Share

AMBALAN PRAMUKA

Keesokan harinya...

Semua siswa yang hadir sudah berbaris rapih di lapangan bersama dengan bekal mereka masing-masing. Kak wito dan seluruh panitia lain juga sudah menginformasikan rangkaian kegiatan apa saja yang akan berlangsung selama ambalan. Dilanjut dengan pembagian regu bagi para peserta yang hadir. Aku terpilih sebagai ketua di regu matahari dengan berisikan 8 anggota. Setelah membubarkan barisan, kami diminta untuk mendirikan tenda masing-masing dari setiap regu.

"Dinda, mau dibantuin pasang tendanya gak?" Tawar kak wito yang sudah berdiri didekat tendaku.

"Cie...cie..." teman-teman satu reguku langsung meledekku.

"Enak ya kita bisa satu regu sama dinda, jadi bisa di pantau terus sama ketua osis!" Ujar penti senang.

Aku melirik kak wito yang saat itu tersenyum mendengar perkataan penti. Ia nampak gak keberatan saat teman-teman meledek kami. Apa kak wito juga menyimpan rasa yang sama sepertiku?

"Wito kok loe malah disini sih!" Kak febri datang merusak suasana.

Kak wito menoleh, " Eh feb, ada apa?"

"Panitia lagi ngadain rapat darurat itu. Pantes loe dicariin gak ada ternyata ada di tendanya si dinda" Jawab kak febri.

"Ini bantuin dinda pasang tenda" Kata kak wito menjelaskan, tangannya masih sibuk menyimpul tali tenda.

"Ah kak febri ganggu aja nih!" Susi yang juga tim reguku, mengeluh.

"Siapa ketua di regu kalian?" Tanya febri tegas, sepertinya emosi Kak Febri tersulut oleh perkataan susi.

"Saya kak!" Jawabku formal mengingat sedang banyak siswa lain, apalagi ini acara pramuka. Aku harus bisa memposisikan diri.

"Kamu sebagai ketua gak bisa mengarahkan timmu sendiri cuma buat pasang tenda sampai harus dibantu panitia?" Bentaknya padaku, tatapan seriusnya membuat jantungku ingin keluar dari tempatnya.

Baru kali ini aku melihat langsung aura kak febri ketika marah. Sebelum-sebelumnya, ia belum pernah seserius ini, bahkan sampai memarahiku. Tapi sungguh, dari sekian banyak bentakan, omelan yang ku telan mentah-mentah, bentakan kak febri yang berhasil membuatku ingin menangis.

"Febri apaan sih loe! Bukan dinda yang minta, tapi emang gue yang nawarin diri buat bantuin mereka. Lagian apa salahnya kalau panitia bantuin pasang tenda?" Suara kak wito meninggi membelaku dihadapan kak febri.

"Salah?" Kak febri mengeryitkan alisnya "Ya jelas salahlah. Loe fikir kita sebagai panitia cuma santai-santai? Tugas kita lebih banyak daripada mereka yang cuma sekedar pasang tenda!" Suara kak febri ikut meninggi.

Akhirnya mereka ribut, ditonton banyak orang pula, cuma gara-gara aku dan tendaku. Pasti setelah ini aku akan dapat masalah baru dari orang yang gak menyukaiku. Terutama mereka-mereka yang ngfans sama kak wito dan kak febri.

Aku menahan kak wito yang sudah siap membalas kak febri lagi, lalu menatap kak febri, "iya saya yang salah, saya minta maaf kak!"

"Kalau gak bisa, usaha! Jangan manja!" Tegur Kakk Febri tegas.

Aku mengangguk pelan, "Baik kak, sekali lagi saya minta maaf"

"Dinda!" Kak wito bergumam frustasi.

***

POV : WITO

"Kak wito, pay pingsan lagi!" Amel menerobos masuk ke ruang rapat panitia. Ia memang selalu mencariku setiap kali temannya pingsan.

"Ya udah sana deh loe urusin si pay dulu!" Febri yang saat itu memimpin rapat mengijinkanku keluar menemui pay, reaksinya berbeda dengan saat ketika aku membantu dinda mendirikan tenda.

Mau gak mau, aku menurut saja, meski aku gak ingin menemui pay secara personal lagi. Ia selalu membahas hal yang sama saat aku menemuinya. Tapi, aku juga gak mau melawan febri karna ujungnya pasti ribut lagi. Aku sering sekali ribut dengan febri belakangan ini. Apalagi masalah tenda tadi masih hangat, kalau sampai sekali lagi kami ribut, gak ku tonjok aja langsung wajahnya yang sok kegantengan itu.

Aku mengikuti amel menemui pay yang terbaring lemah di ruang UKS. Ini bukan kali pertama bagi pay terbaring disana. Sudah sangat sering dan aku selalu menemaninya hingga ia pulih.

"Gue tinggal ya!" Ucap amel yang berarti menitipkan pay sepenuhnya padaku.

Aku mendekati tubuh ringkih itu, duduk di kursi di samping pay yang terbaring tidur, menggumam dalam hati.

Kenapa pay harus mencintai lelaki yang gak pernah bisa mencintainya seperti aku? Kenapa dia gak mencari kebahagiaan dari orang lain yang bisa mencintainya dengan tulus? Harusnya dia bisa menyenangkan dirinya sendiri disaat seperti ini, semudah itu kenapa gak bisa? Toh dia cantik, pasti banyak orang yang mencintainya di luar sana.

Seakan mendengar suara hatiku yang berisik, perlahan mata pay terbuka.

"Kak wito?" Panggil pay pelan.

"Sakit lagi ya?" Tanyaku padanya.

"Hmm.." gumamnya.

"Apa gak sebaiknya kamu pulang aja? Kondisimu gak memungkinkan untuk lanjut ikut kegiatan disini!"

"Aku baik-baik aja kak!" Pay tersenyum meyakinkanku.

"Baiklah, saya temani kamu disini sampai pulih"

Aku selalu gak tega, jika melihat pay seperti ini. Penyakitnya, aku gak tahu sudah separah apa, tapi yang jelas semakin hari ia semakin terlihat lemah.

Pay meraih tanganku, "Kak, aku mohon untuk kali ini, terima perasaanku!" Katanya memohon.

Aku mendesah, "Saya udah berusaha pay, tapi tetap gak bisa" Jawabku hati-hati.

"Aku nunggu kakak dari tahun lalu kak, kenapa kak wito gak pernah bisa terima aku di hati kakak?"

"Sekuat apapun saya mencoba menerima kamu, hasilnya tetap sama. Apalagi sekarang  saya mencintai seseorang!"

"Dinda?" Tanyanya sedih.

Aku menarik nafas, dan pay menunggu...

"Iya"

"Aku bisa kak jadi seperti dinda. Aku akan usahain sebisaku, sampai akhirnya kak wito mencintaiku. Tapi aku mohon tolong terima dulu aku sebagai kekasihmu!" Suara pay tertelan isak tangisnya.

"Selama ini saya sudah anggap kamu seperti adik sendiri, mana mungkin saya bisa mencintai kamu, pay!"

Diranjangnya, ia hanya tertunduk, menghapus air matanya, aku iba, tetapi selama ini aku sudah berbaik hati menjaga perasaannya hingga aku gak pernah mau dekat dengan wanita manapun supaya ia gak terluka, namun untuk kali ini, aku sudah gak bisa. Aku ingin memperjuangkan dinda untuk hatiku.

"Bagaimana kalau sisa waktuku cuma tinggal 3 bulan lagi kak? Apa kak wito benar-benar tega sama aku?"

Ucapan pay membuatku tertegun,

Ia memegangi tanganku, dengan tatapan putus asa "aku mohon kak, bantu aku bahagia disisa waktuku"

Hening...

Aku menghela nafas, lalu mengangguk perlahan menyetujui keinginan pay.

***

Malam itu, tepat pukul 01.00 WIB seluruh siswa dibangunkan untuk mengikuti kegiatan jurit malam. Para panitia sudah mempersiapkan selembar kain dan kemudian menutup mata kami rapat-rapat. Setelah itu, kami diminta untuk saling memegang bahu kawan kami.

"Pegang bahu kawan kalian erat-erat ya, jangan sampai terlepas karna nanti bisa-bisa kalian terpisah dari rombongan dan tersesat!" Salah satu panitia memberi intruksi.

"Iya kak!" Jawab kami serempak.

Tak lama, suara-suara aneh yang menakutkan mulai terdengar, seperti tawa kuntilanak dan  raungan serigala hingga beberapa siswa terdengar berteriak ketakutan.

Lalu, seseorang menarik tanganku...

"Buka penutup mata loe!"  Katanya setelah suara-suara teriakan itu terdengar samar.

Aku membuka penutup mataku, melihat orang yang tinggi menjulang dihadapanku, dengan perasaan kecewa...

"Kenapa muka loe? Masih kesal sama gue?" Tanyanya padaku.

Aku kira, yang menarik tanganku itu kak wito. Tentu saja ekspresiku gak mungkin bahagia saat melihat ternyata orang lain yang sekarang bersamaku.

"Diem disini, ngapain loe ikutan jurit malam! Tar klo pingsan ngerepotin orang lagi!"

Kalian pasti tau kan siapa dia?

Yups! Betul!

Dan entah kenapa kak febri ini selalu nyebelin, nada bicaranya nyolot, kalimat-kalimatnya sering nyindir pula. Kalau aja caranya menyampaikan ucapan diperhalus sedikit, mungkin dia bisa jadi makhluk sempurna di sekolah ini ya. Cewe-cewe di sekolahan yang ngfans sama dia dan bilang kalau dia cowok cool, Ciih!!! Belum tau aja kelakuan aslinya.

"Dih siapa juga yang pingsan!" Aku mendengus kesal.

"Masuk sana!" Kak febri menyuruhku masuk ke dalam aula sekolah yang saat ini digunakan sebagai tempat menginap bagi para panitia.

Aku menggeleng "Disini aja deh, gak enak sama yang lain"

"Ya elah perasaan banget loe jadi orang" Kak febri menarik kursi "sini duduk" katanya setelah mensejajarkan kedua kursi yang baru ia keluarkan dari dalam aula.

"Kenapa?" Tanyaku.

"Apanya yang kenapa?" Tanya kak febri bingung.

"Kenapa gue dibawa kesini?"

"Jangan ge'er!" Liriknya sambil menyandarkan tubuhnya di kursi tersebut.

"Siapa juga yang ge'er, gue cuma nanya aja masalahnya tadi siang gue dibantuin pasang tenda aja loe marah-marah. Katanya gue suruh usaha, tapi sekarang loe malah bawa gue kesini"

"Dari pada nanti loe pingsan disana!"

"Kan gue disana lagi usaha"

"Usaha ngapain?"

"Usaha biar gak pingsan dan ngerepotin orang!"

"Dinda, sini deh!" Kak febri menarik tanganku kasar hingga tubuhku ambruk di kursi sebelahnya.

"Apaan sih!" Bentakku kesal.

Kak febri mengangkat tangannya, menunjuk langit gelap di atas kami "Lihat bintangnya terang banget!"

Aku mendongak, menatap bintang yang tepat berada diatas jari telunjuk kak febri "Indah!"

"Belum pernah gue lihat bintang seterang ini sebelumnya!" Kagumnya.

"Feb kopi dimana?" Tanya Kak Wito di sela - sela obrolan Kak Febri.

Spontan, aku menoleh pada asal suara yang berasal dari belakangku, "Kak wito?!"

"Di kabinet laci kedua!" Jawab Kak Febri singkat.

Kak Wito hanya melirik sebentar, lalu pergi mengabaikanku setelah mendapat jawaban dari kak febri.

Kenapa sikap kak wito tiba-tiba berubah? Dia sengaja menghindariku karna masalah pagi tadi? Atau dia marah karna aku duduk berdua dengan kak febri?

"Kak, gue balik ke tenda ya!"

Kak febri menarik tanganku lagi "Duduk dulu disini, tunggu jurit malamnya selesai!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status