Lift terbuka, aku siap-siap keluar mengabaikan kekhawatiran Alex. Aku tidak ingin bertengkar meributkan tentang hati. Meski besar keinginanku untuk memastikan, aku rasa bukan saat ini. Bukan waktu yang tepat. Berjalan terburu, menunduk dalam memperhatikan langkah kakiku yang terlalu cepat, aku ingin segera pulang. "Hanna," lagi-lagi Alex mencekal lenganku. Ia menahanku untuk lebih jauh pergi darinya. "Apa yang kamu pikirkan?" Ia sadar, kegusaran memenuhi wajahku. "Tidak ada," aku berpaling, menenggelamkan perasaanku sendiri. Dia begitu peka dengan perubahan sikapku. Seharusnya, dia juga harus mengerti, kalau kini, aku telah jatuh padanya. Aku tak ingin hatiku kembali hancur karena sebuah harapan tanpa tuan. Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang. Kenapa begitu mudahnya? Kenapa selalu hanya aku? Setidaknya, jika memang dia orangnya, buat lelaki itu jatuh begitu dalam padaku juga. Sayang, aku bisa berharap apa? Seorang Hanna, gadis dengan banyaknya kisah menyedihkan. Parasku j
Hariku berjalan begitu saja, bekerja dan menggerutu karena banyaknya tugas yang harus kuselesaikan. Ditambah, kini Alex mulai bertingkah, hingga membuatku ketakutan jika sampai ketahuan. Apa yang akan karyawan lain pikirkan tentang kami? Lelaki itu kerap kali menghampiri meja kerjaku hanya untuk alasan sepele. Contohnya seperti saat ini, pinjamkan aku pulpen!Aku hampir melemparnya dengan mouse komputer, jika saja dia bukan atasanku. Ini menyebalkan, lihat saja tatapan orang-orang di sekitar. Jauh-jauh keluar dari ruangannya, lelaki itu datang sambil menadah sepotong pena dariku. Maaf pak, di dalam ruang bapak saya rasa ada pena. Geramku menggertakkan gigi.Tak ada yang berfungsi dengan baik, ujarnya enteng. Aku hanya ingin meminjamnya sebentar, nanti akan kukembalikan.Akupun menurutinya permintaanya, mengambil pulpen dalam laci, lalu kuserahkan pada lelaki itu. Ini pak.Terimakasih, dia langsung melenggang berjalan meninggalkanku begitu saja. Sedangkan karyawan lain, mereka masih
Malam ini aku menyaksikan sebuah pesta pernikahan. Dimana pasangan yang sedang berjalan di atas altar adalah dua orang yang sangat aku sayangi. Risa, sahabat baikku. Gadis itu terlihat begitu mempesona dengan gaun pengantin berwarna putih serta berlian kecil yang memenuhinya. Selain Eva, gadis dengan gaun panjang Semerah darah yang kini sibuk menghibur dengan sesekali menengusap bahu telanjangku, Risa adalah sahabat baikku sejak duduk di bangku kuliah. Lalu lelaki yang kini berstatus sebagai suami Risa, Farhan. Cinta pertamaku. Lucu memang, cintaku kandas begitu saja. Sahabat yang selalu kujadikan tempat berbagi cerita telah melangkahi jalan. Bodohnya aku yang selalu menunggu, tapi lelaki itu malah jatuh cinta kepada orang yang menjadi tempatku berbagi cerita. "Hanna, kamu baik-baik saja kan?" Aku tersadar oleh suara Eva, yang sedari tadi menghiburku dengan berbagai cara. "Aku baik-baik aja kok," tidak, aku tidak baik-baik saja. Tapi aku tak bisa memberitahunya "Va, aku ke kamar ma
Aku mulai tak enak, ketakutan memikirkan berbagai hal. Alex sedang sibuk memasukkan sandi pintu apartemennya sekarang. Ini terlalu jauh, seharusnya aku berhenti ketika tanda bahaya muncul terus-menerus mengusik kepala. Dan sekarang aku sibuk mempertanyakan kebenaran dari keputusan yang telah kuambil. "Masuklah." Aku tersadar oleh suaranya. Yang sedari tadi menunduk, membayangkan berbagai keburukan yang mungkin lelaki itu lakukan.Alex sengaja menahan pintu, mempersilahkanku untuk masuk duluan. Tapi sepertinya dia sadar dengan raut wajah ragu yang terus kupaparkan."Jangan takut, aku tidak tertarik sama orang yang baru patah hati." Celetuknya ringan.Aku mencebikkan kesal, menusuk Alex dengan mata bulatku sekilas, dia mengejekku! Setelah tau apa yang terjadi, lelaki itu dengan beraninya menjadikan itu candaan. akhirnya, karena merasa tertantang, aku masuk kedalam rumahnya tanpa ragu. Lelaki itu sepertinya tergelitik dengan tingkahku, pasalnya aku bisa mendengar kekehan kecilnya di bel
"Risa cinta pertamaku." Aku cukup terkejut, tapi masih bisa menyembunyikan raut wajah kagetku darinya, entah dia sadar atau tidak. "Aku butuh seseorang di sini. Kalau tidak, mungkin aku akan melompat dari balkon." Mungkinkah Alex takut, aku juga punya pikiran seperti itu? mengingat keadaanku tadi. Jadi dia membawaku ke sini karena tak ingin aku berakhir mengakhiri hidup karena cinta? "Maaf, tapi aku tidak ingin menghiburmu." Sepertinya dia berpikir terlalu jauh tentangku. "Tapi aku sudah menghiburmu tadi, bukankah kamu harus balas budi?" Ia menatapku tajam, seolah memaksaku untuk tinggal. Sekarang aku harus balas budi? Apa-apaan itu, apakah aku pernah meminta untuk dihibur? "Maaf, kita baru kenal beberapa jam yang lalu, aku bahkan lupa siapa namamu...," "Alex." Potong lelaki itu. Aku menghela nafas lelah. "Terimakasih, tapi aku tidak ingin tau." Alex kembali menusukku, matanya benar-benar lebih runcing dari panah, "aku ingin seseorang menemaniku, apakah itu salah?" "Kamu bisa
"Lalu kamu siapa?" Aku menangkup kedua pipi lelaki itu, dengan mata bulatku yang berkedip berulang kali, mencoba mencari tau siapa orang ini. Aku bisa merasakan tubuhnya tersentak pelan, ia menelan air liurnya susah payah, terlihat terkejut atau mungkin terperangah? Tiba-tiba lelaki itu mencuri satu kecupan dariku kembali. Mataku membola terkejut, menutup mulutku dengan kedua tangan karena kaget dengan perlakuannya barusan. "Kenapa kamu menciumku?" "Kamu protes sekarang?" Tanyanya tidak percaya. Pasalnya ini adalah yang ketiga kalinya ia menjamah bibirku. "Aku pikir, kamu Farhan tadi," karena itulah aku menerima apapun yang dilakukannya."Jadi jika aku lelaki itu, kau akan menerima ciumanku?" Tanyanya heran. "Apa dia sering menciummu?"Aku segera menggeleng, "tidak, hanya sekali." Jawabku tersenyum miris. "Dulu saat kami masih kuliah, dia pernah menciumku di perpustakaan. Saat itu, aku tertidur karena bosan. Ketika membuka mata, aku mendapatinya sedang mengecup bibirku." Itu kenang
"Untuk tadi malam, aku minta maaf." Aku mencari kebohongan dari matanya, namun ia terlihat begitu tulus. Padahal aku hanya bisa melihat keangkuhan dengan wajah dingin dari paras tampannya tadi malam. Kali ini berbeda, dia merasa bersalah."Ini bukan salahmu," kupikir, sebaiknya segalanya harus diakhiri. Aku masih bisa melihat tatapan yang tidak bisa kumengerti itu. Mungkin dia hanya kasihan padaku. "Aku akan bertanggung jawab."Aku cukup kaget dengan kalimat itu, ia mengikat mataku. Tatapan lelaki itu tidak terbaca. Aku ragu dengan kalimat yang keluar dari mulutnya. Aku tidak mengerti maksud kalimat itu.Tanggungjawab macam apa yang lelaki itu maksud? Apa sesederhana ketika ia meminjamkan tuxedonya ketika mengotori bajuku? Aku bukanlah gaun yang bisa dibersihkan begitu saja. Aku manusia yang baru kehilangan hal paling berharga. "Tidak perlu," aku tidak ingin menaruh harapan. "Kita sama-sama salah, tidak ada yang perlu bertanggungjawab di sini." Itulah kenyataannya, aku juga ikut and
Aku melangkah sempoyongan, keluar dari gedung apartemen yang menjulang tinggi. Dengan heels yang sedari tadi malam membuat pergelangan kakiku sakit, serta gaun kotor yang kini kusembunyikan di balik tuxedo dari lelaki bernama Alex, berjalan terburu mencari taxi di pinggir jalan. Begitu sebuah mobil berhenti di depanku, tanpa pikir panjang, aku segera masuk ke sana."Mau diantar kemana mbak?" Tanya supir di kursi kemudi depan."Menteng pak, kost dukuh atas." Jawabku langsung.Detik berikutnya, mobil berwarna abu-abu terang itu melaju, membawaku jauh dari apartemen elit yang terletak di Jakarta Selatan. Melewati jalan lingkar, aku menghabiskan sekitar 15 menit menuju Jakarta pusat tempat tinggalku. Apa yang telah terjadi, akupun tak mengerti. Segalanya benar-benar tiba-tiba. Perkataan lelaki itu terakhir kali membuat kepalaku kembali pening. Suaranya seolah mengalun tanpa henti di telingaku, ia seperti menanamkan spiker kecil dalam otakku."Aku tertarik padamu."Aku mengacak rambut fr