"Kamu tinggal di mana?" Tanya lelaki itu, tanpa melepas mata dari jalanan. Menteng, Jakarta Pusat. Jawabku memberi tau. Ya, di sinilah aku berakhir. Duduk di bangku samping kemudi sambil melirik Alex yang begitu fokus dengan setir mobilnya. "Ada yang ingin kamu katakan?" Tanya lelaki itu. Sepertinya dia sadar, aku terus-terusan mencuri perhatiannya. "Ah, itu...." Daripada mengatakan sesuatu, aku ingin meminta bantuannya. "Bisakah kita simpan untuk diri kita saja?" Saya harap dia mengerti. "Tentang apa? Hubungan kalian bertiga...," Ia mengalihkan pandangan ke arahku. "Atau tentang kita berdua?" "Semuanya," jawabku segera."Aku sih, tidak keberatan." Ia kembali menatap lurus ke jalan, "tapi, memangnya kamu mau menyembunyikan dari siapa? Risa dan Farhan? Atau orang kantoran?" "Seperti sebelumnya, aku harap kita hanya perlu melupakan apa yang terjadi." Saya takut, untuk kasus malam ini, saya tidak ingin dia salah paham. Tanpa sengaja aku terbawa dan menceritakan sedikit kisahku.
Celana kain panjang, kemeja putih dengan kerah berlipit serta pita. Lalu, Jas biru muda senada dengan bawahan. Aku menatap diri di cermin. Rambut hitam ikal-ku kugerai begitu saja, ditambah polesan makeup tipis yang kini membuat tampilan sempurna."Semuanya akan baik-baik saja, Hanna." Aku kembali mengucapkan mantra itu, entah sudah keberapa kalinya pagi ini. "Abaikan saja dia, anggap saja dia tidak ada."Aku menarik nafas panjang, lalu membuangnya perlahan, berharap hari ini berjalan lancar. Selesai dengan segala hal, aku segara keluar dari kos-kosan, berjalan menuju kantor.Pagi ini, aku terbangun dengan gundah. Mengingat pertikaian dengan Alex tadi malam. Aku khawatir, semoga saja lelaki itu tidak menyimpan dendam, lalu membalas perbuatanku perlahan, hingga terpaksa harus meninggalkan perusahaan.Di tidak segila itu kan?"Hanna!" Dari kejauhan, bak Gia memanggilku. Wanita itu baru turun dari MRT. Aku tersenyum serta melambai penuh semangat menyambutnya. "Siap lembur hari ini?" Ta
Aku baru sampai, dan langsung mendapati buket bunga di atas meja kerjaku. Entah siapa yang meletakkannya. "Ini punya siapa ya?" Aku mencoba bertanya pada rekanku, takut-takut jika bunga itu punya pemilik yang tidak sengaja meninggalkannya.Namun, tak ada yang mengaku. Mereka hanya menggeleng, menaikkan bahu seolah memberitahu, bukan mereka pelakunya. Aku menarik nafas lelah, lalu mengambil benda dengan pita berwarna coklat itu. Ada sepotong kartu ucapan di sana. "Semoga kamu suka," bacaku kecil. Aku membalik kertas kecil itu, mencari nama. Dan seseorang tertulis di sana. "Alex?" Pria ini gila, bagaimana bisa dengan beraninya dia melakukan hal ini? Bagaimana jika semua orang tau? Ada apa dengan otaknya?Aku segera mengambil kertas kecil berwarna putih itu, lalu memasukkannya kedalam saku jas. Untung saja, tak ada yang menyentuh buket ini. Jika tidak, semua orang akan berpikir yang tidak-tidak tentang kami! Terlalu lelah dengan kelakuan atasan baru itu, akhirnya aku memilih untuk ti
Dalam beberapa titik, aku memikirkan kemungkinan untuk membiarkan perasaan itu masuk. Alex, aku lemah pada tatapannya. Ada yang beda di sana, ia terlihat membutuhkan seseorang. Aku pikir, jika memang kami di takdirkan seperti yang dia bilang, mungkin segalanya akan lebih mudah.Bersama keinginan itu, ada keraguan besar di hatiku. Aku merasa dia bukan orangnya. Pengganti lelaki yang telah kucintai seumur hidup. Jika aku harus menemukan seseorang yang akan lebih kucintai nantinya, Alex bukanlah orang yang tepat. Lelaki itu menyimpan banyak hal, ia tidak bisa ditebak. Aku bahkan belum menemukan alasan, mengapa dia terus mengusikku dan membuat hatiku bimbang. "Kita sudah sampai," suara lelaki itu membuyarkan angan yang berlalu lalang di dalam kepalaku. "Terimakasih," aku berujar tenang, lalu melepas seatbelt bersiap turun dari mobil. Entah bagaimana, aku berakhir diantar pulang olehnya. Setelah bertatap lama dalam ruangan kosong, suasana canggung menghantui kami. Aku tidak tau harus ap
Pagi ini, aku terbangun dengan senyuman yang merekah. Aku cukup menanti kebahagiaan yang akan datang. Bersama koper dan ransel yang telah ku siapkan, aku melangkah keluar dari kamar. Taksi yang sudah kupesan pun melaju menuju bandara. Segalanya benar-benar berjalan lancar. Sepertinya aku mulai lepas dari kesialan yang selama ini sudah bersatu dengan tubuhku. Aku sudah mengabari keberangkatanku pada Eva. Yang kulakukan sekarang adalah menutup mata duduk manis di bangku pesawat, membiarkan waktu berlalu. Dan yah, waktu berlalu secepat itu. Kini aku menginjakkan kaki di bandara Bali. Memasang mode pemindai, mencari Eva yang katanya akan menjemputku."Hanna!" Aku langsung mencari asal suara itu, aku tau itu Eva. Begitu menemukan keberadaannya, aku langsung melambai, berlari kecil kepadanya. Kami berpelukan. Jika ada yang melihat, pasti mereka akan berpikir kami dua teman atau saudara yang lama tak bertemu. Padahal baru beberapa hari. "Bagaimana perjalananmu?" Ia bertanya.Aku merangku
Aku sempat tertidur beberapa jam, ketika membuka mata, ternyata sudah sore. Kukira, Eva sudah selesai syuting, ternyata tidak. Gadis itu benar-benar sibuk, dia bahkan tidak punya waktu untuk menyadari keberadaanku. Ia berteriak, marah-marah bahkan hampir membalik meja karena kesalahan para kru. Siapa sangka, semua sifat iblis gadis itu keluar di sini. Aku bahkan kerap kali mendengar karyawan yang bekerja di bawahnya berbisik tentangnya. Dan sebagian besar tentang kelakuan buruk gadis itu. Aku menghela nafas berat, Eva terlalu sempurna dan inilah kekurangannya. Emosinya sangat buruk, dia bahkan tidak bisa menahan kata kasar barang sedikitpun. Apalagi dengan kekacauan yang tidak mampu dia perbaiki. "Apa dia selalu begini?" Willie berdiri di sampingku, sambil melihat Eva yang sedang melepas emosi kearah seorang karyawan muda. Lelaki itu terlihat takut. Dia mengambil tempat duduk di sampingku.Tidak jauh dari pesisir pantai, aku yang tadinya duduk sendirian melihat pekerjaan Eva dari
Aku langsung bangun dari tempatku, duduk di samping Willie. Kami bersiap-siap menerima panggilan dari balik sana. Aku harap rencana ini berhasil, aku tidak tahan lagi dengan keberadaan Alex. Semoga dia benar-benar menyerah.Aku segera menekan tombol jawab. Detik berikutnya, wajah polos Alex dengan background tempat tidur terlihat."Kamu sedang apa?" Lelaki itu langsung bertanya.Padahal baru tadi sore dia menghubungiku. Mau berapa kali dia mengganggu liburanku dalam satu hari?"Aku? Sedang diluar, makan jagung bakar." Ujarku tersenyum lebar. "Kamu terlihat senang, apa terjadi sesuatu?" Mungkin dia penasaran, kenapa kali ini aku mengangkat panggilannya dengan wajah girang. "Iya, aku sedang bahagia banget." Aku membuat nada seolah menjadi manusia paling bahagia di dunia, kuharap Alex tidak sadar dengan kebohongan ini. Lelaki itu memperbaiki duduknya, bersandar pada kepala ranjang. "Ceritakan padaku!" Dengan tegas dia menyuruh, seolah punya hak mendengar kisahku."Kamu yakin ingin mend
Awalnya aku tidak mau ambil pusing. Meski penasaran setengah mati, aku mencoba menahan sekuat tenaga. Tapi sayangnya, aku terlalu lemah jika menyangkut Eva. Aku tidak sanggup untuk menunggu gadis itu menceritakan sendiri. Meski ragu, aku akhirnya bangun dari tempat, mengikuti mereka. Aku masih bisa melihat Willie dan gadis itu yang pergi ke halaman belakang hotel, sedangkan Eva tak lagi tertangkap mata. Mungkin dia sudah sampai ditempat tujuan. Tunggu dulu. Aku langsung berhenti, menutup mulut dengan kedua tangan. Aku harus sadar, apa aku sedang mengikuti pasangan baru? Tak ada Eva di sini, hanya mereka berdua. Aku bukan wartawan, yang suka mencari skandal. Haruskah aku pergi saja? Rasanya ini tidak benar. Sepertinya aku terlalu curiga pada Eva. Aku berniat berbalik untuk menjauh sepertinya ini ada pilihan yang benar. Namun, tiba-tiba Alisha berbelok. Gadis itu tidak lagi mengikuti Willie, ia bertemu dengan orang lain. Orang itu, adalah karyawan baru yang di marahi Eva kemarin. Aku
Hariku berjalan begitu saja, bekerja dan menggerutu karena banyaknya tugas yang harus kuselesaikan. Ditambah, kini Alex mulai bertingkah, hingga membuatku ketakutan jika sampai ketahuan. Apa yang akan karyawan lain pikirkan tentang kami? Lelaki itu kerap kali menghampiri meja kerjaku hanya untuk alasan sepele. Contohnya seperti saat ini, pinjamkan aku pulpen!Aku hampir melemparnya dengan mouse komputer, jika saja dia bukan atasanku. Ini menyebalkan, lihat saja tatapan orang-orang di sekitar. Jauh-jauh keluar dari ruangannya, lelaki itu datang sambil menadah sepotong pena dariku. Maaf pak, di dalam ruang bapak saya rasa ada pena. Geramku menggertakkan gigi.Tak ada yang berfungsi dengan baik, ujarnya enteng. Aku hanya ingin meminjamnya sebentar, nanti akan kukembalikan.Akupun menurutinya permintaanya, mengambil pulpen dalam laci, lalu kuserahkan pada lelaki itu. Ini pak.Terimakasih, dia langsung melenggang berjalan meninggalkanku begitu saja. Sedangkan karyawan lain, mereka masih
Lift terbuka, aku siap-siap keluar mengabaikan kekhawatiran Alex. Aku tidak ingin bertengkar meributkan tentang hati. Meski besar keinginanku untuk memastikan, aku rasa bukan saat ini. Bukan waktu yang tepat. Berjalan terburu, menunduk dalam memperhatikan langkah kakiku yang terlalu cepat, aku ingin segera pulang. "Hanna," lagi-lagi Alex mencekal lenganku. Ia menahanku untuk lebih jauh pergi darinya. "Apa yang kamu pikirkan?" Ia sadar, kegusaran memenuhi wajahku. "Tidak ada," aku berpaling, menenggelamkan perasaanku sendiri. Dia begitu peka dengan perubahan sikapku. Seharusnya, dia juga harus mengerti, kalau kini, aku telah jatuh padanya. Aku tak ingin hatiku kembali hancur karena sebuah harapan tanpa tuan. Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang. Kenapa begitu mudahnya? Kenapa selalu hanya aku? Setidaknya, jika memang dia orangnya, buat lelaki itu jatuh begitu dalam padaku juga. Sayang, aku bisa berharap apa? Seorang Hanna, gadis dengan banyaknya kisah menyedihkan. Parasku j
Alex memesankan kami sarapan. Secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak tau, sejak kapan semua hidangan tersebut tertata rapi di atas meja. Ia menyuruhku untuk duduk dekatnya, memaksa agar menghabiskan semua sayuran, daging serta buah-buahan yang telah ia potong kecil-kecil. Aku tidak tau mengapa, semua orang jadi lebih overprotektif padaku sejak bayi ini ada. Meski nyatanya, aku cukup menyukai hal tersebut. Perhatian yang sebenarnya terasa berlebihan itu, aku cukup menikmatinya.Suara dering ponsel Alex membuat aktivitas menyuap kami terhenti sesaat, lelaki itu segera mengambil benda persegi itu dari atas meja, mengangkat panggilan dari seseorang. "Halo?" Ia menyapa. Aku melihat keningnya berkerut, sambil terus mengunyah apel aku memperhatikan gerak gerik lelaki itu. Hingga dia menyodorkan ponsel berwarna hitam itu kearahku. "Apa?" Tanyaku tak mengerti. "Eva," pungkas lelaki itu ringan. Hak itu berhasil membuatku membelalakkan mata spontan. Aku segera meletakkan garpu yang digunakan
"Hanna," ia menyebut namaku dengan hati-hati. Aku hanya bisa menunggu, apa yang akan ia lontarkan selanjutnya. "Bolehkah aku menciummu?"Awalnya, aku sedikit terkejut, membola seketika. Bingung, berpikir keras. Seharusnya, aku tak perlu menimang bukan? Seharusnya aku hanya perlu mendorongnya menjauh, bangun dari sana, lalu mengatainya seperti biasa. Benar, seharusnya begitu. Tapi kenapa sekarang aku malah mengangguk dengan ragu? Tak mampu berpaling dari matanya yang mengikatku kuat. Aku, juga menginginkannya. Sebuah ciuman, sebuah pelukan dan perlakuan manis dari seseorang yang menyayangiku. Aku juga ingin merasakan kebahagiaan dan cinta yang selama ini ku impikan. Aku sangat menginginkannya. Perlahan namun pasti, ia mendekat. Pelukannya pada pinggangku semakin erat. Kelopak matanya, naik turun menyoroti bibir dan netraku bergantian. Aku merasakan, nafas Alex yang semakin berat. Bukan hanya dia, aku juga menunggu bibir kami bertemu. Namun, "kenapa kamu ingin menciumku." Aku mena
"Kamu punya wine?" "Apa?" Alex menaikkan alis heran, ia menarik diri duduk tegak. Meski tidak berpindah sedikitpun dari tempat semula. "Untuk apa?" "Entahlah, mungkin aku akan melupakan semua. Meski hanya untuk sesaat." Meski banyak masalah yang datang setelah 2 gelas wine malam itu. Aku rasa, cairan itu ampuh membekukan otakku. "Hanna," ia mengulurkan tangan, menyentuh pipiku dengan punggung jemarinya. Mengusap pelan nan lembut. "Apa terjadi sesuatu?" Mataku bergetar, terpesona oleh pupil hitam pekat miliknya. Perlakuannya, cara dia bicara. Ia tau cara membuat orang merasa spesial. Tapi, bolehkah aku seperti ini? Bukankah, aku sudah menolaknya dengan kasar, bahkan memberi Risa harapan, bahwa aku tidak akan mengambil lelaki itu darinya? "Alex," aku memegang tangannya, hendak menurunkan dari wajahku. Namun, ia menahan. Kini, lelaki itu membingkainya dengan kedua telapak tangan, menelusup kebelakang kepalaku. Kedua ibu jarinya, menyapu pipiku perlahan. "Jika terjadi sesuatu, kat
Aku memutuskan untuk masuk melewati gerbang. Melawan diriku sendiri yang sedari tadi menyuruh berbalik. Hati dan otakku seakan bertarung tanpa henti. Dan aku, tetap melangkah mengikuti suara lain yang terus berbisik. Kurasa, aku sudah gila. Aku seakan tau, tempat mana yang ingin kutuju. Aku berjalan lurus tanpa merasa terganggu dengan apapun. Seolah, semuanya sudah pasti. Segalanya sudah terencana sedari awal. Aku tidak tau kenapa bisa begini? Aku menginginkannya? Atau mungkin, anak ini? Yang pasti, kini aku berdiri di depan sebuah pintu. Milik seseorang yang terus-menerus membayangiku selama beberapa hari. Aku ingin melihat wajahnya."Apa yang kamu lakukan, Hanna?" Tanyaku pada diri sendiri, memandangi tempat kayu dengan kenop perak di depanku.Hanya saja, segalanya terasa tidak masuk akal. Aku benar-benar ke tempat ini. Tanpa alasan yang jelas. Aku hendak menekan bel, namun ku urungkan ketika sadar akan satu hal. Mungkin, dia belum kembali dari perjalanan bisnis. Aku tidak meli
Aku tidak terlalu memikirkan gaun apa yang harus kupakai untuk pergi bersama Farhan. Bagiku, itu hanya makan malam biasa, apalagi Eva bersama kami. Gadis itu akan menjemputku, ia tidak membiarkan Farhan mendekat. Dia tau, apa yang harus dilakukan. Dan sekarang, kami berada di dalam mobil merah Eva, menuju sebuah restoran yang lelaki itu pesankan. Aku akan menjagamu, dengan tangan yang masih memegang kemudi, gadis itu terdengar siap berperang.Aku menggeleng pelan, tersenyum mendengar tuturan tidak masuk akal itu. Kita hanya makan malam, Va. Bukan mau melawan Monster."Tapi mirip," tekan gadis itu menaikkan alis, melirikku sekilas, seolah memberi pembenaran. "Terserah kamu saja," balasku hanya bisa pasrah. Mobil Eva melaju membelah jalan malam yang nampak masih cukup ramai. Sekitar 20 menit, ia mengendarai. Hingga kami sampai di sebuah restoran bintang lima yang terlihat sangat mewah. Bukan hanya aku, yang sebenarnya benar-benar tidak terbiasa menginjakkan kaki di tempat seperti i
Aku menatap diri di kaca, melihat pantulan tubuhku yang kini sedikit berisi. Jika ini aku beberapa bulan yang lalu, aku akan langsung memilih untuk mencari menu diet di internet. Tapi sekarang, aku rasa bukan makanan yang membuat berat badanku bertambah. Aku mengusap perutku pelan, menghela nafas ringan. "Sepertinya kamu tumbuh sehat."Entah mengapa ada rasa lega yang datang menyentuh hatiku. Aku senang, anak ini tidak mengalami masalah. Meski, masih ada keinginan untuk tidak mengakuinya. Tapi, sampai kapan aku bisa menyembunyikannya pada dunia? Pada akhirnya, aku harus mengakui keberadaannya. Selesai berdandan, memakai jas berwarna biru muda dan rok beberapa centi di bawah lutut yang senada. Aku keluar dari kos menuju kantor. Meski sedikit risau karena akan bertemu dengan Alex. Aku berusaha untuk bersikap biasa. Bukankah Hanna adalah seorang karyawan kantoran yang profesional? Sampai di kantor, aku segera menuju meja kerjaku. Melakukan apapun yang sudah semestinya kukerjakan. Dari
"kamu egois Hanna." Aku menaikkan alis mendengar tuduhan tidak mendasar itu. "Aku egois?" Benar-benar tidak masuk akal. "Iya," dia mendekat kearahku mengikis jarak. "Kamu mengambil semuanya dariku!" Gadis itu membentak dengan kemarahan tak terbendung. Rahangnya mengeras menusukku dengan tatapan. "Apa yang kuambil?" Aku bertanya tidak habis pikir. Ia bertingkah bak korban sekarang. "Semuanya! Semua yang aku inginkan, segala yang awalnya milikku!" Dadanya naik turun menahan kekesalan, melempar kata demi kata dengan teriakan. "Kamu telah merebut segalanya!"Aku mengerutkan kening, miris mendengar kalimatnya. "Aku merebut darimu?" Bahkan kata-kata itu terdengar konyol. "Risa," dia bahkan tidak tau apa yang kulewati karena malam itu. "Berhentilah bertingkah di depanku. Aku tidak pernah menyalahkan siapapun atas apa yang terjadi padaku. Aku merasa semuanya adalah masalahku dan akan menyelesaikannya sendiri." "Apa?" Ia masih berlagak tak tau. "Aku rasa kamu mengerti, karena kamu bukan