Di depan rumah Pak Dedeng, Regi menabur pakan burung dua kali. Seketika gerombolan merpati langsung menyambar dan menukik ke bawah, mematuk-matuk pakan yang sudah di tebar, suara bekur mereka terdengar kian rusuh. Seulas senyum terukir jelas pada bibirnya.
Langkah terdengar dari belakang, Regi menoleh dan mendapati Pak Dedeng berjalan sembari membawa sangkar burung yang ditutup kain hitam.
“Jang Regi gak mau salat dulu? Udah jam empat lebih sekarang,” tanya Pak Dedeng lalu bersila di teras rumah.
Regi menirukan gaya duduk Pak Dedeng di sisi lain. “Saya enggak salat, Pak,” jawabnya seraya tersenyum canggung.
Sementara Pak Dedeng segera menyadari dan membalas dengan terbata. “Oh? Ma-af, Jang. Saya pikir sama gitu. Soalna Jang Regi bilang ‘assalamu'alaikum’ duluan.”
“Gak papa, Pak. Teman-teman saya kebanyakan orang Islam. Jadi, terbawa logatnya.”
“Oh gitu ... jadi, ini teh merpati yang dipilih Jang Regi, langsung dimasukin sangkar biar gak lupa sayana,” ujar Pak Dedeng seraya menepuk bagian atas sangkar.
“Yang baru dijodohin itu ‘kan, Pak?”
“Uhun, Jang.” [Iya, Nak.]
Kain hitam lalu disingkap, Regi menggeser pintu sangkar ke atas kemudian menangkap merpati betina jenis Show King itu. Netra gelapnya mengamati bulu seputih susu sang merpati, kemudian membentangkan sebelah sayapnya.
“Sangar parah! Bulunya kinclong gini! Bapak pakek campuran pakan apa aja?” tanya Regi antusias.
“Soal pakan enggak terlalu spesial, Jang. Hampir sama kayak merpati biasa.”
Regi mengembalikan merpati betina ke dalam sangkar, kemudian menangkap merpati jantan dan membentangkan sayapnya juga dengan alis berkerut. “Mmm, pasti pakek campuran lain. Ini lar-nya bagus gini. rapat dan gak pecah. Bagi-bagi resepnya dong, Pak.”
“Saya teh agak lupa kalau disuruh sebutin satu-satu. Pokokna mah jagung bulat harus ada, kacang hijau, kacang tanah, beras merah, sama kuaci. Vitamin dan antibiotik harus ada, biar semua burungna sehat-sehat. Kalau mau ngasih makan juga jangan terlalu banyak, cukup dua kali sehari. Saya gitu biasana, tapi setiap orang ‘kan beda-beda cara ngeracikna,” jelas Pak Dedeng, kedua lengannya bergerak seirama dengan nada bicaranya.
Regi manggut-manggut sembari menjunjung merpati di genggaman segaris dengan irisnya. Tampak si jantan hampir mematuk wajah Regi, beruntung refleks tubuhnya masih normal, sehingga tangannya otomatis dijauhkan. “Waduh, galak banget ini, Pak! Jantannya. Apa emang begini?”
“Gak, kok, biasana jinak. Mungkin karena baru kawin jadi gak mau diganggu.”
“Ah, Bapak bisa aja. Saya yang jomblo jadi ngerasa tersindir.”
Kedua lelaki berbeda generasi pun tergelak, mereka berbincang bersama hingga tak sadar waktu menunjukan pukul enam kurang sepuluh menit. Damayanti, istri Pak Dedeng keluar di pintu mengajak Regi masuk. Regi juga diberi kesempatan untuk makan bersama dengan putra-putri Pak Dedeng yang masih belia. Sempat Pak Dedeng menawarkan Regi untuk menginap semalam karena di luar sudah gelap, tapi Regi menolak, ia bilang harus segera pulang karena faktor pekerjaan. Jadi, Regi akhirnya pamit, membawa sebuah sangkar masuk ke mobil.
***
Dalam perjalanan, jalan tampak lengang. Hanya ada beberapa mobil pribadi dan motor matic menyalip sisi kanannya. Ada juga mobil bus dan mobil angkutan berat lain. Regi memilih melajukan mobil dengan santai. Lagi pula, tujuan kali ini bukan ke rumahnya di Jakarta, melainkan ke sebuah tempat yang sudah disepakati oleh Regi dan seseorang.
Regi menarik tuas, kemudian mengerem sampai mobil terhenti dengan sempurna. Dia bangkit seraya menyambar sangkar, keluar mobil.
Di luar sudah ada seorang wanita dengan pakaian formal, berdiri di depan gubuk. Samping kiri terdapat mobil silver yang terparkir. Rambut pendek sebahunya mengalun, melangkah dengan anggun.
Regi terkesiap ketika sangkar itu sudah berada di tangan si wanita. Fokusnya sempat hilang berkat perawakan si wanita yang begitu menakjubkan, bagai super model.
Belum sempat mengumpulkan kesadaran, tangannya ditarik pelan.
“Ini, bayaranmu,” bisik wanita itu sambil memberikan segepok uang, “jika masih kurang, sisanya ada di koper. Terima kasih sudah mau membantu kami,” lanjutnya tersenyum menyeringai.
Tahu-tahu, si wanita sudah ada di dalam mobil, menghidupkan mesin, dan pergi begitu saja tanpa permisi.
Tunggu sebentar, orang yang janjian denganku itu seorang paman bukan wanita, bisiknya dalam hati.
Alisnya berkerut hampir menyatu. Regi menoleh, menatap linglung kepergian si wanita. Netranya berkedip beberapa kali melihat segepok uang di tangan.
“Njir! Duit!” Regi terperanjat hingga uang itu jatuh ke tanah.
Mendadak bulu kuduk berdiri. Regi baru menyadari ada yang tidak beres ketika si wanita mendekat padanya. Seakan terhipnotis, ia bertingkah layaknya orang bodoh. Tapi, uang tersebut tampak mengiurkan. Dia mengambil uang yang sempat jatuh, kemudian menenteng koper yang tergeletak dalam gubuk dan memasukannya ke mobil.
“Bodo amat soal burung! Yang penting duit ini harus gue bawa dulu.” Regi buru-buru menyalakan mobilnya. Segera pergi dari tempat horor dan minim penerangan itu.
***
Sementara, sepasang merpati yang berada dalam sangkar, kesulitan untuk melihat sekitar berkat kain hitam yang menutupinya, hanya ada lubang-lubang kecil untuk oksigen agar mereka bisa bernapas dengan bebas.
Keduanya tidak bertengger pada ranting, mereka justru saling berdempetan dengan betina yang bersembunyi di balik sayap pejantan. Sesungguhnya, si jantan merasakan takut. Namun, dirinya tetap berusaha berdiri tegak, meski guncangan-guncangan kecil terkadang mengejutkannya.
Beberapa jam kemudian, kain hitam tersingkap. Sang merpati berkedip, mereka menangkap sebuah gambaran rumah kayu dengan penerangan redup. Sangkarnya tergantung di atap.
Tiba-tiba sebuah tangan keriput memasukan pakan burung dan air. Perlahan sepasang merpati itu mendekati makanannya sembari membekur—suara khas merpati. Walau merasa asing, sedikit demi sedikit sepasang merpati itu memakan pakan yang diberikan si tangan keriput. Mereka berciuman dan saling meloloh satu sama lain sebagai bentuk pelepas stres. Alhasil, mereka tertidur sambil bertengger pada ranting dan saling menyandarkan kepala.
Beberapa hari sekali, si tangan keriput memberi mereka makan. Wajahnya sulit dikenali karena setiap kali memberi pakan, si tangan keriput selalu datang ketika mereka masih tidur. Sedangkan orang-orang yang membersihkan sangkar, mereka masih bisa melihat wajahnya yang berganti setiap sehari sekali. Pakan yang diberikan pun beragam, bahkan ada yang rasanya tidak enak—bagi si merpati.
Lalu, pada suatu hari, betinanya tertidur. Lama sekali, sampai seharian penuh. Sang jantan menjadi kalut, karena betinanya tertidur setelah melahirkan sebutir telur. Dirinya membekur berkali-kali, memanggil betinanya dan berputar di sekitar sangkar, tapi usahanya sia-sia. Sampai dirinya merasa lelah dan tertidur di samping kekasihnya.
Sekelebat ingatan berputar layaknya kaset rusak. Salah satunya merupakan kenangan saat si pejantan masih sangat muda, lalu kenangan bersama kedua orang tuanya sampai bisa mencari makan sendiri, kemudian kenangan pertama kali bertemu dengan kekasihnya. Perlahan tapi pasti kenangan tersebut berangsur-angsur retak dan pecah kemudian.
Si pejantan kembali pada kesadarannya. Mata kelamnya terbuka dengan jemari yang meremas tanah berumput basah. Kicauan berbagai burung liar saling bersahutan satu sama lain, membuat kepalanya berdenyut sakit.
Dia menengadah, rambut putih sebahunya jatuh ke bawah. Terlihat pohon-pohon menjulang tinggi menutup rapat akses sang surya untuk menyinari seluruh bagian bumi.
Aku di mana? suara hatinya bertanya.
Namun sayang, tak ada jawaban. Dia mengedarkan pandangan, dan tak ada siapa pun. Dia sendiri. Benar-benar sendiri.
Istriku... ke mana dia... dan bayi kami...
Dia menunduk beserta mata yang terpejam erat. Tak lama, netranya membeliak saat menatap tanah berumput. Tubuhnya pun tersentak kebelakang, membentur pohon tua. Sang jantan meringis, dengan jelas terlihat sepasang tangan manusia menggantikan sayap indahnya.
Ini apa? Sayapku mengapa jadi seperti ini?
Bersambung...
Rombongan Bus Pariwisata bergerak dari arah Ibu Kota menuju Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Terdapat poster besar yang ditempel pada kedua sisi bus, bertuliskan SMA N 1 MAMETI. Setiap bus diberi nomor sesuai urutan dari kelas 11-A sampai 11-F. Kebanyakan siswa masih terlelap, hanya bus dari kelas 11-F saja yang terdengar bising. Kebisingan tersebut berasal dari beberapa siswa dan siswi di kursi belakang. Mereka menyanyikan banyak lagu dengan irama acakadut, tak berseni sama sekali.“Arghh! Ara! Kuping lo gak sakit apa? Ih, diem mulu!” protes Yuliana Latifa, teman sebangku Zaara Yulanda—Ara merupakan nama panggilan akrabnya. Yulia menarik-narik lengan Ara memaksanya bangkit dari duduk.
“Enghh, gak ... ada apa-apa kak ....” Kalimatnya tergantung di udara.Sekilas Yulia tampak menyinggung Ara, ia berbisik, “Namanya Alif, Alif.”“Ah, iya, Kak Alif, ehehe.” Ara tertawa garing, hanya dirinya yang tertawa. Kak Alif justru menghembuskan napas dalam. Sedangkan Yulia dan teman lainnya terlihat menahan tawa.***Sepanjang perjalanan mengitari Cagar Alam, Zaara berusaha keras untuk memperhatikan penjelasan Kak Alif. Ia mencatat semua hal yang penting-penting saja.Dari destinasi pertama, situs Batu Kalde atau Sapi Gumarang. Situs prasasti ini diyakini merupakan reruntuhan sebuah Candi Hindu Kuno. Pada candi terdapat sebuah arca berbentuk anak sapi, dipercaya sebagai jelmaan Raden Arya Sapi Gumarang. Kala itu beliau menjabat sebagai menteri pertanian Kerajaan Pananjung.Destinasi yang kedua sebenarnya
Manusia berkulit putih kemerahan itu berjalan menggunakan kedua kaki, terlihat tanpa busana. Kakinya penuh luka lecet akibat ranting beserta kerikil yang tersebar di tanah. Sementara kedua lengan menempel lekat pada badan.Saat itu, betisnya mulai berguncang hebat, ia tersungkur karena tidak sanggup menahan berat tubuh. Napas beradu cepat sejalan dengan dada yang naik turun. Garis rahang yang tegas menandakan bahwa ia seorang laki-laki. Rambutnya yang seputih susu kini lusuh dan lepek penuh keringat, sangat mirip dengan uban.Monyet-monyet ekor panjang mulai turun dari pohon-pohon besar untuk mengamati. Mereka berkomunikasi dengan sesama, namun tidak berani untuk mendekati si laki-laki. Saat matanya menjeling, para monyet berlarian ke segala arah lalu memanjat pohon-pohon di sekitar. Laki-laki itu memperhatikan cara berjalan dan kabur kumpulan monyet tadi.Laki-laki itu mulai menjejakkan kaki dengan tangan sebagai penopa
Si pejantan sudah tak telanjang lagi. Kaus putih dan celana pendek kakao membungkus tubuhnya. Dia berjongkok di sisi dalam ambulans. Surai putih bersihnya tampak mengkilat terkena sinar lampu jalan yang menelusup kaca mobil. Kondisinya sekarang tidak kotor seperti sebelumnya.Tiba-tiba mobil yang dia tumpangi terguncang karena parkir di sebuah rest area, Bandung. Terdapat plang raksasa bertuliskan ‘Rest Area Saduma’.Pejantan sempat mematung, ia berjinjit kemudian menuju kaca mobil. Samar-samar terlihat empat manus
Dini hari di Bandung sudah seperti dini hari di gunung. Hawa sejuk bagai es meleleh menelusup dari celah-celah pakaian. Nadya dan Nur tidur berdua di mobil, sedikit terusik dengan hawa dinginnya. Jaket hitam ukuran laki-laki membungkus tubuh Nadya bagai selimut. Sementara Nur tertutup jaket tebal yang baru ia beli kemarin malam di toko grosir dekat rest area.Tiba-tiba terdengar suara ketukan kaca berulang-ulang di sebelah Nur tidur, tapi tidak digubris. Nur masih memejamkan matanya erat, seperti tak ingin diganggu oleh siapapun.Namun, suara ketukan itu makin sering, kemudian muncul seseorang balik kaca mobil. “Nur ... bangun ... udah subuh ...,” bisiknya.Seketika Nur menegakkan badan dan menutup mulut saat menguap. Dirinya membuka pintu mobil kemudian meraih tas kecil berisi mukena padadashboardmobil. Kedua maniknya masih sulit terbuka meski sudah turun. Rupanya yang memanggil adalah Fadil, terlihat membawa s
Pukul enam lebih dua puluh menit, Nadya berangkat dari rumah menuju panti Sinar Asih mengunakan motor metic kesayangan. Ia memakai helm SNI dengan kecepatan normal sesuai peraturan berlalu lintas. Tatkala berpapasan dengan lampu merah, Nadya menghentikan laju motornya. Sembari menunggu kendaraan lain lewat, dirinya membuka kaca helm sebentar kemudian mengambil ponsel dari saku jaket hitam dan mengetik pesan pada layar datar di depannya. Jika ada yang bertanya mengapa Nadya mengenakan jaket laki-laki, ia hanya ingin mengembalikan jaket itu pada pemiliknya, Jaka. Bermalam di Rest Area Bandung membuat tubuhnya menggigil itulah sebabnya jaket Jaka ada padanya dan ia lupa mengembalikannya.Biasanya pada jam-jam segini Jaka sudah ada di panti bersama
“Alhamdulillah, Baik. Jang Regi sendiri?”“Saya juga baik, Pak. Bapak di sini mau nonton aja atau?”“Oh, kalau saya baru aja daftarin Merpati Wulung saya di sini. Jang Regi mau liat?”“Boleh.”Seperti tiga bulan lalu, mereka mengobrol dengan baik, bagaikan teman akrab yang baru bertemu setelah sekian lama. Rencana Regi berhasil, selama bercakap-cakap dengan Pak Dedeng ia tidak ditanyai lagi soal merpati yang sudah dijual pada seorang wanita cantik.Tak terasa kontes unggas berbulu cantik akan segera dimulai. Pak Dedeng meminta izin dengan sopan meskipun dirinya lebih tua dari Regi. Mereka akhirnya berpisah, sementara Regi segera menjauh dari kerumunan orang dan keluar dari ruangan in-door tersebut.“Gila! Untung si bapak gak sadar,” sesal Regi. Ia menggeleng sembari menghembuskan napas kasar. “Setidaknya gue bisa ngalihin topik, jadi aman,” gumamnya sambil berjalan mendatangi mo
Derit pintu terdengar dibuka. Sosok Jaka terpampang jelas dibaliknya. Ia terlihat memakai topi dan tersenyum pada Theo lalu menatap Nadya. “Sayang, hadiah mainan untuk pasien anak-anak disimpen di mana lagi, ya? Di gudang udah penuh.”“Di ruangan pasien yang kosong aja, jangan sampai anak-anak tahu.”“Em, Theo gak bakal di kasih?”“Enggak, Theo gak suka mainan.”“Oke deh.”Jaka pun keluar dan kembali pada aktivitasnya—merapikan main-main yang ia bawa dari mobil ke ruang tak terpakai. Sedangkan semburat kemerahan menyasar wajah Nadya, mengingat dirinya baru seminggu menikah dengan Jaka. Rasanya seperti mimpi, karena saat itu Jaka melamarnya secara tiba-tiba tanpa menjalin kasih terlebih dulu. Memang mereka sudah saling mengenal satu sama lain sebagai teman, tapi hal itu jauh berbeda. Butuh beberapa minggu untuk Nadya memikirkan lamaran Jaka. Namun, pada akhirnya mereka menikah tanpa halangan yang ber
Hari ini, Zaara sudah boleh pulang. Tanpa dipinta, Tante Putri membereskan beberapa barangnya. Zaara tidak enak hati, sebab Tante Putri tampak tulus membantunya. Dia merasa jadi orang jahat karena terlanjur berpura-pura menjadi pacar Theo. Sudah begitu, dia keceplosan mengungkap perasaaannya selama menjalin hubungan tidak nyata ini.Zaara menyesali kelakuannya minggu lalu. Mungkin hal itu pula yang membuat Theo jarang menengoknya. Entah sejak kapan rasa itu dimulai.Apa mungkin karena terlalu sering bertemu, cinta tumbuh begitu saja tanpa diminta? Atau hanya napsu belaka? Entah, Zaara tidak tahu.Yang pasti, saat ini hatinya sedang merindu. Ingin saling bercanda dan tertawa seperti dulu. Namun, bila berhadapan langsung ... Zaara tidak berani untuk memandang.“Za, coba sini. Tante udah masukin barang kamu ke tas. Cek dulu, takut ada yang ketinggalan,” seru Putri memanggil Zaara yang mematung di ranjang.
Pagi-pagi sekali, sekitar jam 06.30 WIB, Tante Putri sudah ada di depan pintu rumah Lalisa. Rumah tersebut memiliki dua lantai dengan desain modern minimalis. Beliau menekan bell berkali-kali tanpa henti. Membuat penghuninya kebisingan dan tak bisa melanjutkan tidur dengan tenang.Waktu itu, Lalisa tidak tahu siapa orang yang bertamu. Napasnya berhenti di kerongkongan ketika melihat sosok Putri yang menatapnya.“Ta-tante?” Lisa memundurkan tubuh selangkah, “kok ke sini? Ada apa?”“Ayo bicara. Tante tunggu kamu di cafe biasa,” tandasnya kemudian pergi terlebih dahulu meninggalkan Lisa.Melihat kepergian Tante Putri, membuatnya sedikit lega. Namun, perlakuan Putri pada Lisa tidak berakhir sampai disitu saja.Terbukti ketika Lisa sudah duduk di cafe langganan Tante Putri, beliau tak ubahnya mertua jahat yang sedang menatap penuh kebencian. Begitulah sosok Putri di mata Lisa sekarang, padahal nyatanya i
Di perjalanan menuju rumah Zaara, Theo sempat mengirim chat. Fokusnya kembali pada setir mobil sambil memandangi aspal rata di depan. Beberapa menit menunggu tak ada balasan. Ponselnya tidak menunjukkan getaran pertanda pesan. Ah, mungkin sedang siap-siap, pikirnya.Selama setengah jam lebih dua puluh, Theo sampai di depan rumah Zaara. Dirinya menekan pagar lalu berjalan memasuki pekarangan rumah, ia menekan bell dekat pintu masuk. Cukup lama menunggu, pintu tidak di buka juga. Dia berinisiatif membuka pintu dari luar, dan terbuka tanpa kendala. Dari sini kecurigaannya terbentuk.Alis bertaut hingga bersatu. Theo mengamati kesuluruhan rumah itu. Tak ada siapa-siapa. Hanya terdapat ponsel tergeletak di lantai dekat meja tamu. “Ini?” gumamnya dengan tatapan yang berubah cemas. Ini ponsel Zaara, anehnya kenapa ada di lantai?“Zaara!” Theo refleks memanggil nama. Lalu berjalan menuju kamar Zaara dan tidak mendapati siapapun.
“Hai!! Tante bawa makan siang, nih,” seru Tante Putri dengan raut riang gembira. Beliau menyambar lengan Zaara dan duduk di sopa ruang tamu tanpa izin. Rantang modern yang sedari tadi ditenteng, lekas disimpan di meja kaca.Zaara tak bisa berkata-kata. Kehadiran Tante Putri diluar perkiraannya. Zaara berpikir Lalisa yang ada di depan pintu, tapi nyatanya bukan. Setelah Tante Putri menyiapkan lauk dan nasi di meja makan, muncul Theo dari balik pintu yang terbuka. Awalnya ia terkejut melihat pintu tidak dikunci, kemudian berlari ke dapur. Mulutnya menganga tak percaya melihat ada Tante Putri dengan Zaara yang duduk di kursi, tersaji berbagai jenis lauk pauk di meja. Segera ia merapat di samping Zaara, karena Tante Putri menyuruhnya duduk.“Tan—eh maksudku Ma, kok ada di sini? Papa gak di rumah?”“Nanya begitu, emangnya kenapa? Gak boleh?”Selalu dan selalu saja begitu. Setiap ditanya soal Om Regi, beliau seperti tidak
Pukul 08.30 malam, Theo sudah rapi, memakai jas dan parfum dengan tatanan rambut seperti hari biasa. Saatnya menjemput Zaara menggunakan mobil pribadi yang terparkir di garasi. Sebetulnya, mobil ini kembali saja sudah untung. Ia pasrah jika mobil silvernya tidak kembali berkat insiden bersama Lisa tempo hari. Tak tahunya Tante Putri yang mengembalikan dengan kondisi utuh. Baguslah, Theo tak usah repot-repot lagi menunggu bus di halte.Ketika sampai depan rumah Zaara, pemiliknya sudah menunggu di depan pintu. Dress brukat warna pastel benar-benar cocok dengan imaje Zaara. Theo tersenyum seraya mengulurkan tangan. “Terima kasih sudah bersedia mengikuti permainanku,” tuturnya menampilkan gigi yang berderet rapi.Zaara memukul lengan Theo dengan tas tangan, sungguh malu mendengar kata-kata tersebut. Berhari-hari mereka latihan menjadi sepasang kekasih, akhirnya ia bisa mengikuti permainan Theo.
“Theo, Mama tadi hubungi Papa, katanya perjodohan kamu sama Lalisa gak bisa dibatalin.”“Terus gimana, Ma? Aku udah punya Zaara,” rengek Theo seraya menggenggam pergelangan ibu angkatnya.Tante Putri menggeleng lemah, ia sendiri bingung, sebab perjodohan Theo dan Lalisa sudah ditentukan sejak lama; saat mereka masih remaja.Sebenarnya Theo sudah menduga hal ini. Seketika mendengkus kesal. Karena Om Regi tidak mungkin setuju perjodohan tersebut dibatalkan, karena orang tua Lalisa bersahabat baik dengan Om Regi, bisa hancur hubungan mereka jika salah satu anaknya tersakiti.Theo pun duduk pada di kursi, depan ruang rawat Zaara. Saat berpikir dia menautkan jemari. “Ma, gimana kalau Lisa yang minta bantalin perjodohannya?”Putri duduk di samping anaknya dengan sebelah alis yang mencuat. “Maksud kamu gimana?”“Aku pengin Lisa yang nyerah sama perjodohan ini. Mungkin kalau kayak gitu, bis
Berbeda dengan zaman dulu, memanggil 118 merupakan hal wajib di zaman ini. Selain agar ambulans lebih cepat datang, pasien kritis harus segera ditangani. Namun Theo sama sekali tidak ada keinginan untuk melihat proses penanganan para medis pada tubuh si gadis. Dirinya tak sanggup melihat darah. Warna merah pekat dan kental membuatnya teringat akan darah segar yang keluar ketika Tuannya menyembelih seekor ayam sebagai konsumsi. Masih terekam jelas di benaknya jeritan ngeri tak terelakkan. Sampai sekarang gemetar pada kedua lengan masih tetap ada, meski tidak begitu terlihat jelas.“Pak Theo Aerlangga? Apakah Bapak yang menelepon ambulans?”Theo menengadah. Garis matanya tertuju pada seorang pria berbadan gempal, beliau mengenakan atribut kepolisian. Theo lekas berdiri dari trotoar penuh debu lalu berkata, “Iya, saya. Ada apa ya, Pak?”Si bapak menjelaskan, Theo dibutuhkan keterangannya sebagai saksi. Sedangkan tersangka sudah ditangk
Agustus 2032Theo Aerlangga, salah satu creator dari beberapa komik yang ada di platform online. Ia sudah menjadi pemuda dengan segudang prestasi. Satu tahun lalu, ada perusahaan dari Jepang, salah seorang perwakilannya menawarkan kontrak eksklusif. Syarat wajib agar dapat dikontrak, dirinya harus pindah ke Jepang dan berkarya di sana. Tentu, Theo tidak mau. Selain sudah merasa nyaman di Indonesia, harapan semasa remaja masih ia genggam erat-erat.“Hee, selesai sudah!” pekik Theo lekas menghempaskan badan pada sandaran kursi. Pen stylus tergeletak sejalan dengannya yang meregangkan tubuh. Tatapannya kuyu karena begadang semalaman untuk menuntaskan episode terakhir.Ingin rasanya langsung tidur dan bermimpi indah, tapi pekerjaannya masih belum selesai. Mau tak mau Theo harus berkutat dengan PC-nya setelah Pen Tablet ia peluk semalaman. Tinggal selangkah lagi, setelah publikasi episode terakhir, pekerjaannya selesai.
Derit pintu terdengar dibuka. Sosok Jaka terpampang jelas dibaliknya. Ia terlihat memakai topi dan tersenyum pada Theo lalu menatap Nadya. “Sayang, hadiah mainan untuk pasien anak-anak disimpen di mana lagi, ya? Di gudang udah penuh.”“Di ruangan pasien yang kosong aja, jangan sampai anak-anak tahu.”“Em, Theo gak bakal di kasih?”“Enggak, Theo gak suka mainan.”“Oke deh.”Jaka pun keluar dan kembali pada aktivitasnya—merapikan main-main yang ia bawa dari mobil ke ruang tak terpakai. Sedangkan semburat kemerahan menyasar wajah Nadya, mengingat dirinya baru seminggu menikah dengan Jaka. Rasanya seperti mimpi, karena saat itu Jaka melamarnya secara tiba-tiba tanpa menjalin kasih terlebih dulu. Memang mereka sudah saling mengenal satu sama lain sebagai teman, tapi hal itu jauh berbeda. Butuh beberapa minggu untuk Nadya memikirkan lamaran Jaka. Namun, pada akhirnya mereka menikah tanpa halangan yang ber