Home / Pernikahan / Cinta Memabukkan MR. CEO / 1. Pernikahanmu dengannya

Share

Cinta Memabukkan MR. CEO
Cinta Memabukkan MR. CEO
Author: Keluh

1. Pernikahanmu dengannya

Malam ini aku menyaksikan sebuah pesta pernikahan. Dimana pasangan yang sedang berjalan di atas altar adalah dua orang yang sangat aku sayangi. Risa, sahabat baikku. Gadis itu terlihat begitu mempesona dengan gaun pengantin berwarna putih serta berlian kecil yang memenuhinya.

Selain Eva, gadis dengan gaun panjang Semerah darah yang kini sibuk menghibur dengan sesekali menengusap bahu telanjangku, Risa adalah sahabat baikku sejak duduk di bangku kuliah.

Lalu lelaki yang kini berstatus sebagai suami Risa, Farhan. Cinta pertamaku. Lucu memang, cintaku kandas begitu saja. Sahabat yang selalu kujadikan tempat berbagi cerita telah melangkahi jalan. Bodohnya aku yang selalu menunggu, tapi lelaki itu malah jatuh cinta kepada orang yang menjadi tempatku berbagi cerita.

"Hanna, kamu baik-baik saja kan?" Aku tersadar oleh suara Eva, yang sedari tadi menghiburku dengan berbagai cara.

"Aku baik-baik aja kok," tidak, aku tidak baik-baik saja. Tapi aku tak bisa memberitahunya "Va, aku ke kamar mandi bentar ya?" Jika aku masih bertahan di sini, mungkin aku akan berakhir dengan mempermalukan diri sendiri.

"Mau aku temenin?" Aku menggeleng, lalu tersenyum sekilas. Aku tau Eva khawatir,

***

Di kamar mandi aku meratapi nasib sekarang. Mengapa semua ini bisa terjadi? Bagaimana semuanya dimulai? Apa kesalahan yang saya buat sehingga hal ini bisa terjadi? Mengapa mereka tega melukaiku secara bersamaan? Aku memikirkan semua kemungkinan, tapi tak pernah menemukan jawaban. Aku telah menunggu begitu lama, namun lelaki itu pergi begitu saja.

Aku menatap diri di kaca. Menyedihkan! Aku benar-benar pecah. Mataku sembab dan memerah. Makeup ku hancur karena kubilas dengan air beberapa kali. Sedangkan sanggul yang telah di tata rapi oleh Eva tadi, kini telah terlepas. Aku tidak tahu siapa gadis di dalam kaca itu.

"Mengapa kamu begitu menakutkan?" Aku hanya bisa melihat wajah mengerikan itu.

Jika berakhir seperti ini, saya mungkin tidak punya keberanian untuk kembali. Aku tidak mau mereka tertawa di atas kesedihanku. Aku hanya akan mempermalukan diri.

Kuputuskan untuk mengambil ponselku di dalam tas selempang kecil, yang senada dengan gaunku

"Hanna?"

"Va, aku pulang duluan ya?" Aku segara berucap begitu mendengar suaranya.

"Kamu tak apa kan?" Ia kembali bertanya, mungkin dia sadar suaraku yang kini berubah.

“Tentu saja,” aku memaksakan suara tawa, yang perlahan terasa canggung karena gadis itu tak lagi menjawab. Dia sadar, Eva begitu peka. Aku yakin dia tahu apa yang terjadi padaku.

"Baiklah," aku bisa mendengar helaan nafas darinya. "Hati-hati, begitu sampai segera hubungi aku."

Aku menggigit bibir, takut-takut tangisku kembali pecah. "Baik." Dengan susah payah, kata itu terucap.

Setelah mendapat izin, saya memutuskan panggilan kami. Setelah itu, saya mencoba merapikan rambut ikal hitam panjang yang tidak karuan.

Aku kembali menatap diri di cermin, aku sadar, aku tak lagi terlihat cantik seperti di awal acara. Padahal, gaun selutut ini sengaja aku beli untuk acara Risa. Eva bilang aku harus terlihat lebih memukau dari gadis itu. Tapi sepertinya dengan gaun yang cantik, polesan make up serta rambut yang tersanggul rapi tidak bisa mengalahkan Risa. Aku tidak bisa lebih bahagia darinya. Gadis itu terlihat begitu mempesona, berjalan angkuh di atas altar. Dia bahkan tidak merasa bersalah padaku.

Apa yang bisa aku harapkan? Farhan juga tidak pernah menjadi milikku. Risa tidak mencuri apapun. Hanya aku yang sedih, dengan harapan yang ku simpan sendiri, kini aku hancur.

"Sadarlah," aku menampar wajahku beberapa kali, lalu menarik napas berat. "Kamu juga bisa bahagia Na!" Tekan saya pada diri sendiri.

Kuputuskan untuk berhenti menyalahkan takdir atau siapapun, aku ingin segera pergi dari tempat ini. Aku mengambil langkah, keluar dari kamar mandi sambil menutupi wajah dengan rambutku yang kini tergerai. Aku tidak ingin ada yang melihat keadaan sedihku.

Saat sedang sibuk menutupi wajahku, aku malah menabrak seseorang karena tidak memperhatikan jalan. Kini aku dibasahi oleh cairan.

"Maaf, kamu tidak apa-apa?" Suara berat seorang lelaki terdengar.

Aku mendesis, rasanya aku ingin menangis lagi. Bajuku berakhir dengan mengenaskan, terkena wine dari gelas lelaki yang dibawanya. Bukan hanya di bagian atas, namun sampai bagian bawah kini gaun putih itu berubah menjadi merah.

Lelaki itu terlihat panik, dan berusaha membantuku membersihkan noda itu, tapi sayang. Saya rasa tidak mungkin. Baju mahal ini seolah mengejekku, dengan segala masalah malam ini, dia juga menambah kekesalanku.

"Tak apa," aku berujar sambil menaikkan pandangan sekilas, sementara tanganku masih berusaha membersihkan cairan itu yang kembali merusak malamku.

Namun, berapapun mata lelaki itu berhasil menangkap wajahku. Dia terlihat keriput kening heran. Tentu saja, saya terlihat begitu kacau. Seharusnya dia kebingungan, di acara bahagia ini, ada seorang manusia dengan mata sembab. Siapapun pasti akan sadar, kalau aku baru saja menangis.

"Aku rasa kamu tidak dalam keadaan baik." Suara dalam lelaki itu membuat aku tercekat, aku semakin menunduk, berusaha menyembunyikan keadaanku, meski dalam waktu bersamaan aku cukup tau, ini tidak akan berhasil.

"Aku benar-benar baik," aku berujar cepat, hendak melangkah untuk meninggalkan lelaki itu. namun ditahan olehnya.

Mata kami dipertemukan, beradu dalam diam. Wajah lelaki itu begitu rupawan. tegas, dengan alis tebal, hidung mancung serta bibir yang hampir membentuk huruf M. Pupil matanya hitam pekat. Tatapan lelaki itu terasa menarikku ke dalam sana. Ia begitu mempesona.

Kami bertahan dalam postur itu cukup lama, hingga saya tersadar, ini tidak benar. Tidak seharusnya, dalam keadaan sedih seperti ini, aku malah beradu pandangan dengan seorang lelaki yang tak kukenal. Aku segera menarik diri, dan lelaki itu langsung melepaskan lenganku, dia terlihat tak enak, mungkin?

"Namaku Alex," ucap lelaki itu tiba-tiba, dia melepas tuxedo hitam miliknya, meninggalkan kemeja putih yang membuat tubuh kekar lelaki itu mengintip dari balik kemeja putih miliknya. "Jangan menangis sendirian." Lelaki itu kehancuran tuxedo tersebut pada bahuku yang terbuka.

"Kamu tidak perlu...," Aku berusaha menahan lelaki itu, rasanya tidak pantas menerima perlakuan seperti ini dari orang asing. Namun sepertinya saya tidak bisa apa-apa, saya memaksa.

"Gaunmu rusak parah, aku akan bertanggung jawab." Putus lelaki itu.

"Ini hanya gaun, lagipula setelah ini aku tidak akan pernah memakainya lagi." Mungkin, saya hanya akan menerima tatapan miris jika saya tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Mau ketempatku?" Lelaki itu tiba-tiba melontarkan kalimat yang tidak bisa kupahami.

"Apa?" Aku mengerutkan kening, cukup kaget dengan tawaran itu. Kami baru bertemu, tapi lelaki itu dengan gamblang malah mengajak ketempatnya.

"Aku tinggal di sekitar sini, tidak jauh. Hanya butuh waktu 20 menit naik motor. Aku rasa kamu butuh sesuatu yang bisa membuat mood kamu baik."

"Motor?" Lelaki itu mengangguk sambil tersenyum.

"Saya belum pernah naik motor." Aku tergiur, mungkin mengendarai motor malam-malam begini akan terasa menyegarkan.

"Kalau begitu,

Lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Alex itu memamerkan senyum manisnya. Menarik lenganku, membawaku berdua. Saya tidak mengerti, kenapa saya tidak bisa menolak. Tanpa sadar, mungkin aku berharap dihibur oleh seseorang. Aku tidak mau membuat Eva semakin khawatir. Alex muncul entah darimana, seolah menjadi penyelamat saat aku kehilangan banyak hal.

***

Sekitar pukul sebelas malam, motor sport Alex berbunyi keras membelah jalanan. Ini pertama kalinya untukku, dengan gaun pesta serta sepatu hak tinggi, aku duduk di belakang lelaki yang tidak pernah kukenal sebelumnya. Saya memeluk pinggang lelaki itu erat karena takut, tapi pada saat yang sama saya merasa senang.

"Berteriak lah!" Alex tiba-tiba menyuruhku.

"Apa?" Saya tidak yakin dengan yang baru kudengar.

"Teriak!" Ia mengembalikan tekanan.

Aku berpikir untuk sewaktu-waktu, aku rasa berteriak di luar bukan sesuatu yang merugikan.

"Aahhkk!" Dan aku melepaskan suara yang terasa tercekat di kerongkongan sedari tadi. Saya cukup lega.

"Hanya itu?" Terdengar tidak puas.

"Aku harus apa?"

"Katakan sesuatu, keluarkan isi hati!"

Aku semakin mengeratkan pelukan pada pinggang Alex, aku tidak yakin. Apa yang terjadi? Tapi saat ini aku sedang memeluk lelaki asing. Tak ada yang lebih aneh dari itu. Menjadi gila untuk satu malam tidak akan membunuhku, kan?

"Aku membencimu! Seharusnya kamu bilang dari awal, kalau kamu juga menyukainya! Apakah menyenangkan melihat aku seperti orang bodoh yang menceritakan semua perasaanku padanya? Seharusnya aku tidak pernah percaya pada kata-kata kamu!"

Saya yakin laki-laki itu tau kemana arah kata-kataku, tapi saya tidak peduli lagi pada berbagai persepsi. Aku benar-benar melepaskan isi hatiku malam ini, sepertinya sewaktu-waktu, aku bisa mengatai mereka berdua tanpa rasa takut. Aku tidak perlu berkata baik-baik saja, tersenyum seperti orang bodoh. Lalu tersakiti berkali-kali.

“Bagus,” aku bisa mendengar kekehan ringan yang keluar bersama kata itu. Setelahnya, Alex mempercepat laju motornya, membuatku semakin merapatkan diri mengeratkan pelukan, menutup mata menikmati angin dingin yang menusuk sampai tulang.

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status