"Sepertinya, aku benar-benar harus pulang," Pamitku lagi.Aku tidak cukup gila, untuk tetap memilih tinggal, ketika lelaki itu muncul entah darimana. Semua akan menjadi rumit, jika Alex membuka mulut tentang hubungan kami. Aku takut, mereka tau hal gila yang terjadi padaku. Aku segera mengambil tas selempangku yang tergeletak di atas sofa, melampirkan pada bahuku lalu berjalan melewati mereka. Namun, langkahku terhenti. Tangan seseorang menahan kepergianku. Lelaki itu, memegang pergelanganku. Padahal, lengannya masih digandeng oleh Risa."Tidak bisakah kau tinggal lebih lama?" Tanyanya. Seketika suasana menjadi tegang. Risa kehilangan lengkungan di wajahnya, kini dia menatap tangan lelaki itu yang menahanku. Lalu Farhan yang juga ikut-ikutan melirik kami bergantian. Aku menggigit bibir bawahku khawatir. Apa yang harus kulakukan? Kenapa lelaki ini begitu nekat? Jika begini, semua orang pasti akan berpikir yang tidak-tidak. Apalagi kemarin, Risa memergokiku yang keluar dari apartem
"Kamu tinggal di mana?" Tanya lelaki itu, tanpa melepas mata dari jalanan. Menteng, Jakarta Pusat. Jawabku memberi tau. Ya, di sinilah aku berakhir. Duduk di bangku samping kemudi sambil melirik Alex yang begitu fokus dengan setir mobilnya. "Ada yang ingin kamu katakan?" Tanya lelaki itu. Sepertinya dia sadar, aku terus-terusan mencuri perhatiannya. "Ah, itu...." Daripada mengatakan sesuatu, aku ingin meminta bantuannya. "Bisakah kita simpan untuk diri kita saja?" Saya harap dia mengerti. "Tentang apa? Hubungan kalian bertiga...," Ia mengalihkan pandangan ke arahku. "Atau tentang kita berdua?" "Semuanya," jawabku segera."Aku sih, tidak keberatan." Ia kembali menatap lurus ke jalan, "tapi, memangnya kamu mau menyembunyikan dari siapa? Risa dan Farhan? Atau orang kantoran?" "Seperti sebelumnya, aku harap kita hanya perlu melupakan apa yang terjadi." Saya takut, untuk kasus malam ini, saya tidak ingin dia salah paham. Tanpa sengaja aku terbawa dan menceritakan sedikit kisahku.
Celana kain panjang, kemeja putih dengan kerah berlipit serta pita. Lalu, Jas biru muda senada dengan bawahan. Aku menatap diri di cermin. Rambut hitam ikal-ku kugerai begitu saja, ditambah polesan makeup tipis yang kini membuat tampilan sempurna."Semuanya akan baik-baik saja, Hanna." Aku kembali mengucapkan mantra itu, entah sudah keberapa kalinya pagi ini. "Abaikan saja dia, anggap saja dia tidak ada."Aku menarik nafas panjang, lalu membuangnya perlahan, berharap hari ini berjalan lancar. Selesai dengan segala hal, aku segara keluar dari kos-kosan, berjalan menuju kantor.Pagi ini, aku terbangun dengan gundah. Mengingat pertikaian dengan Alex tadi malam. Aku khawatir, semoga saja lelaki itu tidak menyimpan dendam, lalu membalas perbuatanku perlahan, hingga terpaksa harus meninggalkan perusahaan.Di tidak segila itu kan?"Hanna!" Dari kejauhan, bak Gia memanggilku. Wanita itu baru turun dari MRT. Aku tersenyum serta melambai penuh semangat menyambutnya. "Siap lembur hari ini?" Ta
Aku baru sampai, dan langsung mendapati buket bunga di atas meja kerjaku. Entah siapa yang meletakkannya. "Ini punya siapa ya?" Aku mencoba bertanya pada rekanku, takut-takut jika bunga itu punya pemilik yang tidak sengaja meninggalkannya.Namun, tak ada yang mengaku. Mereka hanya menggeleng, menaikkan bahu seolah memberitahu, bukan mereka pelakunya. Aku menarik nafas lelah, lalu mengambil benda dengan pita berwarna coklat itu. Ada sepotong kartu ucapan di sana. "Semoga kamu suka," bacaku kecil. Aku membalik kertas kecil itu, mencari nama. Dan seseorang tertulis di sana. "Alex?" Pria ini gila, bagaimana bisa dengan beraninya dia melakukan hal ini? Bagaimana jika semua orang tau? Ada apa dengan otaknya?Aku segera mengambil kertas kecil berwarna putih itu, lalu memasukkannya kedalam saku jas. Untung saja, tak ada yang menyentuh buket ini. Jika tidak, semua orang akan berpikir yang tidak-tidak tentang kami! Terlalu lelah dengan kelakuan atasan baru itu, akhirnya aku memilih untuk ti
Dalam beberapa titik, aku memikirkan kemungkinan untuk membiarkan perasaan itu masuk. Alex, aku lemah pada tatapannya. Ada yang beda di sana, ia terlihat membutuhkan seseorang. Aku pikir, jika memang kami di takdirkan seperti yang dia bilang, mungkin segalanya akan lebih mudah.Bersama keinginan itu, ada keraguan besar di hatiku. Aku merasa dia bukan orangnya. Pengganti lelaki yang telah kucintai seumur hidup. Jika aku harus menemukan seseorang yang akan lebih kucintai nantinya, Alex bukanlah orang yang tepat. Lelaki itu menyimpan banyak hal, ia tidak bisa ditebak. Aku bahkan belum menemukan alasan, mengapa dia terus mengusikku dan membuat hatiku bimbang. "Kita sudah sampai," suara lelaki itu membuyarkan angan yang berlalu lalang di dalam kepalaku. "Terimakasih," aku berujar tenang, lalu melepas seatbelt bersiap turun dari mobil. Entah bagaimana, aku berakhir diantar pulang olehnya. Setelah bertatap lama dalam ruangan kosong, suasana canggung menghantui kami. Aku tidak tau harus ap
Pagi ini, aku terbangun dengan senyuman yang merekah. Aku cukup menanti kebahagiaan yang akan datang. Bersama koper dan ransel yang telah ku siapkan, aku melangkah keluar dari kamar. Taksi yang sudah kupesan pun melaju menuju bandara. Segalanya benar-benar berjalan lancar. Sepertinya aku mulai lepas dari kesialan yang selama ini sudah bersatu dengan tubuhku. Aku sudah mengabari keberangkatanku pada Eva. Yang kulakukan sekarang adalah menutup mata duduk manis di bangku pesawat, membiarkan waktu berlalu. Dan yah, waktu berlalu secepat itu. Kini aku menginjakkan kaki di bandara Bali. Memasang mode pemindai, mencari Eva yang katanya akan menjemputku."Hanna!" Aku langsung mencari asal suara itu, aku tau itu Eva. Begitu menemukan keberadaannya, aku langsung melambai, berlari kecil kepadanya. Kami berpelukan. Jika ada yang melihat, pasti mereka akan berpikir kami dua teman atau saudara yang lama tak bertemu. Padahal baru beberapa hari. "Bagaimana perjalananmu?" Ia bertanya.Aku merangku
Aku sempat tertidur beberapa jam, ketika membuka mata, ternyata sudah sore. Kukira, Eva sudah selesai syuting, ternyata tidak. Gadis itu benar-benar sibuk, dia bahkan tidak punya waktu untuk menyadari keberadaanku. Ia berteriak, marah-marah bahkan hampir membalik meja karena kesalahan para kru. Siapa sangka, semua sifat iblis gadis itu keluar di sini. Aku bahkan kerap kali mendengar karyawan yang bekerja di bawahnya berbisik tentangnya. Dan sebagian besar tentang kelakuan buruk gadis itu. Aku menghela nafas berat, Eva terlalu sempurna dan inilah kekurangannya. Emosinya sangat buruk, dia bahkan tidak bisa menahan kata kasar barang sedikitpun. Apalagi dengan kekacauan yang tidak mampu dia perbaiki. "Apa dia selalu begini?" Willie berdiri di sampingku, sambil melihat Eva yang sedang melepas emosi kearah seorang karyawan muda. Lelaki itu terlihat takut. Dia mengambil tempat duduk di sampingku.Tidak jauh dari pesisir pantai, aku yang tadinya duduk sendirian melihat pekerjaan Eva dari
Aku langsung bangun dari tempatku, duduk di samping Willie. Kami bersiap-siap menerima panggilan dari balik sana. Aku harap rencana ini berhasil, aku tidak tahan lagi dengan keberadaan Alex. Semoga dia benar-benar menyerah.Aku segera menekan tombol jawab. Detik berikutnya, wajah polos Alex dengan background tempat tidur terlihat."Kamu sedang apa?" Lelaki itu langsung bertanya.Padahal baru tadi sore dia menghubungiku. Mau berapa kali dia mengganggu liburanku dalam satu hari?"Aku? Sedang diluar, makan jagung bakar." Ujarku tersenyum lebar. "Kamu terlihat senang, apa terjadi sesuatu?" Mungkin dia penasaran, kenapa kali ini aku mengangkat panggilannya dengan wajah girang. "Iya, aku sedang bahagia banget." Aku membuat nada seolah menjadi manusia paling bahagia di dunia, kuharap Alex tidak sadar dengan kebohongan ini. Lelaki itu memperbaiki duduknya, bersandar pada kepala ranjang. "Ceritakan padaku!" Dengan tegas dia menyuruh, seolah punya hak mendengar kisahku."Kamu yakin ingin mend