Rombongan Bus Pariwisata bergerak dari arah Ibu Kota menuju Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Terdapat poster besar yang ditempel pada kedua sisi bus, bertuliskan SMA N 1 MAMETI. Setiap bus diberi nomor sesuai urutan dari kelas 11-A sampai 11-F. Kebanyakan siswa masih terlelap, hanya bus dari kelas 11-F saja yang terdengar bising. Kebisingan tersebut berasal dari beberapa siswa dan siswi di kursi belakang. Mereka menyanyikan banyak lagu dengan irama acakadut, tak berseni sama sekali.
“Arghh! Ara! Kuping lo gak sakit apa? Ih, diem mulu!” protes Yuliana Latifa, teman sebangku Zaara Yulanda—Ara merupakan nama panggilan akrabnya. Yulia menarik-narik lengan Ara memaksanya bangkit dari duduk.
“Apaan, sih, Yul? Ganggu tauk!” Remaja dengan rambut panjang bergelombang itu melepaskan earphone-nya. Ia menatap sebal temannya yang berambut sebahu dan ikal. Saat itu, gendang telinga seketika sakit lagi berdengung. Telapak tangan auto menempel di kuping. “Aduh! Mereka ngapain, sih?” tanya Ara, suaranya teredam nyanyian para murid bengal di belakang.
“Kan! Lo denger musik mulu, sih. Jadi gak peka sama sekitar!” pekik Yulia, suaranya ditinggikan agar terdengar jelas, “sekarang lo harus buat mereka diem, Ara! Lo ‘kan wakil ketua!”
“Males. Itu tugasnya Randa, ketua kelas kita,” tukas Ara acuh tak acuh.
“Tapi ‘kan, Randa gak ikut, Ara!”
“Bodo!”
Belum sempat bersandar pada jendela kaca bus, Ara sudah di tarik paksa oleh Yulia. Sesaat setelahnya bus berhenti karena lampu merah. “Aduduh ....” Badannya oleng bersamaan dengan tangan yang mencengkeram sandaran kursi, hampir jatuh.
Kali ini, Ara sungguhan berdiri di tengah-tengah bus. Semua murid kelas 11-F menatapnya heran, bahkan ada yang memberikan pandangan sinis. “Udah, sana. Lo pasti bisa. Semangat, Ara ...,” bisik Yulia dari balik kursi biru berbunga.
Butiran keringat mendadak muncul di pelipis perlahan mengalir ke pipinya. Ara melangkah maju sambil memasukan ponsel dan earphone ke dalam saku jaket biru-putih—jaket khusus kegiatan sekolah. Dagunya sedikit terangkat dan menatap lurus pada Lalisa, seorang siswi berbadan bagus dan berpakaian modis, bahkan jaket yang seharusnya longgar berubah ketat saat digunakan oleh Lalisa.
“Eh, Arara. Ada apa, nih? Mau ikut nyanyi bareng?” goda seorang siswa laki-laki, duduk di sebelah Lalisa. Ganteng, tapi masih gantengan Randa, pikir Ara.
Di sisi lain, ada siswa laki-laki yang mengapit Lalisa juga. Sementara pada kursi sebelah kanan dan kiri, terdapat murid laki-laki dan perempuan bersatu padu. Yah, bunga sekolah pasti banyak temannya, pikir Ara lagi.
Sementara Lalisa, memberikan tatapan tak suka pada Ara, meski bibir merah merekahnya masih bisa tersenyum manis. “Mau apa lo, Ra? Mau ikut nyanyi juga?” tanyanya sambil memilin rambut tebal yang diwarnai dengan tangan terlipat di dada.
Ara menggeleng cepat, kemudian tersenyum kikuk. “Enggak, Lis. Maaf, gue gak sengaja kedorong tadi, ehehe. Gue balik, ya.”
Yulia yang sedari awal meliput gelagat teman sebangkunya, pengin langsung mengasingkan diri ke kutub utara saja. Padahal langkah Ara sudah mantap ditambah sorot matanya yang oke. Bukannya memarahi mereka malah mundur. Ibarat kelomang[1] tersentuh cangkangnya, saking takut sampai mundur duluan dan cari aman.
“Ara Ara, malunya gue punya temen kayak lo!”
“Diem, ah! Mending lo denger musik juga kayak gue. Biar gak keganggu mereka-mereka.” Ara kembali pada kursinya lalu bersandar lagi di jendela kaca. Melamun.
Yulia menepuk jidat, lagi-lagi Ara masuk ke dalam mode privasinya. Ara bukanlah teman yang sudah lama Yulia kenal, tapi dia tahu temannya yang satu ini memang agak unik. Bahkan ia heran, mengapa Randa menyukai Ara. Orang cuek dan penakut begini, enggak singkron satu sama lain sifatnya. Aneh. Kalau dipikir-pikir Yulia juga ngerasa gila, bisa-bisanya dekat dengan manusia semacam Zaara Yulanda.
Selepas membaca WhatsApp dari Randa yang menanyakan kabar Ara, Yulia berkata untuk memancing kepekaan temannya, “Kalau ada Randa, pasti pada diem. Enggak kayak sekarang, jadi seenaknya gini. Gimana kabar pacar lo itu, Ara?”
“Udah, Yul. Biarin Randa istirahat, kasian ‘kan kalau gue ganggu-ganggu mulu,” balas Ara tanpa memandang Yulia sama sekali.
Tuh, kan! Kalau temannya yang lain pasti langsung cek WhatsApp , terus balas chat dari pacarannya, lah ini anak malah bilang begitu. “Eh! Ara! Gue bilang gini biar lo inget! Kalau pacar lo itu sakit! Kasih kabar atau apa, kek, gitu. Ini Randa dari tadi WA-in gue mulu nanyain lo!”
Ara menoleh. “Ah, serius?” Lalu segera mengecek ponselnya. Tahu-tahu mobil bus berjalan begitu saja. Mengakibatkan kepala Ara berbenturan dengan sandaran kursi. “Aduh!”
“Haha, rasain. Kualat! Itu akibatnya karena lo cuek bebek banget sama Randa!”
Zaara sekadar meniup poninya, tidak membalas cacian Yulia. Ia kembali pada posisi semula, segera mengetik pesan balasan untuk Randa. “Udah, ya. Nih, liat!” seru Ara memperlihatkan chat yang sudah bertanda centang dua, tanda centang itu langsung berubah biru. Balasan dari Randa muncul.
Za, aku angen thau. Camu gak angen aku emang? [Za, aku kangen tahu. Kamu gak kangen aku emang?]
Yulia membulatkan mata, menganga tak percaya. “OMG. Itu ... beneran chat dari Randa?”
Alis Ara berkedut, menarik ponselnya lalu melihat chat yang baru sampai. Guratan merah padam muncul pada wajah putih langsatnya. Rasanya udara menjadi sedikit panas, padahal AC masih menyala.
“Ini emang Randa, kok. Itu makanya gue males bales chat-nya. Bukan karena gue gak suka orangnya, tapi gue gak suka cara dia nge-chat gue gini.” Ara mendengus sebal, mengetik balasan dengan penuh emosi.
Yulia ketara sekali sedang menahan tawa. Ternyata ekspektasinya tentang Randa, salah. Randa bagian dari anak alay juga ternyata.
***
Bus Pariwisata bertuliskan ‘SMA N 1 MAMETI: 11-IPS-F’ terparkir dengan aman sentosa, setelah beberapa menit beradu argumen dengan seorang wisatawan mancanegara. Untung ada Pak Amar yang jago bahasa Inggris. Alamat kalau tak ada Pak Amar, bisa berjam-jam bus kelas 11-F tidak diparkir-parkir.
Semua murid berhambur keluar, membawa tas masing-masing dan mengosongkan bus. Ada yang lewat pintu belakang, gerombolan Lalisa dan kawanannya. Adapun yang menggunakan pintu depan, termasuk Zaara dan Yuliana. Mereka segera berbaris dan menerima pengarahan dari Wali Kelas 11-F, yaitu Bapak Amar Dani Listianto.
“Liburan kali ini, bukan untuk bersenang-senang saja. Melainkan, liburan sambil belajar. Ada yang masih ingat tujuan kita ke Pangandaran untuk apa?” tanya Pak Amar.
“Menguak Misteri Cagar Alam Pangandaran, Pak!” Seorang murid ranking satu di kelas mengangkat tangan tinggi-tinggi, menyebutkan judul materi pada catatannya.
Sementara Ara, terlihat membalas beberapa pesan chat dari WhatsApp mau pun sosial media lainnya. Yulia sampai harus menuntun Ara berbaris dengan rapi. Dari awal sampai akhir Ara tidak mendengarkan. Terlarut dalam ruangnya sendiri.
“Dek Zaara Yulanda. Saya ada di sini loh, bukan di dalam HP,” panggil pemandu wisata laki-laki, dengan tersenyum ramah.
Seketika gelak tawa teman-teman terdengar membahana, membuat tangannya terkesiap hampir menjatuhkan ponsel. Dengan wajah memerah dan tertunduk, Zaara segera memasukan ponselnya pada saku jaket.
“Kenapa lo gak bilang kalau kakak itu liatin gue?” bisik-bisik Ara sambil menyenggol lengan Yulia.
“Gue udah bilang. Lo aja yang keasikan main HP.”
“Lain kali cubit gue aja sekalian biar—Awww!”
Teriakan Zaara langsung mengundang perhatian. Semua mata tertuju padanya, termasuk Pak Amar dan pemandu wisata itu. Ara menutup mulutnya rapat-rapat, sementara Yulia cengengesan, karena berhasil mengerjai Ara dengan mencubit pinggangnya.
“Dek Zaara, ada apa?” tanya pemandu wisata masih dengan wajah yang dibingkai ramah.
Bersambung...
“Enghh, gak ... ada apa-apa kak ....” Kalimatnya tergantung di udara.Sekilas Yulia tampak menyinggung Ara, ia berbisik, “Namanya Alif, Alif.”“Ah, iya, Kak Alif, ehehe.” Ara tertawa garing, hanya dirinya yang tertawa. Kak Alif justru menghembuskan napas dalam. Sedangkan Yulia dan teman lainnya terlihat menahan tawa.***Sepanjang perjalanan mengitari Cagar Alam, Zaara berusaha keras untuk memperhatikan penjelasan Kak Alif. Ia mencatat semua hal yang penting-penting saja.Dari destinasi pertama, situs Batu Kalde atau Sapi Gumarang. Situs prasasti ini diyakini merupakan reruntuhan sebuah Candi Hindu Kuno. Pada candi terdapat sebuah arca berbentuk anak sapi, dipercaya sebagai jelmaan Raden Arya Sapi Gumarang. Kala itu beliau menjabat sebagai menteri pertanian Kerajaan Pananjung.Destinasi yang kedua sebenarnya
Manusia berkulit putih kemerahan itu berjalan menggunakan kedua kaki, terlihat tanpa busana. Kakinya penuh luka lecet akibat ranting beserta kerikil yang tersebar di tanah. Sementara kedua lengan menempel lekat pada badan.Saat itu, betisnya mulai berguncang hebat, ia tersungkur karena tidak sanggup menahan berat tubuh. Napas beradu cepat sejalan dengan dada yang naik turun. Garis rahang yang tegas menandakan bahwa ia seorang laki-laki. Rambutnya yang seputih susu kini lusuh dan lepek penuh keringat, sangat mirip dengan uban.Monyet-monyet ekor panjang mulai turun dari pohon-pohon besar untuk mengamati. Mereka berkomunikasi dengan sesama, namun tidak berani untuk mendekati si laki-laki. Saat matanya menjeling, para monyet berlarian ke segala arah lalu memanjat pohon-pohon di sekitar. Laki-laki itu memperhatikan cara berjalan dan kabur kumpulan monyet tadi.Laki-laki itu mulai menjejakkan kaki dengan tangan sebagai penopa
Si pejantan sudah tak telanjang lagi. Kaus putih dan celana pendek kakao membungkus tubuhnya. Dia berjongkok di sisi dalam ambulans. Surai putih bersihnya tampak mengkilat terkena sinar lampu jalan yang menelusup kaca mobil. Kondisinya sekarang tidak kotor seperti sebelumnya.Tiba-tiba mobil yang dia tumpangi terguncang karena parkir di sebuah rest area, Bandung. Terdapat plang raksasa bertuliskan ‘Rest Area Saduma’.Pejantan sempat mematung, ia berjinjit kemudian menuju kaca mobil. Samar-samar terlihat empat manus
Dini hari di Bandung sudah seperti dini hari di gunung. Hawa sejuk bagai es meleleh menelusup dari celah-celah pakaian. Nadya dan Nur tidur berdua di mobil, sedikit terusik dengan hawa dinginnya. Jaket hitam ukuran laki-laki membungkus tubuh Nadya bagai selimut. Sementara Nur tertutup jaket tebal yang baru ia beli kemarin malam di toko grosir dekat rest area.Tiba-tiba terdengar suara ketukan kaca berulang-ulang di sebelah Nur tidur, tapi tidak digubris. Nur masih memejamkan matanya erat, seperti tak ingin diganggu oleh siapapun.Namun, suara ketukan itu makin sering, kemudian muncul seseorang balik kaca mobil. “Nur ... bangun ... udah subuh ...,” bisiknya.Seketika Nur menegakkan badan dan menutup mulut saat menguap. Dirinya membuka pintu mobil kemudian meraih tas kecil berisi mukena padadashboardmobil. Kedua maniknya masih sulit terbuka meski sudah turun. Rupanya yang memanggil adalah Fadil, terlihat membawa s
Pukul enam lebih dua puluh menit, Nadya berangkat dari rumah menuju panti Sinar Asih mengunakan motor metic kesayangan. Ia memakai helm SNI dengan kecepatan normal sesuai peraturan berlalu lintas. Tatkala berpapasan dengan lampu merah, Nadya menghentikan laju motornya. Sembari menunggu kendaraan lain lewat, dirinya membuka kaca helm sebentar kemudian mengambil ponsel dari saku jaket hitam dan mengetik pesan pada layar datar di depannya. Jika ada yang bertanya mengapa Nadya mengenakan jaket laki-laki, ia hanya ingin mengembalikan jaket itu pada pemiliknya, Jaka. Bermalam di Rest Area Bandung membuat tubuhnya menggigil itulah sebabnya jaket Jaka ada padanya dan ia lupa mengembalikannya.Biasanya pada jam-jam segini Jaka sudah ada di panti bersama
“Alhamdulillah, Baik. Jang Regi sendiri?”“Saya juga baik, Pak. Bapak di sini mau nonton aja atau?”“Oh, kalau saya baru aja daftarin Merpati Wulung saya di sini. Jang Regi mau liat?”“Boleh.”Seperti tiga bulan lalu, mereka mengobrol dengan baik, bagaikan teman akrab yang baru bertemu setelah sekian lama. Rencana Regi berhasil, selama bercakap-cakap dengan Pak Dedeng ia tidak ditanyai lagi soal merpati yang sudah dijual pada seorang wanita cantik.Tak terasa kontes unggas berbulu cantik akan segera dimulai. Pak Dedeng meminta izin dengan sopan meskipun dirinya lebih tua dari Regi. Mereka akhirnya berpisah, sementara Regi segera menjauh dari kerumunan orang dan keluar dari ruangan in-door tersebut.“Gila! Untung si bapak gak sadar,” sesal Regi. Ia menggeleng sembari menghembuskan napas kasar. “Setidaknya gue bisa ngalihin topik, jadi aman,” gumamnya sambil berjalan mendatangi mo
Derit pintu terdengar dibuka. Sosok Jaka terpampang jelas dibaliknya. Ia terlihat memakai topi dan tersenyum pada Theo lalu menatap Nadya. “Sayang, hadiah mainan untuk pasien anak-anak disimpen di mana lagi, ya? Di gudang udah penuh.”“Di ruangan pasien yang kosong aja, jangan sampai anak-anak tahu.”“Em, Theo gak bakal di kasih?”“Enggak, Theo gak suka mainan.”“Oke deh.”Jaka pun keluar dan kembali pada aktivitasnya—merapikan main-main yang ia bawa dari mobil ke ruang tak terpakai. Sedangkan semburat kemerahan menyasar wajah Nadya, mengingat dirinya baru seminggu menikah dengan Jaka. Rasanya seperti mimpi, karena saat itu Jaka melamarnya secara tiba-tiba tanpa menjalin kasih terlebih dulu. Memang mereka sudah saling mengenal satu sama lain sebagai teman, tapi hal itu jauh berbeda. Butuh beberapa minggu untuk Nadya memikirkan lamaran Jaka. Namun, pada akhirnya mereka menikah tanpa halangan yang ber
Agustus 2032Theo Aerlangga, salah satu creator dari beberapa komik yang ada di platform online. Ia sudah menjadi pemuda dengan segudang prestasi. Satu tahun lalu, ada perusahaan dari Jepang, salah seorang perwakilannya menawarkan kontrak eksklusif. Syarat wajib agar dapat dikontrak, dirinya harus pindah ke Jepang dan berkarya di sana. Tentu, Theo tidak mau. Selain sudah merasa nyaman di Indonesia, harapan semasa remaja masih ia genggam erat-erat.“Hee, selesai sudah!” pekik Theo lekas menghempaskan badan pada sandaran kursi. Pen stylus tergeletak sejalan dengannya yang meregangkan tubuh. Tatapannya kuyu karena begadang semalaman untuk menuntaskan episode terakhir.Ingin rasanya langsung tidur dan bermimpi indah, tapi pekerjaannya masih belum selesai. Mau tak mau Theo harus berkutat dengan PC-nya setelah Pen Tablet ia peluk semalaman. Tinggal selangkah lagi, setelah publikasi episode terakhir, pekerjaannya selesai.
Hari ini, Zaara sudah boleh pulang. Tanpa dipinta, Tante Putri membereskan beberapa barangnya. Zaara tidak enak hati, sebab Tante Putri tampak tulus membantunya. Dia merasa jadi orang jahat karena terlanjur berpura-pura menjadi pacar Theo. Sudah begitu, dia keceplosan mengungkap perasaaannya selama menjalin hubungan tidak nyata ini.Zaara menyesali kelakuannya minggu lalu. Mungkin hal itu pula yang membuat Theo jarang menengoknya. Entah sejak kapan rasa itu dimulai.Apa mungkin karena terlalu sering bertemu, cinta tumbuh begitu saja tanpa diminta? Atau hanya napsu belaka? Entah, Zaara tidak tahu.Yang pasti, saat ini hatinya sedang merindu. Ingin saling bercanda dan tertawa seperti dulu. Namun, bila berhadapan langsung ... Zaara tidak berani untuk memandang.“Za, coba sini. Tante udah masukin barang kamu ke tas. Cek dulu, takut ada yang ketinggalan,” seru Putri memanggil Zaara yang mematung di ranjang.
Pagi-pagi sekali, sekitar jam 06.30 WIB, Tante Putri sudah ada di depan pintu rumah Lalisa. Rumah tersebut memiliki dua lantai dengan desain modern minimalis. Beliau menekan bell berkali-kali tanpa henti. Membuat penghuninya kebisingan dan tak bisa melanjutkan tidur dengan tenang.Waktu itu, Lalisa tidak tahu siapa orang yang bertamu. Napasnya berhenti di kerongkongan ketika melihat sosok Putri yang menatapnya.“Ta-tante?” Lisa memundurkan tubuh selangkah, “kok ke sini? Ada apa?”“Ayo bicara. Tante tunggu kamu di cafe biasa,” tandasnya kemudian pergi terlebih dahulu meninggalkan Lisa.Melihat kepergian Tante Putri, membuatnya sedikit lega. Namun, perlakuan Putri pada Lisa tidak berakhir sampai disitu saja.Terbukti ketika Lisa sudah duduk di cafe langganan Tante Putri, beliau tak ubahnya mertua jahat yang sedang menatap penuh kebencian. Begitulah sosok Putri di mata Lisa sekarang, padahal nyatanya i
Di perjalanan menuju rumah Zaara, Theo sempat mengirim chat. Fokusnya kembali pada setir mobil sambil memandangi aspal rata di depan. Beberapa menit menunggu tak ada balasan. Ponselnya tidak menunjukkan getaran pertanda pesan. Ah, mungkin sedang siap-siap, pikirnya.Selama setengah jam lebih dua puluh, Theo sampai di depan rumah Zaara. Dirinya menekan pagar lalu berjalan memasuki pekarangan rumah, ia menekan bell dekat pintu masuk. Cukup lama menunggu, pintu tidak di buka juga. Dia berinisiatif membuka pintu dari luar, dan terbuka tanpa kendala. Dari sini kecurigaannya terbentuk.Alis bertaut hingga bersatu. Theo mengamati kesuluruhan rumah itu. Tak ada siapa-siapa. Hanya terdapat ponsel tergeletak di lantai dekat meja tamu. “Ini?” gumamnya dengan tatapan yang berubah cemas. Ini ponsel Zaara, anehnya kenapa ada di lantai?“Zaara!” Theo refleks memanggil nama. Lalu berjalan menuju kamar Zaara dan tidak mendapati siapapun.
“Hai!! Tante bawa makan siang, nih,” seru Tante Putri dengan raut riang gembira. Beliau menyambar lengan Zaara dan duduk di sopa ruang tamu tanpa izin. Rantang modern yang sedari tadi ditenteng, lekas disimpan di meja kaca.Zaara tak bisa berkata-kata. Kehadiran Tante Putri diluar perkiraannya. Zaara berpikir Lalisa yang ada di depan pintu, tapi nyatanya bukan. Setelah Tante Putri menyiapkan lauk dan nasi di meja makan, muncul Theo dari balik pintu yang terbuka. Awalnya ia terkejut melihat pintu tidak dikunci, kemudian berlari ke dapur. Mulutnya menganga tak percaya melihat ada Tante Putri dengan Zaara yang duduk di kursi, tersaji berbagai jenis lauk pauk di meja. Segera ia merapat di samping Zaara, karena Tante Putri menyuruhnya duduk.“Tan—eh maksudku Ma, kok ada di sini? Papa gak di rumah?”“Nanya begitu, emangnya kenapa? Gak boleh?”Selalu dan selalu saja begitu. Setiap ditanya soal Om Regi, beliau seperti tidak
Pukul 08.30 malam, Theo sudah rapi, memakai jas dan parfum dengan tatanan rambut seperti hari biasa. Saatnya menjemput Zaara menggunakan mobil pribadi yang terparkir di garasi. Sebetulnya, mobil ini kembali saja sudah untung. Ia pasrah jika mobil silvernya tidak kembali berkat insiden bersama Lisa tempo hari. Tak tahunya Tante Putri yang mengembalikan dengan kondisi utuh. Baguslah, Theo tak usah repot-repot lagi menunggu bus di halte.Ketika sampai depan rumah Zaara, pemiliknya sudah menunggu di depan pintu. Dress brukat warna pastel benar-benar cocok dengan imaje Zaara. Theo tersenyum seraya mengulurkan tangan. “Terima kasih sudah bersedia mengikuti permainanku,” tuturnya menampilkan gigi yang berderet rapi.Zaara memukul lengan Theo dengan tas tangan, sungguh malu mendengar kata-kata tersebut. Berhari-hari mereka latihan menjadi sepasang kekasih, akhirnya ia bisa mengikuti permainan Theo.
“Theo, Mama tadi hubungi Papa, katanya perjodohan kamu sama Lalisa gak bisa dibatalin.”“Terus gimana, Ma? Aku udah punya Zaara,” rengek Theo seraya menggenggam pergelangan ibu angkatnya.Tante Putri menggeleng lemah, ia sendiri bingung, sebab perjodohan Theo dan Lalisa sudah ditentukan sejak lama; saat mereka masih remaja.Sebenarnya Theo sudah menduga hal ini. Seketika mendengkus kesal. Karena Om Regi tidak mungkin setuju perjodohan tersebut dibatalkan, karena orang tua Lalisa bersahabat baik dengan Om Regi, bisa hancur hubungan mereka jika salah satu anaknya tersakiti.Theo pun duduk pada di kursi, depan ruang rawat Zaara. Saat berpikir dia menautkan jemari. “Ma, gimana kalau Lisa yang minta bantalin perjodohannya?”Putri duduk di samping anaknya dengan sebelah alis yang mencuat. “Maksud kamu gimana?”“Aku pengin Lisa yang nyerah sama perjodohan ini. Mungkin kalau kayak gitu, bis
Berbeda dengan zaman dulu, memanggil 118 merupakan hal wajib di zaman ini. Selain agar ambulans lebih cepat datang, pasien kritis harus segera ditangani. Namun Theo sama sekali tidak ada keinginan untuk melihat proses penanganan para medis pada tubuh si gadis. Dirinya tak sanggup melihat darah. Warna merah pekat dan kental membuatnya teringat akan darah segar yang keluar ketika Tuannya menyembelih seekor ayam sebagai konsumsi. Masih terekam jelas di benaknya jeritan ngeri tak terelakkan. Sampai sekarang gemetar pada kedua lengan masih tetap ada, meski tidak begitu terlihat jelas.“Pak Theo Aerlangga? Apakah Bapak yang menelepon ambulans?”Theo menengadah. Garis matanya tertuju pada seorang pria berbadan gempal, beliau mengenakan atribut kepolisian. Theo lekas berdiri dari trotoar penuh debu lalu berkata, “Iya, saya. Ada apa ya, Pak?”Si bapak menjelaskan, Theo dibutuhkan keterangannya sebagai saksi. Sedangkan tersangka sudah ditangk
Agustus 2032Theo Aerlangga, salah satu creator dari beberapa komik yang ada di platform online. Ia sudah menjadi pemuda dengan segudang prestasi. Satu tahun lalu, ada perusahaan dari Jepang, salah seorang perwakilannya menawarkan kontrak eksklusif. Syarat wajib agar dapat dikontrak, dirinya harus pindah ke Jepang dan berkarya di sana. Tentu, Theo tidak mau. Selain sudah merasa nyaman di Indonesia, harapan semasa remaja masih ia genggam erat-erat.“Hee, selesai sudah!” pekik Theo lekas menghempaskan badan pada sandaran kursi. Pen stylus tergeletak sejalan dengannya yang meregangkan tubuh. Tatapannya kuyu karena begadang semalaman untuk menuntaskan episode terakhir.Ingin rasanya langsung tidur dan bermimpi indah, tapi pekerjaannya masih belum selesai. Mau tak mau Theo harus berkutat dengan PC-nya setelah Pen Tablet ia peluk semalaman. Tinggal selangkah lagi, setelah publikasi episode terakhir, pekerjaannya selesai.
Derit pintu terdengar dibuka. Sosok Jaka terpampang jelas dibaliknya. Ia terlihat memakai topi dan tersenyum pada Theo lalu menatap Nadya. “Sayang, hadiah mainan untuk pasien anak-anak disimpen di mana lagi, ya? Di gudang udah penuh.”“Di ruangan pasien yang kosong aja, jangan sampai anak-anak tahu.”“Em, Theo gak bakal di kasih?”“Enggak, Theo gak suka mainan.”“Oke deh.”Jaka pun keluar dan kembali pada aktivitasnya—merapikan main-main yang ia bawa dari mobil ke ruang tak terpakai. Sedangkan semburat kemerahan menyasar wajah Nadya, mengingat dirinya baru seminggu menikah dengan Jaka. Rasanya seperti mimpi, karena saat itu Jaka melamarnya secara tiba-tiba tanpa menjalin kasih terlebih dulu. Memang mereka sudah saling mengenal satu sama lain sebagai teman, tapi hal itu jauh berbeda. Butuh beberapa minggu untuk Nadya memikirkan lamaran Jaka. Namun, pada akhirnya mereka menikah tanpa halangan yang ber