Mataku membola, tidak siap menerima perlakuan Alex. Tanpa permisi, ia menyambar bibirku, memberikan ciuman dalam. Dibawah lebatnya hujan, lelaki itu kembali menjamahku. Sempat terpaku karena kebingungan yang menyerang, tanpa sadar membiarkan ia menempelkan benda kenyal itu. Kembali kedunia nyata, tersadar atas perlakuan tidak sopannya. Sekuat tenaga, aku mendorong tubuh kekar yang jauh lebih besar dariku itu. kilatan serta petir menyambar, membuat mataku dengan jelas menemukan wajahnya dibasahi hujan serta dadanya naik turun terengah. Aku menyeka bibir kasar, seolah ingin menghilangkan rasa dan ingatan itu dari sana. Ini kedua kalinya bibir kami bertemu. Tapi begitu berbeda. Malam itu, kurasa aku cukup menikmatinya, karena pengaruh alkohol, aku tidak merasa jijik sedikutpun. Tapi saat ini, bukan hanya jijik, aku merasa diperlakukan sebagai wanita rendahan. Ia mungkin beranggapan, aku akan kembali tersenyum ketika dia menyentuhku, lalu merasa terhibur oleh perlakuannya. kenapa..., a
Aku menatap langi-langit putih yang begitu bersih. Lampu bersinar terang membuatku memicingkan mata. Suara orang-orang yang mengobrol dalam bisikan membuatku sadar, dimana aku sekarang? Ranjang dan tirai biru, ada yang berjalan dengan jas putih. Ternyata aku berakhir di rumah sakit. Sudah berapa lama aku tertidur? Aku meraba bajuku, kini tak lagi basah. Seingatku terakhir kali, tubuhku diguyur hujan, lalu pingsan setelah bertengkar dengan Alex. Tunggu dulu, apakah lelaki itu yang membawaku ke sini? Meski sulit, aku mencoba untuk bangun, mencari siapapun yang mungkin menjagaku. Tapi nihil, aku sendirian. Apakah Eva tau, kalau aku berakhir di sini? Aku tidak bisa percaya pada siapapun kecuali gadis itu. aku harus menghubunginya. Tapi, aku tidak membawa ponsel, aku keluar kamar dengan tangan kosong, karena panik. Aku bahkan tidak tau harus bagaimana sekarang. Terlepas dari itu, siapa yang menggantikan bajuku.Hingga, dari kejauhan aku menemukan Alex yang sedang berjalan ke arahku. Ia l
Hening menyapa, suara manusia seolah mengendap ke udara. Ucapan Alex masih tidak bisa mereka terima. Aku terpaku, sementara yang lainnya saling memandang sibuk bertanya-tanya dalam diam. Aku meremas selimut yang masih menutup sebagian badanku. Merutuki semua yang terjadi. Andai saja, andai saja! Aku tidak pernah menerima tawarannya malam itu, hari ini tidak akan pernah datang. Aku tidak akan berakhir dipermalukan, ketakutan, hancur dan terluka. Anak ini, bisakah aku menerimanya sepenuh hati? Ia adalah hasil dari kesalahan, haruskah aku pertahankan?"Apa maksudmu!" Itu bukan pertanyaan, melainkan teriakan berbalut kemurkaan. Suara Farhan menggema di seluruh ruangan. Ia menerjang tubuh Alex begitu cepat, hingga kami tidak punya kesempatan untuk menghalau. Alex tersungkur di lantai, sementara lelaki itu mendaratkan beberapa pukulan di wajahnya secara membabi buta, membuat suasana seketika riuh. Willie yang tadinya mematung, tersadar karena teriakan Eva yang menyuruh mereka berhenti.
“Kita harus bicara, Hanna.”Aku berhenti di tempat, bersama tangan yang masih melingkar di lengan Eva. Menunduk, gundah menyiksa. Aku ingin semua jelas. Tapi takut akan kejelasan itu sendiri. Aku belum siap mendengar apapun dari mulut Alex.“Hanna,” paggil Eva. Ia heran dengan sikap plin-plan ku.Aku menengadah, melihat gadis itu dengan tatapan nanar. Seolah bertanya, apa yang harus kulakukan? Eva melepas tanganku kasar, ia berbalik cepat. Gadis itu terburu datang kearah Alex. Dia marah. Aku kebingungan dengan tingkahnya, hanya bisa melihat, tidak sempat menghalang.Detik berikutnya, sebuah tamparan melesat ke wajah Alex. Begitu keras, hingga aku bisa mendengar bunyinya dengan jelas. Aku menutup mulut terkejut, terperangah pada apa yang dilakukan Eva. Tidak menyangka, dia akan seberani itu. Aku lupa, gadis itu memang terlalu tangguh, tak pernah takut pada apapun.Willie yang melihat kelakuan Eva langsung menerjangnya, menahan gadis itu untuk mendaratkan tamparan berikutnya. Sementara
Cuaca hari ini, seolah sedang menertawakanku. Langit begitu indah, matahari terasa panas ketika menyelinap dari balik jendela dan menyentuh kulitku. Aku terbangun karena suara ombak yang menghantam bebatuan. Tersadar sendirian setelah menangisi kehidupan yang menyedihkan. Bajuku dan milik Eva sudah dirapikan olehnya. Gadis itu membereskan barang-barang kami tanpa mebangunkanku lebih dulu. Aku bahkan tidak tau, dimana dia sekarang. Kamu sudah bangun? tiba-tiba dia muncul membuka pintu kamar, mandilah dulu, aku tunggu di luar. Kita sarapan dulu sebelum balik ke Jakarta. Aku mengangguk mengerti.Setelah mengatakan itu, ia langsung pergi. Aku juga segera turun dari ranjang menuju kamar mandi. Aku harus membasahi tubuh dengan air dingin, agar bisa menyadarkan diri. Beberapa menit kemudian, aku keluar kamar menggunakan kemeja biru dan celana jins kain hitam panjang. Penampilanku cukup sederhana. Lagipula, aku tidak berniat untuk menggoda siapapun.Di luar, di meja yang sama. Semua berkump
Aku tidak punya waktu untuk marah atau menyuruh lelaki di sampingku untuk kembali ke kursinya. Pesawat lepas landas dalam waktu singkat, dan kami berada di angkasa sekarang. Alex terlihat tidak tenang, pria paruh baya dekatnya menutup mata sambil mengeluarkan suara berisik khas bapak-bapak saat tertidur."Tempat ini benar-benar tidak nyaman," ia berbisik padaku. "Seharusnya kamu menerima tawaranku tadi, agar bisa istirahat. Eva dan Willie pasti sudah berada di dunia mimpi sekarang." Lelaki itu, terus saja menggerutu. Pantas saja, Eva langsung pergi begitu mendapat tawaran menukar tempat duduk. Ia pasti menikmati kursi firts class yang Alex pesankan. Dasar, tidak setia. "Tutup saja matamu, nanti kamu pasti akan tertidur juga." Balasku memutar mata jengah. Apa dia berniat menggangguku sepanjang perjalanan. Komplain dengan hal-hal yang tak sanggup ku ubah? Bisikkannya lebih menyebalkan daripada suara dengkuran bapak itu. "Baiklah, akan aku coba." Ia melipat tangan di atas dada siap-s
"Setidaknya beri aku kesempatan."Memindai wajahnya, mencari maksud sebenarnya. Aku tidak mengerti. "Cukup, aku mau istirahat." Aku membuang rasa penasaran itu. Entah dia serius atau tidak, aku tidak ingin tau lagi. Setidaknya untuk saat ini. Aku akan berhenti, mempertanyakan keseriusannya. Karena jika dia begitu yakin bisa membahagiakan anak ini pun, aku memiliki berjuta keraguan yang tidak bisa kutemukan alasannya.Mungkin aku hanya takut, kepada semua ketidakpastian. Semua kenangan yang perlahan menjadi trauma dan kepada harapan yang tidak pernah menjadi kenyataan. Aku sudah terlalu lama menunggu seseorang. Menerima orang baru bukanlah perkara mudah. Lagipula, sama sepertiku, Alex juga memiliki masalah yang belum diselesaikan. Hatinya pernah terukir nama Risa. Aku tidak yakin, apakah sekarang goresan itu telah mumudar atau masih terlihat jelas. Mengingat apa yang terjadi kemarin, aku merasa tidak akan mudah menjalani hubungan dengannya. Risa akan selalu ada diantara kami. Berdiri
Aku takut, mengerikan. Suara teriakan dan barang-barang pecah saling bersautan. Sendirian di dalam kamar, menutup telinga berusaha menghalau bunyi keras dari luar. Kapan mereka akan berhenti, aku bahkan belum makan siang.Pulang sekolah, dengan seragam merah putih yang masih kukenakan. Aku yang bahkan belum sempat istirahat, diteriaki dengan kasar. Mereka menyuruhku masuk kedalam kamar. Mereka bilang, aku tidak perlu ikut campur, anak kecil tidak akan mengerti. Menjauhlah! Aku hanya bingung, kenapa mereka melakukan hal yang sama setiap hari? Tidak ada masalah yang berhasil diatasi. Semua kembali terulang, lagi dan lagi."Mau sampai kapan begini terus? Aku tau kamu masih menjalin berhubungan dengan wanita itu, aku tau semuanya. Kamu tidak bisa menipuku lagi!" Ibu menangis, suaranya terngiang hingga membuat telingaku berdengung. "Maaf saja, aku juga tidak berniat menyembunyikan apa-apa." Ayah menjawabnya dengan enteng seolah itu bukan apa-apa."Apa artinya aku bagimu? Kenapa kamu tida