Beranda / Pernikahan / Cinta Memabukkan MR. CEO / 4. Pagi yang Tidak Ditunggu

Share

4. Pagi yang Tidak Ditunggu

"Lalu kamu siapa?" Aku menangkup kedua pipi lelaki itu, dengan mata bulatku yang berkedip berulang kali, mencoba mencari tau siapa orang ini.

Aku bisa merasakan tubuhnya tersentak pelan, ia menelan air liurnya susah payah, terlihat terkejut atau mungkin terperangah?

Tiba-tiba lelaki itu mencuri satu kecupan dariku kembali. Mataku membola terkejut, menutup mulutku dengan kedua tangan karena kaget dengan perlakuannya barusan. "Kenapa kamu menciumku?"

"Kamu protes sekarang?" Tanyanya tidak percaya. Pasalnya ini adalah yang ketiga kalinya ia menjamah bibirku.

"Aku pikir, kamu Farhan tadi," karena itulah aku menerima apapun yang dilakukannya.

"Jadi jika aku lelaki itu, kau akan menerima ciumanku?" Tanyanya heran. "Apa dia sering menciummu?"

Aku segera menggeleng, "tidak, hanya sekali." Jawabku tersenyum miris. "Dulu saat kami masih kuliah, dia pernah menciumku di perpustakaan. Saat itu, aku tertidur karena bosan. Ketika membuka mata, aku mendapatinya sedang mengecup bibirku." Itu kenangan yang indah, tapi menceritakannya kembali membuatku terlihat menyedihkan.

"Pantas saja, caranya sama," aku mendengar bergumam, "Sayangnya aku bukan lelaki itu, kamu marah?" Sambung lelaki itu lagi.

Aku langsung menggeleng cepat. "Tak apa, karena kamu lebih tampan darinya." Aku terkekeh tidak jelas, tapi lelaki yang masih memegang pinggangku ini memang sangatlah tampan.

"Kamu benar-benar mabuk ternyata." Ia kembali berujar. "Padahal kamu terlihat sangat ketakutan tadi, mencari beribu alasan untuk lari dariku. Tapi sekarang malah menyebutku tampan." Aku juga tidak mengerti dengan diriku sendiri.

Ia menarik sudut bibirnya, terlihat menyeringai dalam. Matanya kembali turun kearah bibirku seolah kembali menargetkan mangsanya. "Kalau begitu...," 

Aku tidak yakin, ini terlalu cepat. Aku segara menghalangi rencananya, menutup mulutnya dengan kedua tanganku.

"Kenapa?" Ia menautkan alis bingung.

"Kamu menyukaiku?" Tanyaku takut.

"Entahlah, mungkin untuk sekarang tidak." Lelaki itu berucap dengan sangat enteng.

"Kenapa kamu ingin menciumku jika tidak menyukaiku? Kamu kan bukan Farhan!" Aku tidak suka. Aku menatapnya nyalang sambil mengembungkan kedua pipi sebal.

Dengan tenang, lelaki itu menurunkan tanganku dan memindahkan dari wajahnya, lalu ia mengecup jemariku satu-persatu perlahan. Sedangkan matanya masih mengikatku, seolah menyihirku agar menerimanya.

"Mungkin setelah ini aku akan menyukaimu, kita tidak pernah tau."

Ia benar-benar pintar mengambil hati lawannya. Aku berdebar tak karuan.

Aku tidak tau, apa yang sedang lelaki ini mainkan. Otakku masih tak bekerja dengan benar, kepalaku juga masih pening.

2 gelas wine tadi benar-benar mengerikan. Aku bahkan tidak tau, kenapa masih bertahan dengan posisi yang sangat intim. Ini benar-benar gila!

Ia mengeratkan pelukannya pada pinggangku, menarikku agar lebih rapat padanya. Tangannya satu lagi kini mengusap pipi putihku lembut, matanya terlihat sayu. Lelaki itu kembali mendekat, hidung kami bertemu.

"Kamu akan menyukaiku?" Aku bertanya dengan polos.

Ia mengangguk, tersenyum penuh arti. Aku tidak tau maksud dari lengkungan dengan tatapan beribu makna itu. Aku hanya merasa diinginkan. Apakah lelaki ini berkata jujur?

Tangan yang satunya ikut naik, kini kedua jemari itu menangkup kedua pipiku, dia mendekatkan diri lalu mengecup kedua mataku bergantian. Ia menempelkan kening kami yang sempat terlepas tadi, aku bisa merasakan nafas panasnya menderu.

Dalam sekejap, lelaki itu mempertemukan bibir kami berdua menjadi satu, sedangkan aku menutup mata takut. Aku meremas bahunya erat, otakku berhenti tak lagi bekerja.

"Setelah ini, jika takdir memberi izin, mari bertemu lagi."

Aku tak lagi menggubris kalimat yang ia keluarkan disela-sela kecupan bibirnya, aku hanya mengikuti insting dan menerima perlakuannya.

Ia menelusupkan tangannya kebelakang tengkukku, memperdalam ciuman kami. Bibirnya terasa manis dan memabukkan. Aku bahkan tidak diberi izin untuk berkata tidak, atau bahkan celah untuk menarik nafas. Lelaki itu mendominasi permainan yang dia buat. Aku benar-benar jatuh dalam perangkap.

suara dering ponselku kembali berbunyi nyaring di seluruh ruangan, ia terlihat terganggu. Sementara aku yang sudah terbuai, tak lagi peduli pada apapun.

"Tunggu dulu," dia berhenti membuatku bingung dengan bibir yang membengkak. Nafasku memburu, merasakan sesuatu yang bergejolak. Aku tidak ingin ini selesai.

Ia mengambil ponselku yang tergeletak di atas meja, itu Eva.

"Temanmu?" Tanyanya? Aku mengangguk. "Kamu ingin mengangkatnya dulu?" Aku segera menggeleng. Aku rasa, aku tak akan sanggup menunggu.

Ia tersenyum dengan seringai tajam. Mungkin dia sadar, aku telah jatuh begitu dalam. "Baguslah." Desisnya.

Lelaki itu kembali menyambarku, memberi kecupan di berbagai tempat, sementara ponselku ia selipkan diantara bantal di atas sofa.

Malam itu, kami saling menghangatkan, saling menyembuhkan dari rasa sakit karena ditinggalkan. Siapa sangka, dua orang asing di bawah pengaruh alkohol kini memadu kasih dalam kesunyian. Malam itu menjadi malam paling panjang dalam hidupku.

***

Langit-langit kamar ini bagus, biru muda dengan tiga lampu gantung kotak yang dijejer rapi. Mataku masih lelah, aku menguap sesaat sebelum benar-benar sadar dari tidur.

Dingin, aku kembali menarik selimut hingga menutup kepala, lalu kembali menutup mata.

"Wangi...," Aku bergumam, tempat tidur empuk nan hangat ini benar-benar nyaman. Aroma vanila juga menyeruak, membuatku tak ingin segera bangun.

"Heumm...," Lenguhan seseorang membuatku sadar, aku segera membuka mata kembali.

Tunggu dulu! Aku segera menarik selimut yang menutupi tubuhku, lalu bangun dari tidur.

"Apa yang terjadi?" Aku tidak sendiri, ini bukan mimpi. Ada manusia lain yang berbagi selimut denganku semalaman.

"Apa yang telah kulakukan!" Aku memegangi kepala kesakitan. Tubuhku nyeri dan pegal. Tak ada sehelai kainpun, kecuali selimut abu-abu tua yang masih kujadikan penutup tubuh polosku. Aku telah menyerahkan diri?

Aku tersentak, ketika lelaki itu memeluk pinggangku, merapatkan diri kearahku. Tubuhku seketika menegang, tercekat ketakutan. Kejadian semalam perlahan mulai muncul seperti potongan video rusak.

"Tidak mungkin, aku pasti sudah gila!" Aku berteriak dalam bisikan, segalanya telah terjadi, aku mulai menyadari apa yang telah kulakukan tadi malam. Hanna, kau tidur dengan orang asing!

"Kamu sudah bangun." Suara serak pemilik lengan yang masih bertengger di pinggangnku membuat tubuhku mematung. "Tidurlah kembali, ini masih pagi." Lelaki itu dengan entengnya malah menjadikan pahaku sebagai bantalan.

Karena kesal, aku langsung mendorong kepala besar lelaki itu, ada apa dengannya? Dia tidak sadar kah, baru tadi malam manusia ini berkata tidak tertarik padaku. Tapi apa yang terjadi sekarang? omongannya tidak bisa dipegang.

"Kamu gila! Apa yang telah kamu lakukan padaku?" Aku kehilangan kesabaran, dia terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja meniduri gadis yang tengah sibuk dengan cinta bertepuk sebelah tangan.

Lelaki itu bangun lalu duduk bersandar pada kepala kasur, ia memegang kepalanya terlihat sakit. Tentu saja, ia memasukkan alkohol kemulutnya seperti kehausan semalam. Apalagi setelah kudorong paksa tadi.

Ia menghela nafas, menatapku datar, memindai tubuhku dari atas sampai bawah.

"Kamu yang menggodaku, jangan salahkan aku." Ia berucap dingin.

"Apa maksudmu?" Aku hanya tidak bisa mengerti. Jelas-jelas semua terjadi karena minuman yang dia berikan!

Dia mengusap wajah lelah, menghela nafas panjang. Lelaki itu terlihat kesal.

"Kamu kesal?" Aku tidak terima, "daripada menyesal, kamu malah kesal?" Tekanku bertanya ikut sebal.

"Maaf," tiba-tiba dia mengucapkan kata itu sambil menatapku bingung.

"What the...," Suara manusia asing lain terdengar dari ambang pintu, masuk tanpa izin, berdiri sambil menatap kami dengan mulut menganga.

Tunggu, bukankah pintu itu terkunci otomatis karena menggunakan password? Bagaimana bisa lelaki di sana masuk dengan begitu mudahnya? 

"Bisa ketuk dulu gak?" Alex menarikku kebelakang badannya, mungkin dia takut lelaki tak dikenal itu melihat wajah atau tubuh polosku.

"Apa kamu memberiku password agar aku mengetuk pintu?" Tanya lelaki itu dengan nada sewot. 

"Diamlah Will, sekarang keluar!" Ia setengah berteriak geram.

"Iya, iya, iya." Jawab lelaki itu pasrah.  "kopinya aku tinggal di sini ya!" Ujarnya, setelah itu aku bisa mendengar pintu tertutup, kurasa dia telah menghilang, keluar dari apartemen pria dia depanku. 

Dari balik tubuh polos Alex, aku memikirkan banyak hal. Apa yang terjadi? Kenapa dengan bodohnya aku berakhir seperti ini? Haruskah aku mengakhiri hidup secepatnya? Kurasa melompat dari jurang akan menjadi pilihan terbaik.

"Maaf," lelaki itu kembali bersuara, menyadarkan semua pikiran gila yang menyerangku. 

Aku kembali menatapnya, kini kami kembali beradu pandang. 

"Kenapa?" Tanyaku.

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status