"Lalu kamu siapa?" Aku menangkup kedua pipi lelaki itu, dengan mata bulatku yang berkedip berulang kali, mencoba mencari tau siapa orang ini.
Aku bisa merasakan tubuhnya tersentak pelan, ia menelan air liurnya susah payah, terlihat terkejut atau mungkin terperangah?
Tiba-tiba lelaki itu mencuri satu kecupan dariku kembali. Mataku membola terkejut, menutup mulutku dengan kedua tangan karena kaget dengan perlakuannya barusan. "Kenapa kamu menciumku?""Kamu protes sekarang?" Tanyanya tidak percaya. Pasalnya ini adalah yang ketiga kalinya ia menjamah bibirku."Aku pikir, kamu Farhan tadi," karena itulah aku menerima apapun yang dilakukannya.
"Jadi jika aku lelaki itu, kau akan menerima ciumanku?" Tanyanya heran. "Apa dia sering menciummu?"Aku segera menggeleng, "tidak, hanya sekali." Jawabku tersenyum miris. "Dulu saat kami masih kuliah, dia pernah menciumku di perpustakaan. Saat itu, aku tertidur karena bosan. Ketika membuka mata, aku mendapatinya sedang mengecup bibirku." Itu kenangan yang indah, tapi menceritakannya kembali membuatku terlihat menyedihkan."Pantas saja, caranya sama," aku mendengar bergumam, "Sayangnya aku bukan lelaki itu, kamu marah?" Sambung lelaki itu lagi.Aku langsung menggeleng cepat. "Tak apa, karena kamu lebih tampan darinya." Aku terkekeh tidak jelas, tapi lelaki yang masih memegang pinggangku ini memang sangatlah tampan."Kamu benar-benar mabuk ternyata." Ia kembali berujar. "Padahal kamu terlihat sangat ketakutan tadi, mencari beribu alasan untuk lari dariku. Tapi sekarang malah menyebutku tampan." Aku juga tidak mengerti dengan diriku sendiri.Ia menarik sudut bibirnya, terlihat menyeringai dalam. Matanya kembali turun kearah bibirku seolah kembali menargetkan mangsanya. "Kalau begitu...," Aku tidak yakin, ini terlalu cepat. Aku segara menghalangi rencananya, menutup mulutnya dengan kedua tanganku."Kenapa?" Ia menautkan alis bingung."Kamu menyukaiku?" Tanyaku takut."Entahlah, mungkin untuk sekarang tidak." Lelaki itu berucap dengan sangat enteng."Kenapa kamu ingin menciumku jika tidak menyukaiku? Kamu kan bukan Farhan!" Aku tidak suka. Aku menatapnya nyalang sambil mengembungkan kedua pipi sebal.Dengan tenang, lelaki itu menurunkan tanganku dan memindahkan dari wajahnya, lalu ia mengecup jemariku satu-persatu perlahan. Sedangkan matanya masih mengikatku, seolah menyihirku agar menerimanya."Mungkin setelah ini aku akan menyukaimu, kita tidak pernah tau."Ia benar-benar pintar mengambil hati lawannya. Aku berdebar tak karuan.Aku tidak tau, apa yang sedang lelaki ini mainkan. Otakku masih tak bekerja dengan benar, kepalaku juga masih pening.2 gelas wine tadi benar-benar mengerikan. Aku bahkan tidak tau, kenapa masih bertahan dengan posisi yang sangat intim. Ini benar-benar gila!Ia mengeratkan pelukannya pada pinggangku, menarikku agar lebih rapat padanya. Tangannya satu lagi kini mengusap pipi putihku lembut, matanya terlihat sayu. Lelaki itu kembali mendekat, hidung kami bertemu.
"Kamu akan menyukaiku?" Aku bertanya dengan polos.Ia mengangguk, tersenyum penuh arti. Aku tidak tau maksud dari lengkungan dengan tatapan beribu makna itu. Aku hanya merasa diinginkan. Apakah lelaki ini berkata jujur?
Tangan yang satunya ikut naik, kini kedua jemari itu menangkup kedua pipiku, dia mendekatkan diri lalu mengecup kedua mataku bergantian. Ia menempelkan kening kami yang sempat terlepas tadi, aku bisa merasakan nafas panasnya menderu.Dalam sekejap, lelaki itu mempertemukan bibir kami berdua menjadi satu, sedangkan aku menutup mata takut. Aku meremas bahunya erat, otakku berhenti tak lagi bekerja."Setelah ini, jika takdir memberi izin, mari bertemu lagi."Aku tak lagi menggubris kalimat yang ia keluarkan disela-sela kecupan bibirnya, aku hanya mengikuti insting dan menerima perlakuannya.Ia menelusupkan tangannya kebelakang tengkukku, memperdalam ciuman kami. Bibirnya terasa manis dan memabukkan. Aku bahkan tidak diberi izin untuk berkata tidak, atau bahkan celah untuk menarik nafas. Lelaki itu mendominasi permainan yang dia buat. Aku benar-benar jatuh dalam perangkap.suara dering ponselku kembali berbunyi nyaring di seluruh ruangan, ia terlihat terganggu. Sementara aku yang sudah terbuai, tak lagi peduli pada apapun."Tunggu dulu," dia berhenti membuatku bingung dengan bibir yang membengkak. Nafasku memburu, merasakan sesuatu yang bergejolak. Aku tidak ingin ini selesai.Ia mengambil ponselku yang tergeletak di atas meja, itu Eva."Temanmu?" Tanyanya? Aku mengangguk. "Kamu ingin mengangkatnya dulu?" Aku segera menggeleng. Aku rasa, aku tak akan sanggup menunggu.Ia tersenyum dengan seringai tajam. Mungkin dia sadar, aku telah jatuh begitu dalam. "Baguslah." Desisnya.Lelaki itu kembali menyambarku, memberi kecupan di berbagai tempat, sementara ponselku ia selipkan diantara bantal di atas sofa.Malam itu, kami saling menghangatkan, saling menyembuhkan dari rasa sakit karena ditinggalkan. Siapa sangka, dua orang asing di bawah pengaruh alkohol kini memadu kasih dalam kesunyian. Malam itu menjadi malam paling panjang dalam hidupku.***Langit-langit kamar ini bagus, biru muda dengan tiga lampu gantung kotak yang dijejer rapi. Mataku masih lelah, aku menguap sesaat sebelum benar-benar sadar dari tidur.Dingin, aku kembali menarik selimut hingga menutup kepala, lalu kembali menutup mata."Wangi...," Aku bergumam, tempat tidur empuk nan hangat ini benar-benar nyaman. Aroma vanila juga menyeruak, membuatku tak ingin segera bangun."Heumm...," Lenguhan seseorang membuatku sadar, aku segera membuka mata kembali.Tunggu dulu! Aku segera menarik selimut yang menutupi tubuhku, lalu bangun dari tidur."Apa yang terjadi?" Aku tidak sendiri, ini bukan mimpi. Ada manusia lain yang berbagi selimut denganku semalaman."Apa yang telah kulakukan!" Aku memegangi kepala kesakitan. Tubuhku nyeri dan pegal. Tak ada sehelai kainpun, kecuali selimut abu-abu tua yang masih kujadikan penutup tubuh polosku. Aku telah menyerahkan diri?
Aku tersentak, ketika lelaki itu memeluk pinggangku, merapatkan diri kearahku. Tubuhku seketika menegang, tercekat ketakutan. Kejadian semalam perlahan mulai muncul seperti potongan video rusak."Tidak mungkin, aku pasti sudah gila!" Aku berteriak dalam bisikan, segalanya telah terjadi, aku mulai menyadari apa yang telah kulakukan tadi malam. Hanna, kau tidur dengan orang asing!
"Kamu sudah bangun." Suara serak pemilik lengan yang masih bertengger di pinggangnku membuat tubuhku mematung. "Tidurlah kembali, ini masih pagi." Lelaki itu dengan entengnya malah menjadikan pahaku sebagai bantalan.Karena kesal, aku langsung mendorong kepala besar lelaki itu, ada apa dengannya? Dia tidak sadar kah, baru tadi malam manusia ini berkata tidak tertarik padaku. Tapi apa yang terjadi sekarang? omongannya tidak bisa dipegang."Kamu gila! Apa yang telah kamu lakukan padaku?" Aku kehilangan kesabaran, dia terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja meniduri gadis yang tengah sibuk dengan cinta bertepuk sebelah tangan.Lelaki itu bangun lalu duduk bersandar pada kepala kasur, ia memegang kepalanya terlihat sakit. Tentu saja, ia memasukkan alkohol kemulutnya seperti kehausan semalam. Apalagi setelah kudorong paksa tadi.Ia menghela nafas, menatapku datar, memindai tubuhku dari atas sampai bawah."Kamu yang menggodaku, jangan salahkan aku." Ia berucap dingin."Apa maksudmu?" Aku hanya tidak bisa mengerti. Jelas-jelas semua terjadi karena minuman yang dia berikan!Dia mengusap wajah lelah, menghela nafas panjang. Lelaki itu terlihat kesal."Kamu kesal?" Aku tidak terima, "daripada menyesal, kamu malah kesal?" Tekanku bertanya ikut sebal."Maaf," tiba-tiba dia mengucapkan kata itu sambil menatapku bingung."What the...," Suara manusia asing lain terdengar dari ambang pintu, masuk tanpa izin, berdiri sambil menatap kami dengan mulut menganga.Tunggu, bukankah pintu itu terkunci otomatis karena menggunakan password? Bagaimana bisa lelaki di sana masuk dengan begitu mudahnya?
"Bisa ketuk dulu gak?" Alex menarikku kebelakang badannya, mungkin dia takut lelaki tak dikenal itu melihat wajah atau tubuh polosku."Apa kamu memberiku password agar aku mengetuk pintu?" Tanya lelaki itu dengan nada sewot. "Diamlah Will, sekarang keluar!" Ia setengah berteriak geram."Iya, iya, iya." Jawab lelaki itu pasrah. "kopinya aku tinggal di sini ya!" Ujarnya, setelah itu aku bisa mendengar pintu tertutup, kurasa dia telah menghilang, keluar dari apartemen pria dia depanku. Dari balik tubuh polos Alex, aku memikirkan banyak hal. Apa yang terjadi? Kenapa dengan bodohnya aku berakhir seperti ini? Haruskah aku mengakhiri hidup secepatnya? Kurasa melompat dari jurang akan menjadi pilihan terbaik."Maaf," lelaki itu kembali bersuara, menyadarkan semua pikiran gila yang menyerangku. Aku kembali menatapnya, kini kami kembali beradu pandang. "Kenapa?" Tanyaku.TBC
"Untuk tadi malam, aku minta maaf." Aku mencari kebohongan dari matanya, namun ia terlihat begitu tulus. Padahal aku hanya bisa melihat keangkuhan dengan wajah dingin dari paras tampannya tadi malam. Kali ini berbeda, dia merasa bersalah."Ini bukan salahmu," kupikir, sebaiknya segalanya harus diakhiri. Aku masih bisa melihat tatapan yang tidak bisa kumengerti itu. Mungkin dia hanya kasihan padaku. "Aku akan bertanggung jawab."Aku cukup kaget dengan kalimat itu, ia mengikat mataku. Tatapan lelaki itu tidak terbaca. Aku ragu dengan kalimat yang keluar dari mulutnya. Aku tidak mengerti maksud kalimat itu.Tanggungjawab macam apa yang lelaki itu maksud? Apa sesederhana ketika ia meminjamkan tuxedonya ketika mengotori bajuku? Aku bukanlah gaun yang bisa dibersihkan begitu saja. Aku manusia yang baru kehilangan hal paling berharga. "Tidak perlu," aku tidak ingin menaruh harapan. "Kita sama-sama salah, tidak ada yang perlu bertanggungjawab di sini." Itulah kenyataannya, aku juga ikut and
Aku melangkah sempoyongan, keluar dari gedung apartemen yang menjulang tinggi. Dengan heels yang sedari tadi malam membuat pergelangan kakiku sakit, serta gaun kotor yang kini kusembunyikan di balik tuxedo dari lelaki bernama Alex, berjalan terburu mencari taxi di pinggir jalan. Begitu sebuah mobil berhenti di depanku, tanpa pikir panjang, aku segera masuk ke sana."Mau diantar kemana mbak?" Tanya supir di kursi kemudi depan."Menteng pak, kost dukuh atas." Jawabku langsung.Detik berikutnya, mobil berwarna abu-abu terang itu melaju, membawaku jauh dari apartemen elit yang terletak di Jakarta Selatan. Melewati jalan lingkar, aku menghabiskan sekitar 15 menit menuju Jakarta pusat tempat tinggalku. Apa yang telah terjadi, akupun tak mengerti. Segalanya benar-benar tiba-tiba. Perkataan lelaki itu terakhir kali membuat kepalaku kembali pening. Suaranya seolah mengalun tanpa henti di telingaku, ia seperti menanamkan spiker kecil dalam otakku."Aku tertarik padamu."Aku mengacak rambut fr
Risa mengirimi kami pesan, melalui grub yang kami buat saat masih kuliah. gadis itu benar-benar luar biasa, ia bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Maksudku, aku tidak lagi peduli dengan istana yang berhasil ia bangun, tapi kembali berteman seperti dulu akan sangat sulit untukku. Bagaimanapun, aku benar-benar hancur."Ketemuan yuk, aku pengen makan cake di kafe depan fakultas kita dulu. Pasti enak banget." Eva membaca pesan itu dengan nada penuh ejekan, dia terlihat sangat tidak suka."Berhentilah," aku mengambil ponsel gadis itu, lalu meletakkan di atas meja tempat kami duduk sekarang. Sebuah kafe di depan gedung televisi tempat gadis itu bekerja. Di jam makan siang, setelah selesai mengambil gaun dan tuxedo lelaki yang menyandera ponselku, aku memutuskan untuk mengunjungi Eva, sekalian mencari makan. Nyatanya, dari kantorku menuju tempat kerjanya hanya menghabiskan waktu 10 menit. Lalu kenyataan yang baru ku sadari dipagi hari kemarin, ketika meninggalkan apartemen Alex.
"Berapa banyak wanita yang sudah kamu tiduri?" Ia tidak langsung menjawab, hanya menatap terlihat tidak senang."Kenapa kamu ingin tau?" "Entahlah, aku hanya merasa kamu suka mempermainkan wanita," ujarku tenang. "Maaf saja, aku tidak mau jadi salah satu koleksimu.""Apa?" Lelaki itu mengerutkan kening sesaat, sebelum tawanya lepas menggema di seluruh ruangan."koleksi? Yang benar saja.""Lalu apa maumu?" Sungguh! Aku benar-benar lelah."Sudah kubilang, aku tertarik. Apakah salah jika aku tertarik padamu?" "Apa yang membuatmu tertarik padaku?" Tolong beri aku satu saja alasan yang masuk akal!"Maaf, aku juga belum menemukan jawabannya." Semua kalimat yang keluar dari mulutnya hanyalah omong kosong!"Baiklah, aku muak berurusan denganmu!" Aku bangun dari sofa, ini melelahkan. "Simpan saja benda itu untukmu!" Aku hendak melangkah, tapi suaranya kembali menahanku."Kamu yakin tidak membutuhkannya lagi?" Aku berbalik, lelaki itu kini duduk bersedekap dada melihat kearahku menantang. "Ak
Aku pengecut! Setelah melihat Risa di rumah alex kemarin, aku memilih untuk melarikan diri. Entah apa yang gadis itu pikirkan, aku tak lagi peduli. Aku yang tetap pada pendirian, mengatakan bahwa kami tidak saling kenal, sementara Alex hanya diam tidak berniat untuk menjelaskan. Dan sekarang aku sibuk menyuruh kepalaku untuk diam, karena berulang kali memikirkan mereka. Hebat! Beban otakku bertambah sekarang.Dering ponselku berbunyi, aku segara mengambil benda tersebut, yang terletak di atas meja kerja. Ternyata Eva. "Ada apa?" "Mau liburan gak?" Tanya gadis itu langsung."Kemana?""Bali, untuk dua hari dua malam. Biaya transportasi dan makan aku yang tanggung."Tawaran yang sangat menggiurkan ini! "Kamu menang lotre?" "Enggak lah, lusa aku kan ada syuting variety show episode terakhir. Mungkin rampung dalam tiga hari, tapi reservasi hotelnya sampai hari Minggu." Jelasnya, "kamu mau ikut?""Aku dapat gratisan dari uang kantor atau dari kantong kamu sendiri?" Eva tidak mungkin koru
Sepertinya hari-hari ku di kantor akan sangat mengerikan! Keberadaan lelaki itu akan menghancurkan segalanya."Kebahagiaan? Ck, bermimpi lah Hanna!" Aku mengacak rambutku sendiri. Menyedihkan!"Na, kamu baik-baik aja kan?" Bak Gia yang duduk di sampingku mungkin merasa terganggu."Ah, maaf bak, aku cuma lagi banyak pikiran aja." Jelasku seraya tersenyum bodoh. "Baiklah," ia mengangguk mengerti, lalu kembali ke komputernya."Kita meeting sekarang," suara itu. Alex keluar dari ruangannya, menyuruh kami ke ruang rapat secara dadakan. Setelah mengatakan hal itu, ia langsung berjalan menuju ruang meeting tanpa memikirkan kami yang saling bertanya. ***"Saya dengar kalian sedang bekerja sama dengan brand parfume?" Tanyanya langsung, membuka pembahasan."Iya pak, kami sudah mengatur segalanya. Saat ini kita hanya perlu menunggu kabar dari pihak sana, tentang penerimaan ide projek ini." Jelas bak Gia."Begitukah?" Alex mengangguk beberapa kali mengerti. "Bolehkah saya lihat bagaimana peker
"Tante datang sendiri?" Tanyaku melihatnya tak ada yang menemani."Iya, emangnya mau ngajak siapa lagi. sekarang Farhan udah sama istrinya."Aku mengambil segelas minuman untuknya, lalu duduk di samping Tante Dewi di atas kasur. Saat ini, kami berada di kamarku."Ini udah tengah malam loh, Farhan tau Tante ke sini?" Jujur, aku cukup khawatir. Bagaimanapun, Tante Dewi sudah aku anggap seperti ibu kandung sendiri."Sebenarnya hari ini Tante mau kerumah Farhan. Tapi Tante gak berani datang sendiri," jelasnya."Loh, kenapa begitu?" Farhan kan anaknya, kenapa dia takut menemui putranya sendiri?"Kamu kan tau, Tante tidak terlalu kenal Risa. Takutnya nanti malah mengganggunya." Ia menatap gelas yang masih di tangannya, "mereka menikah tiba-tiba, Tante bahkan tidak punya kesempatan untuk mengenal Risa. Tante mau minta mereka tinggal di rumah Tante, juga tidak enak. Takutnya Risa tidak nyaman.""Jadi sebenarnya hari ini Tante mau ke rumah mereka?" Ia menga
Aku mengerti sekarang, kenapa Tante Dewi merasa tak nyaman. Mungkin dia pikir, tidak lagi sanggup menggapai tempat anaknya berpijak. Segalanya telah berubah. Tante Dewi wanita yang sangat sederhana, ia ibu sekaligus orang tua satu-satunya yang di miliki Farhan. Melihat anaknya tumbuh sejauh ini pasti membuatnya bangga. Namun, ada beberapa hal yang mungkin tidak bisa dia bayangkan. Kini Farhan sudah terbang terlalu tinggi, hingga tak lagi punya keinginan untuk melihat kebawah. Sedangkan ibunya, masih memilih berdiri di tempatnya, melihat lelaki itu perlahan menghilang dari pandangan."Duduklah dulu, biar aku buatkan minuman." Ujar Risa mempersilahkan.Rumah megah dengan interior mewah. Lukisan, pajangan klasik serta berbagai barang yang bahkan tidak berani ku sentuh. Aku dan Tante Dewi memilih untuk langsung duduk bersisian di sofa berwarna coklat tua di tengah ruangan. Kami tidak punya keberanian hanya untuk melihat-lihat, takut barang-barang itu tidak sengaja tersenggol.Aku tidak
Hariku berjalan begitu saja, bekerja dan menggerutu karena banyaknya tugas yang harus kuselesaikan. Ditambah, kini Alex mulai bertingkah, hingga membuatku ketakutan jika sampai ketahuan. Apa yang akan karyawan lain pikirkan tentang kami? Lelaki itu kerap kali menghampiri meja kerjaku hanya untuk alasan sepele. Contohnya seperti saat ini, pinjamkan aku pulpen!Aku hampir melemparnya dengan mouse komputer, jika saja dia bukan atasanku. Ini menyebalkan, lihat saja tatapan orang-orang di sekitar. Jauh-jauh keluar dari ruangannya, lelaki itu datang sambil menadah sepotong pena dariku. Maaf pak, di dalam ruang bapak saya rasa ada pena. Geramku menggertakkan gigi.Tak ada yang berfungsi dengan baik, ujarnya enteng. Aku hanya ingin meminjamnya sebentar, nanti akan kukembalikan.Akupun menurutinya permintaanya, mengambil pulpen dalam laci, lalu kuserahkan pada lelaki itu. Ini pak.Terimakasih, dia langsung melenggang berjalan meninggalkanku begitu saja. Sedangkan karyawan lain, mereka masih
Lift terbuka, aku siap-siap keluar mengabaikan kekhawatiran Alex. Aku tidak ingin bertengkar meributkan tentang hati. Meski besar keinginanku untuk memastikan, aku rasa bukan saat ini. Bukan waktu yang tepat. Berjalan terburu, menunduk dalam memperhatikan langkah kakiku yang terlalu cepat, aku ingin segera pulang. "Hanna," lagi-lagi Alex mencekal lenganku. Ia menahanku untuk lebih jauh pergi darinya. "Apa yang kamu pikirkan?" Ia sadar, kegusaran memenuhi wajahku. "Tidak ada," aku berpaling, menenggelamkan perasaanku sendiri. Dia begitu peka dengan perubahan sikapku. Seharusnya, dia juga harus mengerti, kalau kini, aku telah jatuh padanya. Aku tak ingin hatiku kembali hancur karena sebuah harapan tanpa tuan. Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang. Kenapa begitu mudahnya? Kenapa selalu hanya aku? Setidaknya, jika memang dia orangnya, buat lelaki itu jatuh begitu dalam padaku juga. Sayang, aku bisa berharap apa? Seorang Hanna, gadis dengan banyaknya kisah menyedihkan. Parasku j
Alex memesankan kami sarapan. Secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak tau, sejak kapan semua hidangan tersebut tertata rapi di atas meja. Ia menyuruhku untuk duduk dekatnya, memaksa agar menghabiskan semua sayuran, daging serta buah-buahan yang telah ia potong kecil-kecil. Aku tidak tau mengapa, semua orang jadi lebih overprotektif padaku sejak bayi ini ada. Meski nyatanya, aku cukup menyukai hal tersebut. Perhatian yang sebenarnya terasa berlebihan itu, aku cukup menikmatinya.Suara dering ponsel Alex membuat aktivitas menyuap kami terhenti sesaat, lelaki itu segera mengambil benda persegi itu dari atas meja, mengangkat panggilan dari seseorang. "Halo?" Ia menyapa. Aku melihat keningnya berkerut, sambil terus mengunyah apel aku memperhatikan gerak gerik lelaki itu. Hingga dia menyodorkan ponsel berwarna hitam itu kearahku. "Apa?" Tanyaku tak mengerti. "Eva," pungkas lelaki itu ringan. Hak itu berhasil membuatku membelalakkan mata spontan. Aku segera meletakkan garpu yang digunakan
"Hanna," ia menyebut namaku dengan hati-hati. Aku hanya bisa menunggu, apa yang akan ia lontarkan selanjutnya. "Bolehkah aku menciummu?"Awalnya, aku sedikit terkejut, membola seketika. Bingung, berpikir keras. Seharusnya, aku tak perlu menimang bukan? Seharusnya aku hanya perlu mendorongnya menjauh, bangun dari sana, lalu mengatainya seperti biasa. Benar, seharusnya begitu. Tapi kenapa sekarang aku malah mengangguk dengan ragu? Tak mampu berpaling dari matanya yang mengikatku kuat. Aku, juga menginginkannya. Sebuah ciuman, sebuah pelukan dan perlakuan manis dari seseorang yang menyayangiku. Aku juga ingin merasakan kebahagiaan dan cinta yang selama ini ku impikan. Aku sangat menginginkannya. Perlahan namun pasti, ia mendekat. Pelukannya pada pinggangku semakin erat. Kelopak matanya, naik turun menyoroti bibir dan netraku bergantian. Aku merasakan, nafas Alex yang semakin berat. Bukan hanya dia, aku juga menunggu bibir kami bertemu. Namun, "kenapa kamu ingin menciumku." Aku mena
"Kamu punya wine?" "Apa?" Alex menaikkan alis heran, ia menarik diri duduk tegak. Meski tidak berpindah sedikitpun dari tempat semula. "Untuk apa?" "Entahlah, mungkin aku akan melupakan semua. Meski hanya untuk sesaat." Meski banyak masalah yang datang setelah 2 gelas wine malam itu. Aku rasa, cairan itu ampuh membekukan otakku. "Hanna," ia mengulurkan tangan, menyentuh pipiku dengan punggung jemarinya. Mengusap pelan nan lembut. "Apa terjadi sesuatu?" Mataku bergetar, terpesona oleh pupil hitam pekat miliknya. Perlakuannya, cara dia bicara. Ia tau cara membuat orang merasa spesial. Tapi, bolehkah aku seperti ini? Bukankah, aku sudah menolaknya dengan kasar, bahkan memberi Risa harapan, bahwa aku tidak akan mengambil lelaki itu darinya? "Alex," aku memegang tangannya, hendak menurunkan dari wajahku. Namun, ia menahan. Kini, lelaki itu membingkainya dengan kedua telapak tangan, menelusup kebelakang kepalaku. Kedua ibu jarinya, menyapu pipiku perlahan. "Jika terjadi sesuatu, kat
Aku memutuskan untuk masuk melewati gerbang. Melawan diriku sendiri yang sedari tadi menyuruh berbalik. Hati dan otakku seakan bertarung tanpa henti. Dan aku, tetap melangkah mengikuti suara lain yang terus berbisik. Kurasa, aku sudah gila. Aku seakan tau, tempat mana yang ingin kutuju. Aku berjalan lurus tanpa merasa terganggu dengan apapun. Seolah, semuanya sudah pasti. Segalanya sudah terencana sedari awal. Aku tidak tau kenapa bisa begini? Aku menginginkannya? Atau mungkin, anak ini? Yang pasti, kini aku berdiri di depan sebuah pintu. Milik seseorang yang terus-menerus membayangiku selama beberapa hari. Aku ingin melihat wajahnya."Apa yang kamu lakukan, Hanna?" Tanyaku pada diri sendiri, memandangi tempat kayu dengan kenop perak di depanku.Hanya saja, segalanya terasa tidak masuk akal. Aku benar-benar ke tempat ini. Tanpa alasan yang jelas. Aku hendak menekan bel, namun ku urungkan ketika sadar akan satu hal. Mungkin, dia belum kembali dari perjalanan bisnis. Aku tidak meli
Aku tidak terlalu memikirkan gaun apa yang harus kupakai untuk pergi bersama Farhan. Bagiku, itu hanya makan malam biasa, apalagi Eva bersama kami. Gadis itu akan menjemputku, ia tidak membiarkan Farhan mendekat. Dia tau, apa yang harus dilakukan. Dan sekarang, kami berada di dalam mobil merah Eva, menuju sebuah restoran yang lelaki itu pesankan. Aku akan menjagamu, dengan tangan yang masih memegang kemudi, gadis itu terdengar siap berperang.Aku menggeleng pelan, tersenyum mendengar tuturan tidak masuk akal itu. Kita hanya makan malam, Va. Bukan mau melawan Monster."Tapi mirip," tekan gadis itu menaikkan alis, melirikku sekilas, seolah memberi pembenaran. "Terserah kamu saja," balasku hanya bisa pasrah. Mobil Eva melaju membelah jalan malam yang nampak masih cukup ramai. Sekitar 20 menit, ia mengendarai. Hingga kami sampai di sebuah restoran bintang lima yang terlihat sangat mewah. Bukan hanya aku, yang sebenarnya benar-benar tidak terbiasa menginjakkan kaki di tempat seperti i
Aku menatap diri di kaca, melihat pantulan tubuhku yang kini sedikit berisi. Jika ini aku beberapa bulan yang lalu, aku akan langsung memilih untuk mencari menu diet di internet. Tapi sekarang, aku rasa bukan makanan yang membuat berat badanku bertambah. Aku mengusap perutku pelan, menghela nafas ringan. "Sepertinya kamu tumbuh sehat."Entah mengapa ada rasa lega yang datang menyentuh hatiku. Aku senang, anak ini tidak mengalami masalah. Meski, masih ada keinginan untuk tidak mengakuinya. Tapi, sampai kapan aku bisa menyembunyikannya pada dunia? Pada akhirnya, aku harus mengakui keberadaannya. Selesai berdandan, memakai jas berwarna biru muda dan rok beberapa centi di bawah lutut yang senada. Aku keluar dari kos menuju kantor. Meski sedikit risau karena akan bertemu dengan Alex. Aku berusaha untuk bersikap biasa. Bukankah Hanna adalah seorang karyawan kantoran yang profesional? Sampai di kantor, aku segera menuju meja kerjaku. Melakukan apapun yang sudah semestinya kukerjakan. Dari
"kamu egois Hanna." Aku menaikkan alis mendengar tuduhan tidak mendasar itu. "Aku egois?" Benar-benar tidak masuk akal. "Iya," dia mendekat kearahku mengikis jarak. "Kamu mengambil semuanya dariku!" Gadis itu membentak dengan kemarahan tak terbendung. Rahangnya mengeras menusukku dengan tatapan. "Apa yang kuambil?" Aku bertanya tidak habis pikir. Ia bertingkah bak korban sekarang. "Semuanya! Semua yang aku inginkan, segala yang awalnya milikku!" Dadanya naik turun menahan kekesalan, melempar kata demi kata dengan teriakan. "Kamu telah merebut segalanya!"Aku mengerutkan kening, miris mendengar kalimatnya. "Aku merebut darimu?" Bahkan kata-kata itu terdengar konyol. "Risa," dia bahkan tidak tau apa yang kulewati karena malam itu. "Berhentilah bertingkah di depanku. Aku tidak pernah menyalahkan siapapun atas apa yang terjadi padaku. Aku merasa semuanya adalah masalahku dan akan menyelesaikannya sendiri." "Apa?" Ia masih berlagak tak tau. "Aku rasa kamu mengerti, karena kamu bukan