Aku berjalan keluar dari kamar mandi, langsung menuju meja tempat kami menghabiskan waktu tadi. Dari jauh aku melihat Alex dan Willie yang tengah berbincang. Aku menghela nafas panjang, seharusnya aku menunggu Eva saja tadi. Tak punya pilihan lain, aku segera melangkah mendekati mereka. Sampai di sana, aku langsung duduk di bangku tempatku sebelumnya. Begitu menyadari keberadaanku, kedua lelaki itu langsung menutup mulut, bungkam seketika. Sepertinya mereka tidak mau pembicaraan mereka sampai ke telingaku. Aku hanya bisa memutar mata, lalu mengalihkan pandangan ke sembarang arah, bertingkah seolah tidak peduli. "Eva mana?" Willie bersuara. Mungkin, dia tidak bisa mengabaikan keheningan yang menyerang kami. "Masih di kamar mandi, sebentar lagi pasti kembali." Jawabku sekenanya. "Apa terjadi sesuatu?" Alex pun terlihat tidak tenang d Aku menjawab pertanyaan meraka, tanpa sedikitpun melirik kedua orang itu. Semua orang pasti akan sadar, kalau sikapku kekanak-kanakan, dengan sengaeng
Kami berakhir di rumah sakit. Dekat pasar tempat berbelanja, Alex di larikan secepatnya, dibantu oleh orang-orang yang mengerumuni barusan. Kejadiannya terlalu cepat, aku bahkan sempat terdiam, panik dan takut menyerangku seketika.Sekarang semuanya sudah lebih kondusif, Alex kini diinfus di ruang UGD. Aku dan Eva tengah mencari makan malam, yang sempat tertunda. Sedangkan Wille kami tinggal bersama sahabatnya itu. Setelah mendapat apa yang kami inginkan, aku dan Eva langsung kembali, tidak mau membuat kedua lelaki itu menunggu. Meski sebenarnya keadaan Alex tidak terlalu mengkhawatirkan, aku tetap cemas.Kata dokter, dia hanya kelelahan. Setelah infus yang diberikan kepadanya habis, Alex bisa langsung pulang. Aku baru tau, ternyata Alex tengah sibuk dengan pekerjaanya. Entah apa yang dia pikirkan, lelaki itu menyusul ke Bali tanpa aku tau alasan sebenarnya. Meski ia bilang tidak bisa menungguku lebih lama, rasanya masih tidak masuk akal.“Na, kayaknya aku harus nyari kamar mandi dulu
Begitu mata terbuka, aku segera bangun dan berlari ke kamar mandi. Eva yang tadinya masih tertidur, kini mengikutiku. Ia menepuk dan memijit leherku, memberi pijatan agar aku merasa lebih enakan. Aku mual dan muntah, tak tau mengapa. Entah apa yang kumakan tadi malam, sedari pagi perutku terasa sakit. "Mendingan?" Tanya Eva nampak khawatir. Aku mengangguk lemah, berjalan tertatih menuju kasur, membaringkan tubuh kembali di sana. Eva juga mengikutiku, ia duduk di pinggir kasur menatapku kasihan. "Mau ku pesankan makanan?" Gadis itu memberi usulan. "Aku tidak selera, kalau makan pasti nanti aku muntahin lagi." Ujarku, sambil menarik selimut lalu meringkuk di dalamnya. "Kenapa bisa tiba-tiba sakit begini? Kamu makan apa sih?" Aku hanya bisa menggeleng, tidak tau alasannya. Aku menyibak sedikit selimut yang menutupi wajahku, mengintip Eva dari balik sana. "Maaf, aku mengacaukan liburan kita.""Tidak perlu minta maaf, kita bisa apa kalau kamu sakit." Gadis itu tidak ingin membuatku
Sebelum pernikahan Risa dan Farhan, lelaki itu memintaku untuk menjumpainya. Sekitar pukul delapan malam kami berjanji untuk bertemu di sebuah restoran dekat kampus dulu. Betapa bahagianya aku, mungkin ini adalah jawaban dari penantianku selama ini. Aku telah menunggu begitu lama. Aku sudah menjalani hubungan tanpa status dengan Farhan selama bertahun-tahun, kami tumbuh di lingkungan yang sama, aku bahkan tidak tau semenjak kapan perasaan terhadap terhadap lelaki itu tumbuh, dan bertahan sampai saat ini. Dan selama itu Farhan selalu bersikap baik penuh perhatian. Meski berkali-kali Eva memberi tahu, agar melepaskan lelaki itu, karena dia tidak menemukan kejelasan pada hubungan kami. Nyatanya hal itu tak pernah mudah, aku masih bertahan sampai sekarang. Aku yakin, Farhan memiliki perasaan yang sama sepertiku. Aku menatap diri di cermin, dari balik kaca, tersenyum manis. Setelah itu langsung keluar mencari taksi, berangkat menuju restoran yang menjadi tempatl kami bertemu.Sampai di
Mataku membola, tidak siap menerima perlakuan Alex. Tanpa permisi, ia menyambar bibirku, memberikan ciuman dalam. Dibawah lebatnya hujan, lelaki itu kembali menjamahku. Sempat terpaku karena kebingungan yang menyerang, tanpa sadar membiarkan ia menempelkan benda kenyal itu. Kembali kedunia nyata, tersadar atas perlakuan tidak sopannya. Sekuat tenaga, aku mendorong tubuh kekar yang jauh lebih besar dariku itu. kilatan serta petir menyambar, membuat mataku dengan jelas menemukan wajahnya dibasahi hujan serta dadanya naik turun terengah. Aku menyeka bibir kasar, seolah ingin menghilangkan rasa dan ingatan itu dari sana. Ini kedua kalinya bibir kami bertemu. Tapi begitu berbeda. Malam itu, kurasa aku cukup menikmatinya, karena pengaruh alkohol, aku tidak merasa jijik sedikutpun. Tapi saat ini, bukan hanya jijik, aku merasa diperlakukan sebagai wanita rendahan. Ia mungkin beranggapan, aku akan kembali tersenyum ketika dia menyentuhku, lalu merasa terhibur oleh perlakuannya. kenapa..., a
Aku menatap langi-langit putih yang begitu bersih. Lampu bersinar terang membuatku memicingkan mata. Suara orang-orang yang mengobrol dalam bisikan membuatku sadar, dimana aku sekarang? Ranjang dan tirai biru, ada yang berjalan dengan jas putih. Ternyata aku berakhir di rumah sakit. Sudah berapa lama aku tertidur? Aku meraba bajuku, kini tak lagi basah. Seingatku terakhir kali, tubuhku diguyur hujan, lalu pingsan setelah bertengkar dengan Alex. Tunggu dulu, apakah lelaki itu yang membawaku ke sini? Meski sulit, aku mencoba untuk bangun, mencari siapapun yang mungkin menjagaku. Tapi nihil, aku sendirian. Apakah Eva tau, kalau aku berakhir di sini? Aku tidak bisa percaya pada siapapun kecuali gadis itu. aku harus menghubunginya. Tapi, aku tidak membawa ponsel, aku keluar kamar dengan tangan kosong, karena panik. Aku bahkan tidak tau harus bagaimana sekarang. Terlepas dari itu, siapa yang menggantikan bajuku.Hingga, dari kejauhan aku menemukan Alex yang sedang berjalan ke arahku. Ia l
Hening menyapa, suara manusia seolah mengendap ke udara. Ucapan Alex masih tidak bisa mereka terima. Aku terpaku, sementara yang lainnya saling memandang sibuk bertanya-tanya dalam diam. Aku meremas selimut yang masih menutup sebagian badanku. Merutuki semua yang terjadi. Andai saja, andai saja! Aku tidak pernah menerima tawarannya malam itu, hari ini tidak akan pernah datang. Aku tidak akan berakhir dipermalukan, ketakutan, hancur dan terluka. Anak ini, bisakah aku menerimanya sepenuh hati? Ia adalah hasil dari kesalahan, haruskah aku pertahankan?"Apa maksudmu!" Itu bukan pertanyaan, melainkan teriakan berbalut kemurkaan. Suara Farhan menggema di seluruh ruangan. Ia menerjang tubuh Alex begitu cepat, hingga kami tidak punya kesempatan untuk menghalau. Alex tersungkur di lantai, sementara lelaki itu mendaratkan beberapa pukulan di wajahnya secara membabi buta, membuat suasana seketika riuh. Willie yang tadinya mematung, tersadar karena teriakan Eva yang menyuruh mereka berhenti.
“Kita harus bicara, Hanna.”Aku berhenti di tempat, bersama tangan yang masih melingkar di lengan Eva. Menunduk, gundah menyiksa. Aku ingin semua jelas. Tapi takut akan kejelasan itu sendiri. Aku belum siap mendengar apapun dari mulut Alex.“Hanna,” paggil Eva. Ia heran dengan sikap plin-plan ku.Aku menengadah, melihat gadis itu dengan tatapan nanar. Seolah bertanya, apa yang harus kulakukan? Eva melepas tanganku kasar, ia berbalik cepat. Gadis itu terburu datang kearah Alex. Dia marah. Aku kebingungan dengan tingkahnya, hanya bisa melihat, tidak sempat menghalang.Detik berikutnya, sebuah tamparan melesat ke wajah Alex. Begitu keras, hingga aku bisa mendengar bunyinya dengan jelas. Aku menutup mulut terkejut, terperangah pada apa yang dilakukan Eva. Tidak menyangka, dia akan seberani itu. Aku lupa, gadis itu memang terlalu tangguh, tak pernah takut pada apapun.Willie yang melihat kelakuan Eva langsung menerjangnya, menahan gadis itu untuk mendaratkan tamparan berikutnya. Sementara