Beranda / Pernikahan / Cinta Memabukkan MR. CEO / 5. Tersadar dalam Kebodohan

Share

5. Tersadar dalam Kebodohan

"Untuk tadi malam, aku minta maaf." Aku mencari kebohongan dari matanya, namun ia terlihat begitu tulus.

Padahal aku hanya bisa melihat keangkuhan dengan wajah dingin dari paras tampannya tadi malam. Kali ini berbeda, dia merasa bersalah.

"Ini bukan salahmu," kupikir, sebaiknya segalanya harus diakhiri. Aku masih bisa melihat tatapan yang tidak bisa kumengerti itu. Mungkin dia hanya kasihan padaku.

"Aku akan bertanggung jawab."

Aku cukup kaget dengan kalimat itu, ia mengikat mataku. Tatapan lelaki itu tidak terbaca. Aku ragu dengan kalimat yang keluar dari mulutnya. Aku tidak mengerti maksud kalimat itu.

Tanggungjawab macam apa yang lelaki itu maksud? Apa sesederhana ketika ia meminjamkan tuxedonya ketika mengotori bajuku? Aku bukanlah gaun yang bisa dibersihkan begitu saja. Aku manusia yang baru kehilangan hal paling berharga.

"Tidak perlu," aku tidak ingin menaruh harapan. "Kita sama-sama salah, tidak ada yang perlu bertanggungjawab di sini." Itulah kenyataannya, aku juga ikut andil dalam Kebodohan ini.

"Maksudmu?" Ia bingung pada setiap kalimat yang kulontarkan, aku mengerti. Mungkin baginya aku terlalu menganggap enteng masalah ini.

"Anggap saja semuanya tidak pernah terjadi," aku menarik selimut tebal yang menutupi kami, lalu memberinya bantal agar tubuh bagian bawahnya tidak terpapar begitu saja, setelah itu aku melilitkan kain berwarna abu-abu itu pada tubuhku. "kita tidak saling kenal, anggap saja semuanya sebagai nasib buruk. Ini semua salah 2 gelas wine yang aku minum. Jadi, kita hanya tidak perlu bertemu lagi setelah ini."

"kamu serius?" Setiap pertanyaan itu, hanya ada satu jawaban. Apa lagi yang bisa kulakukan? Nyatanya hanya itu pilihan yang paling benar untuk kami. 

Aku bangun dari kasur, memungut pakaian dalam dan gaun yang dipenuhi noda anggur. Aku tak lagi menggubris pada wajah cengo dan kebingungannya.

Sebelum masuk kamar mandi, aku kembali berbalik melihatnya. "Kita hanya dua orang asing yang tidak sengaja melakukan kesalahan." Ucapku memberi tahu. Alex tak mengucapkan sepatah kata pun untuk menjawab, ia hanya menatap tak tau mau berbuat apa.

Setelahnya, aku segera meninggalkan dia, masuk kedalam sana membasuh wajahku di depan cermin wastafel. Segalanya terjadi begitu saja, dan aku hanya bisa menerima. Meski masih belum bisa mempercayai perbuatanku sendiri, aku tak lagi bisa melakukan apapun.

"Sadarlah Na, anggap saja ini semua mimpi!" Tekanku pada diri sendiri.

Pada akhirnya aku tidak tau siapa lelaki bernama Alex itu. Apa mau lelaki itu? Apakah dia berkata jujur, tentang patah hatinya? Akupun tidak tau bagaimana karakternya aslinya, aku tidak ingin mengambil resiko. 

Aku keluar dari kamar mandi menggunakan gaun kotor semalam, tak ada yang bisa digunakan. Tadi malam Alex memang memberiku baju ganti. Namun aku cukup pintar untuk tidak menggunakan kaos tipis dan celana pendek darinya. Otakku masih bekerja dengan baik semalam.

Sayangnya, setelah tersiram minuman beralkohol tinggi, aku kehilangan kendali. Bahkan dengan gaun kotor itupun, Alex berhasil meniduriku.

"Kamu akan pergi menggunakan gaun itu." Kini Alex telah memakai kaos dan celana kain yang ia gunakan tadi malam, duduk di atas sofa sambil menatapku yang baru keluar dari kamar mandi.

"Iya, aku pamit." Aku berucap tanpa meliriknya, menyambar tas selempang di atas meja.

Langkahku terburu, aku mencari pintu keluar seolah kehilangan hari esok. Alex yang sadar akan hal itu langsung bangun dari duduknya, menahan lenganku segera. Mata kami bertemu, saling menatap dalam keheningan. Hingga suara helaan nafas panjang Alex terdengar.

"Siapa namamu?" Sedari semalam, Alex belum sempat menanyakan namaku.

"Kamu tidak perlu tau." Jawabku tegas.

Alex mengerutkan kening, aku hanya meliriknya sekilas, tak mau menatapnya. "Kamu takut padaku?" Tanya lelaki itu akhirnya.

"Iya." Jawabku langsung, aku tidak ingin mengelak atas tuduhan Alex.

"Maaf," lelaki itu berucap, "ini pertama kalinya kan, untukmu?"

Tubuhku bergetar hebat, mendengar kata itu membuatku semakin merutuki semua yang telah terjadi. Aku tidak ingin menjawab, aku hanya bisa kembali menunduk menjauhi tatapan matanya.

"Kamu marah?" Aku bisa merasakan rasa bersalah dari nada suara lelaki itu.

"Menurutmu?" Pertanyaan itu terasa tidak bermutu.

"Biar aku antar kamu pulang," pinta lelaki itu.

"Tak usah."

Aku berusaha menarik diri dari cengkraman tangan besar Alex. Perasaanku tak enak. Semakin dipikirkan, semakin ingin lari dari keadaan ini. Yang ada di kepalaku sekarang adalah, bagaimana caranya agar bisa secepatnya sampai di rumah.

"Aku memaksa!" Tekan lelaki itu, kembali menahanku.

"BISAKAH...," Aku meninggikan suaranya frustasi, menatapnya memohon. Situasi ini membuatku lelah, "biarkan aku pulang, tidak usah pedulikan apapun tentangku. Aku tidak mengenalmu, begitupun sebaliknya. Mungkin setelah ini kita tidak akan pernah bertemu lagi, semua akan kembali seperti semula, kita hanya perlu menganggap kejadian semalam tidak pernah terjadi."

Alex terlihat cukup terkejut, tangannya yang masih memegangku, kini perlahan terlepas. Lelaki itu mengepalkan genggamannya terlihat berpikir keras.

Kurasa, akhirnya dia sadar. Kami tak seharusnya terbawa arus, dan berakhir melakukan hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan mudah.

Kami dua orang asing, menyebut diri sedang patah hati, namun malah saling menghibur dengan cara yang salah.

Alex menghela nafas panjang, "Baiklah," ia menyerah. "Tapi setidaknya pakai ini." Lelaki itu mengambil tuxedo miliknya dan dilampirkan pada bahu telanjangku.

"Tidak perlu, aku tidak ingin bertemu denganmu untuk mengembalikan baju ini." Aku segera melepas baju itu, lalu kukembalikan kepadanya tidak suka.

"Kamu benar-benar tidak ingin bertemu denganku lagi ternyata," ia berujar lemah, dengan nada menahan marah. "Buang saja kalau begitu!"

Aku menaikkan wajah menatap Alex, rahangnya mengeras. Ia kesal. Akhirnya menerima baju itu adalah pilihan terbaik yang bisa kulakukan. Nyatanya, aku membutuhkan benda ini. Gaun kotor dengan bahu terbuka, bukanlah pemandangan bagus di pagi hari.

"Terimakasih." Ujarku memakai tuxedo Alex dengan benar.

Setelah selesai merapikan bajuku, ia mundur satu langkah, menatapku tanpa mengucap sepatah katapun.

Aku bingung, entah apa maunya.

"Kalau begitu...," Kurasa, aku harus segera pergi.

"Maaf," tiba-tiba lelaki itu berucap.

Aku menaikkan alis, tidak mengerti dengan maaf yang terlontar itu.

"Sudah kubilang, tak ada yang salah. Kita hanya...."

"Tidak perlu bertemu lalu melupakan apa yang telah terjadi?" Ia menyambung kalimatku seolah tau apa yang akan kukatakan.

Dan aku hanya bisa mengangguk, sambil mencari tau makna dari raut wajah yang terlihat tidak terima dengan keputusanku.

"Kita tidak pernah tau, apa yang akan terjadi di masa depan." Aku tidak mengerti dengan ucapannya. "Maaf, mungkin aku tidak bisa berjanji untuk tidak menemuimu lagi." Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya terdengar sangat lugas, ia seolah tidak ingin semua berkahir begitu saja.

"Kurasa bumi tidak sekecil itu, kamu tidak perlu takut. Kupastikan, kita tidak akan pernah saling berhadapan di masa depan." Akupun ingin memberitahunya dengan tegas.

"Kamu menyesal?" Ia bertanya dengan wajah datar.

"Tentu saja," entah apa yang orang ini pikirkan.

"Kurasa aku harus meminta maaf lagi," kini dia menatapku tajam.

"Sebenarnya apa maumu, untuk apa meminta maaf lagi?"

"Aku tertarik padamu."

Tiga kata itu, membuatku mematung. Entah apa makna dari kata tertarik yang ia ucap barusan. Ia penasaran? Merasa senasib? Atau lelaki ini hanya butuh pelarian?

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status