"Selamat menikmati hidup bersama dengan bekasku!" ucap Asma sebelum meninggalkan Endang.
Asma pun segera naik ke dalam bus yang berhenti tepat di depannya. Dia merasa malu jika harus kembali ke rumah orang tua. Dia juga tidak mau orang tuanya malu karena perceraiannya dengan Tanto yang merupakan anak juragan tanah. Sejak awal para tetangga memang banyak yang mencibir pernikahannya.
Di dalam bus tujuan kota, Asma duduk di samping jendela. Asma menatap lampu-lampu yang menerangi jalan. Air matanya tidak kuasa untuk tidak keluar dari mata indah miliknya ketika dia mengingat perselingkuhan sang suami.
Bus semakin jauh meninggalkan desa tempat tinggalnya. Hati yang terluka mengiringi perjalanannya menuju ke kota. Sepanjang perjalanan, air mata menggenangi matanya. Dia tidak peduli dengan penumpang lain yang melihatnya dengan tatapan aneh.
“Terminal..., terminal..., terakhir...!”
Kondektur bus mengingatkan tujuan akhir bus. Asma tersadar jika dia sudah sampai ke tempat tujuan.
Asma segera mengusap air matanya. Suasana ramai kota mewarnai jalanan kota. Asma segera berdiri, dia hendak turun di pusat kota.
“Berhenti di sini, Bang,” pinta Asma ketika tiba di tikungan jalan sebelum menuju ke arah terminal.
Setelah bus berhenti, Asma segera turun dengan hati-hati seraya menyeret kopernya. Dia berjalan ke depan toko yang sudah tutup dan duduk di kursi kosong yang ada di sana. Perutnya terasa lapar, dia membuka tas selempangnya dan mengambil dompet miliknya. Hanya tersisa beberapa ribu saja uang yang ada di dompetnya dan juga ATM yang berisi uang tabungan hasil penjualan kuenya yang rencananya untuk tambahan biaya persalinan dan keperluan dirinya selama hamil karena selama ini sang suami tidak memperhatikan kebutuhan kehamilannya. HP yang dibelikan sang suami juga diminta kembali karena dianggap milik suami.
Asma mengedarkan pandangan ke segala penjuru kota. Selain banyak warung angkringan berjajar di pinggir jalan, beberapa toko masih terbuka. Lampu kerlap kerlip dari beberapa toko meramaikan suasana kota padahal malam semakin larut.
Asma mencoba mencari pekerjaan di malam itu, setidaknya untuk makan malam ini. Dia menuju ke deretan toko yang masih buka. Asma memasuki satu per satu toko dari ujung jalan hingga ujung jalan lain.
“Sebenarnya kami sedang membutuhkan karyawan, tetapi maaf kami tidak bisa menerima Mbak karena sedang hamil,” ucap salah satu pemilik toko sembako yang sudah hampir tutup.
Asma merasa ada angin segar untuk bisa mendapatkan pekerjaan. “Saya bisa, Pak. Saya berjanji kehamilan saya tidak akan mengganggu nantinya.”
“Mohon maaf sekali, Mbak. Kami tidak bisa mengambil resiko karena kami butuh orang yang bisa angkat-angkat barang,” ucap pemilik toko.
Asma tidak bisa memaksakan pemilik toko untuk menerimanya bekerja di tempat itu. Apa yang disampaikan pemilik toko tersebut ada benarnya karena sangat berbahaya bagi janinnya jika dia harus mengangkat beban berat. Dia pun meninggalkan toko tersebut menuju ke toko yang lain, tetapi hingga ujung kompleks pertokoan tidak ada yang membutuhkan karyawan. Bahkan dia menanyakan kepada warung-warung makan dan angkringan, tetapi semua mengatakan tidak ada lowongan.
Sebenarnya di seberang jalan masih ada beberapa toko yang masih buka, tetapi Asma sudah berkecil hati untuk mencoba. Dia terus berjalan menyusuri jalan.
Malam semakin larut. Asma sudah merasa lelah dan kakinya juga sudah merasa pegal. Dia juga merasa lapar dan haus karena dia belum makan apapun sejak meninggalkan rumah sehingga membuat tubuhnya lemas. Perutnya juga terasa agak kencang dan sakit karena sudah terlalu lama berjalan. Tempatnya sekarang cukup sepi, berbeda dengan daerah di sebelah selatan yang berderet warung angkringan dan toko yang masih buka.
Asma berhenti di salah satu depan toko yang terdapat kursi. Dia menatap jalan di depannya yang terlihat sepi, hanya ada lalu lalang mobil dan sepeda motor yang melintas. Dia mengelus-elus perutnya untuk mengurangi rasa sakit. Air mata pun luruh membasahi pipi Asma. Ada rasa sesal mengapa dia tidak kembali ke rumah orang tuanya saja, tetapi rasa malu dan takut mengalahkan rasa sesal tersebut.
“Ya Allah, mengapa Engkau memberi cobaan seberat ini padaku? Apakah karena aku sudah melawan orang tuaku sehingga Engkau menghukumku” gumamnya.
Asma menghapus sisa air matanya, tetapi masih terdengar isak tangisnya. Ada perasaan takut ketika melihat tempat di sekitarnya yang sepi. Dia pun segera beranjak dari tempatnya beristirahat.
Asma masih terus melanjutkan berjalan menyusuri jalanan yang semakin sepi. Deretan toko sebagian besar sudah tutup. Dia mengusap perutnya membuat air mata lagi-lagi luruh dari matanya.
Perasaan terbuang dan terabaikan dari orang-orang terdekatnya tiba-tiba hadir dalam hatinya. Suami yang sangat dicintainya bahkan dulu dia rela melawan nasihat orang tua, sudah mencampakkan dirinya demi wanita dari masa lalu sang suami.
“Apa gunanya aku hidup jika tidak ada yang peduli aku lagi?” gumam Asma di dalam hatinya.
Semula Asma berjalan di trotoar, tetapi sedikit demi sedikit dia berjalan ke arah tengah jalan. Batinnya bergolak, dia berhenti sejenak dan menengok ke arah jalan di belakangnya yang sepi. Hati kecilnya menolak melakukan itu, tetapi langkah kakinya tetap ke arah tengah jalan. Pada saat itu terlihat sebuah lampu mobil di kejauhan.
Terbersit dalam hati untuk mengakhiri hidupnya.
Asma berjalan dengan langkah lunglai. Akal sehatnya dikalahkan oleh rasa keputusasaan.“Maafkan ibu, Nak. Daripada kamu lahir tanpa ayah di sampingmu, lebih baik kita pergi bersama-sama ya, Nak,” gumamnya pada anak yang di dalam kandungannya seraya mengelus perutnya dengan berurai air mata.
Pandangan Asma lurus ke depan. Tangan kiri menyeret kopernya, tangan kanan mengelus perut buncitnya. Dia memantapkan hati untuk mengakhiri semuanya.
Mobil yang melaju di belakangnya semakin mendekat. Suasana yang sepi dan tidak adanya pemukiman penduduk mendukung tekad Asma. Baju berwarna gelap yang dikenakan Asma membuat dia tidak terlihat dari kejauhan.
Asma semakin berjalan ke tengah jalan. Dia memejamkan mata seraya mengelus perutnya. Bayangan sang suami yang mengelus perut wanita selingkuhannya yang hamil membuatnya semakin tergugu. Sedangkan, perutnya tak pernah sekalipun dielus oleh sang suami. Kelebatan perselingkuhan sang suami yang dilakukan beberapa kali hadir dalam bayangannya. “Kamu jahat Mas Tanto,” gumamnya dengan linangan air mata.
“Ayah, Ibu, maafkan Asma.”
Suara deru mesin mobil semakin mendekat.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak kepadanya.“Mbak! Awas ada mobil!” teriak orang tersebut seraya berlari menuju ke arah Asma.
Orang itu berlari dengan cepat untuk mendekat ke arah Asma ketika dia melihat mobil sudah semakin mendekati Asma.
Asma tidak mengindahkan teriakan itu. Dia berhenti berjalan dan memberanikan diri menatap mobil yang tengah melaju dengan kencang di depannya. Pandangannya lurus ke depan dan kemudian memejamkan mata. Suara klakson panjang terdengar di telinganya. Suara decit roda ban mobil dengan aspal terdengar sangat nyaring.
“Mbak! Minggir!”
Brak! Suara benda tertabrak mobil terdengar di telinga Asma. Sedangkan dia merasa tubuhnya ditarik oleh seseorang dan membentur dada bidang seseorang. “Lepaskan aku!” pekik Asma seraya meronta dari pelukan orang tersebut. “Biarkan aku mati.”Orang itu masih memeluk tubuh Asma yang masih meronta hendak menuju ke jalan. “Jangan bodoh, Mbak. Memangnya kalau Mbak mati akan menyelesaikan masalah?”Asma tidak mendengarkan ucapan orang itu. Dia terus meronta seraya menceracau. “Aku ingin mati! Semua orang sudah tidak peduli padaku!”Tiba-tiba Asma jatuh pingsan di pelukan orang yang telah menolongnya. Orang itu pun panik dan terkejut. Dia mengambil HP yang ada di saku kemejanya dan menghubungi seseorang. [“Mbak Khansa, tolong! Ada wanita pingsan. Aku di tepi jalan tidak jauh dari panti,”] ucap orang itu. Tidak lama kemudian, seorang wanita berjilbab menghampiri orang itu dan Asma yang masih pingsan. “Apa yang terjadi, Arya?” tanya wanita itu seraya berjongkok di samping orang yang dip
"Hai...."Arya menyapa Asma yang terkejut dengannya. Dia mendekati mereka dan menyerahkan kantong plastik berisi bubur ayam yang dibeli di depan klinik kepada Khansa. “Mbak, sarapan dulu saja. Apa dokter sudah datang, Mbak?”“Belum. Kemungkinan jam 7 pagi,” jawab Khansa seraya menerima bungkusan dari Arya. Dia pun menyingkir ke arah kursi tunggu yang ada di depan ruangan. Arya membuka bungkusan lain yang ditujukan untuk Asma. Dia mengambil sesendok bubur di styrofoam dan menyuapkan kepada Asma. “Kamu sarapan dulu. Ayo, buka mulutmu,” ucap Arya dan sesendok bubur sudah di depan mulut Asma. Semula Asma menolak disuapi, tetapi Arya memaksa sehingga dia tidak bisa berkutik. Asma menghabiskan satu porsi bubur ayam bersamaan dengan Khansa yang juga sudah menyelesaikan makannya. Beberapa menit kemudian, dokter datang ke ruangan Asma untuk memeriksa kondisinya. Asma sudah diperbolehkan pulang. Arya mengurus administrasi di klinik, sedangkan Asma dan Khansa menunggu di ruangan. Sejak ke
“Kalau tidak mau menjawab, tidak apa-apa Asma,” ucap Khansa melihat raut kesedihan di wajah Asma.Asma menatap Khansa yang duduk di sebelahnya. Ucapan sang suami yang lebih memilih wanita selingkuhannya terngiang kembali di telinga. Laki-laki yang sangat dicintai membuangnya hanya karena kehadiran cinta lamanya.“Suamiku selingkuh dengan mantannya dan sekarang hamil juga, Mbak. Dia lebih memilih wanita itu daripada aku dan anak yang di dalam kandunganku. Bukan kali ini saja dia berselingkuh, tetapi ini yang sangat menyakitkan. Aku tidak bisa bertahan lagi dengannya,” Asma mencoba bercerita kepada orang lain untuk meringankan beban di hatinya.Arya yang akan ke kamar Asma urung menyambanginya. Dia hanya berdiri di balik dinding kamar yang ditempati Asma dan mendengarkan cerita Asma.“Mungkin ini adalah hukuman Allah buatku, Mbak. Pernikahan kami tidak disetujui oleh orang tuaku karena melihat latar belakang keluarga kami yang berbeda dan juga sosok suamiku yang memang sejak dulu terken
“Cepat atau lambat, kamu pasti akan mengetahui semuanya, Arya. Cerita cintaku sangat menyedihkan ya,” ucap Asma seraya tertawa kecil menertawakan kebodohannya mencintai laki-laki yang salah. Arya menatap Asma dengan lekat. Dia melihat kesedihan pada wajah Asma dalam senyumannya. “Jangan menengok ke belakang. Masa depan yang penuh bahagia berada di depan. Yang lalu biarlah menjadi pengalaman dan pemicu untuk menjadi lebih baik lagi,” ujar Arya dan mengalihkan pandangannya ke arah yang lain. Asma menengok ke arah Arya yang sedang menatap ke arah depan. Mereka pun sama-sama terdiam, tidak ada lagi yang membuka suaranya. Khansa menghampiri Asma dan Arya. Dia duduk diantara keduanya. “Nyonya Asma!“ panggil petugas pendaftaran. Asma dengan di dampingi Khansa masuk ke dalam ruang pemeriksaan, sedangkan Arya tetap berada di luar. Sekitar dua puluh menit Asma dan Khansa berada di dalam ruang pemeriksaan. Arya berdoa agar kandungan Asma tidak terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. “Ayo pu
“Ada apa, Asma?”Arya baru saja memasuki toserba. Dia heran melihat raut wajah Asma yang terlihat bersedih. Asma terkejut dengan kedatangan Arya. Dia sedang melamun di tempatnya sehingga tidak mendengar kedatangan Arya. “Bagaimana Ar?” Asma balik bertanya pada Arya. Arya tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia bertanya malah Asma balik bertanya padanya. “Kamu ada masalah?”Asma menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. Dia menutupi apa yang terjadi padanya. “Nggak ada apa-apa kok.” Arya tidak menanyakan lebih lanjut lagi. Dia pamit untuk memeriksa persediaan barang di gudang. Sedangkan, Asma merasa khawatir barangkali Arya akan mengetahui gosip tentangnya yang bermula dari arah gudang. Arya menghentikan langkahnya ketika mendengar kasak-kusuk di balik tumpukan kardus-kardus minuman yang ada di gudang. Dia terkejut dengan ucapan salah satu karyawannya. Ketika Arya akan menegur mereka, Asma datang dan menarik lengan baju Arya. Dia memberi kode agar jangan mendekati m
"Kamu sendiri percaya gosip yang mana?” Asma bertanya kembali kepada Anis karena tidak segera dijawab olehnya.Anis menghembuskan nafas sebelum menjawab pertanyaan Asma. Mengapa suasananya berubah mencekam bagi Anis, padahal tadinya dia hanya ingin mendapat klarifikasi langsung dari Asma.“Sebenarnya aku kurang percaya dengan gosip yang beredar, Mbak. Tetapi, ketika Mbak Asma bertanya tentang mana yang aku percaya, kok terkesan bahwa salah satu gosip itu benar. Jika memang seperti itu, berarti Mbak pasti pernah berniat untuk bunuh diri. Sedangkan anak yang ada di perut itu, tidak mungkin lah hasil hubungan gelap. Walaupun aku belum lama mengenal Mbak Asma, aku yakin Mbak wanita baik-baik,” jawab Anis dengan panjang lebar.Asma terkekeh dengan melihat raut muka Anis yang terlihat tidak enak padanya saat menjawab dan suasana menjadi agak tegang.“Kenapa Mbak Asma malah ketawa?” tanya Anis heran melihat Asma yang tersenyum lebar mendengar ucapannya.“Kamu tuh lucu. Jawabnya kayak sedang
“Apa maksudmu, Sis?” tanya Usman yang tidak terima dengan ucapan Siska.Asma masih diam memperhatikan kedatangan Siska. Dia beristigfar di dalam hati agar emosinya tidak tersulut oleh ucapan Siska.“Alah, pura-pura tidak tahu atau sengaja melindungi pacar gelapnya nih.”Ucapan Siska membuat Usman tidak bisa menahan emosinya. Usman dan Siska memang sering terlihat adu mulut. Tidak hanya dengan Usman, Siska sering terlihat adu mulut dengan beberapa karyawan yang lain.“Kamu jangan membuat fitnah ya, Sis. Apalagi memfitnah Mbak Asma hanya karena kamu iri dan cemburu padanya. Kamu iri kan karena Arya lebih perhatian dan lebih percaya dengan Mbak Asma.”Siska tertohok dengan ucapan Usman yang memang benar adanya. Sebelum Siska menjawab ucapan Usman, Yuli dan Bowo datang untuk makan siang dengan bekal yang sudah dibawanya.“Ada apa ini, kok pada kumpul di sini?” tanya Yuli heran.Asma tersenyum pada Yuli dan Bowo seraya berkata, “Enggak ada apa-apa kok, Yul.”Berbeda dengan Asma, Siska mala
“Maksud Ibu?” tanya Asma seraya mendekati Ibu Intan.“Jumlah uang di kasir dengan uang yang tercatat di komputer terdapat selisih,” jawab Ibu Intan menunjukkan selisih jumlah uangnya.Beberapa kali mereka mengulang menghitung, tetapi tetap saja ada selisih antara uang di kasir dengan yang tercatat di komputer.Ibu Intan pun memanggil Yuli dan Anis yang sedang merapikan barang dagangan di rak.“Yul, tolong tokonya tutup saja. Dan kamu, Nis, tolong sampaikan pada semua karyawan untuk kumpul di sini,” perintahnya.Yuli dan Anis segera melaksanakan perintah dari Ibu Intan. Setelah toko ditutup, semua karyawan berkumpul di dekat kasir.“Maaf, kalian, saya kumpulkan di sini karena ada sedikit masalah. Terdapat selisih antara uang yang ada di kasir dan yang tercatat di komputer, dan itu tidak sedikit. Apakah diantara kalian ada yang melihat orang mencurigakan masuk ke dalam toko?” tanya Ibu Intan tanpa basa basi.Semua saling berpandangan. Mereka mulai merasa cemas dan gelisah.“Yang bertuga
“Mas Tanto!” panggil Asma dengan lirih.Tanto, suami yang sudah mengusir dan menalaknya di saat dia sedang hamil, sudah berdiri di depannya.“Apa kabar Asma?” tanya Tanto.“Baik,” jawab Asma dengan datar.Pandangan Tanto beralih ke arah perut Asma. Tanpa memedulikan Tanto, Asma segera mengangkat barang belanjaannya. Akan tetapi, karena banyaknya barang belanjaannya itu membuat Asma kesulitan.“Perlu aku bantu?” tawar Tanto yang mendekati Asma dan tanpa sengaja tangannya menyentuh tangan Asma dan membuat Asma berjengit kaget hingga meletakkan kembali barang belanjaannya itu.“Tidak usah, Mas. Aku akan menelepon seseorang yang datang bareng aku,” tolak Asma.“Kenapa tidak mau aku bantu? Walau bagaimanapun secara hukum negara, kamu itu masih istriku,” ucap Tanto tanpa merasa malu dan bersalah.Asma menatap Tanto. Ada perasaan benci pada laki-laki di hadapannya. Apalagi jika teringat anaknya yang baru berusia satu bulan lebih.Asma tersenyum getir mendengar ucapan Tanto. “Aku tidak salah
Ciiiit!Arya mengerem mobilnya secara mendadak ketika mendengar ucapan Asma. Untung saja Arya sedang melajukan mobilnya dalam keadaan pelan.“Maaf!” ucapnya dan menengok ke arah Asma yang sedikit terdorong ke depan. “Kamu dan Randi baik-baik saja?” tanyanya dengan rasa khawatir.Kebetulan Randi sedang tiduran di atas jok mobil yang beralaskan kasur kecil dan Asma sempat menahannya agar tidak terdorong ke depan.“Alhamdulillah, kami baik-baik saja,” jawab Asma yang sudah kembali ke posisinya. Randi juga masih terlelap di atas kasurnya. “Mbak Khansa bagaimana?”“Aku tidak apa-apa kok. Untung saja Arya mengendarai mobilnya tidak kencang,” ujar Khansa.“Maaf! Aku terkejut dengan ucapan Asma. Apa maksudmu Asma? Apa yang kamu ucapkan tadi menandakan bahwa kamu bersedia menjadi istriku?”Arya bertanya secara beruntun tentang ucapan Asma dan dibalas senyuman manis yang terukir di bibir Asma. Senyuman dan anggukan Asma sudah menjawab pertanyaannya.“Baiklah, nanti aku akan bicara langsung deng
“Mengapa kamu tidak menghubungi sendiri?” tanya Khansa heran.Bukan bermaksud dia menolak permintaan tolong dari Asma, dia hanya merasa heran dengan permintaan itu. “Ehm, aku merasa tidak enak padanya, Mbak. Kemarin aku sudah menolak untuk mengantarku,” jawab Asma dengan ragu.Khansa tersenyum melihat wajah Asma yang terlihat malu.“Loh, kenapa sekarang berubah pikiran?” tanya Khansa semakin penasaran.“Tidak apa-apa, Mbak. Aku merasa tidak enak mengecewakan Arya. Padahal, dia sudah terlalu banyak membantuku,” jawab Asma.“Jadi, kamu hanya ingin membalas budi padanya?”Asma menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bukan, bukan seperti itu, Mbak. Maksudku, barangkali dia ingin bertemu orang tuaku dan ada yang ingin dikatakan pada mereka. Selain itu, keluarganya juga ada yang di sana.”“Apa kamu ingin Arya bertemu dengan orang tuamu untuk menunjukkan keseriusannya?” tanya Khansa dengan nada menggoda Asma.“Eh.” Asma terkejut dengan ucapan Khansa walaupun memang seperti itu adanya yang ada di b
“Hah! Bagaimana maksudnya, Mbak?” tanya Milla yang bingung dengan pertanyaan Asma.“Apa kamu menyukai Arya sehingga kamu kecewa jika dia sudah mempunyai calon istri?” tanya Asma sekali lagi.Milla terkekeh mendengar pertanyaan Asma. Walaupun Milla belum pernah merasakan jatuh cinta kepada laki-laki, tetapi dia adalah wanita yang beranjak dewasa yang tentu mengetahui bagaimana seseorang yang cemburu.“Kamu kok malah terkekeh?” tanya Asma.“Mbak Asma cemburu ya?” godanya sambil mengerlingkan mata menatap Asma.“Kenapa aku harus cemburu?” tanya Asma.“Mbak, aku memang menyukai Mas Arya. Tetapi, dia sudah kami anggap sebagai pengganti orang tua kami. Kami sudah menganggapnya sebagai kakak,” ucap Milla.Asma menghela nafas lega mendengar ucapan Milla. Dan tanpa disadari hal tersebut terdengar oleh Milla.“Merasa lega ya, Mbak? Kalau Mbak Asma dan Mas Arya sudah saling mencintai, kenapa sih Mbak Asma tidak segera menikah dengan Mas Arya saja. Setahu aku, masa iddah perempuan yang bercerai s
“Calon istri?” tanya Arya dengan mengernyitkan dahi.Sebelum berbicara dengan Asma, Arya meminta wanita yang bersamanya untuk mengambil barang yang dibutuhkannya.Milla sedang memilih barang yang sudah dicatat Asma di sebuah kertas. Sedangkan, Asma mencari pernik-pernik pelengkap hiasan kue yang juga tersedia di toko itu.Asma menjadi serba salah dengan pertanyaannya. Apalagi menanyakannya tepat di depan wanita yang dia kira calon istri Arya. Padahal, dia tidak bermaksud bertanya hal tersebut.“Tidak jadi,” sahut Asma sesegera mungkin sebelum Arya mengajukan pertanyaan lanjutan.“Maksudmu dia?” tanya Arya seraya menunjuk wanita yang bersamanya tadi. “Kenapa kamu menebaknya sebagai calon istriku? Padahal kamu tahu bahwa kamulah wanita yang aku harapkan sebagai istriku.”Tanpa disadari, pipi Asma bersemu mendengar ucapan Arya. Walaupun dia sering mendengar pernyataan Arya, tetapi selalu saja membuat jantungnya berdetak lebih cepat dan pipinya terasa memanas.“Tidak usah dipikirkan, Arya
"Perkenalkan, saya Arif, pengacara yang diminta mendampingi proses perceraian Mbak Asma,” ujar Arif mengenalkan diri dan menjabat tangan Uki.“Uki, kakak dari Asma,” balas Uki.Mereka pun duduk berhadapan di ruang tamu.“Terima kasih Pak Arif mau membantu mengurus perceraian adik saya,” ujar Uki membuka obrolan mereka.“Sama-sama. Tapi sebelumnya, panggil saja Arif, Mas. Saya masih terlalu muda untuk dipanggil pak,” ucap Arif dengan tersenyum lebar.“Mas Arif kali ya. Mungkin saya yang sudah terlihat tua ya, Mas,” seloroh Uki sambil tersenyum.“Mas Uki belum terlalu tua untuk ukuran laki-laki yang sudah mempunyai anak satu,” balas Arif.Mendengar ucapan Arif, Uki bengong sesaat.“Anak? Bagaimana saya bisa punya anak, Mas. Nikah saja belum,” ujar Uki sambil terkekeh.Kini giliran Arif yang bengong. “Loh, tadi bukan anak dan istri Mas Uki?” tanyanya memastikan.“Bukan Mas Arif. Perempuan tadi adik sepupu saya, sedangkan bayi tadi ponakan saya, anaknya Asma,” jawab Uki.“Syukurlah!” ucap
“Assalamualaikum,” salam Laila sambil membuka pintu yang sudah tidak terkunci.Laila meletakkan barang bawaannya yang berupa kardus dan juga plastik besar di meja ruang tamu.“Waalaikumsalam,” jawab Asma dan Uki yang masih berada di dapur.Uki sedang membantu menata kue-kue ke tempatnya sebelum di bawa ke toko yang berada di bagian depan rumah.Laila sudah muncul di depan Asma dan Uki sebelum mereka menghampiri Laila ke ruang tamu.“Loh, La! Kamu kok sudah balik ke sini? Katanya liburnya sampai besok pagi?” tanya Asma ketika melihat Laila yang datang.Laila menyalami kedua kakak sepupunya.“Bakda Zuhur nanti, aku harus mengisi kajian remaja putri di salah satu masjid,” jawab Laila sambil menggeser kursi yang ada di ruang makan untuk didudukinya.“Jam segini sudah sampai di kota, memangnya kamu dari desa jam berapa, La?” tanya Uki yang melihat jam dinding di dapur masih menunjukkan pukul 5.30.“Bakda Subuh langsung berangkat. Bus berangkat paling pagi kan bakda subuh,” jawab Laila samb
"Mas, apa yang harus aku lakukan?” tanya Asma pada Uki setelah mengakhiri panggilan videonya dengan ibunya.“Tenang, Asma. Apa kamu ingin memenuhi panggilan itu? Setahu aku, proses perceraian akan cepat jika yang bersangkutan tidak hadir. Apalagi Tanto belum mengetahui keberadaanmu,” ucap Uki yang melihat kesedihan di wajah Asma.Asma tidak menjawab pertanyaan Uki. Dia sendiri masih bingung dengan dirinya. Jika diantara mereka tidak ada Randi, mungkin dia akan langsung menyetujui perceraian ini.“Asma, apakah di dalam benakmu ada keinginan untuk bersatu kembali dengan Tanto?” tanya Uki dengan memperhatikan Asma yang tertunduk.Melihat gelagat Asma, Uki sudah bisa menyimpulkannya. “Astagfirullah, Asma! Kamu itu sudah diselingkuhi. Bahkan perselingkuhannya dilakukan secara terang-terangan. Jika masih ada bersitan untuk kembali dengannya, akal sehatmu mana?” tanya Uki dengan geram.“Mas, aku sudah kecewa dengannya. Hatiku mungkin sudah mati untuknya. Tetapi, nasib Randi bagaimana? Dia ju
Kabar Dari Desa“Mas, apa yang harus aku lakukan dengan harapan Ibu Intan? Dia memang tidak memaksaku untuk menerima Arya, tetapi secara tersirat dia berharap aku bisa menjadi menantunya,” ujar Asma pada Uki saat Ibu Intan dan Arya sudah pergi meninggalkan rumahnya.Setelah melaksanakan shalat Zuhur, Arya dan ibu Intan berpamitan pada Asma dan Uki. Mereka akan berkunjung ke panti asuhan terlebih dahulu.Asma dan Uki sedang duduk di atas kasur yang ada di ruang tengah sambil menjaga Randi yang sedang bermain.“Ibu Intan dan Arya adalah orang yang baik. Mereka sudah mengenalmu dengan baik juga. Kamu juga sudah dekat dengan mereka sejak dulu. Kami akan merasa tenang jika kamu bersama dengan orang yang tepat dan salah satunya Arya. Tetapi, kami tidak akan memaksamu untuk mengambil keputusan dalam waktu dekat. Kami hanya minta untukmu agar jangan sampai kegagalanmu dalam rumah tangga, membuatmu trauma untuk menikah kembali. Bagaimanapun Randi tetap butuh sosok ayah yang menemaninya sehari-