POV : NIA
"Bawang goreng doang?" Aku menirukan gaya bicara kak febri padaku di ruang UKS "Dikira itu bawang mateng sendiri kali. Gue masak woilah bukan bawang goreng instan yang udah dikemas dan gak sepraktis itu. Habis digoreng juga gue masih harus cuci peralatan bekas masaknya. Kurang effort gimana gue coba dengan waktu yang secepat itu! Bener kata dinda, kak febri emang ngeselin!" Aku mencak-mencak sendiri di pantry sekolah sembari merapihkan peralatan masak yang baru di cuci. Bughh!!! Suara hantaman terdengar gak jauh dari pantry. Siapa lagi yang berkelahi kali ini? "Loe kenapa pukul gue, feb?" Tanyanya, itu seperti suara kak wito. Aku buru-buru berlari mendekati sumber suara, mengintip dari balik jendela pantry. Kak wito dan kak febri sedang berkelahi di depan aula sekolah. "Orang bajingan kaya loe pantes dapat ini" Katanya seraya menghantamkan pukulan lagi pada wajah kak wito. Kak wito nampak terlihat bingung tanpa perlawanan. Ia menyeka darah yang mulai keluar dari bibirnya. Sementara kak febri langsung melepas kasar kerah seragam kak wito, dengan terengah-engah ia mengatur nafasnya, mengendalikan diri. "Gue gak habis fikir dimana perasaan loe. Baru beberapa hari yang lalu loe bilang sama gue kalau loe suka sama dinda, tapi loe malah jadian sama pay, dan mengacuhkan dinda gitu aja. Kenapa loe hancurin perasaan dinda dengan cara begini?" "Hancurin perasaan dinda gimana?" Tanya kak wito semakin bingung. Aku masih mengintip mereka dari balik jendela dan mendengar pembicaraan mereka dengan fokus. Kak febri tersenyum sinis." Emang selama ini loe gak peka kalau dinda suka sama loe? Atau loe emang sengaja mainin dia?" Kak wito nampak terkejut, tubuhnya seketika lunglai hingga harus perpegangan pada tiang aula. "Kalau loe mau mainin perasaan cewe, itu hak loe. Asal jangan dinda orangnya" Kata kak febri lagi, lalu pergi begitu saja. Jadi, selama ini aku gak tahu apa-apa tentang mereka? Termasuk dinda yang gak pernah bilang apapun tentang perasaannya pada kak wito. Aku kembali pada peralatanku dengan banyak pertanyaan yang menggelayut dipikiranku. Sejak kapan? Kenapa? Bagaimana awalnya?. Aku ingin menanyakan segala hal pada dinda. "Nia tunggu!" Panggil kak wito begitu melihatku keluar dari pantry. Dia mendekatiku. "Ada apa kak?" Tanyaku, "Kamu sejak tadi disana?" Tanya kak wito melirik pantry tempatku mengintip mereka tadi. Aku melihat wajah kak wito yang mulai memar bekas pukulan kak febri, namun aku belum merasa puas. Harusnya kak wito dihantam lebih lagi dan kak febri gak perlu mengendalikan diri. Kak wito pantas mendapatkannya yang pasti gak sebanding dengan sakit yang dinda alami sekarang. "Iya" Aku menjawab datar, "Kamu juga pasti kesal kan sama saya?" Tanyanya, Oh tentu saja!!! Gumamku dalam hati. "Tapi nia, saya mohon tolong saya. Bantu jaga dinda baik-baik untuk saya!" Katanya lagi dengan wajah memelas. "Tanpa kak wito minta saya juga akan melakukannya untuk dinda!" Jawabku sinis. "Terima kasih ya nia!" "Kenapa kak wito ngasih harapan palsu ke dinda?" "Saya gak ngasih harapan palsu ke dinda! Benar kata febri tadi, saya memang menyayangi dinda. Itu tulus dari hati saya!" Aku tersungging, mengejeknya "Kalau sayang sama dinda kenapa malah jadian sama kak pay?" "Saya gak tahu dinda juga punya rasa yang sama seperti saya. Saya fikir dengan menerima pay dapat menyelesaikan satu masalah" "Terus karna kak wito berfikir dinda gak punya perasaan kak wito bisa seenaknya main-main sama perempuan?" Kak wito menghela nafasnya, mungkin aku sudah keterlaluan. Tapi, aku gak peduli. "Bukan begitu Nia. Justru karna saya gak tau jadi saya fikir hanya hati saya aja yang saya kesampingkan. Saya membunuh perasaan saya sendiri hanya untuk menolong pay. Saya benar-benar hanya berfikir sampai disitu dan gak berdampak pada yang lain!" "Sekarang nyatanya jadi begini kak dan Kak wito tetap mau bertahan sama kak pay sedangkan kak wito dan dinda sama-sama punya perasaan yang sama?" Kak wito mendesah, nampak putus asa. "Saya gak bisa ninggalin pay begitu aja nia!" "kenapa harus dinda yang di korbankan kak?" Tanyaku kesal dengan keteguhan kak wito. "Usia pay tinggal 3 bulan lagi, dia ingin bahagia di sisa waktunya bersama saya. Tapi saya janji, setelah itu saya akan perjuangkan perasaan saya sama dinda!" Aku tersenyum kecut mendengar ucapan kak wito. Siapa yang bisa jamin sisa usia seseorang akan habis sesuai ketentuan dokter? Memangnya dokter itu tuhan. Hal yang lebih jelaskan perasaan mereka yang sama-sama cinta yang harus diperjuangkan. Kenapa mesti bersikap bodoh menyenangkan hati orang lain yang gak kita cintai? Dan dinda, bagaimana kondisinya sekarang? Aku tiba-tiba mengingat beberapa waktu lalu sempat berpapasan dengan kak wito yang membawa kak pay ke ruang UKS. Dinda bersama kak pay di ruang UKS sekarang! Aku buru-buru menaruh peralatan yang ku bawa ke tendaku, lalu pergi menuju ruang UKS, dan benar saja. Anak itu sedang menangis disana, di depan ruang UKS, sendirian. "Dinda, loe kenapa?" Aku membiarkan dinda menghambur ke pelukanku. Membiarkannya menangis menumpahkan segala rasa sakit hatinya sambil melihat dua orang itu berpegangan mesra didalam ruang UKS. "Gue anter loe ke tenda ya!" Bujukku setelah tangis dinda sedikit mereda, lagipula aku gak nyaman dengan kak wito yang terus melihat ke arah kami. Aku mengantar dinda kembali ke tendanya. Menemaninya hingga ia terlelap tidur. Kasian dinda, ia selalu kekurangan cinta di hidupnya. "Eh kampret ngapain loe disini?" Tanyaku kaget ketika berpapasan dengan zendra. Dia refleks membekap mulutku "syuuth diem na!" Katanya lantas menyeretku untuk sembunyi di balik salah satu pilar sekolah. "Lepas ah!" Kataku berontak. "Loe ngapain sih disini? Kenapa gak ikut jelajah alam?" Tanyaku penasaran. "Tadi zendra sakit perut nia, jadi males mau ikut jelajah alamnya juga!" Katanya berbisik, takut keberadaannya diketahui orang lain. "Alesan aja loe!" Bantahku sambil menyentil jidatnya. "Ih beneran nia!" Jawabnya ngeyel, ia celingukan "yang lain belum pada datang ya? Kok nia udah ada di sini?" "Oh itu tadi dinda sakit jadi gue bantuin kak febri bawa dia ke UKS. "Dinda sakit? Sakit apa? Dimana dia sekarang?" Tanyanya seperti wartawan ketinggalan berita. Aku langsung mendelik "satu-satu nanyanya!" "Iya maaf, sok jawab aja!" Tanyanya dengan logat sunda yang kental. "Lagian loe tuh ya katanya suka sama dinda, tapi sampe sekarang gak ada perkembangannya. Padahal udah gue bantu kenalin dia ke loe sampe dia akhirnya bisa pulang bareng sama loe." Aku melirik kesal "bener-bener loe ya!" "Iya maaf nia, zendra belum siap. Zendra takut ditolak sama dinda ey!" "Belum apa-apa udah nyerah duluan, payah loe jadi laki-laki!" "Bantu zen lagi dong nia!" "Minta bantuan mulu loe ah, males gue. Percuma gue bantu berkali-kali juga kalau loe sendiri gak ada usahanya!" Dia terdiam sejenak, berfikir. "Ya udah nanti malam zen mau ungkapin perasaan zen ke dinda" Katanya kemudian. "Nah gitu dong! Itu baru temen gue!" Jawabku bersemangat mendengar jawabannya. Semoga dinda mau menerima zendra. Setidaknya agar dinda bisa secepatnya melupakan kak wito yang menyakiti hatinya itu dan bisa mendapatkan cinta yang layak yang selama ini gak pernah ia dapatkan dari orang terdekatnya."Dinda!" Kak wito sudah berdiri di depan tendaku, begitu aku keluar tenda untuk mengikuti acara api unggun.Ini malam terakhir kegiatan ambalan. Sebenarnya sedari tadi aku ragu untuk keluar dari tendaku. Membayangkan kak wito dan kak pay bermesraan di acara api unggun saja sudah sakit rasanya, apalagi jika nanti aku harus melihatnya langsung. Namun kenapa dia tiba-tiba ada disini? Sengaja menungguku? Untuk apa?Aku gak menjawab panggilannya, hendak pergi, tetapi tangannya dengan cepat menahanku."Dengarkan saya dulu, dinda. Saya mohon!" Katanya dengan wajah yang nampak sedih.Aku tertahan, tanpa jawaban sepatah katapun. Hatiku berkeras, masih kecewa dengan sedikit kebencian yang mulai tumbuh. Meski ini bukan kesalahannya, karna mungkin aku yang terlalu berharap banyak padanya, padahal mungkin dia saja gak tau bagaimana perasaanku padanya.Tapi melihat wajah sedihnya, ia seperti sudah mengetahui sesuatu, tentang perasaanku? Apa dia menyesalinya sekarang? Di waktu yang sudah terlambat?
"Aku suka sama kamu, dinda!" Ucapannya membuatku sangat terkejut "Zen beneran sayang sama, dinda!" Katanya mantap.Kenapa dia menyatakan cinta secepat ini? Apa dia gak tahu apa yang baru saja terjadi? Tentang patah hatiku, memangnya nia gak bilang apa-apa sama dia? Atau dia gak mau peduli tentang itu?"Tapi zen...""Dinda gak harus jawab sekarang kalau belum siap. Dinda harus fikirin baik-baik gak usah buru-buru. Zen akan tunggu sampai dinda siap sama jawaban dinda!"Aku menatapnya, ia nampak tulus dengan mata coklatnya yang berkilat terkena sinar matahari. Apa aku jadikan dia pelarian saja? Tiba-tiba pikiran jahatku berkelebat.Aku bisa membalaskan sakit hatiku pada kak wito kalau aku menerima zendra untuk jadi kekasihku. Aku yakin kak wito pasti kecewa dan akan melupakan aku dengan cepat, supaya ia juga bisa mengurungkan niatnya untuk meninggalkan kak pay.Namun, aku benar-benar gak ada perasaan padanya, apa aku bisa membohongi perasaanku sendiri? Mengubur mimpiku untuk memiliki kek
"Gue masuk ya, biar bisa jelasin sama keluarga loe!" Kak febri turun dari motornya."Gak usah, loe balik aja kak, makasih ya udah anter-anter gue!" Kataku mendorongnya agar naik kembali ke motor.Seolah menyadari kedatanganku tiba-tiba nenek membuka pintu rumahnya,"Ada siapa dinda?" Nenek mendekatiku."Perkenalkan nek, nama saya febri, kakak kelasnya dinda!" Kak febri memperkenalkan diri lalu mencium tangan nenek."Oh kakak kelasnya dinda. Masuk dulu kalau begitu, nanti dibuatkan teh!" Sambut nenek hangat."terima kasih nek""Mari nak, sini!" Nenek mengajak kak febri masuk, "maaf ya nak febri, dinda merepotkan nak febri!" Lanjutnya."Gak apa-apa nek, saya sama sekali gak merasa direpotkan""Nak febri silahkan duduk dulu, nenek mau buatkan teh dulu!""Baik nek!"Nenek pergi untuk membuatkan teh, sementara aku diminta nenek untuk menemani kak febri. Disaat seperti ini, bersama kak febri yang konyol pun aku merasa kikuk, seperti sedang mengenalkan calon suami pada keluarga."Ada tamu ya
"Kamu ikut acara ini dinda? Memang sudah benar-benar sembuh?" Tanya kak wito yang hari itu terlihat lebih santai dengan kaos navy dan celana training hitam."Udah lebih baik kak, lagipula aku gak boleh manjain badanku!"Begitukan doktrin dari keluarga papaku yang setiap kali diteriakan ke telingaku ketika aku ketahuan istirahat. Sampai pada akhirnya aku terbiasa dengan kelelehan ini, juga terbiasa berhenti mandi dengan air hangat karena mereka pasti memarahiku acap kali kepergok membawa air hangat masuk ke dalam kamar mandi sekalipun saat badanku panas atau demam. Aku hampir jadi wonderwomen dengan ujian batin dan fisik yang terus mengasahku."Memangnya kenapa? Sesekali juga tubuhmu tetap harus di istirahatkan!"Aku melempar senyum membalas perkataan kak wito yang begitu mudah di ucapkan."Di acara jalan sehat ini kamu mau berpasangan dengan siapa?""Eh" Aku nampak kebingungan, aku bahkan gak tahu kalau acara jalan sehat kali ini harus berpasang-pasangan."Kenapa dinda?" Kak wito meng
"Deketnya sama ketua osis, pacarannya malah sama yang seangkatan, yaah payah nih dinda" Ejek kak alif, ia tiba-tiba nongol dari jendela tanpa kaca deretan kursi paling belakang lalu melompati jendela bolong tersebut untuk dapat masuk lebih cepat ke kelasku.Aku mengangsurkan sebagian tubuhku di atas meja, memandangi lalu-lalang siswa lain di depan kelasku, memgabaikannya."Dinda! Percuma dong cantik kalau gak bisa dapetin ketua osis!" Kak alif meledekku lagi, ia menjatuhkan kepalanya di atas meja, tepat berhadapan dengan kepalaku.Aku langsung menarik diri "Berisik banget sih loe, ngapain ke kelas gue?" Bentakku kesal."Yah gak jadian sama ketua osis malah jadi nenek lampir!" Kak alif cekikikan melihatku yang makin kesal. Hingga sebuah buku melayang ke arahnya."Aduh!" Pekiknya, mengusap salah satu bagian tubuhnya yang terkena lemparan buku."Balik sana kamu" Bentak Amanda dengan logat jawa khasnya,"Seru loh godain dinda yang lagi patah hati!" Katanya masih cekikikan."Balik gak ke k
Dua bulan telah berlalu, sejak aku menjalin hubungan dengan zendra, hingga gosip menyebar luas dan membuat heboh satu sekolahan. Gak cuma siswa, guru-guru pun sempat menggosip percintaan anak didiknya yang cukup rumit ini.Berbeda saat aku pertama kali jadian dengan desha, yang mana hanya anak cewek-cewek saja yang heboh dan bergunjing. Mungkin pengaruh kak wito lah yang cukup kuat sampai namaku dan kak pay melambung jadi trending topik beberapa minggu terakhir.Dua bulan yang telah berlalu, tak mengubah banyak hal, apalagi cerita tentang hubunganku yang rumit di kisah sebelumnya. Masih sama.Kak wito masih berusaha meyakinkanku, sementara kak pay masih terus menyalahkanku karena pacarnya sering menemuiku. Meski begitu, keagresifan kak wito lama-lama membuatku sedikit hilang rasa juga.Aku tahu, dia cukup menyesalinya, sampai dia harus berusaha untuk lebih dominan memperhatikanku ketimbang kak pay, kekasihnya itu, tapi sikapnya bukan malah meluluhkan hatiku yang sempat kecewa padanya,
Zendra menepikan motornya begitu kami sampai di tepi pantai. Pantai dengan panorama sang surya yang hendak beranjak menuju peraduan itu memancarkan sinar malu-malu.Aku memilih salah satu tempat di pesisir, lalu duduk nyaman dengan berpayungkan nyiur yang melambai-lambai tertepa angin."Sini zen" Aku memanggil zendra yang masih sibuk memarkir motornya dengan benar."Iya sebentar" Zendra berlari menuju tempatku duduk dengan santai."Katanya tadi ada yang mau di omongin?" Tanyaku, seraya melihatnya menyilangkan kaki di sampingku."Dinda.." Zendra nampak ingin melanjutkan, namun ragu."Ada apa? Ngomong aja" Jawabku mengalihkan pandanganku pada gulungan ombak yang beradu di bibir pantai."Setelah 2 bulan ini gimana perasaan dinda sama zen?"Ini mengingatkan aku pada ucapan nia setelah memaksaku menerima zendra. Masa traning yang menentukan bagaimana aku harus melanjutkan hubunganku dengan zendra akan lanjut atau berhenti saja sampai disini.Apa secara tidak langsung dia mengajakku untuk m
"Yah...yah...dimana ya..." Tanganku sibuk merogoh ke dalam tas mencari buku catatan dan kotak pensilku."Kenapa nda?" Tanya eka, melongok tasku yang terbuka."Buku sama kotak pensil gue ketinggalan deh kayanya diruang lab, loe duluan aja. Gue mau balik lagi ke sekolah"Aku ingat pelajaran terakhir kami tadi berlangsung di ruang lab dan aku meletakkan buku beserta kotak pensil itu di atas meja komputer, lalu lupa memasukkannya kembali ke dalam tas karna aku sibuk membantu pak muh untuk mengajari teman-teman lain yang masih belum mengerti."Mau gue temenin gak?" Tawarnya,"Gak usah, gue sendiri aja deh. Loe juga kan harus buru-buru bantuin bokap loe jualan""Beneran?""Iya. Gue tinggal ya!" Jawabku.Aku berlari kembali menuju sekolah. Berharap ruang lab belum di kunci dan masih ada orang yang tersisa di sana. Mengingat kelas multimedia adalah kelas yang paling terakhir keluar hari ini.Aku terus mempercepat langkahku. Tanpa kotak pensil itu aku gak akan bisa pulang ke rumah, uangku ada