“Enghh, gak ... ada apa-apa kak ....” Kalimatnya tergantung di udara.
Sekilas Yulia tampak menyinggung Ara, ia berbisik, “Namanya Alif, Alif.”
“Ah, iya, Kak Alif, ehehe.” Ara tertawa garing, hanya dirinya yang tertawa. Kak Alif justru menghembuskan napas dalam. Sedangkan Yulia dan teman lainnya terlihat menahan tawa.
***
Sepanjang perjalanan mengitari Cagar Alam, Zaara berusaha keras untuk memperhatikan penjelasan Kak Alif. Ia mencatat semua hal yang penting-penting saja.
Dari destinasi pertama, situs Batu Kalde atau Sapi Gumarang. Situs prasasti ini diyakini merupakan reruntuhan sebuah Candi Hindu Kuno. Pada candi terdapat sebuah arca berbentuk anak sapi, dipercaya sebagai jelmaan Raden Arya Sapi Gumarang. Kala itu beliau menjabat sebagai menteri pertanian Kerajaan Pananjung.
Destinasi yang kedua sebenarnya adalah Gua Jepang. Namun, karena berbenturan dengan waktu makan siang, akhirnya perjalanan diberhentikan dulu dan para murid segera menyebar pada bangku kayu yang sudah tersedia. Adapun yang duduk di tanah berumput beralaskan tikar.
Yulia dan Zaara, duduk di atas tikar, berkumpul dengan teman-teman dan Pak Amar. Mereka lekas menghabiskan bekal makan siang sembari bersenda-gurau bersama. Berbeda dengan Zaara, fokusnya teralihkan oleh hewan-hewan liar yang ada di Cagar Alam. Para monyet berkeliaran di sekitar jalan setapak. Namun, mereka tidak berani mendekati para wisatawan atau sekadar meminta makan. Pohon-pohon menjulang tinggi nan rimbun, terdengar berbagai jenis burung, bernyanyi dengan merdu. Jika tidak dibuat jalan setapak, secara alami Cagar Alam ini sudah seperti hutan sungguhan.
“Enak, ya, di sini, Yul. Seger dan gak ada polusi.” Zaara membuka tutup air mineral, senyumnya mengembang, terlihat bahagia sekali.
“Bener, di sini juga banyak temen kita, Ara.”
“Temen? Maksud lo?” tanya Ara, lalu meneguk air mineral tersebut tanpa melirik Yulia.
“Tuh! Di sana.” Yulia menunjuk monyet ekor panjang yang bergelantungan di pohon.
Ara tersedak. Air mineral keluar lewat hidung. Ia sampai terbatuk-batuk, daerah atas sinus perih dan air tumpah ruah membasahi ujung kausnya. Cepat-cepat Ara mengambil tisu di dalam tas, kemudian menggunakannya untuk mengelap wajah dan kaus. Ketika menoleh ke samping dengan wajah garang, Yulia sudah hilang dari peradaban.
Awas kamu, Yul. Aku akan balas. Liat aja, suara hati Ara. Botol air mineral ia remas sampai tidak berbentuk, kemudian membuangnya ke tong sampah yang ada di seberang jalan dengan langkah disentak-sentak.
***
Sekonyong-konyong, Yulia sudah berbaris rapi di antara para murid, berdiri dengan tas gendong, terlihat tanpa beban. Seringai muncul begitu saja dari bibir Ara, menatap punggung Yulia seperti sedang mengintai mangsa.
Selagi Pak Amar dan Kak Alif memberikan pengarahan, Ara lebih tertarik memikirkan cara membalas kejailan temannya. Tapi, sampai akhir Zaara tidak menemukan ide jail itu. Tanpa terasa, rombongan kelas 11-F pun sudah sampai di destinasi kedua, yang diganti menjadi Gua Parat, sebab lokasinya lebih dekat. Jika memaksakan ingin ke Gua Jepang dulu tidak masalah sebenarnya, hanya saja jadi tak efesien.
“Sebelum memasuki Gua Parat. Ada baiknya absen lagi, ya. Zaara ketuanya, kan? Kenapa tidak mengabsen dari tadi?” Pak Amar mengedarkan pandangan pada barisan para murid, mencari keberadaan Zaara. Maklum, beliau sudah lumayan berumur, sehingga penghilatannya mulai kabur.
“Bukan, Pak. Zaara wakil doang!” pekik Zaara.
Pak Amar memicingkan mata, rupanya Zaara berada di barisan paling belakang. Kebiasan anak itu, selalu telat dalam segala hal. “Sama saja, kamu yang harus menggantikan Randa,” tukas Pak Amar, tidak mau kalah.
“Tapi, Pak—”
“Udah! Cepat absen dulu. Nanti daftar adsensinya berikan ke bapak, ngerti?” Pak Amar sudah jengkel dengan kelakuan Zaara, itu sebabnya beliau tidak ingin mendengar bermacam alasan Zaara yang terkadang kurang masuk akal.
Sementara Ara, tampak sekali kekesalan pada wajah yang ditekuk, tetapi tidak bisa berbuat banyak. Akhirnya Ara hanya bisa meniup poni hingga berantakan dan membenarkannya lagi. Dia segera mengabsen teman-temannya dengan buku dan pulpen di tangan. Sesuai kata Pak Amar, Ara segera memberikan daftar absensi kelas 11-F, meski dengan wajah yang sangat malas, setidaknya Ara masih mau mengerjakan tugasnya.
“Oke, adsensi selesai. Kalian membawa senter, kan? Bapak sudah mewanti-wanti sebelum berangkat loh.”
Ara tertegun. Matanya berkedip dua kali, kemudian segera mengecek tas gendong. Tiba-tiba, Yulia sudah di samping Ara. Tubuhnya miring, ingin mengintip isi tas Ara. “Lo gak lupa bawa senter, kan?” tanya Yulia.
“Hehehe.”
Ah, sesuai perkiraan Yulia. Ara lupa membawa senter. Tampak dari wajahnya yang cengengesan.
Singkat cerita, Ara dipinjamkan senter oleh Yulia. Untungnya, Yulia membawa dua senter. Tentu saja, Yulia sangat mengerti sekali kelakuan teman sebangkunya itu. Dari awal mereka berkenalan di kelas 10-F, Ara bahkan tidak membawa peralatan menulis. Bagaimana bisa begitu? Padahal hari pertama sekolah. Yah, begitulah Zaara Yulanda dengan segala kekurangannya. Tapi, justru hal itu yang menarik darinya bagi Yulia.
Sementara, teman lainnya banyak yang menghindari Ara. Posisi Ara sebagai wakil ketua itu pun berkat Randa. Terima kasih untuk Randa, karena dia benar-benar menyelamatkan hidup Ara dari pembullyan. Jika tidak seperti itu, mungkin pengalaman buruk sejak SD dan SMP-nya akan terulang kembali. Kenapa Yulia bisa tahu? Ara yang bilang sendiri. Awalnya memang sulit membuat Ara terbuka, tapi lambat laun Yulia bisa mengerti mengapa kepribadian Ara agak tidak singkron satu dengan yang lainnya. Hal itu, akibat dari kenangan buruk di masa lalu.
“Ah! Apaan itu? Huhu, gelap banget!” rengek Ara bagai bocah ingusan yang takut akan kegelapan. Sejak masuk ke dalam gua, Ara terus memeluk lengan Yulia. Tak terlepas sekalipun dengan senternya yang disorotkan ke segala arah.
Yulia memicingkan mata, menoleh kearah batu yang disorot oleh Ara, kemudian mendengus lelah. “Itu cuma batu berbentuk paha ayam[2], Ara. Yaelah, gitu doang.”
“Paha ayam?” tanya Ara, rasa penasarannya mulai bangkit.
“Iya, dengerin makanya penjelasan dari Kak Alif.”
Tanpa sepengetahuan Yulia—yang sedang fokus pada penjelasan Kak Arif mengenai batuan berbentuk aneh di dalam gua—Ara berjalan sendiri. Zaara menyinari batuan stalaktit dan stalagmit yang terlihat oleh mata. Senter difokuskan pada batu berbentuk kemaluan laki-laki. Batu kemaluan adalah batu yang berbentuk seperti kemaluan laki-laki dan perempuan. Mitosnya, orang yang belum memiliki pasangan ketika memegang batu berbentuk kelamin lawan jenis, bisa enteng jodoh. Agak menggelikan dan tak mau mendekat sebenarnya, tapi sesuatu yang bergerak di belakang batu membuat Ara semakin penasaran, lupa dengan ketakutannya tadi.
Mendadak senter terjatuh beserta badan yang terjengkang, pantatnya mencium tanah lembab. Bulu kuduk yang sedari tadi berdiri akibat suhu gua, makin meremang saja ketika netranya mendapati sesosok manusia berjongkok di samping batu. Sosok itu berkulit putih kemerahan dengan rambut lurus nan lusuh berwarna putih seperti uban pada kakek-kakek.
“Si-siapa?” tanya Ara dengan suara gemetarnya. Tiba-tiba makhluk itu melompat, membuat Ara seketika pingsan setelah berteriak kencang.
Bersambung...
_________________________________________
Ket:
[1] Umang-umang, ada pula yang menerjemahkannya sebagai ketam pertapa atau kepiting pertapa.
[2] Batuan yang berbentuk seperti paha ayam.
Manusia berkulit putih kemerahan itu berjalan menggunakan kedua kaki, terlihat tanpa busana. Kakinya penuh luka lecet akibat ranting beserta kerikil yang tersebar di tanah. Sementara kedua lengan menempel lekat pada badan.Saat itu, betisnya mulai berguncang hebat, ia tersungkur karena tidak sanggup menahan berat tubuh. Napas beradu cepat sejalan dengan dada yang naik turun. Garis rahang yang tegas menandakan bahwa ia seorang laki-laki. Rambutnya yang seputih susu kini lusuh dan lepek penuh keringat, sangat mirip dengan uban.Monyet-monyet ekor panjang mulai turun dari pohon-pohon besar untuk mengamati. Mereka berkomunikasi dengan sesama, namun tidak berani untuk mendekati si laki-laki. Saat matanya menjeling, para monyet berlarian ke segala arah lalu memanjat pohon-pohon di sekitar. Laki-laki itu memperhatikan cara berjalan dan kabur kumpulan monyet tadi.Laki-laki itu mulai menjejakkan kaki dengan tangan sebagai penopa
Si pejantan sudah tak telanjang lagi. Kaus putih dan celana pendek kakao membungkus tubuhnya. Dia berjongkok di sisi dalam ambulans. Surai putih bersihnya tampak mengkilat terkena sinar lampu jalan yang menelusup kaca mobil. Kondisinya sekarang tidak kotor seperti sebelumnya.Tiba-tiba mobil yang dia tumpangi terguncang karena parkir di sebuah rest area, Bandung. Terdapat plang raksasa bertuliskan ‘Rest Area Saduma’.Pejantan sempat mematung, ia berjinjit kemudian menuju kaca mobil. Samar-samar terlihat empat manus
Dini hari di Bandung sudah seperti dini hari di gunung. Hawa sejuk bagai es meleleh menelusup dari celah-celah pakaian. Nadya dan Nur tidur berdua di mobil, sedikit terusik dengan hawa dinginnya. Jaket hitam ukuran laki-laki membungkus tubuh Nadya bagai selimut. Sementara Nur tertutup jaket tebal yang baru ia beli kemarin malam di toko grosir dekat rest area.Tiba-tiba terdengar suara ketukan kaca berulang-ulang di sebelah Nur tidur, tapi tidak digubris. Nur masih memejamkan matanya erat, seperti tak ingin diganggu oleh siapapun.Namun, suara ketukan itu makin sering, kemudian muncul seseorang balik kaca mobil. “Nur ... bangun ... udah subuh ...,” bisiknya.Seketika Nur menegakkan badan dan menutup mulut saat menguap. Dirinya membuka pintu mobil kemudian meraih tas kecil berisi mukena padadashboardmobil. Kedua maniknya masih sulit terbuka meski sudah turun. Rupanya yang memanggil adalah Fadil, terlihat membawa s
Pukul enam lebih dua puluh menit, Nadya berangkat dari rumah menuju panti Sinar Asih mengunakan motor metic kesayangan. Ia memakai helm SNI dengan kecepatan normal sesuai peraturan berlalu lintas. Tatkala berpapasan dengan lampu merah, Nadya menghentikan laju motornya. Sembari menunggu kendaraan lain lewat, dirinya membuka kaca helm sebentar kemudian mengambil ponsel dari saku jaket hitam dan mengetik pesan pada layar datar di depannya. Jika ada yang bertanya mengapa Nadya mengenakan jaket laki-laki, ia hanya ingin mengembalikan jaket itu pada pemiliknya, Jaka. Bermalam di Rest Area Bandung membuat tubuhnya menggigil itulah sebabnya jaket Jaka ada padanya dan ia lupa mengembalikannya.Biasanya pada jam-jam segini Jaka sudah ada di panti bersama
“Alhamdulillah, Baik. Jang Regi sendiri?”“Saya juga baik, Pak. Bapak di sini mau nonton aja atau?”“Oh, kalau saya baru aja daftarin Merpati Wulung saya di sini. Jang Regi mau liat?”“Boleh.”Seperti tiga bulan lalu, mereka mengobrol dengan baik, bagaikan teman akrab yang baru bertemu setelah sekian lama. Rencana Regi berhasil, selama bercakap-cakap dengan Pak Dedeng ia tidak ditanyai lagi soal merpati yang sudah dijual pada seorang wanita cantik.Tak terasa kontes unggas berbulu cantik akan segera dimulai. Pak Dedeng meminta izin dengan sopan meskipun dirinya lebih tua dari Regi. Mereka akhirnya berpisah, sementara Regi segera menjauh dari kerumunan orang dan keluar dari ruangan in-door tersebut.“Gila! Untung si bapak gak sadar,” sesal Regi. Ia menggeleng sembari menghembuskan napas kasar. “Setidaknya gue bisa ngalihin topik, jadi aman,” gumamnya sambil berjalan mendatangi mo
Derit pintu terdengar dibuka. Sosok Jaka terpampang jelas dibaliknya. Ia terlihat memakai topi dan tersenyum pada Theo lalu menatap Nadya. “Sayang, hadiah mainan untuk pasien anak-anak disimpen di mana lagi, ya? Di gudang udah penuh.”“Di ruangan pasien yang kosong aja, jangan sampai anak-anak tahu.”“Em, Theo gak bakal di kasih?”“Enggak, Theo gak suka mainan.”“Oke deh.”Jaka pun keluar dan kembali pada aktivitasnya—merapikan main-main yang ia bawa dari mobil ke ruang tak terpakai. Sedangkan semburat kemerahan menyasar wajah Nadya, mengingat dirinya baru seminggu menikah dengan Jaka. Rasanya seperti mimpi, karena saat itu Jaka melamarnya secara tiba-tiba tanpa menjalin kasih terlebih dulu. Memang mereka sudah saling mengenal satu sama lain sebagai teman, tapi hal itu jauh berbeda. Butuh beberapa minggu untuk Nadya memikirkan lamaran Jaka. Namun, pada akhirnya mereka menikah tanpa halangan yang ber
Agustus 2032Theo Aerlangga, salah satu creator dari beberapa komik yang ada di platform online. Ia sudah menjadi pemuda dengan segudang prestasi. Satu tahun lalu, ada perusahaan dari Jepang, salah seorang perwakilannya menawarkan kontrak eksklusif. Syarat wajib agar dapat dikontrak, dirinya harus pindah ke Jepang dan berkarya di sana. Tentu, Theo tidak mau. Selain sudah merasa nyaman di Indonesia, harapan semasa remaja masih ia genggam erat-erat.“Hee, selesai sudah!” pekik Theo lekas menghempaskan badan pada sandaran kursi. Pen stylus tergeletak sejalan dengannya yang meregangkan tubuh. Tatapannya kuyu karena begadang semalaman untuk menuntaskan episode terakhir.Ingin rasanya langsung tidur dan bermimpi indah, tapi pekerjaannya masih belum selesai. Mau tak mau Theo harus berkutat dengan PC-nya setelah Pen Tablet ia peluk semalaman. Tinggal selangkah lagi, setelah publikasi episode terakhir, pekerjaannya selesai.
Berbeda dengan zaman dulu, memanggil 118 merupakan hal wajib di zaman ini. Selain agar ambulans lebih cepat datang, pasien kritis harus segera ditangani. Namun Theo sama sekali tidak ada keinginan untuk melihat proses penanganan para medis pada tubuh si gadis. Dirinya tak sanggup melihat darah. Warna merah pekat dan kental membuatnya teringat akan darah segar yang keluar ketika Tuannya menyembelih seekor ayam sebagai konsumsi. Masih terekam jelas di benaknya jeritan ngeri tak terelakkan. Sampai sekarang gemetar pada kedua lengan masih tetap ada, meski tidak begitu terlihat jelas.“Pak Theo Aerlangga? Apakah Bapak yang menelepon ambulans?”Theo menengadah. Garis matanya tertuju pada seorang pria berbadan gempal, beliau mengenakan atribut kepolisian. Theo lekas berdiri dari trotoar penuh debu lalu berkata, “Iya, saya. Ada apa ya, Pak?”Si bapak menjelaskan, Theo dibutuhkan keterangannya sebagai saksi. Sedangkan tersangka sudah ditangk
Hari ini, Zaara sudah boleh pulang. Tanpa dipinta, Tante Putri membereskan beberapa barangnya. Zaara tidak enak hati, sebab Tante Putri tampak tulus membantunya. Dia merasa jadi orang jahat karena terlanjur berpura-pura menjadi pacar Theo. Sudah begitu, dia keceplosan mengungkap perasaaannya selama menjalin hubungan tidak nyata ini.Zaara menyesali kelakuannya minggu lalu. Mungkin hal itu pula yang membuat Theo jarang menengoknya. Entah sejak kapan rasa itu dimulai.Apa mungkin karena terlalu sering bertemu, cinta tumbuh begitu saja tanpa diminta? Atau hanya napsu belaka? Entah, Zaara tidak tahu.Yang pasti, saat ini hatinya sedang merindu. Ingin saling bercanda dan tertawa seperti dulu. Namun, bila berhadapan langsung ... Zaara tidak berani untuk memandang.“Za, coba sini. Tante udah masukin barang kamu ke tas. Cek dulu, takut ada yang ketinggalan,” seru Putri memanggil Zaara yang mematung di ranjang.
Pagi-pagi sekali, sekitar jam 06.30 WIB, Tante Putri sudah ada di depan pintu rumah Lalisa. Rumah tersebut memiliki dua lantai dengan desain modern minimalis. Beliau menekan bell berkali-kali tanpa henti. Membuat penghuninya kebisingan dan tak bisa melanjutkan tidur dengan tenang.Waktu itu, Lalisa tidak tahu siapa orang yang bertamu. Napasnya berhenti di kerongkongan ketika melihat sosok Putri yang menatapnya.“Ta-tante?” Lisa memundurkan tubuh selangkah, “kok ke sini? Ada apa?”“Ayo bicara. Tante tunggu kamu di cafe biasa,” tandasnya kemudian pergi terlebih dahulu meninggalkan Lisa.Melihat kepergian Tante Putri, membuatnya sedikit lega. Namun, perlakuan Putri pada Lisa tidak berakhir sampai disitu saja.Terbukti ketika Lisa sudah duduk di cafe langganan Tante Putri, beliau tak ubahnya mertua jahat yang sedang menatap penuh kebencian. Begitulah sosok Putri di mata Lisa sekarang, padahal nyatanya i
Di perjalanan menuju rumah Zaara, Theo sempat mengirim chat. Fokusnya kembali pada setir mobil sambil memandangi aspal rata di depan. Beberapa menit menunggu tak ada balasan. Ponselnya tidak menunjukkan getaran pertanda pesan. Ah, mungkin sedang siap-siap, pikirnya.Selama setengah jam lebih dua puluh, Theo sampai di depan rumah Zaara. Dirinya menekan pagar lalu berjalan memasuki pekarangan rumah, ia menekan bell dekat pintu masuk. Cukup lama menunggu, pintu tidak di buka juga. Dia berinisiatif membuka pintu dari luar, dan terbuka tanpa kendala. Dari sini kecurigaannya terbentuk.Alis bertaut hingga bersatu. Theo mengamati kesuluruhan rumah itu. Tak ada siapa-siapa. Hanya terdapat ponsel tergeletak di lantai dekat meja tamu. “Ini?” gumamnya dengan tatapan yang berubah cemas. Ini ponsel Zaara, anehnya kenapa ada di lantai?“Zaara!” Theo refleks memanggil nama. Lalu berjalan menuju kamar Zaara dan tidak mendapati siapapun.
“Hai!! Tante bawa makan siang, nih,” seru Tante Putri dengan raut riang gembira. Beliau menyambar lengan Zaara dan duduk di sopa ruang tamu tanpa izin. Rantang modern yang sedari tadi ditenteng, lekas disimpan di meja kaca.Zaara tak bisa berkata-kata. Kehadiran Tante Putri diluar perkiraannya. Zaara berpikir Lalisa yang ada di depan pintu, tapi nyatanya bukan. Setelah Tante Putri menyiapkan lauk dan nasi di meja makan, muncul Theo dari balik pintu yang terbuka. Awalnya ia terkejut melihat pintu tidak dikunci, kemudian berlari ke dapur. Mulutnya menganga tak percaya melihat ada Tante Putri dengan Zaara yang duduk di kursi, tersaji berbagai jenis lauk pauk di meja. Segera ia merapat di samping Zaara, karena Tante Putri menyuruhnya duduk.“Tan—eh maksudku Ma, kok ada di sini? Papa gak di rumah?”“Nanya begitu, emangnya kenapa? Gak boleh?”Selalu dan selalu saja begitu. Setiap ditanya soal Om Regi, beliau seperti tidak
Pukul 08.30 malam, Theo sudah rapi, memakai jas dan parfum dengan tatanan rambut seperti hari biasa. Saatnya menjemput Zaara menggunakan mobil pribadi yang terparkir di garasi. Sebetulnya, mobil ini kembali saja sudah untung. Ia pasrah jika mobil silvernya tidak kembali berkat insiden bersama Lisa tempo hari. Tak tahunya Tante Putri yang mengembalikan dengan kondisi utuh. Baguslah, Theo tak usah repot-repot lagi menunggu bus di halte.Ketika sampai depan rumah Zaara, pemiliknya sudah menunggu di depan pintu. Dress brukat warna pastel benar-benar cocok dengan imaje Zaara. Theo tersenyum seraya mengulurkan tangan. “Terima kasih sudah bersedia mengikuti permainanku,” tuturnya menampilkan gigi yang berderet rapi.Zaara memukul lengan Theo dengan tas tangan, sungguh malu mendengar kata-kata tersebut. Berhari-hari mereka latihan menjadi sepasang kekasih, akhirnya ia bisa mengikuti permainan Theo.
“Theo, Mama tadi hubungi Papa, katanya perjodohan kamu sama Lalisa gak bisa dibatalin.”“Terus gimana, Ma? Aku udah punya Zaara,” rengek Theo seraya menggenggam pergelangan ibu angkatnya.Tante Putri menggeleng lemah, ia sendiri bingung, sebab perjodohan Theo dan Lalisa sudah ditentukan sejak lama; saat mereka masih remaja.Sebenarnya Theo sudah menduga hal ini. Seketika mendengkus kesal. Karena Om Regi tidak mungkin setuju perjodohan tersebut dibatalkan, karena orang tua Lalisa bersahabat baik dengan Om Regi, bisa hancur hubungan mereka jika salah satu anaknya tersakiti.Theo pun duduk pada di kursi, depan ruang rawat Zaara. Saat berpikir dia menautkan jemari. “Ma, gimana kalau Lisa yang minta bantalin perjodohannya?”Putri duduk di samping anaknya dengan sebelah alis yang mencuat. “Maksud kamu gimana?”“Aku pengin Lisa yang nyerah sama perjodohan ini. Mungkin kalau kayak gitu, bis
Berbeda dengan zaman dulu, memanggil 118 merupakan hal wajib di zaman ini. Selain agar ambulans lebih cepat datang, pasien kritis harus segera ditangani. Namun Theo sama sekali tidak ada keinginan untuk melihat proses penanganan para medis pada tubuh si gadis. Dirinya tak sanggup melihat darah. Warna merah pekat dan kental membuatnya teringat akan darah segar yang keluar ketika Tuannya menyembelih seekor ayam sebagai konsumsi. Masih terekam jelas di benaknya jeritan ngeri tak terelakkan. Sampai sekarang gemetar pada kedua lengan masih tetap ada, meski tidak begitu terlihat jelas.“Pak Theo Aerlangga? Apakah Bapak yang menelepon ambulans?”Theo menengadah. Garis matanya tertuju pada seorang pria berbadan gempal, beliau mengenakan atribut kepolisian. Theo lekas berdiri dari trotoar penuh debu lalu berkata, “Iya, saya. Ada apa ya, Pak?”Si bapak menjelaskan, Theo dibutuhkan keterangannya sebagai saksi. Sedangkan tersangka sudah ditangk
Agustus 2032Theo Aerlangga, salah satu creator dari beberapa komik yang ada di platform online. Ia sudah menjadi pemuda dengan segudang prestasi. Satu tahun lalu, ada perusahaan dari Jepang, salah seorang perwakilannya menawarkan kontrak eksklusif. Syarat wajib agar dapat dikontrak, dirinya harus pindah ke Jepang dan berkarya di sana. Tentu, Theo tidak mau. Selain sudah merasa nyaman di Indonesia, harapan semasa remaja masih ia genggam erat-erat.“Hee, selesai sudah!” pekik Theo lekas menghempaskan badan pada sandaran kursi. Pen stylus tergeletak sejalan dengannya yang meregangkan tubuh. Tatapannya kuyu karena begadang semalaman untuk menuntaskan episode terakhir.Ingin rasanya langsung tidur dan bermimpi indah, tapi pekerjaannya masih belum selesai. Mau tak mau Theo harus berkutat dengan PC-nya setelah Pen Tablet ia peluk semalaman. Tinggal selangkah lagi, setelah publikasi episode terakhir, pekerjaannya selesai.
Derit pintu terdengar dibuka. Sosok Jaka terpampang jelas dibaliknya. Ia terlihat memakai topi dan tersenyum pada Theo lalu menatap Nadya. “Sayang, hadiah mainan untuk pasien anak-anak disimpen di mana lagi, ya? Di gudang udah penuh.”“Di ruangan pasien yang kosong aja, jangan sampai anak-anak tahu.”“Em, Theo gak bakal di kasih?”“Enggak, Theo gak suka mainan.”“Oke deh.”Jaka pun keluar dan kembali pada aktivitasnya—merapikan main-main yang ia bawa dari mobil ke ruang tak terpakai. Sedangkan semburat kemerahan menyasar wajah Nadya, mengingat dirinya baru seminggu menikah dengan Jaka. Rasanya seperti mimpi, karena saat itu Jaka melamarnya secara tiba-tiba tanpa menjalin kasih terlebih dulu. Memang mereka sudah saling mengenal satu sama lain sebagai teman, tapi hal itu jauh berbeda. Butuh beberapa minggu untuk Nadya memikirkan lamaran Jaka. Namun, pada akhirnya mereka menikah tanpa halangan yang ber