Aku melangkah sempoyongan, keluar dari gedung apartemen yang menjulang tinggi. Dengan heels yang sedari tadi malam membuat pergelangan kakiku sakit, serta gaun kotor yang kini kusembunyikan di balik tuxedo dari lelaki bernama Alex, berjalan terburu mencari taxi di pinggir jalan.
Begitu sebuah mobil berhenti di depanku, tanpa pikir panjang, aku segera masuk ke sana.
"Mau diantar kemana mbak?" Tanya supir di kursi kemudi depan."Menteng pak, kost dukuh atas." Jawabku langsung.Detik berikutnya, mobil berwarna abu-abu terang itu melaju, membawaku jauh dari apartemen elit yang terletak di Jakarta Selatan. Melewati jalan lingkar, aku menghabiskan sekitar 15 menit menuju Jakarta pusat tempat tinggalku.Apa yang telah terjadi, akupun tak mengerti. Segalanya benar-benar tiba-tiba. Perkataan lelaki itu terakhir kali membuat kepalaku kembali pening. Suaranya seolah mengalun tanpa henti di telingaku, ia seperti menanamkan spiker kecil dalam otakku."Aku tertarik padamu."Aku mengacak rambut frustasi, bagaiman ini? Kenapa dia mengusikku. Aku hanya ingin lepas dari cinta seumur hidupku yang kini telah jadi milik orang lain. Tapi lelaki ini malah datang entah darimana, membawa beban tak kasat mata, seolah ingin menyiksaku kembali dengan segala harapan."Na, sadar bodoh!" Aku mencoba untuk kembali ke dunia nyata. "Lelaki itu brengsek!" Tekanku berkali-kali.Meski mendapat lirikan aneh berulang kali dari supir melalui spion depan, aku tak lagi peduli dengan pandangan orang. Aku gila sendirian, berbicara dalam kekosongan."Sudah sampai mbak," ujarnya tersenyum ramah.Aku segera mencari dompet dalam tasku, untuk mengambil beberapa lembar cash."Eh?" Tunggu dulu, ada yang hilang!Tas kecil dengan satu lubang yang hanya menggunakan magnet pada penutup tanpa resleting. Aku tidak bisa menemukan ponselku ketika membukanya, hanya dompet. Aku tidak membawa barang lain, bahkan sepotong tisu. Ponselku menghilang begitu saja.Aku mulai gusar, mencari benda persegi itu khawatir. Hingga aku tersadar dengan raut wajah tak enak dari supir yang kini melihatku aneh. Mungkin dia akhirnya mengambil kesimpulan. Aku seorang gadis sakit jiwa! Maksudku, dengan gaun kotor, rambut acakan serta sibuk berbicara sendiri sepanjang perjalanan? Siapapun akan berpikir aku kehilangan kewarasan!"Maaf pak," tersadar dengan semua prasangka yang terbaca dari mata lelaki paruh baya itu, aku segera memberinya uang dengan jumlah yang sesuai.Aku menutup pintu taxi lemah. Kini aku bukan hanya kehilangan kewarasan, tapi juga ponsel satu-satunya yang kumiliki. Dengan kepala yang terus bergemuruh, aku terus melangkah gontai kearah kost menuju kamarku.Apakah hari ini akan lebih buruk?Rasa lelah yang masih menggerogoti tubuh, tanpa tenaga aku memutar kenop pintu. Aku ingin segera merebahkan diri, lalu tidur sepanjang hari."Darimana aja kamu?" Ah, sepertinya tuhan tidak berpihak padaku."Sejak kapan kamu di sini?" Tanyaku melihat Eva yang kini duduk di kursi meja kerjaku, sambil memasang wajah sangar.Aku tidak punya tenaga untuk beradu argumen dengannya. Aku ingin meluruskan punggung dalam selimut hangat.Tanpa peduli dengan raut wajahnya, aku segara melempar tasku ke segala arah, lalu melempar diri ke atas kasur dan membenamkan seluruh wajah di sana.Wangi vanila.Aku terbelalak, mengingat sesuatu. Harumnya bukan berasal dari selimut berwarna merah muda milikku. Tapi, ini wangi lelaki itu, Alex. Harum tubuhnya menempel pada tuxedo yang masih kupakai."Jawab pertanyaanku Na, kamu darimana aja semalam?" Eva kembali membuat suara, gadis itu terdengar khawatir.Aku memutuskan untuk bangun, duduk bersila di atas kasur, "aku kan udah bilang, aku ke rumah teman.""Benarkah?" Ia menyipitkan mata tidak percaya, "jangan bohong.""Aku gak bohong kok," sayangnya nada suaraku bergetar, takut ketahuan. Semoga saja dia tidak sadar."Terus kenapa tadi ponsel kamu diangkat sama cowok?""Hah?" Pada akhirnya, aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan raut wajah terkejutku. Lelaki itu benar-benar."Dia ngomong apa?" Tanyaku takut-takut."Dia nyuruh kamu buat ngambil ponsel kamu sendiri," jelas Eva. "Di tempat kamu meninggalkannya, dia bilang akan menunggu kedatangan kamu." Sambungnya lagi tanpa melepas kecurigaan di wajahnya."Oh..., Eum...." Aku benar-benar kehilangan kosa kata, "dia itu...," Siapa Na, pikirkan! "Pacar teman kantorku!" Jawabku terburu."Aku tau kamu berbohong, jangan bercanda." Tentu saja, Eva adalah pendeteksi kebohongan yang hebat."Aku gak bohong kok," tapi aku tidak mau menyerah. Aku tidak tau alasan apa lagi yang lebih masuk akal dari itu, "kamu percaya aja padaku, aku capek banget Va. Aku lagi patah hati, tolong ngertiin aku sekali ini aja." Memelas adalah pilihan terbaik."Baiklah," untuk saat ini, gadis itu menerima, walau terlihat begitu terpaksa. Aku yakin, dia tidak akan melepaskanku begitu saja."Terus baju kamu kenapa sampai kotor kayak gitu?" Ia menunjuk gaunku yang dilumuri minuman berwarna merah. "Tuxedu itu punya siapa pula?" Sambungnya lagi."Oh ini?" Bolehkah aku kembali berbohong? "Punya pacar temanku." Tentu saja!"Baik banget tu cowok, teman kamu apa gak cemburu?""Ya gak lah," aku memutuskan untuk kembali tidur, mengambil boneka koala untuk kujadikan bantal. "Lagian nanti aku kembalikan kok, sambil ambil ponselku.""Terserah kamu," ia terlihat lelah dengan semua omong kosong yang kulontarkan. "Nih, coba kamu ngomong sendiri."Ponsel Eva bergetar, seseorang memanggil dari balik sana. Ia melempar benda persegi itu kearahku. Aku segera bangun dan kembali duduk, mengambil ponsel Eva memeriksa siapa yang menghubunginya.Diriku sendiri. Artinya, lelaki itu."Halo," jawabku langsung."Kamu sudah di rumah?" Aku mengerutkan kening."Kamu tau siapa aku?" Pasalnya, ini ponsel Eva. Bagaimana caranya lelaki itu mengenali suaraku?"Tentu saja, aku sangat mengingatnya...," Ia berujar dengan suara rendah. "Suaramu." Lelaki ini, sedang berusaha menggoda."Untuk ponselku, bisakah kamu mengirimnya saja?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan."Kamu ingin aku mengunjungimu?" Dia menyebalkan."Kamu tau, di dunia ini ada yang namanya jasa pesan antar." Jelasku geram."Aku tau, tapi bukankah lebih baik kita bertemu? Sepertinya kita perlu mendiskusikan apa yang telah terjadi.""Tidak perlu," aku berucap secepat helaan nafasnya ketika mendengar jawabanku."Semua tidak akan berakhir begitu saja, suatu hari nanti kita pasti akan bertemu lagi. Kau tidak mungkin bisa menghindar seumur hidup.""Aku tidak menghindar, aku hanya berusaha meminimalisir kemungkinan kita untuk bertemu. Jadi berhentilah berharap!" Tekanku."Apa bedanya? Kamu lupa, meski kini Risa dan Farhan telah menikah, mereka tetaplah temanmu." Dia tidak mau menyerah, "melalui Meraka, kita akan kembali dipertemukan. Daripada merasa canggung ketika hari itu datang, bukankah lebih baik kita mulai membangun hubungan yang nyaman.""Jangan bercanda, aku tidak tertarik dengan semua keinginanmu! Aku juga tidak ingin merasa nyaman bersamamu!" Entah mengapa aku marah. Setelah apa yang terjadi, aku merasa dia memandang rendah diriku.Lelaki itu terdengar begitu percaya diri, dia seolah yakin bisa menaklukkan siapapun."Aku tidak bercanda nona," ia menekankan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. "Aku sangat serius sekarang, datanglah besok ke tempat di mana kamu meninggalkan ponselmu, aku akan menunggu.""Sudah kubilang, tidak bisakah kamu...,""Jika kamu tidak muncul besok, jangan harap benda ini akan kembali ke pemiliknya!"Tut, Tut, Tut.Panggilan pun diakhiri begitu saja, dia tidak membiarkanku membalas satu katapun."Pacar temanmu?" Ah gawat, aku melupakan seseorang."Hah?""Dia siapa Hanna?" Mata elang itu kini menatapku tajam, Eva siap memakanku hidup-hidup.TBC
Risa mengirimi kami pesan, melalui grub yang kami buat saat masih kuliah. gadis itu benar-benar luar biasa, ia bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Maksudku, aku tidak lagi peduli dengan istana yang berhasil ia bangun, tapi kembali berteman seperti dulu akan sangat sulit untukku. Bagaimanapun, aku benar-benar hancur."Ketemuan yuk, aku pengen makan cake di kafe depan fakultas kita dulu. Pasti enak banget." Eva membaca pesan itu dengan nada penuh ejekan, dia terlihat sangat tidak suka."Berhentilah," aku mengambil ponsel gadis itu, lalu meletakkan di atas meja tempat kami duduk sekarang. Sebuah kafe di depan gedung televisi tempat gadis itu bekerja. Di jam makan siang, setelah selesai mengambil gaun dan tuxedo lelaki yang menyandera ponselku, aku memutuskan untuk mengunjungi Eva, sekalian mencari makan. Nyatanya, dari kantorku menuju tempat kerjanya hanya menghabiskan waktu 10 menit. Lalu kenyataan yang baru ku sadari dipagi hari kemarin, ketika meninggalkan apartemen Alex.
"Berapa banyak wanita yang sudah kamu tiduri?" Ia tidak langsung menjawab, hanya menatap terlihat tidak senang."Kenapa kamu ingin tau?" "Entahlah, aku hanya merasa kamu suka mempermainkan wanita," ujarku tenang. "Maaf saja, aku tidak mau jadi salah satu koleksimu.""Apa?" Lelaki itu mengerutkan kening sesaat, sebelum tawanya lepas menggema di seluruh ruangan."koleksi? Yang benar saja.""Lalu apa maumu?" Sungguh! Aku benar-benar lelah."Sudah kubilang, aku tertarik. Apakah salah jika aku tertarik padamu?" "Apa yang membuatmu tertarik padaku?" Tolong beri aku satu saja alasan yang masuk akal!"Maaf, aku juga belum menemukan jawabannya." Semua kalimat yang keluar dari mulutnya hanyalah omong kosong!"Baiklah, aku muak berurusan denganmu!" Aku bangun dari sofa, ini melelahkan. "Simpan saja benda itu untukmu!" Aku hendak melangkah, tapi suaranya kembali menahanku."Kamu yakin tidak membutuhkannya lagi?" Aku berbalik, lelaki itu kini duduk bersedekap dada melihat kearahku menantang. "Ak
Aku pengecut! Setelah melihat Risa di rumah alex kemarin, aku memilih untuk melarikan diri. Entah apa yang gadis itu pikirkan, aku tak lagi peduli. Aku yang tetap pada pendirian, mengatakan bahwa kami tidak saling kenal, sementara Alex hanya diam tidak berniat untuk menjelaskan. Dan sekarang aku sibuk menyuruh kepalaku untuk diam, karena berulang kali memikirkan mereka. Hebat! Beban otakku bertambah sekarang.Dering ponselku berbunyi, aku segara mengambil benda tersebut, yang terletak di atas meja kerja. Ternyata Eva. "Ada apa?" "Mau liburan gak?" Tanya gadis itu langsung."Kemana?""Bali, untuk dua hari dua malam. Biaya transportasi dan makan aku yang tanggung."Tawaran yang sangat menggiurkan ini! "Kamu menang lotre?" "Enggak lah, lusa aku kan ada syuting variety show episode terakhir. Mungkin rampung dalam tiga hari, tapi reservasi hotelnya sampai hari Minggu." Jelasnya, "kamu mau ikut?""Aku dapat gratisan dari uang kantor atau dari kantong kamu sendiri?" Eva tidak mungkin koru
Sepertinya hari-hari ku di kantor akan sangat mengerikan! Keberadaan lelaki itu akan menghancurkan segalanya."Kebahagiaan? Ck, bermimpi lah Hanna!" Aku mengacak rambutku sendiri. Menyedihkan!"Na, kamu baik-baik aja kan?" Bak Gia yang duduk di sampingku mungkin merasa terganggu."Ah, maaf bak, aku cuma lagi banyak pikiran aja." Jelasku seraya tersenyum bodoh. "Baiklah," ia mengangguk mengerti, lalu kembali ke komputernya."Kita meeting sekarang," suara itu. Alex keluar dari ruangannya, menyuruh kami ke ruang rapat secara dadakan. Setelah mengatakan hal itu, ia langsung berjalan menuju ruang meeting tanpa memikirkan kami yang saling bertanya. ***"Saya dengar kalian sedang bekerja sama dengan brand parfume?" Tanyanya langsung, membuka pembahasan."Iya pak, kami sudah mengatur segalanya. Saat ini kita hanya perlu menunggu kabar dari pihak sana, tentang penerimaan ide projek ini." Jelas bak Gia."Begitukah?" Alex mengangguk beberapa kali mengerti. "Bolehkah saya lihat bagaimana peker
"Tante datang sendiri?" Tanyaku melihatnya tak ada yang menemani."Iya, emangnya mau ngajak siapa lagi. sekarang Farhan udah sama istrinya."Aku mengambil segelas minuman untuknya, lalu duduk di samping Tante Dewi di atas kasur. Saat ini, kami berada di kamarku."Ini udah tengah malam loh, Farhan tau Tante ke sini?" Jujur, aku cukup khawatir. Bagaimanapun, Tante Dewi sudah aku anggap seperti ibu kandung sendiri."Sebenarnya hari ini Tante mau kerumah Farhan. Tapi Tante gak berani datang sendiri," jelasnya."Loh, kenapa begitu?" Farhan kan anaknya, kenapa dia takut menemui putranya sendiri?"Kamu kan tau, Tante tidak terlalu kenal Risa. Takutnya nanti malah mengganggunya." Ia menatap gelas yang masih di tangannya, "mereka menikah tiba-tiba, Tante bahkan tidak punya kesempatan untuk mengenal Risa. Tante mau minta mereka tinggal di rumah Tante, juga tidak enak. Takutnya Risa tidak nyaman.""Jadi sebenarnya hari ini Tante mau ke rumah mereka?" Ia menga
Aku mengerti sekarang, kenapa Tante Dewi merasa tak nyaman. Mungkin dia pikir, tidak lagi sanggup menggapai tempat anaknya berpijak. Segalanya telah berubah. Tante Dewi wanita yang sangat sederhana, ia ibu sekaligus orang tua satu-satunya yang di miliki Farhan. Melihat anaknya tumbuh sejauh ini pasti membuatnya bangga. Namun, ada beberapa hal yang mungkin tidak bisa dia bayangkan. Kini Farhan sudah terbang terlalu tinggi, hingga tak lagi punya keinginan untuk melihat kebawah. Sedangkan ibunya, masih memilih berdiri di tempatnya, melihat lelaki itu perlahan menghilang dari pandangan."Duduklah dulu, biar aku buatkan minuman." Ujar Risa mempersilahkan.Rumah megah dengan interior mewah. Lukisan, pajangan klasik serta berbagai barang yang bahkan tidak berani ku sentuh. Aku dan Tante Dewi memilih untuk langsung duduk bersisian di sofa berwarna coklat tua di tengah ruangan. Kami tidak punya keberanian hanya untuk melihat-lihat, takut barang-barang itu tidak sengaja tersenggol.Aku tidak
"Sepertinya, aku benar-benar harus pulang," Pamitku lagi.Aku tidak cukup gila, untuk tetap memilih tinggal, ketika lelaki itu muncul entah darimana. Semua akan menjadi rumit, jika Alex membuka mulut tentang hubungan kami. Aku takut, mereka tau hal gila yang terjadi padaku. Aku segera mengambil tas selempangku yang tergeletak di atas sofa, melampirkan pada bahuku lalu berjalan melewati mereka. Namun, langkahku terhenti. Tangan seseorang menahan kepergianku. Lelaki itu, memegang pergelanganku. Padahal, lengannya masih digandeng oleh Risa."Tidak bisakah kau tinggal lebih lama?" Tanyanya. Seketika suasana menjadi tegang. Risa kehilangan lengkungan di wajahnya, kini dia menatap tangan lelaki itu yang menahanku. Lalu Farhan yang juga ikut-ikutan melirik kami bergantian. Aku menggigit bibir bawahku khawatir. Apa yang harus kulakukan? Kenapa lelaki ini begitu nekat? Jika begini, semua orang pasti akan berpikir yang tidak-tidak. Apalagi kemarin, Risa memergokiku yang keluar dari apartem
"Kamu tinggal di mana?" Tanya lelaki itu, tanpa melepas mata dari jalanan. Menteng, Jakarta Pusat. Jawabku memberi tau. Ya, di sinilah aku berakhir. Duduk di bangku samping kemudi sambil melirik Alex yang begitu fokus dengan setir mobilnya. "Ada yang ingin kamu katakan?" Tanya lelaki itu. Sepertinya dia sadar, aku terus-terusan mencuri perhatiannya. "Ah, itu...." Daripada mengatakan sesuatu, aku ingin meminta bantuannya. "Bisakah kita simpan untuk diri kita saja?" Saya harap dia mengerti. "Tentang apa? Hubungan kalian bertiga...," Ia mengalihkan pandangan ke arahku. "Atau tentang kita berdua?" "Semuanya," jawabku segera."Aku sih, tidak keberatan." Ia kembali menatap lurus ke jalan, "tapi, memangnya kamu mau menyembunyikan dari siapa? Risa dan Farhan? Atau orang kantoran?" "Seperti sebelumnya, aku harap kita hanya perlu melupakan apa yang terjadi." Saya takut, untuk kasus malam ini, saya tidak ingin dia salah paham. Tanpa sengaja aku terbawa dan menceritakan sedikit kisahku.
Hariku berjalan begitu saja, bekerja dan menggerutu karena banyaknya tugas yang harus kuselesaikan. Ditambah, kini Alex mulai bertingkah, hingga membuatku ketakutan jika sampai ketahuan. Apa yang akan karyawan lain pikirkan tentang kami? Lelaki itu kerap kali menghampiri meja kerjaku hanya untuk alasan sepele. Contohnya seperti saat ini, pinjamkan aku pulpen!Aku hampir melemparnya dengan mouse komputer, jika saja dia bukan atasanku. Ini menyebalkan, lihat saja tatapan orang-orang di sekitar. Jauh-jauh keluar dari ruangannya, lelaki itu datang sambil menadah sepotong pena dariku. Maaf pak, di dalam ruang bapak saya rasa ada pena. Geramku menggertakkan gigi.Tak ada yang berfungsi dengan baik, ujarnya enteng. Aku hanya ingin meminjamnya sebentar, nanti akan kukembalikan.Akupun menurutinya permintaanya, mengambil pulpen dalam laci, lalu kuserahkan pada lelaki itu. Ini pak.Terimakasih, dia langsung melenggang berjalan meninggalkanku begitu saja. Sedangkan karyawan lain, mereka masih
Lift terbuka, aku siap-siap keluar mengabaikan kekhawatiran Alex. Aku tidak ingin bertengkar meributkan tentang hati. Meski besar keinginanku untuk memastikan, aku rasa bukan saat ini. Bukan waktu yang tepat. Berjalan terburu, menunduk dalam memperhatikan langkah kakiku yang terlalu cepat, aku ingin segera pulang. "Hanna," lagi-lagi Alex mencekal lenganku. Ia menahanku untuk lebih jauh pergi darinya. "Apa yang kamu pikirkan?" Ia sadar, kegusaran memenuhi wajahku. "Tidak ada," aku berpaling, menenggelamkan perasaanku sendiri. Dia begitu peka dengan perubahan sikapku. Seharusnya, dia juga harus mengerti, kalau kini, aku telah jatuh padanya. Aku tak ingin hatiku kembali hancur karena sebuah harapan tanpa tuan. Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang. Kenapa begitu mudahnya? Kenapa selalu hanya aku? Setidaknya, jika memang dia orangnya, buat lelaki itu jatuh begitu dalam padaku juga. Sayang, aku bisa berharap apa? Seorang Hanna, gadis dengan banyaknya kisah menyedihkan. Parasku j
Alex memesankan kami sarapan. Secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak tau, sejak kapan semua hidangan tersebut tertata rapi di atas meja. Ia menyuruhku untuk duduk dekatnya, memaksa agar menghabiskan semua sayuran, daging serta buah-buahan yang telah ia potong kecil-kecil. Aku tidak tau mengapa, semua orang jadi lebih overprotektif padaku sejak bayi ini ada. Meski nyatanya, aku cukup menyukai hal tersebut. Perhatian yang sebenarnya terasa berlebihan itu, aku cukup menikmatinya.Suara dering ponsel Alex membuat aktivitas menyuap kami terhenti sesaat, lelaki itu segera mengambil benda persegi itu dari atas meja, mengangkat panggilan dari seseorang. "Halo?" Ia menyapa. Aku melihat keningnya berkerut, sambil terus mengunyah apel aku memperhatikan gerak gerik lelaki itu. Hingga dia menyodorkan ponsel berwarna hitam itu kearahku. "Apa?" Tanyaku tak mengerti. "Eva," pungkas lelaki itu ringan. Hak itu berhasil membuatku membelalakkan mata spontan. Aku segera meletakkan garpu yang digunakan
"Hanna," ia menyebut namaku dengan hati-hati. Aku hanya bisa menunggu, apa yang akan ia lontarkan selanjutnya. "Bolehkah aku menciummu?"Awalnya, aku sedikit terkejut, membola seketika. Bingung, berpikir keras. Seharusnya, aku tak perlu menimang bukan? Seharusnya aku hanya perlu mendorongnya menjauh, bangun dari sana, lalu mengatainya seperti biasa. Benar, seharusnya begitu. Tapi kenapa sekarang aku malah mengangguk dengan ragu? Tak mampu berpaling dari matanya yang mengikatku kuat. Aku, juga menginginkannya. Sebuah ciuman, sebuah pelukan dan perlakuan manis dari seseorang yang menyayangiku. Aku juga ingin merasakan kebahagiaan dan cinta yang selama ini ku impikan. Aku sangat menginginkannya. Perlahan namun pasti, ia mendekat. Pelukannya pada pinggangku semakin erat. Kelopak matanya, naik turun menyoroti bibir dan netraku bergantian. Aku merasakan, nafas Alex yang semakin berat. Bukan hanya dia, aku juga menunggu bibir kami bertemu. Namun, "kenapa kamu ingin menciumku." Aku mena
"Kamu punya wine?" "Apa?" Alex menaikkan alis heran, ia menarik diri duduk tegak. Meski tidak berpindah sedikitpun dari tempat semula. "Untuk apa?" "Entahlah, mungkin aku akan melupakan semua. Meski hanya untuk sesaat." Meski banyak masalah yang datang setelah 2 gelas wine malam itu. Aku rasa, cairan itu ampuh membekukan otakku. "Hanna," ia mengulurkan tangan, menyentuh pipiku dengan punggung jemarinya. Mengusap pelan nan lembut. "Apa terjadi sesuatu?" Mataku bergetar, terpesona oleh pupil hitam pekat miliknya. Perlakuannya, cara dia bicara. Ia tau cara membuat orang merasa spesial. Tapi, bolehkah aku seperti ini? Bukankah, aku sudah menolaknya dengan kasar, bahkan memberi Risa harapan, bahwa aku tidak akan mengambil lelaki itu darinya? "Alex," aku memegang tangannya, hendak menurunkan dari wajahku. Namun, ia menahan. Kini, lelaki itu membingkainya dengan kedua telapak tangan, menelusup kebelakang kepalaku. Kedua ibu jarinya, menyapu pipiku perlahan. "Jika terjadi sesuatu, kat
Aku memutuskan untuk masuk melewati gerbang. Melawan diriku sendiri yang sedari tadi menyuruh berbalik. Hati dan otakku seakan bertarung tanpa henti. Dan aku, tetap melangkah mengikuti suara lain yang terus berbisik. Kurasa, aku sudah gila. Aku seakan tau, tempat mana yang ingin kutuju. Aku berjalan lurus tanpa merasa terganggu dengan apapun. Seolah, semuanya sudah pasti. Segalanya sudah terencana sedari awal. Aku tidak tau kenapa bisa begini? Aku menginginkannya? Atau mungkin, anak ini? Yang pasti, kini aku berdiri di depan sebuah pintu. Milik seseorang yang terus-menerus membayangiku selama beberapa hari. Aku ingin melihat wajahnya."Apa yang kamu lakukan, Hanna?" Tanyaku pada diri sendiri, memandangi tempat kayu dengan kenop perak di depanku.Hanya saja, segalanya terasa tidak masuk akal. Aku benar-benar ke tempat ini. Tanpa alasan yang jelas. Aku hendak menekan bel, namun ku urungkan ketika sadar akan satu hal. Mungkin, dia belum kembali dari perjalanan bisnis. Aku tidak meli
Aku tidak terlalu memikirkan gaun apa yang harus kupakai untuk pergi bersama Farhan. Bagiku, itu hanya makan malam biasa, apalagi Eva bersama kami. Gadis itu akan menjemputku, ia tidak membiarkan Farhan mendekat. Dia tau, apa yang harus dilakukan. Dan sekarang, kami berada di dalam mobil merah Eva, menuju sebuah restoran yang lelaki itu pesankan. Aku akan menjagamu, dengan tangan yang masih memegang kemudi, gadis itu terdengar siap berperang.Aku menggeleng pelan, tersenyum mendengar tuturan tidak masuk akal itu. Kita hanya makan malam, Va. Bukan mau melawan Monster."Tapi mirip," tekan gadis itu menaikkan alis, melirikku sekilas, seolah memberi pembenaran. "Terserah kamu saja," balasku hanya bisa pasrah. Mobil Eva melaju membelah jalan malam yang nampak masih cukup ramai. Sekitar 20 menit, ia mengendarai. Hingga kami sampai di sebuah restoran bintang lima yang terlihat sangat mewah. Bukan hanya aku, yang sebenarnya benar-benar tidak terbiasa menginjakkan kaki di tempat seperti i
Aku menatap diri di kaca, melihat pantulan tubuhku yang kini sedikit berisi. Jika ini aku beberapa bulan yang lalu, aku akan langsung memilih untuk mencari menu diet di internet. Tapi sekarang, aku rasa bukan makanan yang membuat berat badanku bertambah. Aku mengusap perutku pelan, menghela nafas ringan. "Sepertinya kamu tumbuh sehat."Entah mengapa ada rasa lega yang datang menyentuh hatiku. Aku senang, anak ini tidak mengalami masalah. Meski, masih ada keinginan untuk tidak mengakuinya. Tapi, sampai kapan aku bisa menyembunyikannya pada dunia? Pada akhirnya, aku harus mengakui keberadaannya. Selesai berdandan, memakai jas berwarna biru muda dan rok beberapa centi di bawah lutut yang senada. Aku keluar dari kos menuju kantor. Meski sedikit risau karena akan bertemu dengan Alex. Aku berusaha untuk bersikap biasa. Bukankah Hanna adalah seorang karyawan kantoran yang profesional? Sampai di kantor, aku segera menuju meja kerjaku. Melakukan apapun yang sudah semestinya kukerjakan. Dari
"kamu egois Hanna." Aku menaikkan alis mendengar tuduhan tidak mendasar itu. "Aku egois?" Benar-benar tidak masuk akal. "Iya," dia mendekat kearahku mengikis jarak. "Kamu mengambil semuanya dariku!" Gadis itu membentak dengan kemarahan tak terbendung. Rahangnya mengeras menusukku dengan tatapan. "Apa yang kuambil?" Aku bertanya tidak habis pikir. Ia bertingkah bak korban sekarang. "Semuanya! Semua yang aku inginkan, segala yang awalnya milikku!" Dadanya naik turun menahan kekesalan, melempar kata demi kata dengan teriakan. "Kamu telah merebut segalanya!"Aku mengerutkan kening, miris mendengar kalimatnya. "Aku merebut darimu?" Bahkan kata-kata itu terdengar konyol. "Risa," dia bahkan tidak tau apa yang kulewati karena malam itu. "Berhentilah bertingkah di depanku. Aku tidak pernah menyalahkan siapapun atas apa yang terjadi padaku. Aku merasa semuanya adalah masalahku dan akan menyelesaikannya sendiri." "Apa?" Ia masih berlagak tak tau. "Aku rasa kamu mengerti, karena kamu bukan