"Risa cinta pertamaku." Aku cukup terkejut, tapi masih bisa menyembunyikan raut wajah kagetku darinya, entah dia sadar atau tidak. "Aku butuh seseorang di sini. Kalau tidak, mungkin aku akan melompat dari balkon."
Mungkinkah Alex takut, aku juga punya pikiran seperti itu? mengingat keadaanku tadi. Jadi dia membawaku ke sini karena tak ingin aku berakhir mengakhiri hidup karena cinta?
"Maaf, tapi aku tidak ingin menghiburmu." Sepertinya dia berpikir terlalu jauh tentangku.
"Aku...," Aku harus menjawab apa sekarang? Kini dia malah mengacak rambutnya terlihat begitu frustasi.
Alex mengambil gelasnya, lalu memasukkan cairan itu kedalam mulutnya. Semuanya kandas dalam satu tegukan. Aku mulai tak enak, dia membuatku khawatir, apalagi ketika Alex kembali mengisi gelasnya dan meminumnya lagi. 2 gelas, 3 gelas, 4 gelas dan 5 gelas.
"Cukup!" Aku menahan lengannya di gelas yang ke enam. "Apa kamu kehausan?" Tanyaku tidak habis pikir. "Kamu bisa mabuk!"
"Itulah gunanya alkohol nona." Jelasnya, ia tersenyum sambil melepas tanganku dari lengannya, memutar benda itu berirama. "Kamu mau menemaniku atau cuma duduk di sana melihatku menghabiskan semua isi botol ini?"
Mataku tertuju pada gelas satunya lagi, benda itu masih berada di tempatnya dengan wine di dalam. Haruskah? Aku tidak yakin. Melihat Alex bertingkah menyedihkan seperti ini membuatku iba. Tapi apakah aku harus mengghiburnya dengan cara ini? Aku bahkan tidak pernah menyentuh alkohol semenjak pertama kali mencoba cairan memabukkan itu. Tubuhku tidak sanggup menerimanya barang sepersen-pun.
Ting!
Tiba-tiba Alex membenturkan gelas kami, dia kembali menenggak isi gelasnya, seolah mengajak bersulang. Aku menarik nafas panjang. Ini menakutkan, entah apa yang akan terjadi jika malam ini aku nekat. Tapi, jika minuman ini bisa membuatku lupa pada Farhan, aku ingin mencobanya.
Aku mengambil gelas itu, menutup mata erat langsung memasukkannya kedalam mulut. Detik berikutnya kepalaku seperti di sengat listrik, sensasi ini tidak pernah kurasakan sebelumnya. Aku mengedipkan mata berkali-kali mencoba menetralisir rasa yang masih belum kumengerti.
"Lihat, bukankah menyenangkan?" Celetuknya bangga, "alkohol adalah obat patah hati paling manjur di dunia."
Aku tak lagi peduli perkataan menyebalkan Alex, kepalaku terasa beku dan pening. jujur saja aku tidak terlalu menyukai rasa dari minuman itu. Kadar alkoholnya lebih kuat dari yang pernah aku rasakan terakhir kali.
Alex kembali mengisi gelasku, membuat mataku mendelik menatap cairan merah itu memenuhi benda kaca yang masih kupegang erat. Aku tidak menyukai rasa minuman ini. Tapi entah mengapa, aku tergiur. Aku ingin sensasi itu, cairan ini seolah menggerogoti otakku, membuatku lupa pada sakit yang menyerangku sepanjang malam ini.
***Aku telah turun dari sofa, duduk di lantai beralaskan karpet berbulu lembut. Kupikir wajahku memerah padam sekarang. Saat ini, aku kehilangan semua tenaga dan kesadaran. Aku hanya bisa melipat kedua lengan di atas meja dan menjadikannya bantalan. Aku benar-benar mabuk berat, padahal hanya dua gelas yang masuk kedalam perutku. Berbeda dengan seseorang yang masih memperhatikanku sedari tadi. Lelaki itu masih sangat sadar atau mungkin setengah sadar? Yang pasti keadaannya lebih baik dariku. Mengingat jumlah minuman yang ia tenggak.
Sambil menatapnya yang duduk bersisian denganku, aku tidak lagi bisa terlalu yakin. Wajahnya tak lagi jelas. Pandanganku buram, aku benar-benar tidak tau, siapa lelaki yang duduk sambil menopang wajahnya dengan satu tangan itu kini.Sedangkan aku masih bertahan dengan gaun kotor dan tuxedo yang menutupi bahuku agar tidak kedinginan. Hingga kurasakan tangan besar itu menyentuh wajahku lembut."Kamu baik-baik saja?" Entah sudah keberapa kalinya kau mendengar kalimat itu hari ini, aku mulai muak.Aku memutuskan untuk menutup mata, dengan begini kupikir rasa pening yang menyerangku bisa sedikit menghilang. Dan benar saja, aku mulai mengantuk."Kamu tidur?" Suara itu kembali terdengar, tapi terasa lebih dalam.Ia mendekatkah? Pasalnya, aku juga bisa merasakan nafas seseorang yang menerpa wajahku.Dengan jelas aku mendapati benda kenyal menekan bibirku pelan.Aku membuka mata, jarak kami masih sangat dekat. Mata kelam dengan alis tebal itu berada tepat di depanku. Hanya berjarak beberapa centi. Mata kami beradu, saling mengikat tanpa suara.Ia menarik diri, memberi jarak. Sedangkan aku masih bertahan dalam posisi yang sama. Lelaki itu tampak heran, melihatku tidak memberi reaksi apa-apa."Apa yang...," Aku hendak protes, namun suaraku tertahan ketika melihat wajah dengan ekspresi yang tidak kumengerti itu.Ia kembali mengikis jarak, mencondongkan tubuhnya ke arahku. Ah, kupikir aku tau siapa dia sekarang. Aku menarik sudut bibirku tersenyum tipis serta kembali menutup mata memberi izin kepadanya.Detik berikutnya, bibir kami kembali bertemu, tidak hanya kecupan. Lelaki itu lebih berani sekarang, akupun tidak ingin menipu diri sendiri, aku juga menikmati setiap ciuman yang ia lontarkan.Beberapa saat kemudian, dia berhenti. Aku membuka mata menatap orang yang masih menempelkan keningnya denganku. Nafasnya terdengar cepat menderu tak beratur. Begitupun denganku, dengan tangannya yang sudah membingkai wajahku, ia kembali bertanya."Kamu tidak marah?"Aku tidak menjawab, aku memilih untuk bangun lalu memperbaiki dudukku, menatap bola mata itu dalam memiringkan wajah. Aku bingung, wajahnya berubah beberapa kali. Apakah ini benar-benar orang yang kukenal?Meski heran, lelaki itu juga melakukan hal yang sama. Ia menyambut tatapan dariku, seolah menunggu apapun yang akan kulakukan padanya.Aku menarik nafas panjang, lalu memantapkan keputusan. Aku merangkak kearahnya, lalu melingkarkan kedua tanganku pada lehernya, menduduki diri di atas pangkuannya, menghadapnya langsung. Aku memeluk tubuh itu erat. Aku juga bisa merasakan tangan besarnya memegang kedua sisi pinggangku hati-hati."Farhan...," Aku berucap. Jika ini kesempatan yang lelaki itu berikan, aku siap.Namun, detik berikutnya ia malah mendorong bahuku, sehingga pelukanku terlepas dengan terpaksa."Kamu mabuk?" Ia bertanya, "turunlah dari pangkuanku." Titah lelaki itu tiba-tiba, begitu yakin.Aku menggeleng cepat, aku tidak terima. Bukankah ia telah memberi izin dengan menciumku tadi?"Kamu bilang, aku hanya perlu menunggu sebentar lagi. Tapi kenapa kamu malah berakhir di altar?" Aku tidak ingin melepasnya, dan kehilangannya untuk kedua kali."Jika seperti ini terus, kamu akan menyesal." Ujarnya seolah memberi peringatan."Aku mungkin bisa menerima jika kamu membohongiku, tapi kenapa harus Risa? Kenapa kalian berdua harus menyakitiku secara bersamaan?"Aku kembali memeluknya, rasa sakit di dadaku kembali menyerang. Aku semakin merapatkan diri padanya, bahkan aku melingkarkan kedua kakiku di pinggangnya sekarang, aku tidak ingin ia pergi."Tidak bisakah...." Aku tercekat, tak mampu melanjutkan kata yang ingin kuutarakan. Aku tak lagi sanggup membendung air mataku.Kami bertahan dalam posisi itu cukup lama, menjadikan bahunya sebagai tempat bersandar aku menumpahkan segalanya di sana. Sementara ia sibuk menepuk punggungku berirama mencoba menghibur."Farhan...," aku kembali memanggilnya. Karena kami terdiam dalam waktu yang tidak singkat, aku mulai lelah."Aku bukan Farhan," sebelum mengucapkan kata itu, aku bisa mendengar helaan nafas lelah darinya. Ia kembali memegang bahuku, lalu mendorong tubuhku menjauh. "Kamu tidak tau aku siapa?" Tanya lelaki itu lagi, ia terlihat memastikan sesuatu.Aku menelisik wajah serius itu, "tidak tau." Aku menggeleng kecil, lelaki ini bukan orang yang kukenal. Aku menghapus air mata yang kini menjadi jejak di pipiku, lalu menyipit agar pandangan jelas, "ternyata bukan Farhan," aku berucap yakin. "Lalu kamu siapa?"TBC
"Lalu kamu siapa?" Aku menangkup kedua pipi lelaki itu, dengan mata bulatku yang berkedip berulang kali, mencoba mencari tau siapa orang ini. Aku bisa merasakan tubuhnya tersentak pelan, ia menelan air liurnya susah payah, terlihat terkejut atau mungkin terperangah? Tiba-tiba lelaki itu mencuri satu kecupan dariku kembali. Mataku membola terkejut, menutup mulutku dengan kedua tangan karena kaget dengan perlakuannya barusan. "Kenapa kamu menciumku?" "Kamu protes sekarang?" Tanyanya tidak percaya. Pasalnya ini adalah yang ketiga kalinya ia menjamah bibirku. "Aku pikir, kamu Farhan tadi," karena itulah aku menerima apapun yang dilakukannya."Jadi jika aku lelaki itu, kau akan menerima ciumanku?" Tanyanya heran. "Apa dia sering menciummu?"Aku segera menggeleng, "tidak, hanya sekali." Jawabku tersenyum miris. "Dulu saat kami masih kuliah, dia pernah menciumku di perpustakaan. Saat itu, aku tertidur karena bosan. Ketika membuka mata, aku mendapatinya sedang mengecup bibirku." Itu kenang
"Untuk tadi malam, aku minta maaf." Aku mencari kebohongan dari matanya, namun ia terlihat begitu tulus. Padahal aku hanya bisa melihat keangkuhan dengan wajah dingin dari paras tampannya tadi malam. Kali ini berbeda, dia merasa bersalah."Ini bukan salahmu," kupikir, sebaiknya segalanya harus diakhiri. Aku masih bisa melihat tatapan yang tidak bisa kumengerti itu. Mungkin dia hanya kasihan padaku. "Aku akan bertanggung jawab."Aku cukup kaget dengan kalimat itu, ia mengikat mataku. Tatapan lelaki itu tidak terbaca. Aku ragu dengan kalimat yang keluar dari mulutnya. Aku tidak mengerti maksud kalimat itu.Tanggungjawab macam apa yang lelaki itu maksud? Apa sesederhana ketika ia meminjamkan tuxedonya ketika mengotori bajuku? Aku bukanlah gaun yang bisa dibersihkan begitu saja. Aku manusia yang baru kehilangan hal paling berharga. "Tidak perlu," aku tidak ingin menaruh harapan. "Kita sama-sama salah, tidak ada yang perlu bertanggungjawab di sini." Itulah kenyataannya, aku juga ikut and
Aku melangkah sempoyongan, keluar dari gedung apartemen yang menjulang tinggi. Dengan heels yang sedari tadi malam membuat pergelangan kakiku sakit, serta gaun kotor yang kini kusembunyikan di balik tuxedo dari lelaki bernama Alex, berjalan terburu mencari taxi di pinggir jalan. Begitu sebuah mobil berhenti di depanku, tanpa pikir panjang, aku segera masuk ke sana."Mau diantar kemana mbak?" Tanya supir di kursi kemudi depan."Menteng pak, kost dukuh atas." Jawabku langsung.Detik berikutnya, mobil berwarna abu-abu terang itu melaju, membawaku jauh dari apartemen elit yang terletak di Jakarta Selatan. Melewati jalan lingkar, aku menghabiskan sekitar 15 menit menuju Jakarta pusat tempat tinggalku. Apa yang telah terjadi, akupun tak mengerti. Segalanya benar-benar tiba-tiba. Perkataan lelaki itu terakhir kali membuat kepalaku kembali pening. Suaranya seolah mengalun tanpa henti di telingaku, ia seperti menanamkan spiker kecil dalam otakku."Aku tertarik padamu."Aku mengacak rambut fr
Risa mengirimi kami pesan, melalui grub yang kami buat saat masih kuliah. gadis itu benar-benar luar biasa, ia bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Maksudku, aku tidak lagi peduli dengan istana yang berhasil ia bangun, tapi kembali berteman seperti dulu akan sangat sulit untukku. Bagaimanapun, aku benar-benar hancur."Ketemuan yuk, aku pengen makan cake di kafe depan fakultas kita dulu. Pasti enak banget." Eva membaca pesan itu dengan nada penuh ejekan, dia terlihat sangat tidak suka."Berhentilah," aku mengambil ponsel gadis itu, lalu meletakkan di atas meja tempat kami duduk sekarang. Sebuah kafe di depan gedung televisi tempat gadis itu bekerja. Di jam makan siang, setelah selesai mengambil gaun dan tuxedo lelaki yang menyandera ponselku, aku memutuskan untuk mengunjungi Eva, sekalian mencari makan. Nyatanya, dari kantorku menuju tempat kerjanya hanya menghabiskan waktu 10 menit. Lalu kenyataan yang baru ku sadari dipagi hari kemarin, ketika meninggalkan apartemen Alex.
"Berapa banyak wanita yang sudah kamu tiduri?" Ia tidak langsung menjawab, hanya menatap terlihat tidak senang."Kenapa kamu ingin tau?" "Entahlah, aku hanya merasa kamu suka mempermainkan wanita," ujarku tenang. "Maaf saja, aku tidak mau jadi salah satu koleksimu.""Apa?" Lelaki itu mengerutkan kening sesaat, sebelum tawanya lepas menggema di seluruh ruangan."koleksi? Yang benar saja.""Lalu apa maumu?" Sungguh! Aku benar-benar lelah."Sudah kubilang, aku tertarik. Apakah salah jika aku tertarik padamu?" "Apa yang membuatmu tertarik padaku?" Tolong beri aku satu saja alasan yang masuk akal!"Maaf, aku juga belum menemukan jawabannya." Semua kalimat yang keluar dari mulutnya hanyalah omong kosong!"Baiklah, aku muak berurusan denganmu!" Aku bangun dari sofa, ini melelahkan. "Simpan saja benda itu untukmu!" Aku hendak melangkah, tapi suaranya kembali menahanku."Kamu yakin tidak membutuhkannya lagi?" Aku berbalik, lelaki itu kini duduk bersedekap dada melihat kearahku menantang. "Ak
Aku pengecut! Setelah melihat Risa di rumah alex kemarin, aku memilih untuk melarikan diri. Entah apa yang gadis itu pikirkan, aku tak lagi peduli. Aku yang tetap pada pendirian, mengatakan bahwa kami tidak saling kenal, sementara Alex hanya diam tidak berniat untuk menjelaskan. Dan sekarang aku sibuk menyuruh kepalaku untuk diam, karena berulang kali memikirkan mereka. Hebat! Beban otakku bertambah sekarang.Dering ponselku berbunyi, aku segara mengambil benda tersebut, yang terletak di atas meja kerja. Ternyata Eva. "Ada apa?" "Mau liburan gak?" Tanya gadis itu langsung."Kemana?""Bali, untuk dua hari dua malam. Biaya transportasi dan makan aku yang tanggung."Tawaran yang sangat menggiurkan ini! "Kamu menang lotre?" "Enggak lah, lusa aku kan ada syuting variety show episode terakhir. Mungkin rampung dalam tiga hari, tapi reservasi hotelnya sampai hari Minggu." Jelasnya, "kamu mau ikut?""Aku dapat gratisan dari uang kantor atau dari kantong kamu sendiri?" Eva tidak mungkin koru
Sepertinya hari-hari ku di kantor akan sangat mengerikan! Keberadaan lelaki itu akan menghancurkan segalanya."Kebahagiaan? Ck, bermimpi lah Hanna!" Aku mengacak rambutku sendiri. Menyedihkan!"Na, kamu baik-baik aja kan?" Bak Gia yang duduk di sampingku mungkin merasa terganggu."Ah, maaf bak, aku cuma lagi banyak pikiran aja." Jelasku seraya tersenyum bodoh. "Baiklah," ia mengangguk mengerti, lalu kembali ke komputernya."Kita meeting sekarang," suara itu. Alex keluar dari ruangannya, menyuruh kami ke ruang rapat secara dadakan. Setelah mengatakan hal itu, ia langsung berjalan menuju ruang meeting tanpa memikirkan kami yang saling bertanya. ***"Saya dengar kalian sedang bekerja sama dengan brand parfume?" Tanyanya langsung, membuka pembahasan."Iya pak, kami sudah mengatur segalanya. Saat ini kita hanya perlu menunggu kabar dari pihak sana, tentang penerimaan ide projek ini." Jelas bak Gia."Begitukah?" Alex mengangguk beberapa kali mengerti. "Bolehkah saya lihat bagaimana peker
"Tante datang sendiri?" Tanyaku melihatnya tak ada yang menemani."Iya, emangnya mau ngajak siapa lagi. sekarang Farhan udah sama istrinya."Aku mengambil segelas minuman untuknya, lalu duduk di samping Tante Dewi di atas kasur. Saat ini, kami berada di kamarku."Ini udah tengah malam loh, Farhan tau Tante ke sini?" Jujur, aku cukup khawatir. Bagaimanapun, Tante Dewi sudah aku anggap seperti ibu kandung sendiri."Sebenarnya hari ini Tante mau kerumah Farhan. Tapi Tante gak berani datang sendiri," jelasnya."Loh, kenapa begitu?" Farhan kan anaknya, kenapa dia takut menemui putranya sendiri?"Kamu kan tau, Tante tidak terlalu kenal Risa. Takutnya nanti malah mengganggunya." Ia menatap gelas yang masih di tangannya, "mereka menikah tiba-tiba, Tante bahkan tidak punya kesempatan untuk mengenal Risa. Tante mau minta mereka tinggal di rumah Tante, juga tidak enak. Takutnya Risa tidak nyaman.""Jadi sebenarnya hari ini Tante mau ke rumah mereka?" Ia menga
Hariku berjalan begitu saja, bekerja dan menggerutu karena banyaknya tugas yang harus kuselesaikan. Ditambah, kini Alex mulai bertingkah, hingga membuatku ketakutan jika sampai ketahuan. Apa yang akan karyawan lain pikirkan tentang kami? Lelaki itu kerap kali menghampiri meja kerjaku hanya untuk alasan sepele. Contohnya seperti saat ini, pinjamkan aku pulpen!Aku hampir melemparnya dengan mouse komputer, jika saja dia bukan atasanku. Ini menyebalkan, lihat saja tatapan orang-orang di sekitar. Jauh-jauh keluar dari ruangannya, lelaki itu datang sambil menadah sepotong pena dariku. Maaf pak, di dalam ruang bapak saya rasa ada pena. Geramku menggertakkan gigi.Tak ada yang berfungsi dengan baik, ujarnya enteng. Aku hanya ingin meminjamnya sebentar, nanti akan kukembalikan.Akupun menurutinya permintaanya, mengambil pulpen dalam laci, lalu kuserahkan pada lelaki itu. Ini pak.Terimakasih, dia langsung melenggang berjalan meninggalkanku begitu saja. Sedangkan karyawan lain, mereka masih
Lift terbuka, aku siap-siap keluar mengabaikan kekhawatiran Alex. Aku tidak ingin bertengkar meributkan tentang hati. Meski besar keinginanku untuk memastikan, aku rasa bukan saat ini. Bukan waktu yang tepat. Berjalan terburu, menunduk dalam memperhatikan langkah kakiku yang terlalu cepat, aku ingin segera pulang. "Hanna," lagi-lagi Alex mencekal lenganku. Ia menahanku untuk lebih jauh pergi darinya. "Apa yang kamu pikirkan?" Ia sadar, kegusaran memenuhi wajahku. "Tidak ada," aku berpaling, menenggelamkan perasaanku sendiri. Dia begitu peka dengan perubahan sikapku. Seharusnya, dia juga harus mengerti, kalau kini, aku telah jatuh padanya. Aku tak ingin hatiku kembali hancur karena sebuah harapan tanpa tuan. Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang. Kenapa begitu mudahnya? Kenapa selalu hanya aku? Setidaknya, jika memang dia orangnya, buat lelaki itu jatuh begitu dalam padaku juga. Sayang, aku bisa berharap apa? Seorang Hanna, gadis dengan banyaknya kisah menyedihkan. Parasku j
Alex memesankan kami sarapan. Secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak tau, sejak kapan semua hidangan tersebut tertata rapi di atas meja. Ia menyuruhku untuk duduk dekatnya, memaksa agar menghabiskan semua sayuran, daging serta buah-buahan yang telah ia potong kecil-kecil. Aku tidak tau mengapa, semua orang jadi lebih overprotektif padaku sejak bayi ini ada. Meski nyatanya, aku cukup menyukai hal tersebut. Perhatian yang sebenarnya terasa berlebihan itu, aku cukup menikmatinya.Suara dering ponsel Alex membuat aktivitas menyuap kami terhenti sesaat, lelaki itu segera mengambil benda persegi itu dari atas meja, mengangkat panggilan dari seseorang. "Halo?" Ia menyapa. Aku melihat keningnya berkerut, sambil terus mengunyah apel aku memperhatikan gerak gerik lelaki itu. Hingga dia menyodorkan ponsel berwarna hitam itu kearahku. "Apa?" Tanyaku tak mengerti. "Eva," pungkas lelaki itu ringan. Hak itu berhasil membuatku membelalakkan mata spontan. Aku segera meletakkan garpu yang digunakan
"Hanna," ia menyebut namaku dengan hati-hati. Aku hanya bisa menunggu, apa yang akan ia lontarkan selanjutnya. "Bolehkah aku menciummu?"Awalnya, aku sedikit terkejut, membola seketika. Bingung, berpikir keras. Seharusnya, aku tak perlu menimang bukan? Seharusnya aku hanya perlu mendorongnya menjauh, bangun dari sana, lalu mengatainya seperti biasa. Benar, seharusnya begitu. Tapi kenapa sekarang aku malah mengangguk dengan ragu? Tak mampu berpaling dari matanya yang mengikatku kuat. Aku, juga menginginkannya. Sebuah ciuman, sebuah pelukan dan perlakuan manis dari seseorang yang menyayangiku. Aku juga ingin merasakan kebahagiaan dan cinta yang selama ini ku impikan. Aku sangat menginginkannya. Perlahan namun pasti, ia mendekat. Pelukannya pada pinggangku semakin erat. Kelopak matanya, naik turun menyoroti bibir dan netraku bergantian. Aku merasakan, nafas Alex yang semakin berat. Bukan hanya dia, aku juga menunggu bibir kami bertemu. Namun, "kenapa kamu ingin menciumku." Aku mena
"Kamu punya wine?" "Apa?" Alex menaikkan alis heran, ia menarik diri duduk tegak. Meski tidak berpindah sedikitpun dari tempat semula. "Untuk apa?" "Entahlah, mungkin aku akan melupakan semua. Meski hanya untuk sesaat." Meski banyak masalah yang datang setelah 2 gelas wine malam itu. Aku rasa, cairan itu ampuh membekukan otakku. "Hanna," ia mengulurkan tangan, menyentuh pipiku dengan punggung jemarinya. Mengusap pelan nan lembut. "Apa terjadi sesuatu?" Mataku bergetar, terpesona oleh pupil hitam pekat miliknya. Perlakuannya, cara dia bicara. Ia tau cara membuat orang merasa spesial. Tapi, bolehkah aku seperti ini? Bukankah, aku sudah menolaknya dengan kasar, bahkan memberi Risa harapan, bahwa aku tidak akan mengambil lelaki itu darinya? "Alex," aku memegang tangannya, hendak menurunkan dari wajahku. Namun, ia menahan. Kini, lelaki itu membingkainya dengan kedua telapak tangan, menelusup kebelakang kepalaku. Kedua ibu jarinya, menyapu pipiku perlahan. "Jika terjadi sesuatu, kat
Aku memutuskan untuk masuk melewati gerbang. Melawan diriku sendiri yang sedari tadi menyuruh berbalik. Hati dan otakku seakan bertarung tanpa henti. Dan aku, tetap melangkah mengikuti suara lain yang terus berbisik. Kurasa, aku sudah gila. Aku seakan tau, tempat mana yang ingin kutuju. Aku berjalan lurus tanpa merasa terganggu dengan apapun. Seolah, semuanya sudah pasti. Segalanya sudah terencana sedari awal. Aku tidak tau kenapa bisa begini? Aku menginginkannya? Atau mungkin, anak ini? Yang pasti, kini aku berdiri di depan sebuah pintu. Milik seseorang yang terus-menerus membayangiku selama beberapa hari. Aku ingin melihat wajahnya."Apa yang kamu lakukan, Hanna?" Tanyaku pada diri sendiri, memandangi tempat kayu dengan kenop perak di depanku.Hanya saja, segalanya terasa tidak masuk akal. Aku benar-benar ke tempat ini. Tanpa alasan yang jelas. Aku hendak menekan bel, namun ku urungkan ketika sadar akan satu hal. Mungkin, dia belum kembali dari perjalanan bisnis. Aku tidak meli
Aku tidak terlalu memikirkan gaun apa yang harus kupakai untuk pergi bersama Farhan. Bagiku, itu hanya makan malam biasa, apalagi Eva bersama kami. Gadis itu akan menjemputku, ia tidak membiarkan Farhan mendekat. Dia tau, apa yang harus dilakukan. Dan sekarang, kami berada di dalam mobil merah Eva, menuju sebuah restoran yang lelaki itu pesankan. Aku akan menjagamu, dengan tangan yang masih memegang kemudi, gadis itu terdengar siap berperang.Aku menggeleng pelan, tersenyum mendengar tuturan tidak masuk akal itu. Kita hanya makan malam, Va. Bukan mau melawan Monster."Tapi mirip," tekan gadis itu menaikkan alis, melirikku sekilas, seolah memberi pembenaran. "Terserah kamu saja," balasku hanya bisa pasrah. Mobil Eva melaju membelah jalan malam yang nampak masih cukup ramai. Sekitar 20 menit, ia mengendarai. Hingga kami sampai di sebuah restoran bintang lima yang terlihat sangat mewah. Bukan hanya aku, yang sebenarnya benar-benar tidak terbiasa menginjakkan kaki di tempat seperti i
Aku menatap diri di kaca, melihat pantulan tubuhku yang kini sedikit berisi. Jika ini aku beberapa bulan yang lalu, aku akan langsung memilih untuk mencari menu diet di internet. Tapi sekarang, aku rasa bukan makanan yang membuat berat badanku bertambah. Aku mengusap perutku pelan, menghela nafas ringan. "Sepertinya kamu tumbuh sehat."Entah mengapa ada rasa lega yang datang menyentuh hatiku. Aku senang, anak ini tidak mengalami masalah. Meski, masih ada keinginan untuk tidak mengakuinya. Tapi, sampai kapan aku bisa menyembunyikannya pada dunia? Pada akhirnya, aku harus mengakui keberadaannya. Selesai berdandan, memakai jas berwarna biru muda dan rok beberapa centi di bawah lutut yang senada. Aku keluar dari kos menuju kantor. Meski sedikit risau karena akan bertemu dengan Alex. Aku berusaha untuk bersikap biasa. Bukankah Hanna adalah seorang karyawan kantoran yang profesional? Sampai di kantor, aku segera menuju meja kerjaku. Melakukan apapun yang sudah semestinya kukerjakan. Dari
"kamu egois Hanna." Aku menaikkan alis mendengar tuduhan tidak mendasar itu. "Aku egois?" Benar-benar tidak masuk akal. "Iya," dia mendekat kearahku mengikis jarak. "Kamu mengambil semuanya dariku!" Gadis itu membentak dengan kemarahan tak terbendung. Rahangnya mengeras menusukku dengan tatapan. "Apa yang kuambil?" Aku bertanya tidak habis pikir. Ia bertingkah bak korban sekarang. "Semuanya! Semua yang aku inginkan, segala yang awalnya milikku!" Dadanya naik turun menahan kekesalan, melempar kata demi kata dengan teriakan. "Kamu telah merebut segalanya!"Aku mengerutkan kening, miris mendengar kalimatnya. "Aku merebut darimu?" Bahkan kata-kata itu terdengar konyol. "Risa," dia bahkan tidak tau apa yang kulewati karena malam itu. "Berhentilah bertingkah di depanku. Aku tidak pernah menyalahkan siapapun atas apa yang terjadi padaku. Aku merasa semuanya adalah masalahku dan akan menyelesaikannya sendiri." "Apa?" Ia masih berlagak tak tau. "Aku rasa kamu mengerti, karena kamu bukan