Share

MELIHATMU BERSAMANYA

Aku dan yang lainnya mulai berjalan memasuki kawasan yang rimbun dengan pepohonan, bisa dibilang hutan mungkin ya. Karna memang sudah sangat jarang sekali rumah warga terlihat, bahkan hampir gak ada sama sekali. Beberapa orang mulai mengeluh, sama sepertiku, capek!

Bukan kakiku yang capek, tapi mataku capek sedari tadi melihat kak pay terus berjalan sejajar dengan kak wito.

"Aduh!" Keluhku pelan, tapi sakitnya bisa sampai membuat tubuhku berbungkuk.

"Kenapa nda?" Nia memegangi tubuhku "sakit lagi?"

Aku mengangguk, berpegangan pada nia.

"Woi anak cowo tolongin gue!" Kata nia dengan sedikit berteriak.

Disaat yang bersamaan, dari sudut mataku, aku dapat melihat gerakan kak wito yang ingin merespon jawaban dari nia dengan segera, tapi wanita yang disebelahnya dengan cepat menahannya untuk tetap disana, bersamanya.

"Kenapa nia?" Respon kak febri cepat, wajarlah selain ketua PMR, dia juga aktif di organisasi mapala.

"Dinda sakit kak febri!"

"Sini biar saya bantu!" Kak febri meletakkan tanganku dipundaknya, memapah langkahku.

"Gimana ini kak febri?" Tanya nia khawatir. Aku hanya bisa mendengar pembicaraan mereka dengan menahan rasa sakit yang luar biasa.

"Udah gue bilang banyakin minum air putih" Kak febri menggerutu, padaku, bahkan disaat aku sedang menahan nyeri diperutku.

Gak bisakah dia sedikit saja bersikap manis?

"Ayo nia bantu saya pegangi dinda di motor ya!" Perintah kak febri setibanya kami di salah satu pos darurat yang di sediakan panitia.

***

"Tadi pagi dia sarapan nggak?" Tanya kak febri pada nia begitu kami tiba di ruang UKS.

Nia mencolekku, "Loe sarapan gak nda tadi?" Nia meneruskan pertanyaan kak febri dengan berbisik ditelingaku.

Aku menggeleng, masih menahan rasa sakitku.

"Lah kok malah nanya si dinda?!"

"Saya kan gak satu tenda sama dinda kak, jadi saya gak tau!"

"Oh iya saya lupa, sorry!"

"Kalau gitu saya mau siapin makan dulu buat dinda kak, titip dinda ya kak febri!" Kata nia menitipkanku.

Lalu aku melihat tubuhnya lenyap di ambang pintu.

Kak febri melirikku "Rebahin disini, lurusin ya badannya, jangan meringkuk!" Perintahnya,  sembari melepaskan tahanan tubuhnya pada tubuhku.

"Tunggu sebentar disini gue cari minum sama obat dulu!" Katanya, dan kak febri juga meninggalkanku. Tapi gak lama, dia datang lagi dengan membawa sebotol air minum dan obat pereda nyeri.

"Ini diminum dulu. Obatnya nanti aja, tunggu nia bawa makanan buat loe! Buat sementara gue pijit dulu telapak kaki loe"

Aku menarik kakiku dari kak febri "gak mau sakit" keluhku.

"Cengeng!" Umpatnya, "Udah sini!" Kak febri menarik kakiku dengan paksa.

"Aduh, sakit kak febri!" Keluhku lagi.

"Makanya banyakin minum air putih, jangan lupa juga sarapan. Badannya ringkih, tapi kepalanya batu" Kak febri mengolokku. "Mana lagi nih si nia lama banget, dia nyari nasinya ke turki kali ya!"

Hadeuuh! Kepalaku yang batu ini hampir pecah mendengar kak febri yang terus mengoceh.

"Pake selimutnya yang bener!" Kak febri melirik selimutku, lalu rapihkannya hingga seluruh kakiku tertutup selimut. "Kalau perut lagi sakit begitu usahakan telapak kaki jangan sampai kedinginan"

"Bawel ah! Kaya emak-emak!" Jawabku, kesal.

"Nurut sama yang lebih tua juga penting" Katanya seraya duduk disamping ranjangku.

Aku menutup seluruh tubuhku dengan selimut, menghindari tatapan tajam kak febri, juga ocehannya.

"Kamu nyari makanan ke turki? Lama bener!" Kak febri ngoceh lagi, bukan padaku, tapi nia.

"Lupa saya kak, tas saya ditinggal di pos tadi, jadi gak ada makanan ditenda" Jawab nia.

"Kenapa gak bilang? Terus itu bawa apa?"

"Ini nasi sama goreng bawang anget!"

"Bawang goreng doang?"

"Sini gue mau!" Sahutku cepat.

Nia tersenyum lega dan langsung memberikan sepiring nasi hangat tersebut.

Kak febri tersenyum, seraya mengacak rambutku "lapar ya!" Katanya, membuat nia yang berdiri di sampingku melotot keheranan.

Melihat reaksi nia, kak febri langsung salah tingkah "nia kalau mau istirahat di tenda, istirahat aja, biar dinda saya yang temani!"

"Gak apa-apa emang kak?"

"Iya gak apa-apa! Makasih ya tadi udah bantu saya!"

"Iya kak. Terima kasih juga udah nolongin sahabat saya!" Katanya, sebelum pergi.

Disaat yang bersamaan, ketika aku melihat nia keluar dari ruang UKS, kak wito datang bersama kak pay dalam pangkuannya.

Aku terpaku dengan tatapanku pada kak wito, melihatnya membaringkan tubuh kak pay di ranjang bersebelahan denganku, begitu panik.

"Udah lanjutin makannya!" Ujar kak febri membuyarkan lamunanku.

Aku meletakkan piringku "udah kenyang!" Jawabku gak semangat.

"Habisin gak? Atau gue suapin paksa nih!"

Hatiku sesak, cemburu, melihat kak wito begitu perhatian pada kak pay dan memperlakukannya dengan baik, sementara aku diperlakukan buruk oleh kak febri.

Aku mendesah putus asa "Kak febri bisa keluar dulu gak?"

Kak febri menghela nafas, lalu mengulas senyum padaku.

"Ayo wit, kita keluar!" Ajaknya pada kak wito seolah mengerti perasaanku.

"Tapi gimana dia?" Kak wito melirik pay yang baru saja di baringkan di ranjang.

"Dia kan masih pingsan. Ayo!" Ajaknya kak febri menarik lengan kak wito dengan paksa.

"Dinda!" Aku menoleh,

Kak pay memanggilku lirih, setelah kak wito dan kak febri gak terlihat lagi. Apa dia pura-pura pingsan?

"Jangan pernah dekati kak wito lagi! Sekarang kami sudah benar-benar berpacaran!"

Degh!!!

Jantung ini tiba-tiba berdenyut nyeri. Ternyata ini alasannya kak wito mengabaikanku malam itu? Ini alasannya kak wito gak menolongku lagi? Dan ini sebabnya dia kembali mengabaikanku sekarang? Aku fikir sikap baiknya selama ini padaku karna dia memiliki rasa yang sama denganku. Rupanya aku salah ya! Kenyataannya perasaanku ini adalah perasaan yang bertepuk sebelah tangan. Lalu, kenapa dia menolak mengakui berpacaran dengan kak pay kalau akhirnya kalian menjalin hubungan juga. Apa kak wito ingin mempermainkanku? Membuatku berharap, tapi kemudian harapanku di hancur leburkan begitu saja. Memang aku ada salah apa padanya?

"Jadi gue minta loe hargain status kita"

Tenggorokanku terasa tercekat, nafasku seperti tersendat. Aku gak sekarat, tapi seperti hampir mati dikecewakan sedalam ini.

Kak wito kembali lagi, dengan sedikit tergesa, seperti mengkhawatirkan sesuatu. Entah mengkhawatirkan kondisi kak pay atau mengkhawatirkan statusnya yang akan segera diketahui olehku.

Dia menatapku dengan tatap yang tak terbaca,

"Iya kak pay jangan khawatir" Kataku menjawab kak pay mengabaikan tatapan kak wito padaku, lalu dengan tertatih aku keluar meninggalkan ruang UKS, juga kak wito bersama pay.

Aku menyandarkan diri di dinding luar UKS, menangis sejadi-jadinya, menumpahkan segala rasa kecewa dan sakit dihatiku.

"Dinda, loe kenapa?" Tanya nia ketika melihatku.

"Naa..." Aku memeluknya.

"Loe nangis karna kak wito sama kak pay?" Tanyanya lagi, nia melihat mereka dari jendela UKS.

"Kenapa dia ngasih gue harapan, kalau akhirnya nyakitin gue, na?" Tangisku semakin menjadi.

Nia gak menjawab lagi, ia hanya mengusap-usap punggungku, memelukku lebih erat, membiarkanku menumpahkan kesedihanku disana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status