"Untuk tadi malam, aku minta maaf." Aku mencari kebohongan dari matanya, namun ia terlihat begitu tulus.
Padahal aku hanya bisa melihat keangkuhan dengan wajah dingin dari paras tampannya tadi malam. Kali ini berbeda, dia merasa bersalah.
"Ini bukan salahmu," kupikir, sebaiknya segalanya harus diakhiri. Aku masih bisa melihat tatapan yang tidak bisa kumengerti itu. Mungkin dia hanya kasihan padaku."Aku akan bertanggung jawab."Aku cukup kaget dengan kalimat itu, ia mengikat mataku. Tatapan lelaki itu tidak terbaca. Aku ragu dengan kalimat yang keluar dari mulutnya. Aku tidak mengerti maksud kalimat itu.Tanggungjawab macam apa yang lelaki itu maksud? Apa sesederhana ketika ia meminjamkan tuxedonya ketika mengotori bajuku? Aku bukanlah gaun yang bisa dibersihkan begitu saja. Aku manusia yang baru kehilangan hal paling berharga."Tidak perlu," aku tidak ingin menaruh harapan. "Kita sama-sama salah, tidak ada yang perlu bertanggungjawab di sini." Itulah kenyataannya, aku juga ikut andil dalam Kebodohan ini."Maksudmu?" Ia bingung pada setiap kalimat yang kulontarkan, aku mengerti. Mungkin baginya aku terlalu menganggap enteng masalah ini."Anggap saja semuanya tidak pernah terjadi," aku menarik selimut tebal yang menutupi kami, lalu memberinya bantal agar tubuh bagian bawahnya tidak terpapar begitu saja, setelah itu aku melilitkan kain berwarna abu-abu itu pada tubuhku. "kita tidak saling kenal, anggap saja semuanya sebagai nasib buruk. Ini semua salah 2 gelas wine yang aku minum. Jadi, kita hanya tidak perlu bertemu lagi setelah ini.""kamu serius?" Setiap pertanyaan itu, hanya ada satu jawaban. Apa lagi yang bisa kulakukan? Nyatanya hanya itu pilihan yang paling benar untuk kami. Aku bangun dari kasur, memungut pakaian dalam dan gaun yang dipenuhi noda anggur. Aku tak lagi menggubris pada wajah cengo dan kebingungannya.Sebelum masuk kamar mandi, aku kembali berbalik melihatnya. "Kita hanya dua orang asing yang tidak sengaja melakukan kesalahan." Ucapku memberi tahu. Alex tak mengucapkan sepatah kata pun untuk menjawab, ia hanya menatap tak tau mau berbuat apa.Setelahnya, aku segera meninggalkan dia, masuk kedalam sana membasuh wajahku di depan cermin wastafel. Segalanya terjadi begitu saja, dan aku hanya bisa menerima. Meski masih belum bisa mempercayai perbuatanku sendiri, aku tak lagi bisa melakukan apapun."Sadarlah Na, anggap saja ini semua mimpi!" Tekanku pada diri sendiri.Pada akhirnya aku tidak tau siapa lelaki bernama Alex itu. Apa mau lelaki itu? Apakah dia berkata jujur, tentang patah hatinya? Akupun tidak tau bagaimana karakternya aslinya, aku tidak ingin mengambil resiko. Aku keluar dari kamar mandi menggunakan gaun kotor semalam, tak ada yang bisa digunakan. Tadi malam Alex memang memberiku baju ganti. Namun aku cukup pintar untuk tidak menggunakan kaos tipis dan celana pendek darinya. Otakku masih bekerja dengan baik semalam.Sayangnya, setelah tersiram minuman beralkohol tinggi, aku kehilangan kendali. Bahkan dengan gaun kotor itupun, Alex berhasil meniduriku."Kamu akan pergi menggunakan gaun itu." Kini Alex telah memakai kaos dan celana kain yang ia gunakan tadi malam, duduk di atas sofa sambil menatapku yang baru keluar dari kamar mandi."Iya, aku pamit." Aku berucap tanpa meliriknya, menyambar tas selempang di atas meja.Langkahku terburu, aku mencari pintu keluar seolah kehilangan hari esok. Alex yang sadar akan hal itu langsung bangun dari duduknya, menahan lenganku segera. Mata kami bertemu, saling menatap dalam keheningan. Hingga suara helaan nafas panjang Alex terdengar."Siapa namamu?" Sedari semalam, Alex belum sempat menanyakan namaku."Kamu tidak perlu tau." Jawabku tegas.Alex mengerutkan kening, aku hanya meliriknya sekilas, tak mau menatapnya. "Kamu takut padaku?" Tanya lelaki itu akhirnya."Iya." Jawabku langsung, aku tidak ingin mengelak atas tuduhan Alex."Maaf," lelaki itu berucap, "ini pertama kalinya kan, untukmu?"Tubuhku bergetar hebat, mendengar kata itu membuatku semakin merutuki semua yang telah terjadi. Aku tidak ingin menjawab, aku hanya bisa kembali menunduk menjauhi tatapan matanya."Kamu marah?" Aku bisa merasakan rasa bersalah dari nada suara lelaki itu."Menurutmu?" Pertanyaan itu terasa tidak bermutu."Biar aku antar kamu pulang," pinta lelaki itu."Tak usah."Aku berusaha menarik diri dari cengkraman tangan besar Alex. Perasaanku tak enak. Semakin dipikirkan, semakin ingin lari dari keadaan ini. Yang ada di kepalaku sekarang adalah, bagaimana caranya agar bisa secepatnya sampai di rumah."Aku memaksa!" Tekan lelaki itu, kembali menahanku."BISAKAH...," Aku meninggikan suaranya frustasi, menatapnya memohon. Situasi ini membuatku lelah, "biarkan aku pulang, tidak usah pedulikan apapun tentangku. Aku tidak mengenalmu, begitupun sebaliknya. Mungkin setelah ini kita tidak akan pernah bertemu lagi, semua akan kembali seperti semula, kita hanya perlu menganggap kejadian semalam tidak pernah terjadi."Alex terlihat cukup terkejut, tangannya yang masih memegangku, kini perlahan terlepas. Lelaki itu mengepalkan genggamannya terlihat berpikir keras.Kurasa, akhirnya dia sadar. Kami tak seharusnya terbawa arus, dan berakhir melakukan hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan mudah.Kami dua orang asing, menyebut diri sedang patah hati, namun malah saling menghibur dengan cara yang salah.Alex menghela nafas panjang, "Baiklah," ia menyerah. "Tapi setidaknya pakai ini." Lelaki itu mengambil tuxedo miliknya dan dilampirkan pada bahu telanjangku."Tidak perlu, aku tidak ingin bertemu denganmu untuk mengembalikan baju ini." Aku segera melepas baju itu, lalu kukembalikan kepadanya tidak suka."Kamu benar-benar tidak ingin bertemu denganku lagi ternyata," ia berujar lemah, dengan nada menahan marah. "Buang saja kalau begitu!"Aku menaikkan wajah menatap Alex, rahangnya mengeras. Ia kesal. Akhirnya menerima baju itu adalah pilihan terbaik yang bisa kulakukan. Nyatanya, aku membutuhkan benda ini. Gaun kotor dengan bahu terbuka, bukanlah pemandangan bagus di pagi hari.
"Terimakasih." Ujarku memakai tuxedo Alex dengan benar.Setelah selesai merapikan bajuku, ia mundur satu langkah, menatapku tanpa mengucap sepatah katapun.Aku bingung, entah apa maunya."Kalau begitu...," Kurasa, aku harus segera pergi."Maaf," tiba-tiba lelaki itu berucap.Aku menaikkan alis, tidak mengerti dengan maaf yang terlontar itu."Sudah kubilang, tak ada yang salah. Kita hanya....""Tidak perlu bertemu lalu melupakan apa yang telah terjadi?" Ia menyambung kalimatku seolah tau apa yang akan kukatakan.Dan aku hanya bisa mengangguk, sambil mencari tau makna dari raut wajah yang terlihat tidak terima dengan keputusanku."Kita tidak pernah tau, apa yang akan terjadi di masa depan." Aku tidak mengerti dengan ucapannya. "Maaf, mungkin aku tidak bisa berjanji untuk tidak menemuimu lagi." Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya terdengar sangat lugas, ia seolah tidak ingin semua berkahir begitu saja."Kurasa bumi tidak sekecil itu, kamu tidak perlu takut. Kupastikan, kita tidak akan pernah saling berhadapan di masa depan." Akupun ingin memberitahunya dengan tegas."Kamu menyesal?" Ia bertanya dengan wajah datar."Tentu saja," entah apa yang orang ini pikirkan."Kurasa aku harus meminta maaf lagi," kini dia menatapku tajam."Sebenarnya apa maumu, untuk apa meminta maaf lagi?""Aku tertarik padamu."Tiga kata itu, membuatku mematung. Entah apa makna dari kata tertarik yang ia ucap barusan. Ia penasaran? Merasa senasib? Atau lelaki ini hanya butuh pelarian?TBC
Aku melangkah sempoyongan, keluar dari gedung apartemen yang menjulang tinggi. Dengan heels yang sedari tadi malam membuat pergelangan kakiku sakit, serta gaun kotor yang kini kusembunyikan di balik tuxedo dari lelaki bernama Alex, berjalan terburu mencari taxi di pinggir jalan. Begitu sebuah mobil berhenti di depanku, tanpa pikir panjang, aku segera masuk ke sana."Mau diantar kemana mbak?" Tanya supir di kursi kemudi depan."Menteng pak, kost dukuh atas." Jawabku langsung.Detik berikutnya, mobil berwarna abu-abu terang itu melaju, membawaku jauh dari apartemen elit yang terletak di Jakarta Selatan. Melewati jalan lingkar, aku menghabiskan sekitar 15 menit menuju Jakarta pusat tempat tinggalku. Apa yang telah terjadi, akupun tak mengerti. Segalanya benar-benar tiba-tiba. Perkataan lelaki itu terakhir kali membuat kepalaku kembali pening. Suaranya seolah mengalun tanpa henti di telingaku, ia seperti menanamkan spiker kecil dalam otakku."Aku tertarik padamu."Aku mengacak rambut fr
Risa mengirimi kami pesan, melalui grub yang kami buat saat masih kuliah. gadis itu benar-benar luar biasa, ia bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Maksudku, aku tidak lagi peduli dengan istana yang berhasil ia bangun, tapi kembali berteman seperti dulu akan sangat sulit untukku. Bagaimanapun, aku benar-benar hancur."Ketemuan yuk, aku pengen makan cake di kafe depan fakultas kita dulu. Pasti enak banget." Eva membaca pesan itu dengan nada penuh ejekan, dia terlihat sangat tidak suka."Berhentilah," aku mengambil ponsel gadis itu, lalu meletakkan di atas meja tempat kami duduk sekarang. Sebuah kafe di depan gedung televisi tempat gadis itu bekerja. Di jam makan siang, setelah selesai mengambil gaun dan tuxedo lelaki yang menyandera ponselku, aku memutuskan untuk mengunjungi Eva, sekalian mencari makan. Nyatanya, dari kantorku menuju tempat kerjanya hanya menghabiskan waktu 10 menit. Lalu kenyataan yang baru ku sadari dipagi hari kemarin, ketika meninggalkan apartemen Alex.
"Berapa banyak wanita yang sudah kamu tiduri?" Ia tidak langsung menjawab, hanya menatap terlihat tidak senang."Kenapa kamu ingin tau?" "Entahlah, aku hanya merasa kamu suka mempermainkan wanita," ujarku tenang. "Maaf saja, aku tidak mau jadi salah satu koleksimu.""Apa?" Lelaki itu mengerutkan kening sesaat, sebelum tawanya lepas menggema di seluruh ruangan."koleksi? Yang benar saja.""Lalu apa maumu?" Sungguh! Aku benar-benar lelah."Sudah kubilang, aku tertarik. Apakah salah jika aku tertarik padamu?" "Apa yang membuatmu tertarik padaku?" Tolong beri aku satu saja alasan yang masuk akal!"Maaf, aku juga belum menemukan jawabannya." Semua kalimat yang keluar dari mulutnya hanyalah omong kosong!"Baiklah, aku muak berurusan denganmu!" Aku bangun dari sofa, ini melelahkan. "Simpan saja benda itu untukmu!" Aku hendak melangkah, tapi suaranya kembali menahanku."Kamu yakin tidak membutuhkannya lagi?" Aku berbalik, lelaki itu kini duduk bersedekap dada melihat kearahku menantang. "Ak
Aku pengecut! Setelah melihat Risa di rumah alex kemarin, aku memilih untuk melarikan diri. Entah apa yang gadis itu pikirkan, aku tak lagi peduli. Aku yang tetap pada pendirian, mengatakan bahwa kami tidak saling kenal, sementara Alex hanya diam tidak berniat untuk menjelaskan. Dan sekarang aku sibuk menyuruh kepalaku untuk diam, karena berulang kali memikirkan mereka. Hebat! Beban otakku bertambah sekarang.Dering ponselku berbunyi, aku segara mengambil benda tersebut, yang terletak di atas meja kerja. Ternyata Eva. "Ada apa?" "Mau liburan gak?" Tanya gadis itu langsung."Kemana?""Bali, untuk dua hari dua malam. Biaya transportasi dan makan aku yang tanggung."Tawaran yang sangat menggiurkan ini! "Kamu menang lotre?" "Enggak lah, lusa aku kan ada syuting variety show episode terakhir. Mungkin rampung dalam tiga hari, tapi reservasi hotelnya sampai hari Minggu." Jelasnya, "kamu mau ikut?""Aku dapat gratisan dari uang kantor atau dari kantong kamu sendiri?" Eva tidak mungkin koru
Sepertinya hari-hari ku di kantor akan sangat mengerikan! Keberadaan lelaki itu akan menghancurkan segalanya."Kebahagiaan? Ck, bermimpi lah Hanna!" Aku mengacak rambutku sendiri. Menyedihkan!"Na, kamu baik-baik aja kan?" Bak Gia yang duduk di sampingku mungkin merasa terganggu."Ah, maaf bak, aku cuma lagi banyak pikiran aja." Jelasku seraya tersenyum bodoh. "Baiklah," ia mengangguk mengerti, lalu kembali ke komputernya."Kita meeting sekarang," suara itu. Alex keluar dari ruangannya, menyuruh kami ke ruang rapat secara dadakan. Setelah mengatakan hal itu, ia langsung berjalan menuju ruang meeting tanpa memikirkan kami yang saling bertanya. ***"Saya dengar kalian sedang bekerja sama dengan brand parfume?" Tanyanya langsung, membuka pembahasan."Iya pak, kami sudah mengatur segalanya. Saat ini kita hanya perlu menunggu kabar dari pihak sana, tentang penerimaan ide projek ini." Jelas bak Gia."Begitukah?" Alex mengangguk beberapa kali mengerti. "Bolehkah saya lihat bagaimana peker
"Tante datang sendiri?" Tanyaku melihatnya tak ada yang menemani."Iya, emangnya mau ngajak siapa lagi. sekarang Farhan udah sama istrinya."Aku mengambil segelas minuman untuknya, lalu duduk di samping Tante Dewi di atas kasur. Saat ini, kami berada di kamarku."Ini udah tengah malam loh, Farhan tau Tante ke sini?" Jujur, aku cukup khawatir. Bagaimanapun, Tante Dewi sudah aku anggap seperti ibu kandung sendiri."Sebenarnya hari ini Tante mau kerumah Farhan. Tapi Tante gak berani datang sendiri," jelasnya."Loh, kenapa begitu?" Farhan kan anaknya, kenapa dia takut menemui putranya sendiri?"Kamu kan tau, Tante tidak terlalu kenal Risa. Takutnya nanti malah mengganggunya." Ia menatap gelas yang masih di tangannya, "mereka menikah tiba-tiba, Tante bahkan tidak punya kesempatan untuk mengenal Risa. Tante mau minta mereka tinggal di rumah Tante, juga tidak enak. Takutnya Risa tidak nyaman.""Jadi sebenarnya hari ini Tante mau ke rumah mereka?" Ia menga
Aku mengerti sekarang, kenapa Tante Dewi merasa tak nyaman. Mungkin dia pikir, tidak lagi sanggup menggapai tempat anaknya berpijak. Segalanya telah berubah. Tante Dewi wanita yang sangat sederhana, ia ibu sekaligus orang tua satu-satunya yang di miliki Farhan. Melihat anaknya tumbuh sejauh ini pasti membuatnya bangga. Namun, ada beberapa hal yang mungkin tidak bisa dia bayangkan. Kini Farhan sudah terbang terlalu tinggi, hingga tak lagi punya keinginan untuk melihat kebawah. Sedangkan ibunya, masih memilih berdiri di tempatnya, melihat lelaki itu perlahan menghilang dari pandangan."Duduklah dulu, biar aku buatkan minuman." Ujar Risa mempersilahkan.Rumah megah dengan interior mewah. Lukisan, pajangan klasik serta berbagai barang yang bahkan tidak berani ku sentuh. Aku dan Tante Dewi memilih untuk langsung duduk bersisian di sofa berwarna coklat tua di tengah ruangan. Kami tidak punya keberanian hanya untuk melihat-lihat, takut barang-barang itu tidak sengaja tersenggol.Aku tidak
"Sepertinya, aku benar-benar harus pulang," Pamitku lagi.Aku tidak cukup gila, untuk tetap memilih tinggal, ketika lelaki itu muncul entah darimana. Semua akan menjadi rumit, jika Alex membuka mulut tentang hubungan kami. Aku takut, mereka tau hal gila yang terjadi padaku. Aku segera mengambil tas selempangku yang tergeletak di atas sofa, melampirkan pada bahuku lalu berjalan melewati mereka. Namun, langkahku terhenti. Tangan seseorang menahan kepergianku. Lelaki itu, memegang pergelanganku. Padahal, lengannya masih digandeng oleh Risa."Tidak bisakah kau tinggal lebih lama?" Tanyanya. Seketika suasana menjadi tegang. Risa kehilangan lengkungan di wajahnya, kini dia menatap tangan lelaki itu yang menahanku. Lalu Farhan yang juga ikut-ikutan melirik kami bergantian. Aku menggigit bibir bawahku khawatir. Apa yang harus kulakukan? Kenapa lelaki ini begitu nekat? Jika begini, semua orang pasti akan berpikir yang tidak-tidak. Apalagi kemarin, Risa memergokiku yang keluar dari apartem
Hariku berjalan begitu saja, bekerja dan menggerutu karena banyaknya tugas yang harus kuselesaikan. Ditambah, kini Alex mulai bertingkah, hingga membuatku ketakutan jika sampai ketahuan. Apa yang akan karyawan lain pikirkan tentang kami? Lelaki itu kerap kali menghampiri meja kerjaku hanya untuk alasan sepele. Contohnya seperti saat ini, pinjamkan aku pulpen!Aku hampir melemparnya dengan mouse komputer, jika saja dia bukan atasanku. Ini menyebalkan, lihat saja tatapan orang-orang di sekitar. Jauh-jauh keluar dari ruangannya, lelaki itu datang sambil menadah sepotong pena dariku. Maaf pak, di dalam ruang bapak saya rasa ada pena. Geramku menggertakkan gigi.Tak ada yang berfungsi dengan baik, ujarnya enteng. Aku hanya ingin meminjamnya sebentar, nanti akan kukembalikan.Akupun menurutinya permintaanya, mengambil pulpen dalam laci, lalu kuserahkan pada lelaki itu. Ini pak.Terimakasih, dia langsung melenggang berjalan meninggalkanku begitu saja. Sedangkan karyawan lain, mereka masih
Lift terbuka, aku siap-siap keluar mengabaikan kekhawatiran Alex. Aku tidak ingin bertengkar meributkan tentang hati. Meski besar keinginanku untuk memastikan, aku rasa bukan saat ini. Bukan waktu yang tepat. Berjalan terburu, menunduk dalam memperhatikan langkah kakiku yang terlalu cepat, aku ingin segera pulang. "Hanna," lagi-lagi Alex mencekal lenganku. Ia menahanku untuk lebih jauh pergi darinya. "Apa yang kamu pikirkan?" Ia sadar, kegusaran memenuhi wajahku. "Tidak ada," aku berpaling, menenggelamkan perasaanku sendiri. Dia begitu peka dengan perubahan sikapku. Seharusnya, dia juga harus mengerti, kalau kini, aku telah jatuh padanya. Aku tak ingin hatiku kembali hancur karena sebuah harapan tanpa tuan. Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang. Kenapa begitu mudahnya? Kenapa selalu hanya aku? Setidaknya, jika memang dia orangnya, buat lelaki itu jatuh begitu dalam padaku juga. Sayang, aku bisa berharap apa? Seorang Hanna, gadis dengan banyaknya kisah menyedihkan. Parasku j
Alex memesankan kami sarapan. Secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak tau, sejak kapan semua hidangan tersebut tertata rapi di atas meja. Ia menyuruhku untuk duduk dekatnya, memaksa agar menghabiskan semua sayuran, daging serta buah-buahan yang telah ia potong kecil-kecil. Aku tidak tau mengapa, semua orang jadi lebih overprotektif padaku sejak bayi ini ada. Meski nyatanya, aku cukup menyukai hal tersebut. Perhatian yang sebenarnya terasa berlebihan itu, aku cukup menikmatinya.Suara dering ponsel Alex membuat aktivitas menyuap kami terhenti sesaat, lelaki itu segera mengambil benda persegi itu dari atas meja, mengangkat panggilan dari seseorang. "Halo?" Ia menyapa. Aku melihat keningnya berkerut, sambil terus mengunyah apel aku memperhatikan gerak gerik lelaki itu. Hingga dia menyodorkan ponsel berwarna hitam itu kearahku. "Apa?" Tanyaku tak mengerti. "Eva," pungkas lelaki itu ringan. Hak itu berhasil membuatku membelalakkan mata spontan. Aku segera meletakkan garpu yang digunakan
"Hanna," ia menyebut namaku dengan hati-hati. Aku hanya bisa menunggu, apa yang akan ia lontarkan selanjutnya. "Bolehkah aku menciummu?"Awalnya, aku sedikit terkejut, membola seketika. Bingung, berpikir keras. Seharusnya, aku tak perlu menimang bukan? Seharusnya aku hanya perlu mendorongnya menjauh, bangun dari sana, lalu mengatainya seperti biasa. Benar, seharusnya begitu. Tapi kenapa sekarang aku malah mengangguk dengan ragu? Tak mampu berpaling dari matanya yang mengikatku kuat. Aku, juga menginginkannya. Sebuah ciuman, sebuah pelukan dan perlakuan manis dari seseorang yang menyayangiku. Aku juga ingin merasakan kebahagiaan dan cinta yang selama ini ku impikan. Aku sangat menginginkannya. Perlahan namun pasti, ia mendekat. Pelukannya pada pinggangku semakin erat. Kelopak matanya, naik turun menyoroti bibir dan netraku bergantian. Aku merasakan, nafas Alex yang semakin berat. Bukan hanya dia, aku juga menunggu bibir kami bertemu. Namun, "kenapa kamu ingin menciumku." Aku mena
"Kamu punya wine?" "Apa?" Alex menaikkan alis heran, ia menarik diri duduk tegak. Meski tidak berpindah sedikitpun dari tempat semula. "Untuk apa?" "Entahlah, mungkin aku akan melupakan semua. Meski hanya untuk sesaat." Meski banyak masalah yang datang setelah 2 gelas wine malam itu. Aku rasa, cairan itu ampuh membekukan otakku. "Hanna," ia mengulurkan tangan, menyentuh pipiku dengan punggung jemarinya. Mengusap pelan nan lembut. "Apa terjadi sesuatu?" Mataku bergetar, terpesona oleh pupil hitam pekat miliknya. Perlakuannya, cara dia bicara. Ia tau cara membuat orang merasa spesial. Tapi, bolehkah aku seperti ini? Bukankah, aku sudah menolaknya dengan kasar, bahkan memberi Risa harapan, bahwa aku tidak akan mengambil lelaki itu darinya? "Alex," aku memegang tangannya, hendak menurunkan dari wajahku. Namun, ia menahan. Kini, lelaki itu membingkainya dengan kedua telapak tangan, menelusup kebelakang kepalaku. Kedua ibu jarinya, menyapu pipiku perlahan. "Jika terjadi sesuatu, kat
Aku memutuskan untuk masuk melewati gerbang. Melawan diriku sendiri yang sedari tadi menyuruh berbalik. Hati dan otakku seakan bertarung tanpa henti. Dan aku, tetap melangkah mengikuti suara lain yang terus berbisik. Kurasa, aku sudah gila. Aku seakan tau, tempat mana yang ingin kutuju. Aku berjalan lurus tanpa merasa terganggu dengan apapun. Seolah, semuanya sudah pasti. Segalanya sudah terencana sedari awal. Aku tidak tau kenapa bisa begini? Aku menginginkannya? Atau mungkin, anak ini? Yang pasti, kini aku berdiri di depan sebuah pintu. Milik seseorang yang terus-menerus membayangiku selama beberapa hari. Aku ingin melihat wajahnya."Apa yang kamu lakukan, Hanna?" Tanyaku pada diri sendiri, memandangi tempat kayu dengan kenop perak di depanku.Hanya saja, segalanya terasa tidak masuk akal. Aku benar-benar ke tempat ini. Tanpa alasan yang jelas. Aku hendak menekan bel, namun ku urungkan ketika sadar akan satu hal. Mungkin, dia belum kembali dari perjalanan bisnis. Aku tidak meli
Aku tidak terlalu memikirkan gaun apa yang harus kupakai untuk pergi bersama Farhan. Bagiku, itu hanya makan malam biasa, apalagi Eva bersama kami. Gadis itu akan menjemputku, ia tidak membiarkan Farhan mendekat. Dia tau, apa yang harus dilakukan. Dan sekarang, kami berada di dalam mobil merah Eva, menuju sebuah restoran yang lelaki itu pesankan. Aku akan menjagamu, dengan tangan yang masih memegang kemudi, gadis itu terdengar siap berperang.Aku menggeleng pelan, tersenyum mendengar tuturan tidak masuk akal itu. Kita hanya makan malam, Va. Bukan mau melawan Monster."Tapi mirip," tekan gadis itu menaikkan alis, melirikku sekilas, seolah memberi pembenaran. "Terserah kamu saja," balasku hanya bisa pasrah. Mobil Eva melaju membelah jalan malam yang nampak masih cukup ramai. Sekitar 20 menit, ia mengendarai. Hingga kami sampai di sebuah restoran bintang lima yang terlihat sangat mewah. Bukan hanya aku, yang sebenarnya benar-benar tidak terbiasa menginjakkan kaki di tempat seperti i
Aku menatap diri di kaca, melihat pantulan tubuhku yang kini sedikit berisi. Jika ini aku beberapa bulan yang lalu, aku akan langsung memilih untuk mencari menu diet di internet. Tapi sekarang, aku rasa bukan makanan yang membuat berat badanku bertambah. Aku mengusap perutku pelan, menghela nafas ringan. "Sepertinya kamu tumbuh sehat."Entah mengapa ada rasa lega yang datang menyentuh hatiku. Aku senang, anak ini tidak mengalami masalah. Meski, masih ada keinginan untuk tidak mengakuinya. Tapi, sampai kapan aku bisa menyembunyikannya pada dunia? Pada akhirnya, aku harus mengakui keberadaannya. Selesai berdandan, memakai jas berwarna biru muda dan rok beberapa centi di bawah lutut yang senada. Aku keluar dari kos menuju kantor. Meski sedikit risau karena akan bertemu dengan Alex. Aku berusaha untuk bersikap biasa. Bukankah Hanna adalah seorang karyawan kantoran yang profesional? Sampai di kantor, aku segera menuju meja kerjaku. Melakukan apapun yang sudah semestinya kukerjakan. Dari
"kamu egois Hanna." Aku menaikkan alis mendengar tuduhan tidak mendasar itu. "Aku egois?" Benar-benar tidak masuk akal. "Iya," dia mendekat kearahku mengikis jarak. "Kamu mengambil semuanya dariku!" Gadis itu membentak dengan kemarahan tak terbendung. Rahangnya mengeras menusukku dengan tatapan. "Apa yang kuambil?" Aku bertanya tidak habis pikir. Ia bertingkah bak korban sekarang. "Semuanya! Semua yang aku inginkan, segala yang awalnya milikku!" Dadanya naik turun menahan kekesalan, melempar kata demi kata dengan teriakan. "Kamu telah merebut segalanya!"Aku mengerutkan kening, miris mendengar kalimatnya. "Aku merebut darimu?" Bahkan kata-kata itu terdengar konyol. "Risa," dia bahkan tidak tau apa yang kulewati karena malam itu. "Berhentilah bertingkah di depanku. Aku tidak pernah menyalahkan siapapun atas apa yang terjadi padaku. Aku merasa semuanya adalah masalahku dan akan menyelesaikannya sendiri." "Apa?" Ia masih berlagak tak tau. "Aku rasa kamu mengerti, karena kamu bukan