"Tante datang sendiri?" Tanyaku melihatnya tak ada yang menemani."Iya, emangnya mau ngajak siapa lagi. sekarang Farhan udah sama istrinya."Aku mengambil segelas minuman untuknya, lalu duduk di samping Tante Dewi di atas kasur. Saat ini, kami berada di kamarku."Ini udah tengah malam loh, Farhan tau Tante ke sini?" Jujur, aku cukup khawatir. Bagaimanapun, Tante Dewi sudah aku anggap seperti ibu kandung sendiri."Sebenarnya hari ini Tante mau kerumah Farhan. Tapi Tante gak berani datang sendiri," jelasnya."Loh, kenapa begitu?" Farhan kan anaknya, kenapa dia takut menemui putranya sendiri?"Kamu kan tau, Tante tidak terlalu kenal Risa. Takutnya nanti malah mengganggunya." Ia menatap gelas yang masih di tangannya, "mereka menikah tiba-tiba, Tante bahkan tidak punya kesempatan untuk mengenal Risa. Tante mau minta mereka tinggal di rumah Tante, juga tidak enak. Takutnya Risa tidak nyaman.""Jadi sebenarnya hari ini Tante mau ke rumah mereka?" Ia menga
Aku mengerti sekarang, kenapa Tante Dewi merasa tak nyaman. Mungkin dia pikir, tidak lagi sanggup menggapai tempat anaknya berpijak. Segalanya telah berubah. Tante Dewi wanita yang sangat sederhana, ia ibu sekaligus orang tua satu-satunya yang di miliki Farhan. Melihat anaknya tumbuh sejauh ini pasti membuatnya bangga. Namun, ada beberapa hal yang mungkin tidak bisa dia bayangkan. Kini Farhan sudah terbang terlalu tinggi, hingga tak lagi punya keinginan untuk melihat kebawah. Sedangkan ibunya, masih memilih berdiri di tempatnya, melihat lelaki itu perlahan menghilang dari pandangan."Duduklah dulu, biar aku buatkan minuman." Ujar Risa mempersilahkan.Rumah megah dengan interior mewah. Lukisan, pajangan klasik serta berbagai barang yang bahkan tidak berani ku sentuh. Aku dan Tante Dewi memilih untuk langsung duduk bersisian di sofa berwarna coklat tua di tengah ruangan. Kami tidak punya keberanian hanya untuk melihat-lihat, takut barang-barang itu tidak sengaja tersenggol.Aku tidak
"Sepertinya, aku benar-benar harus pulang," Pamitku lagi.Aku tidak cukup gila, untuk tetap memilih tinggal, ketika lelaki itu muncul entah darimana. Semua akan menjadi rumit, jika Alex membuka mulut tentang hubungan kami. Aku takut, mereka tau hal gila yang terjadi padaku. Aku segera mengambil tas selempangku yang tergeletak di atas sofa, melampirkan pada bahuku lalu berjalan melewati mereka. Namun, langkahku terhenti. Tangan seseorang menahan kepergianku. Lelaki itu, memegang pergelanganku. Padahal, lengannya masih digandeng oleh Risa."Tidak bisakah kau tinggal lebih lama?" Tanyanya. Seketika suasana menjadi tegang. Risa kehilangan lengkungan di wajahnya, kini dia menatap tangan lelaki itu yang menahanku. Lalu Farhan yang juga ikut-ikutan melirik kami bergantian. Aku menggigit bibir bawahku khawatir. Apa yang harus kulakukan? Kenapa lelaki ini begitu nekat? Jika begini, semua orang pasti akan berpikir yang tidak-tidak. Apalagi kemarin, Risa memergokiku yang keluar dari apartem
"Kamu tinggal di mana?" Tanya lelaki itu, tanpa melepas mata dari jalanan. Menteng, Jakarta Pusat. Jawabku memberi tau. Ya, di sinilah aku berakhir. Duduk di bangku samping kemudi sambil melirik Alex yang begitu fokus dengan setir mobilnya. "Ada yang ingin kamu katakan?" Tanya lelaki itu. Sepertinya dia sadar, aku terus-terusan mencuri perhatiannya. "Ah, itu...." Daripada mengatakan sesuatu, aku ingin meminta bantuannya. "Bisakah kita simpan untuk diri kita saja?" Saya harap dia mengerti. "Tentang apa? Hubungan kalian bertiga...," Ia mengalihkan pandangan ke arahku. "Atau tentang kita berdua?" "Semuanya," jawabku segera."Aku sih, tidak keberatan." Ia kembali menatap lurus ke jalan, "tapi, memangnya kamu mau menyembunyikan dari siapa? Risa dan Farhan? Atau orang kantoran?" "Seperti sebelumnya, aku harap kita hanya perlu melupakan apa yang terjadi." Saya takut, untuk kasus malam ini, saya tidak ingin dia salah paham. Tanpa sengaja aku terbawa dan menceritakan sedikit kisahku.
Celana kain panjang, kemeja putih dengan kerah berlipit serta pita. Lalu, Jas biru muda senada dengan bawahan. Aku menatap diri di cermin. Rambut hitam ikal-ku kugerai begitu saja, ditambah polesan makeup tipis yang kini membuat tampilan sempurna."Semuanya akan baik-baik saja, Hanna." Aku kembali mengucapkan mantra itu, entah sudah keberapa kalinya pagi ini. "Abaikan saja dia, anggap saja dia tidak ada."Aku menarik nafas panjang, lalu membuangnya perlahan, berharap hari ini berjalan lancar. Selesai dengan segala hal, aku segara keluar dari kos-kosan, berjalan menuju kantor.Pagi ini, aku terbangun dengan gundah. Mengingat pertikaian dengan Alex tadi malam. Aku khawatir, semoga saja lelaki itu tidak menyimpan dendam, lalu membalas perbuatanku perlahan, hingga terpaksa harus meninggalkan perusahaan.Di tidak segila itu kan?"Hanna!" Dari kejauhan, bak Gia memanggilku. Wanita itu baru turun dari MRT. Aku tersenyum serta melambai penuh semangat menyambutnya. "Siap lembur hari ini?" Ta
Aku baru sampai, dan langsung mendapati buket bunga di atas meja kerjaku. Entah siapa yang meletakkannya. "Ini punya siapa ya?" Aku mencoba bertanya pada rekanku, takut-takut jika bunga itu punya pemilik yang tidak sengaja meninggalkannya.Namun, tak ada yang mengaku. Mereka hanya menggeleng, menaikkan bahu seolah memberitahu, bukan mereka pelakunya. Aku menarik nafas lelah, lalu mengambil benda dengan pita berwarna coklat itu. Ada sepotong kartu ucapan di sana. "Semoga kamu suka," bacaku kecil. Aku membalik kertas kecil itu, mencari nama. Dan seseorang tertulis di sana. "Alex?" Pria ini gila, bagaimana bisa dengan beraninya dia melakukan hal ini? Bagaimana jika semua orang tau? Ada apa dengan otaknya?Aku segera mengambil kertas kecil berwarna putih itu, lalu memasukkannya kedalam saku jas. Untung saja, tak ada yang menyentuh buket ini. Jika tidak, semua orang akan berpikir yang tidak-tidak tentang kami! Terlalu lelah dengan kelakuan atasan baru itu, akhirnya aku memilih untuk ti
Dalam beberapa titik, aku memikirkan kemungkinan untuk membiarkan perasaan itu masuk. Alex, aku lemah pada tatapannya. Ada yang beda di sana, ia terlihat membutuhkan seseorang. Aku pikir, jika memang kami di takdirkan seperti yang dia bilang, mungkin segalanya akan lebih mudah.Bersama keinginan itu, ada keraguan besar di hatiku. Aku merasa dia bukan orangnya. Pengganti lelaki yang telah kucintai seumur hidup. Jika aku harus menemukan seseorang yang akan lebih kucintai nantinya, Alex bukanlah orang yang tepat. Lelaki itu menyimpan banyak hal, ia tidak bisa ditebak. Aku bahkan belum menemukan alasan, mengapa dia terus mengusikku dan membuat hatiku bimbang. "Kita sudah sampai," suara lelaki itu membuyarkan angan yang berlalu lalang di dalam kepalaku. "Terimakasih," aku berujar tenang, lalu melepas seatbelt bersiap turun dari mobil. Entah bagaimana, aku berakhir diantar pulang olehnya. Setelah bertatap lama dalam ruangan kosong, suasana canggung menghantui kami. Aku tidak tau harus ap
Pagi ini, aku terbangun dengan senyuman yang merekah. Aku cukup menanti kebahagiaan yang akan datang. Bersama koper dan ransel yang telah ku siapkan, aku melangkah keluar dari kamar. Taksi yang sudah kupesan pun melaju menuju bandara. Segalanya benar-benar berjalan lancar. Sepertinya aku mulai lepas dari kesialan yang selama ini sudah bersatu dengan tubuhku. Aku sudah mengabari keberangkatanku pada Eva. Yang kulakukan sekarang adalah menutup mata duduk manis di bangku pesawat, membiarkan waktu berlalu. Dan yah, waktu berlalu secepat itu. Kini aku menginjakkan kaki di bandara Bali. Memasang mode pemindai, mencari Eva yang katanya akan menjemputku."Hanna!" Aku langsung mencari asal suara itu, aku tau itu Eva. Begitu menemukan keberadaannya, aku langsung melambai, berlari kecil kepadanya. Kami berpelukan. Jika ada yang melihat, pasti mereka akan berpikir kami dua teman atau saudara yang lama tak bertemu. Padahal baru beberapa hari. "Bagaimana perjalananmu?" Ia bertanya.Aku merangku