Home / Pernikahan / Cinta Memabukkan MR. CEO / 3. Alkohol dan Pelukan

Share

3. Alkohol dan Pelukan

"Risa cinta pertamaku." Aku cukup terkejut, tapi masih bisa menyembunyikan raut wajah kagetku darinya, entah dia sadar atau tidak.  "Aku butuh seseorang di sini. Kalau tidak, mungkin aku akan melompat dari balkon."

Mungkinkah Alex takut, aku juga punya pikiran seperti itu? mengingat keadaanku tadi. Jadi dia membawaku ke sini karena tak ingin aku berakhir mengakhiri hidup karena cinta?

"Maaf, tapi aku tidak ingin menghiburmu." Sepertinya dia berpikir terlalu jauh tentangku.

"Tapi aku sudah menghiburmu tadi, bukankah kamu harus balas budi?" Ia menatapku tajam, seolah memaksaku untuk tinggal. Sekarang aku harus balas budi?

Apa-apaan itu, apakah aku pernah meminta untuk dihibur? "Maaf, kita baru kenal beberapa jam yang lalu, aku bahkan lupa siapa namamu...,"

"Alex." Potong lelaki itu.

Aku menghela nafas lelah. "Terimakasih, tapi aku tidak ingin tau."

Alex kembali menusukku, matanya benar-benar lebih runcing dari panah, "aku ingin seseorang menemaniku, apakah itu salah?"

"Kamu bisa mencari temanmu, kenapa malah berharap padaku?"

"karena kupikir kita punya masalah yang sama!" Ia meninggikan suaranya, aku tersentak karena kaget, aku belum siap mendengar teriakan dari Alex. Lelaki itu marah padaku?

"Aku...," Aku harus menjawab apa sekarang? Kini dia malah mengacak rambutnya terlihat begitu frustasi.

Alex mengambil gelasnya, lalu memasukkan cairan itu kedalam mulutnya. Semuanya kandas dalam satu tegukan. Aku mulai tak enak, dia membuatku khawatir, apalagi ketika Alex kembali mengisi gelasnya dan meminumnya lagi. 2 gelas, 3 gelas, 4 gelas dan 5 gelas.

"Cukup!" Aku menahan lengannya di gelas yang ke enam. "Apa kamu kehausan?" Tanyaku tidak habis pikir. "Kamu bisa mabuk!"

"Itulah gunanya alkohol nona." Jelasnya, ia tersenyum sambil melepas tanganku dari lengannya, memutar benda itu berirama. "Kamu mau menemaniku atau cuma duduk di sana melihatku menghabiskan semua isi botol ini?"

Mataku tertuju pada gelas satunya lagi, benda itu masih berada di tempatnya dengan wine di dalam. Haruskah? Aku tidak yakin. Melihat Alex bertingkah menyedihkan seperti ini membuatku iba. Tapi apakah aku harus mengghiburnya dengan cara ini? Aku bahkan tidak pernah menyentuh alkohol semenjak pertama kali mencoba cairan memabukkan itu. Tubuhku tidak sanggup menerimanya barang sepersen-pun.

Ting!

Tiba-tiba Alex membenturkan gelas kami, dia kembali menenggak isi gelasnya, seolah mengajak bersulang. Aku menarik nafas panjang. Ini menakutkan, entah apa yang akan terjadi jika malam ini aku nekat. Tapi, jika minuman ini bisa membuatku lupa pada Farhan, aku ingin mencobanya.

Aku mengambil gelas itu, menutup mata erat langsung memasukkannya kedalam mulut. Detik berikutnya kepalaku seperti di sengat listrik, sensasi ini tidak pernah kurasakan sebelumnya. Aku mengedipkan mata berkali-kali mencoba menetralisir rasa yang masih belum kumengerti.

"Lihat, bukankah menyenangkan?" Celetuknya bangga, "alkohol adalah obat patah hati paling manjur di dunia."

Aku tak lagi peduli perkataan menyebalkan Alex, kepalaku terasa beku dan pening. jujur saja aku tidak terlalu menyukai rasa dari minuman itu. Kadar alkoholnya lebih kuat dari yang pernah aku rasakan terakhir kali.

Alex kembali mengisi gelasku, membuat mataku mendelik menatap cairan merah itu memenuhi benda kaca yang masih kupegang erat. Aku tidak menyukai rasa minuman ini. Tapi entah mengapa, aku tergiur. Aku ingin sensasi itu, cairan ini seolah menggerogoti otakku, membuatku lupa pada sakit yang menyerangku sepanjang malam ini.

***

Aku telah turun dari sofa, duduk di lantai beralaskan karpet berbulu lembut. Kupikir wajahku memerah padam sekarang. Saat ini, aku kehilangan semua tenaga dan kesadaran. Aku hanya bisa melipat kedua lengan di atas meja dan menjadikannya bantalan. Aku benar-benar mabuk berat, padahal hanya dua gelas yang masuk kedalam perutku. Berbeda dengan seseorang yang masih memperhatikanku sedari tadi. Lelaki itu masih sangat sadar atau mungkin setengah sadar? Yang pasti keadaannya lebih baik dariku. Mengingat jumlah minuman yang ia tenggak.

Sambil menatapnya yang duduk bersisian denganku, aku tidak lagi bisa terlalu yakin. Wajahnya tak lagi jelas. Pandanganku buram, aku benar-benar tidak tau, siapa lelaki yang duduk sambil menopang wajahnya dengan satu tangan itu kini.

Sedangkan aku masih bertahan dengan gaun kotor dan tuxedo yang menutupi bahuku agar tidak kedinginan. Hingga kurasakan tangan besar itu menyentuh wajahku lembut.

"Kamu baik-baik saja?" Entah sudah keberapa kalinya kau mendengar kalimat itu hari ini, aku mulai muak.

Aku memutuskan untuk menutup mata, dengan begini kupikir rasa pening yang menyerangku bisa sedikit menghilang. Dan benar saja, aku mulai mengantuk.

"Kamu tidur?" Suara itu kembali terdengar, tapi terasa lebih dalam.

Ia mendekatkah? Pasalnya, aku juga bisa merasakan nafas seseorang yang menerpa wajahku.

Dengan jelas aku mendapati benda kenyal menekan bibirku pelan.

Aku membuka mata, jarak kami masih sangat dekat. Mata kelam dengan alis tebal itu berada tepat di depanku. Hanya berjarak beberapa centi. Mata kami beradu, saling mengikat tanpa suara.

Ia menarik diri, memberi jarak. Sedangkan aku masih bertahan dalam posisi yang sama. Lelaki itu tampak heran, melihatku tidak memberi reaksi apa-apa.

"Apa yang...," Aku hendak protes, namun suaraku tertahan ketika melihat wajah dengan ekspresi yang tidak kumengerti itu.

Ia kembali mengikis jarak, mencondongkan tubuhnya ke arahku. Ah, kupikir aku tau siapa dia sekarang. Aku menarik sudut bibirku tersenyum tipis serta kembali menutup mata memberi izin kepadanya.

Detik berikutnya, bibir kami kembali bertemu, tidak hanya kecupan. Lelaki itu lebih berani sekarang, akupun tidak ingin menipu diri sendiri, aku juga menikmati setiap ciuman yang ia lontarkan.

Beberapa saat kemudian, dia berhenti. Aku membuka mata menatap orang yang masih menempelkan keningnya denganku. Nafasnya terdengar cepat menderu tak beratur. Begitupun denganku, dengan tangannya yang sudah membingkai wajahku, ia kembali bertanya.

"Kamu tidak marah?"

Aku tidak menjawab, aku memilih untuk bangun lalu memperbaiki dudukku, menatap bola mata itu dalam memiringkan wajah. Aku bingung, wajahnya berubah beberapa kali. Apakah ini benar-benar orang yang kukenal?

Meski heran, lelaki itu juga melakukan hal yang sama. Ia menyambut tatapan dariku, seolah menunggu apapun yang akan kulakukan padanya.

Aku menarik nafas panjang, lalu memantapkan keputusan. Aku merangkak kearahnya, lalu melingkarkan kedua tanganku pada lehernya, menduduki diri di atas pangkuannya, menghadapnya langsung. Aku memeluk tubuh itu erat. Aku juga bisa merasakan tangan besarnya memegang kedua sisi pinggangku hati-hati.

"Farhan...," Aku berucap. Jika ini kesempatan yang lelaki itu berikan, aku siap.

Namun, detik berikutnya ia malah mendorong bahuku, sehingga pelukanku terlepas dengan terpaksa.

"Kamu mabuk?" Ia bertanya, "turunlah dari pangkuanku." Titah lelaki itu tiba-tiba, begitu yakin.

Aku menggeleng cepat, aku tidak terima. Bukankah ia telah memberi izin dengan menciumku tadi?

"Kamu bilang, aku hanya perlu menunggu sebentar lagi. Tapi kenapa kamu malah berakhir di altar?" Aku tidak ingin melepasnya, dan kehilangannya untuk kedua kali.

"Jika seperti ini terus, kamu akan menyesal." Ujarnya seolah memberi peringatan.

"Aku mungkin bisa menerima jika kamu membohongiku, tapi kenapa harus Risa? Kenapa kalian berdua harus menyakitiku secara bersamaan?"

Aku kembali memeluknya, rasa sakit di dadaku kembali menyerang. Aku semakin merapatkan diri padanya, bahkan aku melingkarkan kedua kakiku di pinggangnya sekarang, aku tidak ingin ia pergi.

"Tidak bisakah...." Aku tercekat, tak mampu melanjutkan kata yang ingin kuutarakan. Aku tak lagi sanggup membendung air mataku.

Kami bertahan dalam posisi itu cukup lama, menjadikan bahunya sebagai tempat bersandar aku menumpahkan segalanya di sana. Sementara ia sibuk menepuk punggungku berirama mencoba menghibur.

"Farhan...," aku kembali memanggilnya. Karena kami terdiam dalam waktu yang tidak singkat, aku mulai lelah.

"Aku bukan Farhan," sebelum mengucapkan kata itu, aku bisa mendengar helaan nafas lelah darinya. Ia kembali memegang bahuku, lalu mendorong tubuhku menjauh. "Kamu tidak tau aku siapa?" Tanya lelaki itu lagi, ia terlihat memastikan sesuatu.

Aku menelisik wajah serius itu, "tidak tau." Aku menggeleng kecil, lelaki ini bukan orang yang kukenal. Aku menghapus air mata yang kini menjadi jejak di pipiku, lalu menyipit agar pandangan jelas, "ternyata bukan Farhan," aku berucap yakin. "Lalu kamu siapa?"

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status