"Hai...."
Arya menyapa Asma yang terkejut dengannya. Dia mendekati mereka dan menyerahkan kantong plastik berisi bubur ayam yang dibeli di depan klinik kepada Khansa. “Mbak, sarapan dulu saja. Apa dokter sudah datang, Mbak?”“Belum. Kemungkinan jam 7 pagi,” jawab Khansa seraya menerima bungkusan dari Arya. Dia pun menyingkir ke arah kursi tunggu yang ada di depan ruangan. Arya membuka bungkusan lain yang ditujukan untuk Asma. Dia mengambil sesendok bubur di styrofoam dan menyuapkan kepada Asma. “Kamu sarapan dulu. Ayo, buka mulutmu,” ucap Arya dan sesendok bubur sudah di depan mulut Asma. Semula Asma menolak disuapi, tetapi Arya memaksa sehingga dia tidak bisa berkutik. Asma menghabiskan satu porsi bubur ayam bersamaan dengan Khansa yang juga sudah menyelesaikan makannya. Beberapa menit kemudian, dokter datang ke ruangan Asma untuk memeriksa kondisinya. Asma sudah diperbolehkan pulang. Arya mengurus administrasi di klinik, sedangkan Asma dan Khansa menunggu di ruangan. Sejak kedatangan Arya, Asma hanya diam. Dia sedang berpikir kemana dia akan pergi setelah dari klinik. Khansa melihat Asma termenung, mencoba mengajak Asma untuk mengobrol. “Asma ngekos dimana?” tanya Khansa membuka suara. Asma bingung menjawab pertanyaan Khansa. Apa yang harus dijawabnya. Apakah dia harus jujur tentang dirinya. “Ehm, saya baru tiba di kota kemarin sore, Mbak. Saya belum tahu akan tinggal dimana,” jawab Asma dengan ragu. Arya yang baru saja masuk ke dalam ruangan, menyahut ucapan Asma. “Kamu ikut kami saja ke panti. Mbak Khansa ini punya panti asuhan.”Khansa pun ikut mengajak Asma untuk tinggal di panti asuhan miliknya dan Arya. Asma menatap Arya dan Khansa. Akhirnya dia mengiyakan ajakan mereka karena dia juga belum tahu akan pergi kemana. Arya menyerahkan obat Asma kepada Khansa. Dia pun mengajak kedua wanita itu untuk meninggalkan klinik. Dengan dibantu Khansa, Asma turun dari ranjang. Mobil yang dikemudikan Arya menuju ke sebuah bangunan sederhana di jalan yang dilewati Asma semalam. Arya memberhentikan mobil tepat di halaman rumah yang ditumbuhi beberapa pohon buah. Sebuah plang tertulis nama panti asuhan tersebut. “Ayo,” ajak Khansa pada Asma yang terlihat ragu untuk melangkah masuk ke dalam rumah sederhana tetapi terlihat besar. “Assalamualaikum,” salam Khansa tepat di depan pintu rumah yang masih tertutup. Dari dalam rumah terdengar kunci pintu dibuka dan muncullah seorang wanita paruh baya. Dia menyambut Khansa, Asma dan Arya.Beberapa anak menyusul menghampiri Khansa. Mereka menyalami Khansa bahkan beberapa anak balita bergelayut manja pada Khansa. Semua itu tidak luput dari pengamatan Asma. “Kalian ditinggal semalam saja kayak ditinggal berbulan-bulan,” ucap Khansa melihat anak-anak asuhnya mengerubungi. “Kak Arya bawa pesanan kami nggak?” tanya salah satu anak laki-laki sekitar berumur 11 tahun seraya mendekati Arya. “Tuh di bagasi mobil. Jangan lupa dibagi ya, tapi maaf sudah agak dingin,” ucap Arya. Anak laki-laki tersebut mengajak temannya untuk mengambil pesanan yang terletak di mobil. Kedekatan Arya dengan anak-anak itu juga tidak luput dari pengamatan Asma. Asma diajak duduk di salah satu kursi yang ada di ruang tamu. Anak yang mengambil pesanan berupa bubur ayam sudah membagikan kepada teman-temannya. Anak-anak pun menikmati bubur ayam yang dibelikan oleh Arya. “Mereka tidak mengetahui siapa ayah dan ibunya, tetapi mereka juga berhak mendapatkan kasih sayang walaupun bukan dari orang tua kandungnya,” ucap Arya sembari duduk di samping Asma yang memperhatikan tingkah anak-anak itu. Asma menengok ke arah Arya. Dia menatap perutnya yang membuncit. Di dalam perutnya, ada anak yang berhak merasakan kehidupan dunia. Dia teringat dirinya semalam yang tanpa memikirkan anaknya yang juga berhak untuk melihat dunia sehingga berpikiran sangat pendek dengan memutuskan bunuh diri. Anak-anak sudah menyelesaikan sarapan dengan bubur ayam yang dibelikan Arya. Mereka segera melakukan aktivitas masing-masing. Khansa yang sudah rapi telah berada di ruangan itu kembali. Dia pun mendekati Asma dan Arya yang sedang saling diam. “Asma, bagaimana keadaanmu?” Khansa mendekati Asma yang terlihat termenung tanpa banyak bicara. “Alhamdulillah lebih baik,” jawab Asma dengan tersenyum. “Asma, ini adalah tempat tinggal Mbak. Mereka adalah anak asuh Mbak yang tidak mengetahui siapa orang tuanya. Apakah orang tuanya masih hidup atau tidak, mereka tidak tahu. Akan tetapi, mereka saling menguatkan dan saling memberi kasih sayang dan juga saling melengkapi.”Khansa menjelaskan sedikit tentang penghuni panti asuhan yang dikelolanya. Sebenarnya dia sangat menyesalkan tindakan Asma semalam. Asma tertunduk di tempat duduknya. Dia merasa menjadi ibu yang sangat jahat hingga ingin menghilangkan nyawanya dan anak yang dikandungnya. Arya hanya memperhatikan Asma yang terlihat menahan tangis. Arya melihat bahwa Asma seperti menanggung beban berat sehingga dia memutuskan untuk bunuh diri. “Kalau kamu memang belum mempunyai tempat tinggal, kamu boleh tinggal di sini,” ucap Khansa. Asma segera menatap Khansa. Orang yang baru di kenalnya beberapa jam lalu tetapi sudah sangat baik padanya. Asma merenung dan mempertimbangkan tawaran Khansa. Dia memang belum mempunyai tempat tujuan di kota ini. Dia tidak mempunyai kenalan di kota dan termasuk sebuah pertolongan dari Allah ketika dia dipertemukan dengan Arya, sahabat semasa sekolah dulu. “Iya, Asma. Kamu tinggal di sini saja. Kebetulan masih ada satu kamar kosong,” sahut Arya. Arya dan Khansa menunggu jawaban dari Asma. Mereka tulus mengajak Asma tinggal di panti asuhan. Asma menatap Arya dan Khansa secara bergantian dan tiba-tiba air matanya tidak bisa terbendung. Khansa pun memeluk Asma. “Mbak, aku menyesal dengan tindakanku tadi malam. Aku hendak membunuh anakku sendiri, padahal dia juga berhak untuk terlahir ke dunia,” ujar Asma disela isak tangisnya. “Kamu mau kan tinggal di panti ini?” tanya Khansa seraya memeluk Asma. Asma tidak kuasa mengucapkan apapun. Dia hanya mengangguk mengiyakan tawaran Khansa dan Arya. Asma melepas pelukannya pada Khansa. Dia menghapus sisa air mata yang berada di pipinya. “Mbak Khansa, Arya, aku mengucapkan banyak terima kasih. Jika tidak ada kalian, mungkin aku akan menyesal di alam kubur,” ucap Asma seraya menatap Khansa dan Arya. “Semua itu pertolongan dari Allah, As,” ucap Arya seraya tersenyum pada Asma. Khansa mengantar Asma ke kamar yang akan ditempatinya. Asma agak terkejut karena koper yang dibawanya sudah berada di kamar itu. Koper yang berisi pakaiannya terlihat masih tertutup rapat, hanya bentuknya saja yang sudah peyot. Asma duduk di atas kasur dan mengamati kamar yang berukuran 3x3 itu. Di dalam kamar sudah tersedia lemari, meja kecil dan juga sebuah tempat tidur. Setelah Khansa menunjukkan barang-barang yang bisa dipakai, dia duduk di samping Asma dan bertanya, “Kalau boleh tahu, apa yang menyebabkanmu ke kota ini tanpa tujuan dan berniat bunuh diri?”“Kalau tidak mau menjawab, tidak apa-apa Asma,” ucap Khansa melihat raut kesedihan di wajah Asma.Asma menatap Khansa yang duduk di sebelahnya. Ucapan sang suami yang lebih memilih wanita selingkuhannya terngiang kembali di telinga. Laki-laki yang sangat dicintai membuangnya hanya karena kehadiran cinta lamanya.“Suamiku selingkuh dengan mantannya dan sekarang hamil juga, Mbak. Dia lebih memilih wanita itu daripada aku dan anak yang di dalam kandunganku. Bukan kali ini saja dia berselingkuh, tetapi ini yang sangat menyakitkan. Aku tidak bisa bertahan lagi dengannya,” Asma mencoba bercerita kepada orang lain untuk meringankan beban di hatinya.Arya yang akan ke kamar Asma urung menyambanginya. Dia hanya berdiri di balik dinding kamar yang ditempati Asma dan mendengarkan cerita Asma.“Mungkin ini adalah hukuman Allah buatku, Mbak. Pernikahan kami tidak disetujui oleh orang tuaku karena melihat latar belakang keluarga kami yang berbeda dan juga sosok suamiku yang memang sejak dulu terken
“Cepat atau lambat, kamu pasti akan mengetahui semuanya, Arya. Cerita cintaku sangat menyedihkan ya,” ucap Asma seraya tertawa kecil menertawakan kebodohannya mencintai laki-laki yang salah. Arya menatap Asma dengan lekat. Dia melihat kesedihan pada wajah Asma dalam senyumannya. “Jangan menengok ke belakang. Masa depan yang penuh bahagia berada di depan. Yang lalu biarlah menjadi pengalaman dan pemicu untuk menjadi lebih baik lagi,” ujar Arya dan mengalihkan pandangannya ke arah yang lain. Asma menengok ke arah Arya yang sedang menatap ke arah depan. Mereka pun sama-sama terdiam, tidak ada lagi yang membuka suaranya. Khansa menghampiri Asma dan Arya. Dia duduk diantara keduanya. “Nyonya Asma!“ panggil petugas pendaftaran. Asma dengan di dampingi Khansa masuk ke dalam ruang pemeriksaan, sedangkan Arya tetap berada di luar. Sekitar dua puluh menit Asma dan Khansa berada di dalam ruang pemeriksaan. Arya berdoa agar kandungan Asma tidak terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. “Ayo pu
“Ada apa, Asma?”Arya baru saja memasuki toserba. Dia heran melihat raut wajah Asma yang terlihat bersedih. Asma terkejut dengan kedatangan Arya. Dia sedang melamun di tempatnya sehingga tidak mendengar kedatangan Arya. “Bagaimana Ar?” Asma balik bertanya pada Arya. Arya tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia bertanya malah Asma balik bertanya padanya. “Kamu ada masalah?”Asma menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. Dia menutupi apa yang terjadi padanya. “Nggak ada apa-apa kok.” Arya tidak menanyakan lebih lanjut lagi. Dia pamit untuk memeriksa persediaan barang di gudang. Sedangkan, Asma merasa khawatir barangkali Arya akan mengetahui gosip tentangnya yang bermula dari arah gudang. Arya menghentikan langkahnya ketika mendengar kasak-kusuk di balik tumpukan kardus-kardus minuman yang ada di gudang. Dia terkejut dengan ucapan salah satu karyawannya. Ketika Arya akan menegur mereka, Asma datang dan menarik lengan baju Arya. Dia memberi kode agar jangan mendekati m
"Kamu sendiri percaya gosip yang mana?” Asma bertanya kembali kepada Anis karena tidak segera dijawab olehnya.Anis menghembuskan nafas sebelum menjawab pertanyaan Asma. Mengapa suasananya berubah mencekam bagi Anis, padahal tadinya dia hanya ingin mendapat klarifikasi langsung dari Asma.“Sebenarnya aku kurang percaya dengan gosip yang beredar, Mbak. Tetapi, ketika Mbak Asma bertanya tentang mana yang aku percaya, kok terkesan bahwa salah satu gosip itu benar. Jika memang seperti itu, berarti Mbak pasti pernah berniat untuk bunuh diri. Sedangkan anak yang ada di perut itu, tidak mungkin lah hasil hubungan gelap. Walaupun aku belum lama mengenal Mbak Asma, aku yakin Mbak wanita baik-baik,” jawab Anis dengan panjang lebar.Asma terkekeh dengan melihat raut muka Anis yang terlihat tidak enak padanya saat menjawab dan suasana menjadi agak tegang.“Kenapa Mbak Asma malah ketawa?” tanya Anis heran melihat Asma yang tersenyum lebar mendengar ucapannya.“Kamu tuh lucu. Jawabnya kayak sedang
“Apa maksudmu, Sis?” tanya Usman yang tidak terima dengan ucapan Siska.Asma masih diam memperhatikan kedatangan Siska. Dia beristigfar di dalam hati agar emosinya tidak tersulut oleh ucapan Siska.“Alah, pura-pura tidak tahu atau sengaja melindungi pacar gelapnya nih.”Ucapan Siska membuat Usman tidak bisa menahan emosinya. Usman dan Siska memang sering terlihat adu mulut. Tidak hanya dengan Usman, Siska sering terlihat adu mulut dengan beberapa karyawan yang lain.“Kamu jangan membuat fitnah ya, Sis. Apalagi memfitnah Mbak Asma hanya karena kamu iri dan cemburu padanya. Kamu iri kan karena Arya lebih perhatian dan lebih percaya dengan Mbak Asma.”Siska tertohok dengan ucapan Usman yang memang benar adanya. Sebelum Siska menjawab ucapan Usman, Yuli dan Bowo datang untuk makan siang dengan bekal yang sudah dibawanya.“Ada apa ini, kok pada kumpul di sini?” tanya Yuli heran.Asma tersenyum pada Yuli dan Bowo seraya berkata, “Enggak ada apa-apa kok, Yul.”Berbeda dengan Asma, Siska mala
“Maksud Ibu?” tanya Asma seraya mendekati Ibu Intan.“Jumlah uang di kasir dengan uang yang tercatat di komputer terdapat selisih,” jawab Ibu Intan menunjukkan selisih jumlah uangnya.Beberapa kali mereka mengulang menghitung, tetapi tetap saja ada selisih antara uang di kasir dengan yang tercatat di komputer.Ibu Intan pun memanggil Yuli dan Anis yang sedang merapikan barang dagangan di rak.“Yul, tolong tokonya tutup saja. Dan kamu, Nis, tolong sampaikan pada semua karyawan untuk kumpul di sini,” perintahnya.Yuli dan Anis segera melaksanakan perintah dari Ibu Intan. Setelah toko ditutup, semua karyawan berkumpul di dekat kasir.“Maaf, kalian, saya kumpulkan di sini karena ada sedikit masalah. Terdapat selisih antara uang yang ada di kasir dan yang tercatat di komputer, dan itu tidak sedikit. Apakah diantara kalian ada yang melihat orang mencurigakan masuk ke dalam toko?” tanya Ibu Intan tanpa basa basi.Semua saling berpandangan. Mereka mulai merasa cemas dan gelisah.“Yang bertuga
Berarti ada kemungkinan bukan Asma pelakunya, Ar? Ibu tidak yakin jika Asma akan melakukan pencurian itu,” tanya Ibu Intan.Arya melihat sang ibu yang terlihat khawatir. Ibunya memang sudah mengenal Asma sejak mereka masih duduk di bangku SMA.“Insya Allah nanti kita akan tahu, Bu, siapa pelaku sebenarnya. Ibu percaya kalau Asma melakukan pencurian?” tanya Arya seraya menatap ibunya.“Ibu tidak mungkin percaya kalau Asma sampai melakukan pencurian. Ibu sudah mengenal Asma sejak dulu. Ibu juga mengenal orang tuanya. Jika saja, Asma tidak melarang untuk memberitahukan keberadaannya pada orang tuanya, ibu sudah memberitahukannya. Agar sekalian ibu bisa melamar Asma,” jawab sang ibu seraya tersenyum lebar menatap Arya.“Kenapa bicaranya sampai lamar-lamaran. Asma tuh lagi hamil. Arya juga belum memikirkan untuk menikah lagi. Kami hanya sahabat, Bu,” elak Arya.Arya tidak mau merusak kembali persahabatan yang baru saja terjalin kembali. Dia tidak ingin mengulang kesalahan yang sama hanya k
"Apa maksudmu, Arya?” tanya Khansa memicingkan matanya.Arya menarik nafas sebelum mengemukakan apa yang terjadi di toko yang terpantau lewat CCTV. Dia menatap sang ibu, Asma dan Khansa secara bergantian.“Sebenarnya aku sudah mengetahui siapa yang mengambil uang di kasir.”“Apa?!” pekik Ibu Intan menatap tajam sang anak. “Kamu sudah mengetahuinya, tapi kenapa kamu tidak mengatakannya saat kita masih di toko?” lanjutnya dengan nada kesal.Asma juga terkejut dengan ucapan Arya. Ada perasaan kecewa di dalam hatinya karena Arya tidak mengungkapkan orang yang telah mencurinya sehingga dia yang menjadi tertuduh.“Maafkan aku, Asma. Aku tidak bermaksud membuatmu terpojok di depan karyawan yang lain. Tetapi, aku sendiri belum yakin bahwa dia bekerja sendiri dalam menjebakmu. Kalau kamu sudah melihat rekaman CCTV-nya, kamu pasti menerima apa yang aku lakukan padamu.” Arya menjelaskan alasannya pada Asma karena dia melihat wajah kecewanya.Arya pun mengambil ponselnya yang tersimpan di dalam t
“Mas Tanto!” panggil Asma dengan lirih.Tanto, suami yang sudah mengusir dan menalaknya di saat dia sedang hamil, sudah berdiri di depannya.“Apa kabar Asma?” tanya Tanto.“Baik,” jawab Asma dengan datar.Pandangan Tanto beralih ke arah perut Asma. Tanpa memedulikan Tanto, Asma segera mengangkat barang belanjaannya. Akan tetapi, karena banyaknya barang belanjaannya itu membuat Asma kesulitan.“Perlu aku bantu?” tawar Tanto yang mendekati Asma dan tanpa sengaja tangannya menyentuh tangan Asma dan membuat Asma berjengit kaget hingga meletakkan kembali barang belanjaannya itu.“Tidak usah, Mas. Aku akan menelepon seseorang yang datang bareng aku,” tolak Asma.“Kenapa tidak mau aku bantu? Walau bagaimanapun secara hukum negara, kamu itu masih istriku,” ucap Tanto tanpa merasa malu dan bersalah.Asma menatap Tanto. Ada perasaan benci pada laki-laki di hadapannya. Apalagi jika teringat anaknya yang baru berusia satu bulan lebih.Asma tersenyum getir mendengar ucapan Tanto. “Aku tidak salah
Ciiiit!Arya mengerem mobilnya secara mendadak ketika mendengar ucapan Asma. Untung saja Arya sedang melajukan mobilnya dalam keadaan pelan.“Maaf!” ucapnya dan menengok ke arah Asma yang sedikit terdorong ke depan. “Kamu dan Randi baik-baik saja?” tanyanya dengan rasa khawatir.Kebetulan Randi sedang tiduran di atas jok mobil yang beralaskan kasur kecil dan Asma sempat menahannya agar tidak terdorong ke depan.“Alhamdulillah, kami baik-baik saja,” jawab Asma yang sudah kembali ke posisinya. Randi juga masih terlelap di atas kasurnya. “Mbak Khansa bagaimana?”“Aku tidak apa-apa kok. Untung saja Arya mengendarai mobilnya tidak kencang,” ujar Khansa.“Maaf! Aku terkejut dengan ucapan Asma. Apa maksudmu Asma? Apa yang kamu ucapkan tadi menandakan bahwa kamu bersedia menjadi istriku?”Arya bertanya secara beruntun tentang ucapan Asma dan dibalas senyuman manis yang terukir di bibir Asma. Senyuman dan anggukan Asma sudah menjawab pertanyaannya.“Baiklah, nanti aku akan bicara langsung deng
“Mengapa kamu tidak menghubungi sendiri?” tanya Khansa heran.Bukan bermaksud dia menolak permintaan tolong dari Asma, dia hanya merasa heran dengan permintaan itu. “Ehm, aku merasa tidak enak padanya, Mbak. Kemarin aku sudah menolak untuk mengantarku,” jawab Asma dengan ragu.Khansa tersenyum melihat wajah Asma yang terlihat malu.“Loh, kenapa sekarang berubah pikiran?” tanya Khansa semakin penasaran.“Tidak apa-apa, Mbak. Aku merasa tidak enak mengecewakan Arya. Padahal, dia sudah terlalu banyak membantuku,” jawab Asma.“Jadi, kamu hanya ingin membalas budi padanya?”Asma menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bukan, bukan seperti itu, Mbak. Maksudku, barangkali dia ingin bertemu orang tuaku dan ada yang ingin dikatakan pada mereka. Selain itu, keluarganya juga ada yang di sana.”“Apa kamu ingin Arya bertemu dengan orang tuamu untuk menunjukkan keseriusannya?” tanya Khansa dengan nada menggoda Asma.“Eh.” Asma terkejut dengan ucapan Khansa walaupun memang seperti itu adanya yang ada di b
“Hah! Bagaimana maksudnya, Mbak?” tanya Milla yang bingung dengan pertanyaan Asma.“Apa kamu menyukai Arya sehingga kamu kecewa jika dia sudah mempunyai calon istri?” tanya Asma sekali lagi.Milla terkekeh mendengar pertanyaan Asma. Walaupun Milla belum pernah merasakan jatuh cinta kepada laki-laki, tetapi dia adalah wanita yang beranjak dewasa yang tentu mengetahui bagaimana seseorang yang cemburu.“Kamu kok malah terkekeh?” tanya Asma.“Mbak Asma cemburu ya?” godanya sambil mengerlingkan mata menatap Asma.“Kenapa aku harus cemburu?” tanya Asma.“Mbak, aku memang menyukai Mas Arya. Tetapi, dia sudah kami anggap sebagai pengganti orang tua kami. Kami sudah menganggapnya sebagai kakak,” ucap Milla.Asma menghela nafas lega mendengar ucapan Milla. Dan tanpa disadari hal tersebut terdengar oleh Milla.“Merasa lega ya, Mbak? Kalau Mbak Asma dan Mas Arya sudah saling mencintai, kenapa sih Mbak Asma tidak segera menikah dengan Mas Arya saja. Setahu aku, masa iddah perempuan yang bercerai s
“Calon istri?” tanya Arya dengan mengernyitkan dahi.Sebelum berbicara dengan Asma, Arya meminta wanita yang bersamanya untuk mengambil barang yang dibutuhkannya.Milla sedang memilih barang yang sudah dicatat Asma di sebuah kertas. Sedangkan, Asma mencari pernik-pernik pelengkap hiasan kue yang juga tersedia di toko itu.Asma menjadi serba salah dengan pertanyaannya. Apalagi menanyakannya tepat di depan wanita yang dia kira calon istri Arya. Padahal, dia tidak bermaksud bertanya hal tersebut.“Tidak jadi,” sahut Asma sesegera mungkin sebelum Arya mengajukan pertanyaan lanjutan.“Maksudmu dia?” tanya Arya seraya menunjuk wanita yang bersamanya tadi. “Kenapa kamu menebaknya sebagai calon istriku? Padahal kamu tahu bahwa kamulah wanita yang aku harapkan sebagai istriku.”Tanpa disadari, pipi Asma bersemu mendengar ucapan Arya. Walaupun dia sering mendengar pernyataan Arya, tetapi selalu saja membuat jantungnya berdetak lebih cepat dan pipinya terasa memanas.“Tidak usah dipikirkan, Arya
"Perkenalkan, saya Arif, pengacara yang diminta mendampingi proses perceraian Mbak Asma,” ujar Arif mengenalkan diri dan menjabat tangan Uki.“Uki, kakak dari Asma,” balas Uki.Mereka pun duduk berhadapan di ruang tamu.“Terima kasih Pak Arif mau membantu mengurus perceraian adik saya,” ujar Uki membuka obrolan mereka.“Sama-sama. Tapi sebelumnya, panggil saja Arif, Mas. Saya masih terlalu muda untuk dipanggil pak,” ucap Arif dengan tersenyum lebar.“Mas Arif kali ya. Mungkin saya yang sudah terlihat tua ya, Mas,” seloroh Uki sambil tersenyum.“Mas Uki belum terlalu tua untuk ukuran laki-laki yang sudah mempunyai anak satu,” balas Arif.Mendengar ucapan Arif, Uki bengong sesaat.“Anak? Bagaimana saya bisa punya anak, Mas. Nikah saja belum,” ujar Uki sambil terkekeh.Kini giliran Arif yang bengong. “Loh, tadi bukan anak dan istri Mas Uki?” tanyanya memastikan.“Bukan Mas Arif. Perempuan tadi adik sepupu saya, sedangkan bayi tadi ponakan saya, anaknya Asma,” jawab Uki.“Syukurlah!” ucap
“Assalamualaikum,” salam Laila sambil membuka pintu yang sudah tidak terkunci.Laila meletakkan barang bawaannya yang berupa kardus dan juga plastik besar di meja ruang tamu.“Waalaikumsalam,” jawab Asma dan Uki yang masih berada di dapur.Uki sedang membantu menata kue-kue ke tempatnya sebelum di bawa ke toko yang berada di bagian depan rumah.Laila sudah muncul di depan Asma dan Uki sebelum mereka menghampiri Laila ke ruang tamu.“Loh, La! Kamu kok sudah balik ke sini? Katanya liburnya sampai besok pagi?” tanya Asma ketika melihat Laila yang datang.Laila menyalami kedua kakak sepupunya.“Bakda Zuhur nanti, aku harus mengisi kajian remaja putri di salah satu masjid,” jawab Laila sambil menggeser kursi yang ada di ruang makan untuk didudukinya.“Jam segini sudah sampai di kota, memangnya kamu dari desa jam berapa, La?” tanya Uki yang melihat jam dinding di dapur masih menunjukkan pukul 5.30.“Bakda Subuh langsung berangkat. Bus berangkat paling pagi kan bakda subuh,” jawab Laila samb
"Mas, apa yang harus aku lakukan?” tanya Asma pada Uki setelah mengakhiri panggilan videonya dengan ibunya.“Tenang, Asma. Apa kamu ingin memenuhi panggilan itu? Setahu aku, proses perceraian akan cepat jika yang bersangkutan tidak hadir. Apalagi Tanto belum mengetahui keberadaanmu,” ucap Uki yang melihat kesedihan di wajah Asma.Asma tidak menjawab pertanyaan Uki. Dia sendiri masih bingung dengan dirinya. Jika diantara mereka tidak ada Randi, mungkin dia akan langsung menyetujui perceraian ini.“Asma, apakah di dalam benakmu ada keinginan untuk bersatu kembali dengan Tanto?” tanya Uki dengan memperhatikan Asma yang tertunduk.Melihat gelagat Asma, Uki sudah bisa menyimpulkannya. “Astagfirullah, Asma! Kamu itu sudah diselingkuhi. Bahkan perselingkuhannya dilakukan secara terang-terangan. Jika masih ada bersitan untuk kembali dengannya, akal sehatmu mana?” tanya Uki dengan geram.“Mas, aku sudah kecewa dengannya. Hatiku mungkin sudah mati untuknya. Tetapi, nasib Randi bagaimana? Dia ju
Kabar Dari Desa“Mas, apa yang harus aku lakukan dengan harapan Ibu Intan? Dia memang tidak memaksaku untuk menerima Arya, tetapi secara tersirat dia berharap aku bisa menjadi menantunya,” ujar Asma pada Uki saat Ibu Intan dan Arya sudah pergi meninggalkan rumahnya.Setelah melaksanakan shalat Zuhur, Arya dan ibu Intan berpamitan pada Asma dan Uki. Mereka akan berkunjung ke panti asuhan terlebih dahulu.Asma dan Uki sedang duduk di atas kasur yang ada di ruang tengah sambil menjaga Randi yang sedang bermain.“Ibu Intan dan Arya adalah orang yang baik. Mereka sudah mengenalmu dengan baik juga. Kamu juga sudah dekat dengan mereka sejak dulu. Kami akan merasa tenang jika kamu bersama dengan orang yang tepat dan salah satunya Arya. Tetapi, kami tidak akan memaksamu untuk mengambil keputusan dalam waktu dekat. Kami hanya minta untukmu agar jangan sampai kegagalanmu dalam rumah tangga, membuatmu trauma untuk menikah kembali. Bagaimanapun Randi tetap butuh sosok ayah yang menemaninya sehari-