Pagi ini, aku terbangun dengan senyuman yang merekah. Aku cukup menanti kebahagiaan yang akan datang. Bersama koper dan ransel yang telah ku siapkan, aku melangkah keluar dari kamar. Taksi yang sudah kupesan pun melaju menuju bandara. Segalanya benar-benar berjalan lancar. Sepertinya aku mulai lepas dari kesialan yang selama ini sudah bersatu dengan tubuhku. Aku sudah mengabari keberangkatanku pada Eva. Yang kulakukan sekarang adalah menutup mata duduk manis di bangku pesawat, membiarkan waktu berlalu. Dan yah, waktu berlalu secepat itu. Kini aku menginjakkan kaki di bandara Bali. Memasang mode pemindai, mencari Eva yang katanya akan menjemputku."Hanna!" Aku langsung mencari asal suara itu, aku tau itu Eva. Begitu menemukan keberadaannya, aku langsung melambai, berlari kecil kepadanya. Kami berpelukan. Jika ada yang melihat, pasti mereka akan berpikir kami dua teman atau saudara yang lama tak bertemu. Padahal baru beberapa hari. "Bagaimana perjalananmu?" Ia bertanya.Aku merangku
Aku sempat tertidur beberapa jam, ketika membuka mata, ternyata sudah sore. Kukira, Eva sudah selesai syuting, ternyata tidak. Gadis itu benar-benar sibuk, dia bahkan tidak punya waktu untuk menyadari keberadaanku. Ia berteriak, marah-marah bahkan hampir membalik meja karena kesalahan para kru. Siapa sangka, semua sifat iblis gadis itu keluar di sini. Aku bahkan kerap kali mendengar karyawan yang bekerja di bawahnya berbisik tentangnya. Dan sebagian besar tentang kelakuan buruk gadis itu. Aku menghela nafas berat, Eva terlalu sempurna dan inilah kekurangannya. Emosinya sangat buruk, dia bahkan tidak bisa menahan kata kasar barang sedikitpun. Apalagi dengan kekacauan yang tidak mampu dia perbaiki. "Apa dia selalu begini?" Willie berdiri di sampingku, sambil melihat Eva yang sedang melepas emosi kearah seorang karyawan muda. Lelaki itu terlihat takut. Dia mengambil tempat duduk di sampingku.Tidak jauh dari pesisir pantai, aku yang tadinya duduk sendirian melihat pekerjaan Eva dari
Aku langsung bangun dari tempatku, duduk di samping Willie. Kami bersiap-siap menerima panggilan dari balik sana. Aku harap rencana ini berhasil, aku tidak tahan lagi dengan keberadaan Alex. Semoga dia benar-benar menyerah.Aku segera menekan tombol jawab. Detik berikutnya, wajah polos Alex dengan background tempat tidur terlihat."Kamu sedang apa?" Lelaki itu langsung bertanya.Padahal baru tadi sore dia menghubungiku. Mau berapa kali dia mengganggu liburanku dalam satu hari?"Aku? Sedang diluar, makan jagung bakar." Ujarku tersenyum lebar. "Kamu terlihat senang, apa terjadi sesuatu?" Mungkin dia penasaran, kenapa kali ini aku mengangkat panggilannya dengan wajah girang. "Iya, aku sedang bahagia banget." Aku membuat nada seolah menjadi manusia paling bahagia di dunia, kuharap Alex tidak sadar dengan kebohongan ini. Lelaki itu memperbaiki duduknya, bersandar pada kepala ranjang. "Ceritakan padaku!" Dengan tegas dia menyuruh, seolah punya hak mendengar kisahku."Kamu yakin ingin mend
Awalnya aku tidak mau ambil pusing. Meski penasaran setengah mati, aku mencoba menahan sekuat tenaga. Tapi sayangnya, aku terlalu lemah jika menyangkut Eva. Aku tidak sanggup untuk menunggu gadis itu menceritakan sendiri. Meski ragu, aku akhirnya bangun dari tempat, mengikuti mereka. Aku masih bisa melihat Willie dan gadis itu yang pergi ke halaman belakang hotel, sedangkan Eva tak lagi tertangkap mata. Mungkin dia sudah sampai ditempat tujuan. Tunggu dulu. Aku langsung berhenti, menutup mulut dengan kedua tangan. Aku harus sadar, apa aku sedang mengikuti pasangan baru? Tak ada Eva di sini, hanya mereka berdua. Aku bukan wartawan, yang suka mencari skandal. Haruskah aku pergi saja? Rasanya ini tidak benar. Sepertinya aku terlalu curiga pada Eva. Aku berniat berbalik untuk menjauh sepertinya ini ada pilihan yang benar. Namun, tiba-tiba Alisha berbelok. Gadis itu tidak lagi mengikuti Willie, ia bertemu dengan orang lain. Orang itu, adalah karyawan baru yang di marahi Eva kemarin. Aku
Semenjak lelaki itu datang, wajahku berubah masam sepenuhnya. Aku bahkan tak lagi ikut tertawa ketika Willie melempar lolucon garingnya. Aku sudah duluan kesal setengah mati karena kelakuan dua orang yang mengaku sahabatan itu. Parahnya lagi, kini mereka bergabung di meja kami, Willie membawa Alex dengan alasan untuk diperkenalkan.Liburanku hancur sepenuhnya. Meski diterpa hal menyebalkan, nyatanya mataku tak berhenti melirik Eva. Gadis itu kerap kali mengalihkan pandangan ketika matanya dan lelaki itu tidak sengaja bertemu. Aku jadi geli sendiri. Setelah tau hubungan Meraka, kelakuan keduanya terlalu kentara. Memang sudah sepatutnya aku curiga sedari kemarin. Tapi aku masih belum tau, sejak kapan mereka memadu kasih. Aku harus mengintrogasi Eva setelah ini. Persetan dengan Alex yang entah punya pikiran darimana sampai menyusul ke sini. "Sedang memikirkan apa?" Jantungku hampir pergi dari tempatnya, ketika aku sadar kini Alex sedang menopang dagu sambil menatap intens kearahku. Se
Aku tidak tau, kebetulan macam apa yang membuat Risa datang. Di tempat yang sama, mereka bilang telah menyewa kamar untuk honey moon. Begitu menyedihkannya diriku, diberi kesempatan agar bisa melihat momen bahagia pasangan itu, saat-saat dimana keduanya berencana memiliki bayi. Aku harus ikut senang kah? Sebentar lagi aku akan dipanggil bibi. Seharusnya, aku memang tidak datang. Sepatutnya, aku tidak meminta izin untuk liburan. Jika saja tidak kulakukan, Eva akan punya waktu lebih banyak dengan Willie. Aku juga tidak perlu melihat wajah Alex, serta tidak harus merasa sedih di atas kebahagiaan orang lain. Bahkan untuk sekarang pun, hatiku tidak bisa menerima kehadiran Risa. Meraka memaksa untuk masuk kedalam kelompok kami dengan alasan agar lebih seru. Tidak sadarkah dia dengan tatapan Eva serta wajah tak enak yang kutampilkan? "Aku tidak menyangka, kak Alex juga di sini." Risa berucap girang, sambil merangkul tangan Alex, lalu bersandar pada bahunya.Dia cukup aneh, Risa yang dulu
Aku berjalan keluar dari kamar mandi, langsung menuju meja tempat kami menghabiskan waktu tadi. Dari jauh aku melihat Alex dan Willie yang tengah berbincang. Aku menghela nafas panjang, seharusnya aku menunggu Eva saja tadi. Tak punya pilihan lain, aku segera melangkah mendekati mereka. Sampai di sana, aku langsung duduk di bangku tempatku sebelumnya. Begitu menyadari keberadaanku, kedua lelaki itu langsung menutup mulut, bungkam seketika. Sepertinya mereka tidak mau pembicaraan mereka sampai ke telingaku. Aku hanya bisa memutar mata, lalu mengalihkan pandangan ke sembarang arah, bertingkah seolah tidak peduli. "Eva mana?" Willie bersuara. Mungkin, dia tidak bisa mengabaikan keheningan yang menyerang kami. "Masih di kamar mandi, sebentar lagi pasti kembali." Jawabku sekenanya. "Apa terjadi sesuatu?" Alex pun terlihat tidak tenang d Aku menjawab pertanyaan meraka, tanpa sedikitpun melirik kedua orang itu. Semua orang pasti akan sadar, kalau sikapku kekanak-kanakan, dengan sengaeng
Kami berakhir di rumah sakit. Dekat pasar tempat berbelanja, Alex di larikan secepatnya, dibantu oleh orang-orang yang mengerumuni barusan. Kejadiannya terlalu cepat, aku bahkan sempat terdiam, panik dan takut menyerangku seketika.Sekarang semuanya sudah lebih kondusif, Alex kini diinfus di ruang UGD. Aku dan Eva tengah mencari makan malam, yang sempat tertunda. Sedangkan Wille kami tinggal bersama sahabatnya itu. Setelah mendapat apa yang kami inginkan, aku dan Eva langsung kembali, tidak mau membuat kedua lelaki itu menunggu. Meski sebenarnya keadaan Alex tidak terlalu mengkhawatirkan, aku tetap cemas.Kata dokter, dia hanya kelelahan. Setelah infus yang diberikan kepadanya habis, Alex bisa langsung pulang. Aku baru tau, ternyata Alex tengah sibuk dengan pekerjaanya. Entah apa yang dia pikirkan, lelaki itu menyusul ke Bali tanpa aku tau alasan sebenarnya. Meski ia bilang tidak bisa menungguku lebih lama, rasanya masih tidak masuk akal.“Na, kayaknya aku harus nyari kamar mandi dulu