemetar.
Yulia berjongkok di depan, ia memperhatikan bahasa tubuh Zaara. “Lo, liat apa tadi?”
Ara mengatupkan bibir. Genggaman pada botol bertambah kuat. “Cowok. Seumuran kita,” lirihnya.
Alis Yulia bertaut. Lengannya memeluk lutut, mulai penasaran. “Serius?”
“Ya, gue ngeliat dia putih banget, kayak orang sakit. Rambutnya putih tapi kotor. Dia ....” Ara terkenang kejadian beberapa jam lalu, laki-laki yang ia temukan bertingkah layaknya unggas. Mengepakkan lengan seperti sayap dan suaranya mirip kicauan burung merpati.
“Dia apa?”
Pertanyaan Yulia membuat Zaara menatapnya. Di depan, Pak Amar berjalan mendekat. Zaara lantas berdiri diikuti Yulia. “Pak Amar!” seru mereka berdua.
Pak Amar memerhatikan Zaara yang memegang botol biru dengan kedua tangan. Senyumnya tersungging penuh kelegaan. “Zaara, kamu gak apa-apa?”
Zaara mengangguk lalu menjawab, “Iya, saya baik-baik aja, Pak.”
“Bagus, kamu gak perlu bingung. Biar orang dewasa yang mengurus semuanya.”
“I-iya, Pak.” Zaara memandangi sepatu hitamnya. Jujur saja, dirinya ingin bertanya soal laki-laki yang ia lihat itu. Tetapi, kalimat dari Pak Amar seakan-akan menegaskan bahwa tidak boleh ada pertanyaan atau apapun tentang peristiwa ini. Alhasil, Zaara hanya diam.
“Oke, sekarang kamu dan Yulia masuk dulu. Bapak masih ada urusan.”
“Um, anu, Pak. Jadi liburan kita gimana? Apa langsung pulang aja?” tanya Yulia.
“Tidak, kegiatan wisata akan dilanjutkan. Tapi, tidak di sini. Mending, kalian masuk bus aja sekarang.”
“Siap, Pak.”
Zaara dan Yulia memasuki bus, sementara Pak Amar berjalan menjauhi bus. Punggungnya hilang tertutup oleh kerumunan orang dekat ambulans. Mereka ada yang memegang ponsel, kamera, bahkan peralatan syuting dengan seorang wanita yang memegang mic.
Teman sekelas Zaara menonton dari balik jendela. Sementara, Zaara duduk di pinggir seperti biasa. Dirinya mulai memasang earphone dan memeluk tas gendongnya.
“Kayaknya cowok liar itu bakal viral deh. Banyak banget orang dewasa yang kerja di stasiun TV ikut ngeliput. Liat tuh, Ara,” ucap Yulia, badannya sedikit terangkat, mencoba mengintip dari kursi sambil menepuk berkali-kali punggung tangan Zaara.
Zaara meringkuk, bersandar pada kursi. Tidak peduli dengan kata-kata Yulia. “Hm, terserah. Gak ada urusannya sama gue.”
Seketika Yulia mengerucutkan bibir kesal. Ia memutuskan untuk bangkit dan ikut mengintip bersama teman lainnya.
***
Seorang pria dengan rambut penuh uban, terlihat nyalakan televisi layar datar kemudian menyimpan kembali remote di meja kaca. Ia menonton berita yang sedang hangat-hangatnya. Pada sisi layar terdapat judul berita terbaru yaitu ‘Manusia Tanpa Busana Ditemukan di Cagar Alam Pangandaran’. Keningnya yang sudah dipenuhi kerutan semakin jelas terlihat ketika mengernyit. Ia mengusap dagu, fokus pada layar TV berbodi tipis.
Tak lama, dari samping kanan, seorang wanita menghampirinya. Tampak mengenakan pakaian berwarna putih. Pada pelipis sebelah kiri,nya terdapat sebuah lampu LED berwarna biru berbentuk lingkaran. Wanita itu menyimpan secangkir kopi di meja lalu berdiri tegap kembali dengan nampan dipeluk. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun.
Pria itu menyeduh kopi panas perlahan lalu mematikan televisi. Dirinya bangkit seraya menyambar jas hitam miliknya pada sofa berwarna krem. “Tak ada waktu untuk berleha-leha. Ayo bereskan sekarang,” titahnya pada diri sendiri.
Sorot matanya berubah serius, ia berjalan keluar dari apartemen dan turun menggunakan lift. Pria berjambang tipis itu pergi dengan mobil Mercedes berwarna hitam mengkilap.
Bersambung...
Si pejantan sudah tak telanjang lagi. Kaus putih dan celana pendek kakao membungkus tubuhnya. Dia berjongkok di sisi dalam ambulans. Surai putih bersihnya tampak mengkilat terkena sinar lampu jalan yang menelusup kaca mobil. Kondisinya sekarang tidak kotor seperti sebelumnya.Tiba-tiba mobil yang dia tumpangi terguncang karena parkir di sebuah rest area, Bandung. Terdapat plang raksasa bertuliskan ‘Rest Area Saduma’.Pejantan sempat mematung, ia berjinjit kemudian menuju kaca mobil. Samar-samar terlihat empat manus
Dini hari di Bandung sudah seperti dini hari di gunung. Hawa sejuk bagai es meleleh menelusup dari celah-celah pakaian. Nadya dan Nur tidur berdua di mobil, sedikit terusik dengan hawa dinginnya. Jaket hitam ukuran laki-laki membungkus tubuh Nadya bagai selimut. Sementara Nur tertutup jaket tebal yang baru ia beli kemarin malam di toko grosir dekat rest area.Tiba-tiba terdengar suara ketukan kaca berulang-ulang di sebelah Nur tidur, tapi tidak digubris. Nur masih memejamkan matanya erat, seperti tak ingin diganggu oleh siapapun.Namun, suara ketukan itu makin sering, kemudian muncul seseorang balik kaca mobil. “Nur ... bangun ... udah subuh ...,” bisiknya.Seketika Nur menegakkan badan dan menutup mulut saat menguap. Dirinya membuka pintu mobil kemudian meraih tas kecil berisi mukena padadashboardmobil. Kedua maniknya masih sulit terbuka meski sudah turun. Rupanya yang memanggil adalah Fadil, terlihat membawa s
Pukul enam lebih dua puluh menit, Nadya berangkat dari rumah menuju panti Sinar Asih mengunakan motor metic kesayangan. Ia memakai helm SNI dengan kecepatan normal sesuai peraturan berlalu lintas. Tatkala berpapasan dengan lampu merah, Nadya menghentikan laju motornya. Sembari menunggu kendaraan lain lewat, dirinya membuka kaca helm sebentar kemudian mengambil ponsel dari saku jaket hitam dan mengetik pesan pada layar datar di depannya. Jika ada yang bertanya mengapa Nadya mengenakan jaket laki-laki, ia hanya ingin mengembalikan jaket itu pada pemiliknya, Jaka. Bermalam di Rest Area Bandung membuat tubuhnya menggigil itulah sebabnya jaket Jaka ada padanya dan ia lupa mengembalikannya.Biasanya pada jam-jam segini Jaka sudah ada di panti bersama
“Alhamdulillah, Baik. Jang Regi sendiri?”“Saya juga baik, Pak. Bapak di sini mau nonton aja atau?”“Oh, kalau saya baru aja daftarin Merpati Wulung saya di sini. Jang Regi mau liat?”“Boleh.”Seperti tiga bulan lalu, mereka mengobrol dengan baik, bagaikan teman akrab yang baru bertemu setelah sekian lama. Rencana Regi berhasil, selama bercakap-cakap dengan Pak Dedeng ia tidak ditanyai lagi soal merpati yang sudah dijual pada seorang wanita cantik.Tak terasa kontes unggas berbulu cantik akan segera dimulai. Pak Dedeng meminta izin dengan sopan meskipun dirinya lebih tua dari Regi. Mereka akhirnya berpisah, sementara Regi segera menjauh dari kerumunan orang dan keluar dari ruangan in-door tersebut.“Gila! Untung si bapak gak sadar,” sesal Regi. Ia menggeleng sembari menghembuskan napas kasar. “Setidaknya gue bisa ngalihin topik, jadi aman,” gumamnya sambil berjalan mendatangi mo
Derit pintu terdengar dibuka. Sosok Jaka terpampang jelas dibaliknya. Ia terlihat memakai topi dan tersenyum pada Theo lalu menatap Nadya. “Sayang, hadiah mainan untuk pasien anak-anak disimpen di mana lagi, ya? Di gudang udah penuh.”“Di ruangan pasien yang kosong aja, jangan sampai anak-anak tahu.”“Em, Theo gak bakal di kasih?”“Enggak, Theo gak suka mainan.”“Oke deh.”Jaka pun keluar dan kembali pada aktivitasnya—merapikan main-main yang ia bawa dari mobil ke ruang tak terpakai. Sedangkan semburat kemerahan menyasar wajah Nadya, mengingat dirinya baru seminggu menikah dengan Jaka. Rasanya seperti mimpi, karena saat itu Jaka melamarnya secara tiba-tiba tanpa menjalin kasih terlebih dulu. Memang mereka sudah saling mengenal satu sama lain sebagai teman, tapi hal itu jauh berbeda. Butuh beberapa minggu untuk Nadya memikirkan lamaran Jaka. Namun, pada akhirnya mereka menikah tanpa halangan yang ber
Agustus 2032Theo Aerlangga, salah satu creator dari beberapa komik yang ada di platform online. Ia sudah menjadi pemuda dengan segudang prestasi. Satu tahun lalu, ada perusahaan dari Jepang, salah seorang perwakilannya menawarkan kontrak eksklusif. Syarat wajib agar dapat dikontrak, dirinya harus pindah ke Jepang dan berkarya di sana. Tentu, Theo tidak mau. Selain sudah merasa nyaman di Indonesia, harapan semasa remaja masih ia genggam erat-erat.“Hee, selesai sudah!” pekik Theo lekas menghempaskan badan pada sandaran kursi. Pen stylus tergeletak sejalan dengannya yang meregangkan tubuh. Tatapannya kuyu karena begadang semalaman untuk menuntaskan episode terakhir.Ingin rasanya langsung tidur dan bermimpi indah, tapi pekerjaannya masih belum selesai. Mau tak mau Theo harus berkutat dengan PC-nya setelah Pen Tablet ia peluk semalaman. Tinggal selangkah lagi, setelah publikasi episode terakhir, pekerjaannya selesai.
Berbeda dengan zaman dulu, memanggil 118 merupakan hal wajib di zaman ini. Selain agar ambulans lebih cepat datang, pasien kritis harus segera ditangani. Namun Theo sama sekali tidak ada keinginan untuk melihat proses penanganan para medis pada tubuh si gadis. Dirinya tak sanggup melihat darah. Warna merah pekat dan kental membuatnya teringat akan darah segar yang keluar ketika Tuannya menyembelih seekor ayam sebagai konsumsi. Masih terekam jelas di benaknya jeritan ngeri tak terelakkan. Sampai sekarang gemetar pada kedua lengan masih tetap ada, meski tidak begitu terlihat jelas.“Pak Theo Aerlangga? Apakah Bapak yang menelepon ambulans?”Theo menengadah. Garis matanya tertuju pada seorang pria berbadan gempal, beliau mengenakan atribut kepolisian. Theo lekas berdiri dari trotoar penuh debu lalu berkata, “Iya, saya. Ada apa ya, Pak?”Si bapak menjelaskan, Theo dibutuhkan keterangannya sebagai saksi. Sedangkan tersangka sudah ditangk
“Theo, Mama tadi hubungi Papa, katanya perjodohan kamu sama Lalisa gak bisa dibatalin.”“Terus gimana, Ma? Aku udah punya Zaara,” rengek Theo seraya menggenggam pergelangan ibu angkatnya.Tante Putri menggeleng lemah, ia sendiri bingung, sebab perjodohan Theo dan Lalisa sudah ditentukan sejak lama; saat mereka masih remaja.Sebenarnya Theo sudah menduga hal ini. Seketika mendengkus kesal. Karena Om Regi tidak mungkin setuju perjodohan tersebut dibatalkan, karena orang tua Lalisa bersahabat baik dengan Om Regi, bisa hancur hubungan mereka jika salah satu anaknya tersakiti.Theo pun duduk pada di kursi, depan ruang rawat Zaara. Saat berpikir dia menautkan jemari. “Ma, gimana kalau Lisa yang minta bantalin perjodohannya?”Putri duduk di samping anaknya dengan sebelah alis yang mencuat. “Maksud kamu gimana?”“Aku pengin Lisa yang nyerah sama perjodohan ini. Mungkin kalau kayak gitu, bis
Hari ini, Zaara sudah boleh pulang. Tanpa dipinta, Tante Putri membereskan beberapa barangnya. Zaara tidak enak hati, sebab Tante Putri tampak tulus membantunya. Dia merasa jadi orang jahat karena terlanjur berpura-pura menjadi pacar Theo. Sudah begitu, dia keceplosan mengungkap perasaaannya selama menjalin hubungan tidak nyata ini.Zaara menyesali kelakuannya minggu lalu. Mungkin hal itu pula yang membuat Theo jarang menengoknya. Entah sejak kapan rasa itu dimulai.Apa mungkin karena terlalu sering bertemu, cinta tumbuh begitu saja tanpa diminta? Atau hanya napsu belaka? Entah, Zaara tidak tahu.Yang pasti, saat ini hatinya sedang merindu. Ingin saling bercanda dan tertawa seperti dulu. Namun, bila berhadapan langsung ... Zaara tidak berani untuk memandang.“Za, coba sini. Tante udah masukin barang kamu ke tas. Cek dulu, takut ada yang ketinggalan,” seru Putri memanggil Zaara yang mematung di ranjang.
Pagi-pagi sekali, sekitar jam 06.30 WIB, Tante Putri sudah ada di depan pintu rumah Lalisa. Rumah tersebut memiliki dua lantai dengan desain modern minimalis. Beliau menekan bell berkali-kali tanpa henti. Membuat penghuninya kebisingan dan tak bisa melanjutkan tidur dengan tenang.Waktu itu, Lalisa tidak tahu siapa orang yang bertamu. Napasnya berhenti di kerongkongan ketika melihat sosok Putri yang menatapnya.“Ta-tante?” Lisa memundurkan tubuh selangkah, “kok ke sini? Ada apa?”“Ayo bicara. Tante tunggu kamu di cafe biasa,” tandasnya kemudian pergi terlebih dahulu meninggalkan Lisa.Melihat kepergian Tante Putri, membuatnya sedikit lega. Namun, perlakuan Putri pada Lisa tidak berakhir sampai disitu saja.Terbukti ketika Lisa sudah duduk di cafe langganan Tante Putri, beliau tak ubahnya mertua jahat yang sedang menatap penuh kebencian. Begitulah sosok Putri di mata Lisa sekarang, padahal nyatanya i
Di perjalanan menuju rumah Zaara, Theo sempat mengirim chat. Fokusnya kembali pada setir mobil sambil memandangi aspal rata di depan. Beberapa menit menunggu tak ada balasan. Ponselnya tidak menunjukkan getaran pertanda pesan. Ah, mungkin sedang siap-siap, pikirnya.Selama setengah jam lebih dua puluh, Theo sampai di depan rumah Zaara. Dirinya menekan pagar lalu berjalan memasuki pekarangan rumah, ia menekan bell dekat pintu masuk. Cukup lama menunggu, pintu tidak di buka juga. Dia berinisiatif membuka pintu dari luar, dan terbuka tanpa kendala. Dari sini kecurigaannya terbentuk.Alis bertaut hingga bersatu. Theo mengamati kesuluruhan rumah itu. Tak ada siapa-siapa. Hanya terdapat ponsel tergeletak di lantai dekat meja tamu. “Ini?” gumamnya dengan tatapan yang berubah cemas. Ini ponsel Zaara, anehnya kenapa ada di lantai?“Zaara!” Theo refleks memanggil nama. Lalu berjalan menuju kamar Zaara dan tidak mendapati siapapun.
“Hai!! Tante bawa makan siang, nih,” seru Tante Putri dengan raut riang gembira. Beliau menyambar lengan Zaara dan duduk di sopa ruang tamu tanpa izin. Rantang modern yang sedari tadi ditenteng, lekas disimpan di meja kaca.Zaara tak bisa berkata-kata. Kehadiran Tante Putri diluar perkiraannya. Zaara berpikir Lalisa yang ada di depan pintu, tapi nyatanya bukan. Setelah Tante Putri menyiapkan lauk dan nasi di meja makan, muncul Theo dari balik pintu yang terbuka. Awalnya ia terkejut melihat pintu tidak dikunci, kemudian berlari ke dapur. Mulutnya menganga tak percaya melihat ada Tante Putri dengan Zaara yang duduk di kursi, tersaji berbagai jenis lauk pauk di meja. Segera ia merapat di samping Zaara, karena Tante Putri menyuruhnya duduk.“Tan—eh maksudku Ma, kok ada di sini? Papa gak di rumah?”“Nanya begitu, emangnya kenapa? Gak boleh?”Selalu dan selalu saja begitu. Setiap ditanya soal Om Regi, beliau seperti tidak
Pukul 08.30 malam, Theo sudah rapi, memakai jas dan parfum dengan tatanan rambut seperti hari biasa. Saatnya menjemput Zaara menggunakan mobil pribadi yang terparkir di garasi. Sebetulnya, mobil ini kembali saja sudah untung. Ia pasrah jika mobil silvernya tidak kembali berkat insiden bersama Lisa tempo hari. Tak tahunya Tante Putri yang mengembalikan dengan kondisi utuh. Baguslah, Theo tak usah repot-repot lagi menunggu bus di halte.Ketika sampai depan rumah Zaara, pemiliknya sudah menunggu di depan pintu. Dress brukat warna pastel benar-benar cocok dengan imaje Zaara. Theo tersenyum seraya mengulurkan tangan. “Terima kasih sudah bersedia mengikuti permainanku,” tuturnya menampilkan gigi yang berderet rapi.Zaara memukul lengan Theo dengan tas tangan, sungguh malu mendengar kata-kata tersebut. Berhari-hari mereka latihan menjadi sepasang kekasih, akhirnya ia bisa mengikuti permainan Theo.
“Theo, Mama tadi hubungi Papa, katanya perjodohan kamu sama Lalisa gak bisa dibatalin.”“Terus gimana, Ma? Aku udah punya Zaara,” rengek Theo seraya menggenggam pergelangan ibu angkatnya.Tante Putri menggeleng lemah, ia sendiri bingung, sebab perjodohan Theo dan Lalisa sudah ditentukan sejak lama; saat mereka masih remaja.Sebenarnya Theo sudah menduga hal ini. Seketika mendengkus kesal. Karena Om Regi tidak mungkin setuju perjodohan tersebut dibatalkan, karena orang tua Lalisa bersahabat baik dengan Om Regi, bisa hancur hubungan mereka jika salah satu anaknya tersakiti.Theo pun duduk pada di kursi, depan ruang rawat Zaara. Saat berpikir dia menautkan jemari. “Ma, gimana kalau Lisa yang minta bantalin perjodohannya?”Putri duduk di samping anaknya dengan sebelah alis yang mencuat. “Maksud kamu gimana?”“Aku pengin Lisa yang nyerah sama perjodohan ini. Mungkin kalau kayak gitu, bis
Berbeda dengan zaman dulu, memanggil 118 merupakan hal wajib di zaman ini. Selain agar ambulans lebih cepat datang, pasien kritis harus segera ditangani. Namun Theo sama sekali tidak ada keinginan untuk melihat proses penanganan para medis pada tubuh si gadis. Dirinya tak sanggup melihat darah. Warna merah pekat dan kental membuatnya teringat akan darah segar yang keluar ketika Tuannya menyembelih seekor ayam sebagai konsumsi. Masih terekam jelas di benaknya jeritan ngeri tak terelakkan. Sampai sekarang gemetar pada kedua lengan masih tetap ada, meski tidak begitu terlihat jelas.“Pak Theo Aerlangga? Apakah Bapak yang menelepon ambulans?”Theo menengadah. Garis matanya tertuju pada seorang pria berbadan gempal, beliau mengenakan atribut kepolisian. Theo lekas berdiri dari trotoar penuh debu lalu berkata, “Iya, saya. Ada apa ya, Pak?”Si bapak menjelaskan, Theo dibutuhkan keterangannya sebagai saksi. Sedangkan tersangka sudah ditangk
Agustus 2032Theo Aerlangga, salah satu creator dari beberapa komik yang ada di platform online. Ia sudah menjadi pemuda dengan segudang prestasi. Satu tahun lalu, ada perusahaan dari Jepang, salah seorang perwakilannya menawarkan kontrak eksklusif. Syarat wajib agar dapat dikontrak, dirinya harus pindah ke Jepang dan berkarya di sana. Tentu, Theo tidak mau. Selain sudah merasa nyaman di Indonesia, harapan semasa remaja masih ia genggam erat-erat.“Hee, selesai sudah!” pekik Theo lekas menghempaskan badan pada sandaran kursi. Pen stylus tergeletak sejalan dengannya yang meregangkan tubuh. Tatapannya kuyu karena begadang semalaman untuk menuntaskan episode terakhir.Ingin rasanya langsung tidur dan bermimpi indah, tapi pekerjaannya masih belum selesai. Mau tak mau Theo harus berkutat dengan PC-nya setelah Pen Tablet ia peluk semalaman. Tinggal selangkah lagi, setelah publikasi episode terakhir, pekerjaannya selesai.
Derit pintu terdengar dibuka. Sosok Jaka terpampang jelas dibaliknya. Ia terlihat memakai topi dan tersenyum pada Theo lalu menatap Nadya. “Sayang, hadiah mainan untuk pasien anak-anak disimpen di mana lagi, ya? Di gudang udah penuh.”“Di ruangan pasien yang kosong aja, jangan sampai anak-anak tahu.”“Em, Theo gak bakal di kasih?”“Enggak, Theo gak suka mainan.”“Oke deh.”Jaka pun keluar dan kembali pada aktivitasnya—merapikan main-main yang ia bawa dari mobil ke ruang tak terpakai. Sedangkan semburat kemerahan menyasar wajah Nadya, mengingat dirinya baru seminggu menikah dengan Jaka. Rasanya seperti mimpi, karena saat itu Jaka melamarnya secara tiba-tiba tanpa menjalin kasih terlebih dulu. Memang mereka sudah saling mengenal satu sama lain sebagai teman, tapi hal itu jauh berbeda. Butuh beberapa minggu untuk Nadya memikirkan lamaran Jaka. Namun, pada akhirnya mereka menikah tanpa halangan yang ber