Aku mulai tak enak, ketakutan memikirkan berbagai hal. Alex sedang sibuk memasukkan sandi pintu apartemennya sekarang. Ini terlalu jauh, seharusnya aku berhenti ketika tanda bahaya muncul terus-menerus mengusik kepala. Dan sekarang aku sibuk mempertanyakan kebenaran dari keputusan yang telah kuambil.
"Masuklah." Aku tersadar oleh suaranya. Yang sedari tadi menunduk, membayangkan berbagai keburukan yang mungkin lelaki itu lakukan.
Alex sengaja menahan pintu, mempersilahkanku untuk masuk duluan. Tapi sepertinya dia sadar dengan raut wajah ragu yang terus kupaparkan."Jangan takut, aku tidak tertarik sama orang yang baru patah hati." Celetuknya ringan.Aku mencebikkan kesal, menusuk Alex dengan mata bulatku sekilas, dia mengejekku! Setelah tau apa yang terjadi, lelaki itu dengan beraninya menjadikan itu candaan. akhirnya, karena merasa tertantang, aku masuk kedalam rumahnya tanpa ragu.Lelaki itu sepertinya tergelitik dengan tingkahku, pasalnya aku bisa mendengar kekehan kecilnya di belakang. Saat ia ikut masuk, aku dengan jelas bisa melihat senyum yang belum memudar dari wajahnya, Alex menggelenkan kepalanya terlihat tidak habis pikir.Aku berdiri cukup lama di depan pintu, menerawang ke segala arah. apartemen lelaki ini cukup rapi dan bersih. Maksudku, dia lelaki, Kupikir berantakan telah menjadi jati diri mereka. Tak jauh dari tempatku berdiri, terdapat dapur dengan berbagai wine dan gelas cantik, lelaki itu sepertinya mengoleksi berbagai macam alkohol. Lalu terdapat tempat tidur di arah kiri ruangan, di atas lantai yang 30 cm lebih tinggi. Ruangannya terbuka."Masuklah, mau sampai kapan kamu berdiri di sana?" Alex berucap sambil melewatiku begitu saja, berjalan lebih dulu di depan.Mendengar suaranya, aku yang masih termenung langsung melepas sepatuku dan menggantinya dengan sendal rumahan, mengikuti lelaki itu berdiri dekat sofa yang terletak tak jauh dari tempat tidur.Terdapat jendela besar yang tertutup rapat gorden di belakang tempat duduk empuk itu, serta meja kaca lingkaran dan televisi besar di depannya. Sedangkan di belakang benda persegi besar itu terdapat rak yang cukup tinggi memisahkan ruangan santai dengan dapur. Lalu satu pintu di depan kasur, serta satu lainnya dekat dapur arah kanan sofa. Mungkin kamar mandi dan tempat baju, pasalnya aku tidak melihat lemari di sekitar."Duduklah dulu." Ia berucap, mempersilahkan."Tapi...," Aku tidak sampai hati menduduki sofa berwarna abu-abu cerah itu. Bajuku kotor, aku takut nodanya akan berpindah ke sana."Tak apa," ia terlihat sadar dengan kekhawatiranku, "aku akan mengambil baju ganti untukmu.""Terimakasih," meski masih gusar, aku akhirnya memilih untuk mengikuti arus, aku langsung menduduki sofa panjang itu. Toh, jika kotorpun bukan aku yang akan kewalahan nantinya.Aku melihat Alex yang berjalan kearah pintu depan tempat tidur, aku tidak tau harus apa. Aku memilih untuk menunggunya saja, sambil memperhatikan berbagai hal yang mengisi rumah ini.Terdapat banyak buku di atas rak yang menempel pada dinding arah kiri kasur, serta beberapa tanaman kaktus di atas nakas. Lalu rak yang memisahkan ruang tempat duduk dengan dapur juga terdapat beberapa buku serta miniatur band. Seperti gitar, drum, bas dan sebagainya. Di samping sofa juga terdapat gitar.Aku mendekat ke sana, mungkin memetiknya sekali akan terasa menyenangkan. Namun, niatku langsung terhenti ketika ponselku berbunyi, menandakan ada yang menghubungi. Aku segera mengambil benda persegi empat itu dari dalam tas, untuk melihat siapa yang mencariku."Gawat!" Itu Eva. Apa yang harus kukatakan kepadanya? Haruskah aku berbohong? Atau jujur saja dengan mengatakan jika aku berakhir di rumah seorang lelaki tidak dikenal?"Halo?""Kamu di mana? Aku di rumah, tapi kamu tidak di sini." "Aku...," Aku berpikir keras, menggigit bibir bawah sambil mencari alasan logis yang bisa kulontarkan padanya "di rumah teman."Itulah keputusan bodoh yang kubuat, jika tidak Eva pasti mengamuk marah."Teman yang mana? Teman kantor?""Iya." Untuk kali ini saja, maafkan aku."Kenapa bisa berakhir di sana?""Eum, itu...." Gunakan otakmu Hanna! "Tadi kami tidak sengaja bertemu di jalan," semoga Eva tidak curiga."Jarang-jarang kamu bisa berakhir di rumah orang, kamu akan menginap?" Mataku menangkap pemilik rumah yang kini berjalan mendekat. Dia sudah mengganti bajunya dengan kaos putih polos lengan pendek dan celana kain berwarna hitam. Sepertinya dia juga membawa baju ganti untukku."Entahlah, aku tidak tau." Aku ragu. Melihat baju itu, sepertinya Alex tidak ingin aku segera pulang."Yasudah, jika terjadi sesuatu segera hubungi aku!" Seru Eva di balik sana."Eum, terimakasih." Panggilan pun terputus."Siapa?" Tanya Alex, menungguku selesai dengan ponsel."Sahabatku," dan lelaki itu hanya mengangguk beberapa kali mengerti.Aku meletakkan ponselku ke atas meja, lalu memperbaiki duduk. Setelah itu aku kembali fokus pada lelaki di depanku. Mataku seolah tertarik kearah baju yang ia bawa."Sayangnya, aku tinggal sendirian. Jadi hanya kaos dan celana pendek ini yang mungkin cocok untukmu." Ia menyodorkan pakaian itu kearahku.Aku menatap tangan besar Alex lama, aku tidak cukup berani untuk mengambil kain tersebut. Semakin dipikirkan semakin salah rasanya. Kaos tipis dan celana pendek, dirumah lelaki asing yang baru aku kenal beberapa menit yang lalu.Aku segera mengeratkan tuxedo yang diberikan oleh Alex pada tubuhku, aku tidak ingin menyerahkan diri!"Aku rasa tidak perlu," aku menjawab dengan yakin, kuharap lelaki itu mengerti."Kenapa? Kamu takut padaku?""Menurutmu?" Rasanya ingin kuteriaki dia, tentu saja aku takut!"Berapa kali sudah kukatakan, aku tidak tertarik kepada gadis yang baru saja patah hati." Alex melempar baju tersebut ke pangkuanku, lalu menduduki diri di samping kananku. "Kamu bisa menggantinya di kamar mandi," ia menunjuk kearah pintu dekat dinding dapur."Terimakasih, aku nyaman dengan gaun ini," aku mengambil baju itu, lalu membawanya kearah tengah menjadikan kain itu batasan antara kami.Lelaki itu memutar matanya jengah. Alex menggelengkan kepala tidak mengerti, ia bangun mendekati dapur kearah gelas cantik dan alkoholnya. Lelaki itu mengambil anggur yang terlihat mahal di mataku, serius! Benda itu sangat terlihat mahal untukku! Setelah itu ia kembali sambil membawa botol berwarna hitam itu bersamanya."Kamu mau?" Alex bertanya sembari meletakkan 2 gelas wine dan satu botol anggur di atas meja."Tidak, terimakasih." Alex menatapku tidak suka, tapi aku sangat tidak ingin mengubah keputusan.Sayangnya lelaki itu tidak terlihat akan menyerah, kini ia sibuk membuka botol dan mengisi kedua gelas kristal di depan kami. Sementara aku masih berusaha berpikir jernih, aku harus segera meninggalkan tempat ini, lelaki itu tidak bisa dipercaya. Pikirkan! Cari alasan bagus Hanna! Pergi dari tempat itu segera!"Kamu tau," aku bersuara, "sepertinya aku harus pulang, orang tuaku akan sangat khawatir." Boro-boro khawatir, mereka bahkan jarang menghubungi."Kamu serius? Di umurmu ini?" Emangnya ada apa dengan umurku? Apakah aku terlihat setua itu diumur 26 tahun?Aku langsung mengangguk, "tentu saja." Masa bodoh dengan pandangan lelaki itu, aku harus menyelamatkan diri dulu. "Kalau begitu, aku pamit." Aku hendak bangun dari duduk."Kamu tau, kenapa aku membawamu kesini?" Suara itu menahan kepergianku."Tidak." Itulah kenyataannya."Aku melihatmu sepanjang acara tadi, apakah lelaki bernama Farhan itu mantan kekasihmu atau cinta sepihakmu?" Aku menautkan alisnya bingung. Maaf saja, aku tidak berniat menjawab pertanyaan tersebut."Kenapa memangnya?" Tanyaku balik."Aku dengar kamu sahabat baik Risa." Aku mengangguk pelan, meski sepertinya lelaki itu tidak sedang bertanya. "Kalian jatuh cinta kepada lelaki yang sama? Betapa mirisnya." Lelaki itu kini tersenyum kearahku, dia terlihat menyebalkan. Aku sedang diejek kah?"Itu bukan urusanmu!" Tekanku memasang wajah sebal."Situasi kita sama," tiba-tiba dia berucap."Apa maksudmu?" Aku tidak mengerti, situasi macam apa yang lelaki itu miliki, sehingga dia bisa mengambil kesimpulan kalau aku sama dengannya."Risa adalah cinta pertamaku."TBC
"Risa cinta pertamaku." Aku cukup terkejut, tapi masih bisa menyembunyikan raut wajah kagetku darinya, entah dia sadar atau tidak. "Aku butuh seseorang di sini. Kalau tidak, mungkin aku akan melompat dari balkon." Mungkinkah Alex takut, aku juga punya pikiran seperti itu? mengingat keadaanku tadi. Jadi dia membawaku ke sini karena tak ingin aku berakhir mengakhiri hidup karena cinta? "Maaf, tapi aku tidak ingin menghiburmu." Sepertinya dia berpikir terlalu jauh tentangku. "Tapi aku sudah menghiburmu tadi, bukankah kamu harus balas budi?" Ia menatapku tajam, seolah memaksaku untuk tinggal. Sekarang aku harus balas budi? Apa-apaan itu, apakah aku pernah meminta untuk dihibur? "Maaf, kita baru kenal beberapa jam yang lalu, aku bahkan lupa siapa namamu...," "Alex." Potong lelaki itu. Aku menghela nafas lelah. "Terimakasih, tapi aku tidak ingin tau." Alex kembali menusukku, matanya benar-benar lebih runcing dari panah, "aku ingin seseorang menemaniku, apakah itu salah?" "Kamu bisa
"Lalu kamu siapa?" Aku menangkup kedua pipi lelaki itu, dengan mata bulatku yang berkedip berulang kali, mencoba mencari tau siapa orang ini. Aku bisa merasakan tubuhnya tersentak pelan, ia menelan air liurnya susah payah, terlihat terkejut atau mungkin terperangah? Tiba-tiba lelaki itu mencuri satu kecupan dariku kembali. Mataku membola terkejut, menutup mulutku dengan kedua tangan karena kaget dengan perlakuannya barusan. "Kenapa kamu menciumku?" "Kamu protes sekarang?" Tanyanya tidak percaya. Pasalnya ini adalah yang ketiga kalinya ia menjamah bibirku. "Aku pikir, kamu Farhan tadi," karena itulah aku menerima apapun yang dilakukannya."Jadi jika aku lelaki itu, kau akan menerima ciumanku?" Tanyanya heran. "Apa dia sering menciummu?"Aku segera menggeleng, "tidak, hanya sekali." Jawabku tersenyum miris. "Dulu saat kami masih kuliah, dia pernah menciumku di perpustakaan. Saat itu, aku tertidur karena bosan. Ketika membuka mata, aku mendapatinya sedang mengecup bibirku." Itu kenang
"Untuk tadi malam, aku minta maaf." Aku mencari kebohongan dari matanya, namun ia terlihat begitu tulus. Padahal aku hanya bisa melihat keangkuhan dengan wajah dingin dari paras tampannya tadi malam. Kali ini berbeda, dia merasa bersalah."Ini bukan salahmu," kupikir, sebaiknya segalanya harus diakhiri. Aku masih bisa melihat tatapan yang tidak bisa kumengerti itu. Mungkin dia hanya kasihan padaku. "Aku akan bertanggung jawab."Aku cukup kaget dengan kalimat itu, ia mengikat mataku. Tatapan lelaki itu tidak terbaca. Aku ragu dengan kalimat yang keluar dari mulutnya. Aku tidak mengerti maksud kalimat itu.Tanggungjawab macam apa yang lelaki itu maksud? Apa sesederhana ketika ia meminjamkan tuxedonya ketika mengotori bajuku? Aku bukanlah gaun yang bisa dibersihkan begitu saja. Aku manusia yang baru kehilangan hal paling berharga. "Tidak perlu," aku tidak ingin menaruh harapan. "Kita sama-sama salah, tidak ada yang perlu bertanggungjawab di sini." Itulah kenyataannya, aku juga ikut and
Aku melangkah sempoyongan, keluar dari gedung apartemen yang menjulang tinggi. Dengan heels yang sedari tadi malam membuat pergelangan kakiku sakit, serta gaun kotor yang kini kusembunyikan di balik tuxedo dari lelaki bernama Alex, berjalan terburu mencari taxi di pinggir jalan. Begitu sebuah mobil berhenti di depanku, tanpa pikir panjang, aku segera masuk ke sana."Mau diantar kemana mbak?" Tanya supir di kursi kemudi depan."Menteng pak, kost dukuh atas." Jawabku langsung.Detik berikutnya, mobil berwarna abu-abu terang itu melaju, membawaku jauh dari apartemen elit yang terletak di Jakarta Selatan. Melewati jalan lingkar, aku menghabiskan sekitar 15 menit menuju Jakarta pusat tempat tinggalku. Apa yang telah terjadi, akupun tak mengerti. Segalanya benar-benar tiba-tiba. Perkataan lelaki itu terakhir kali membuat kepalaku kembali pening. Suaranya seolah mengalun tanpa henti di telingaku, ia seperti menanamkan spiker kecil dalam otakku."Aku tertarik padamu."Aku mengacak rambut fr
Risa mengirimi kami pesan, melalui grub yang kami buat saat masih kuliah. gadis itu benar-benar luar biasa, ia bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Maksudku, aku tidak lagi peduli dengan istana yang berhasil ia bangun, tapi kembali berteman seperti dulu akan sangat sulit untukku. Bagaimanapun, aku benar-benar hancur."Ketemuan yuk, aku pengen makan cake di kafe depan fakultas kita dulu. Pasti enak banget." Eva membaca pesan itu dengan nada penuh ejekan, dia terlihat sangat tidak suka."Berhentilah," aku mengambil ponsel gadis itu, lalu meletakkan di atas meja tempat kami duduk sekarang. Sebuah kafe di depan gedung televisi tempat gadis itu bekerja. Di jam makan siang, setelah selesai mengambil gaun dan tuxedo lelaki yang menyandera ponselku, aku memutuskan untuk mengunjungi Eva, sekalian mencari makan. Nyatanya, dari kantorku menuju tempat kerjanya hanya menghabiskan waktu 10 menit. Lalu kenyataan yang baru ku sadari dipagi hari kemarin, ketika meninggalkan apartemen Alex.
"Berapa banyak wanita yang sudah kamu tiduri?" Ia tidak langsung menjawab, hanya menatap terlihat tidak senang."Kenapa kamu ingin tau?" "Entahlah, aku hanya merasa kamu suka mempermainkan wanita," ujarku tenang. "Maaf saja, aku tidak mau jadi salah satu koleksimu.""Apa?" Lelaki itu mengerutkan kening sesaat, sebelum tawanya lepas menggema di seluruh ruangan."koleksi? Yang benar saja.""Lalu apa maumu?" Sungguh! Aku benar-benar lelah."Sudah kubilang, aku tertarik. Apakah salah jika aku tertarik padamu?" "Apa yang membuatmu tertarik padaku?" Tolong beri aku satu saja alasan yang masuk akal!"Maaf, aku juga belum menemukan jawabannya." Semua kalimat yang keluar dari mulutnya hanyalah omong kosong!"Baiklah, aku muak berurusan denganmu!" Aku bangun dari sofa, ini melelahkan. "Simpan saja benda itu untukmu!" Aku hendak melangkah, tapi suaranya kembali menahanku."Kamu yakin tidak membutuhkannya lagi?" Aku berbalik, lelaki itu kini duduk bersedekap dada melihat kearahku menantang. "Ak
Aku pengecut! Setelah melihat Risa di rumah alex kemarin, aku memilih untuk melarikan diri. Entah apa yang gadis itu pikirkan, aku tak lagi peduli. Aku yang tetap pada pendirian, mengatakan bahwa kami tidak saling kenal, sementara Alex hanya diam tidak berniat untuk menjelaskan. Dan sekarang aku sibuk menyuruh kepalaku untuk diam, karena berulang kali memikirkan mereka. Hebat! Beban otakku bertambah sekarang.Dering ponselku berbunyi, aku segara mengambil benda tersebut, yang terletak di atas meja kerja. Ternyata Eva. "Ada apa?" "Mau liburan gak?" Tanya gadis itu langsung."Kemana?""Bali, untuk dua hari dua malam. Biaya transportasi dan makan aku yang tanggung."Tawaran yang sangat menggiurkan ini! "Kamu menang lotre?" "Enggak lah, lusa aku kan ada syuting variety show episode terakhir. Mungkin rampung dalam tiga hari, tapi reservasi hotelnya sampai hari Minggu." Jelasnya, "kamu mau ikut?""Aku dapat gratisan dari uang kantor atau dari kantong kamu sendiri?" Eva tidak mungkin koru
Sepertinya hari-hari ku di kantor akan sangat mengerikan! Keberadaan lelaki itu akan menghancurkan segalanya."Kebahagiaan? Ck, bermimpi lah Hanna!" Aku mengacak rambutku sendiri. Menyedihkan!"Na, kamu baik-baik aja kan?" Bak Gia yang duduk di sampingku mungkin merasa terganggu."Ah, maaf bak, aku cuma lagi banyak pikiran aja." Jelasku seraya tersenyum bodoh. "Baiklah," ia mengangguk mengerti, lalu kembali ke komputernya."Kita meeting sekarang," suara itu. Alex keluar dari ruangannya, menyuruh kami ke ruang rapat secara dadakan. Setelah mengatakan hal itu, ia langsung berjalan menuju ruang meeting tanpa memikirkan kami yang saling bertanya. ***"Saya dengar kalian sedang bekerja sama dengan brand parfume?" Tanyanya langsung, membuka pembahasan."Iya pak, kami sudah mengatur segalanya. Saat ini kita hanya perlu menunggu kabar dari pihak sana, tentang penerimaan ide projek ini." Jelas bak Gia."Begitukah?" Alex mengangguk beberapa kali mengerti. "Bolehkah saya lihat bagaimana peker