Dalam beberapa titik, aku memikirkan kemungkinan untuk membiarkan perasaan itu masuk. Alex, aku lemah pada tatapannya. Ada yang beda di sana, ia terlihat membutuhkan seseorang. Aku pikir, jika memang kami di takdirkan seperti yang dia bilang, mungkin segalanya akan lebih mudah.Bersama keinginan itu, ada keraguan besar di hatiku. Aku merasa dia bukan orangnya. Pengganti lelaki yang telah kucintai seumur hidup. Jika aku harus menemukan seseorang yang akan lebih kucintai nantinya, Alex bukanlah orang yang tepat. Lelaki itu menyimpan banyak hal, ia tidak bisa ditebak. Aku bahkan belum menemukan alasan, mengapa dia terus mengusikku dan membuat hatiku bimbang. "Kita sudah sampai," suara lelaki itu membuyarkan angan yang berlalu lalang di dalam kepalaku. "Terimakasih," aku berujar tenang, lalu melepas seatbelt bersiap turun dari mobil. Entah bagaimana, aku berakhir diantar pulang olehnya. Setelah bertatap lama dalam ruangan kosong, suasana canggung menghantui kami. Aku tidak tau harus ap
Pagi ini, aku terbangun dengan senyuman yang merekah. Aku cukup menanti kebahagiaan yang akan datang. Bersama koper dan ransel yang telah ku siapkan, aku melangkah keluar dari kamar. Taksi yang sudah kupesan pun melaju menuju bandara. Segalanya benar-benar berjalan lancar. Sepertinya aku mulai lepas dari kesialan yang selama ini sudah bersatu dengan tubuhku. Aku sudah mengabari keberangkatanku pada Eva. Yang kulakukan sekarang adalah menutup mata duduk manis di bangku pesawat, membiarkan waktu berlalu. Dan yah, waktu berlalu secepat itu. Kini aku menginjakkan kaki di bandara Bali. Memasang mode pemindai, mencari Eva yang katanya akan menjemputku."Hanna!" Aku langsung mencari asal suara itu, aku tau itu Eva. Begitu menemukan keberadaannya, aku langsung melambai, berlari kecil kepadanya. Kami berpelukan. Jika ada yang melihat, pasti mereka akan berpikir kami dua teman atau saudara yang lama tak bertemu. Padahal baru beberapa hari. "Bagaimana perjalananmu?" Ia bertanya.Aku merangku
Aku sempat tertidur beberapa jam, ketika membuka mata, ternyata sudah sore. Kukira, Eva sudah selesai syuting, ternyata tidak. Gadis itu benar-benar sibuk, dia bahkan tidak punya waktu untuk menyadari keberadaanku. Ia berteriak, marah-marah bahkan hampir membalik meja karena kesalahan para kru. Siapa sangka, semua sifat iblis gadis itu keluar di sini. Aku bahkan kerap kali mendengar karyawan yang bekerja di bawahnya berbisik tentangnya. Dan sebagian besar tentang kelakuan buruk gadis itu. Aku menghela nafas berat, Eva terlalu sempurna dan inilah kekurangannya. Emosinya sangat buruk, dia bahkan tidak bisa menahan kata kasar barang sedikitpun. Apalagi dengan kekacauan yang tidak mampu dia perbaiki. "Apa dia selalu begini?" Willie berdiri di sampingku, sambil melihat Eva yang sedang melepas emosi kearah seorang karyawan muda. Lelaki itu terlihat takut. Dia mengambil tempat duduk di sampingku.Tidak jauh dari pesisir pantai, aku yang tadinya duduk sendirian melihat pekerjaan Eva dari
Aku langsung bangun dari tempatku, duduk di samping Willie. Kami bersiap-siap menerima panggilan dari balik sana. Aku harap rencana ini berhasil, aku tidak tahan lagi dengan keberadaan Alex. Semoga dia benar-benar menyerah.Aku segera menekan tombol jawab. Detik berikutnya, wajah polos Alex dengan background tempat tidur terlihat."Kamu sedang apa?" Lelaki itu langsung bertanya.Padahal baru tadi sore dia menghubungiku. Mau berapa kali dia mengganggu liburanku dalam satu hari?"Aku? Sedang diluar, makan jagung bakar." Ujarku tersenyum lebar. "Kamu terlihat senang, apa terjadi sesuatu?" Mungkin dia penasaran, kenapa kali ini aku mengangkat panggilannya dengan wajah girang. "Iya, aku sedang bahagia banget." Aku membuat nada seolah menjadi manusia paling bahagia di dunia, kuharap Alex tidak sadar dengan kebohongan ini. Lelaki itu memperbaiki duduknya, bersandar pada kepala ranjang. "Ceritakan padaku!" Dengan tegas dia menyuruh, seolah punya hak mendengar kisahku."Kamu yakin ingin mend
Awalnya aku tidak mau ambil pusing. Meski penasaran setengah mati, aku mencoba menahan sekuat tenaga. Tapi sayangnya, aku terlalu lemah jika menyangkut Eva. Aku tidak sanggup untuk menunggu gadis itu menceritakan sendiri. Meski ragu, aku akhirnya bangun dari tempat, mengikuti mereka. Aku masih bisa melihat Willie dan gadis itu yang pergi ke halaman belakang hotel, sedangkan Eva tak lagi tertangkap mata. Mungkin dia sudah sampai ditempat tujuan. Tunggu dulu. Aku langsung berhenti, menutup mulut dengan kedua tangan. Aku harus sadar, apa aku sedang mengikuti pasangan baru? Tak ada Eva di sini, hanya mereka berdua. Aku bukan wartawan, yang suka mencari skandal. Haruskah aku pergi saja? Rasanya ini tidak benar. Sepertinya aku terlalu curiga pada Eva. Aku berniat berbalik untuk menjauh sepertinya ini ada pilihan yang benar. Namun, tiba-tiba Alisha berbelok. Gadis itu tidak lagi mengikuti Willie, ia bertemu dengan orang lain. Orang itu, adalah karyawan baru yang di marahi Eva kemarin. Aku
Semenjak lelaki itu datang, wajahku berubah masam sepenuhnya. Aku bahkan tak lagi ikut tertawa ketika Willie melempar lolucon garingnya. Aku sudah duluan kesal setengah mati karena kelakuan dua orang yang mengaku sahabatan itu. Parahnya lagi, kini mereka bergabung di meja kami, Willie membawa Alex dengan alasan untuk diperkenalkan.Liburanku hancur sepenuhnya. Meski diterpa hal menyebalkan, nyatanya mataku tak berhenti melirik Eva. Gadis itu kerap kali mengalihkan pandangan ketika matanya dan lelaki itu tidak sengaja bertemu. Aku jadi geli sendiri. Setelah tau hubungan Meraka, kelakuan keduanya terlalu kentara. Memang sudah sepatutnya aku curiga sedari kemarin. Tapi aku masih belum tau, sejak kapan mereka memadu kasih. Aku harus mengintrogasi Eva setelah ini. Persetan dengan Alex yang entah punya pikiran darimana sampai menyusul ke sini. "Sedang memikirkan apa?" Jantungku hampir pergi dari tempatnya, ketika aku sadar kini Alex sedang menopang dagu sambil menatap intens kearahku. Se
Aku tidak tau, kebetulan macam apa yang membuat Risa datang. Di tempat yang sama, mereka bilang telah menyewa kamar untuk honey moon. Begitu menyedihkannya diriku, diberi kesempatan agar bisa melihat momen bahagia pasangan itu, saat-saat dimana keduanya berencana memiliki bayi. Aku harus ikut senang kah? Sebentar lagi aku akan dipanggil bibi. Seharusnya, aku memang tidak datang. Sepatutnya, aku tidak meminta izin untuk liburan. Jika saja tidak kulakukan, Eva akan punya waktu lebih banyak dengan Willie. Aku juga tidak perlu melihat wajah Alex, serta tidak harus merasa sedih di atas kebahagiaan orang lain. Bahkan untuk sekarang pun, hatiku tidak bisa menerima kehadiran Risa. Meraka memaksa untuk masuk kedalam kelompok kami dengan alasan agar lebih seru. Tidak sadarkah dia dengan tatapan Eva serta wajah tak enak yang kutampilkan? "Aku tidak menyangka, kak Alex juga di sini." Risa berucap girang, sambil merangkul tangan Alex, lalu bersandar pada bahunya.Dia cukup aneh, Risa yang dulu
Aku berjalan keluar dari kamar mandi, langsung menuju meja tempat kami menghabiskan waktu tadi. Dari jauh aku melihat Alex dan Willie yang tengah berbincang. Aku menghela nafas panjang, seharusnya aku menunggu Eva saja tadi. Tak punya pilihan lain, aku segera melangkah mendekati mereka. Sampai di sana, aku langsung duduk di bangku tempatku sebelumnya. Begitu menyadari keberadaanku, kedua lelaki itu langsung menutup mulut, bungkam seketika. Sepertinya mereka tidak mau pembicaraan mereka sampai ke telingaku. Aku hanya bisa memutar mata, lalu mengalihkan pandangan ke sembarang arah, bertingkah seolah tidak peduli. "Eva mana?" Willie bersuara. Mungkin, dia tidak bisa mengabaikan keheningan yang menyerang kami. "Masih di kamar mandi, sebentar lagi pasti kembali." Jawabku sekenanya. "Apa terjadi sesuatu?" Alex pun terlihat tidak tenang d Aku menjawab pertanyaan meraka, tanpa sedikitpun melirik kedua orang itu. Semua orang pasti akan sadar, kalau sikapku kekanak-kanakan, dengan sengaeng