"Apa maksudmu, Arya?” tanya Khansa memicingkan matanya.Arya menarik nafas sebelum mengemukakan apa yang terjadi di toko yang terpantau lewat CCTV. Dia menatap sang ibu, Asma dan Khansa secara bergantian.“Sebenarnya aku sudah mengetahui siapa yang mengambil uang di kasir.”“Apa?!” pekik Ibu Intan menatap tajam sang anak. “Kamu sudah mengetahuinya, tapi kenapa kamu tidak mengatakannya saat kita masih di toko?” lanjutnya dengan nada kesal.Asma juga terkejut dengan ucapan Arya. Ada perasaan kecewa di dalam hatinya karena Arya tidak mengungkapkan orang yang telah mencurinya sehingga dia yang menjadi tertuduh.“Maafkan aku, Asma. Aku tidak bermaksud membuatmu terpojok di depan karyawan yang lain. Tetapi, aku sendiri belum yakin bahwa dia bekerja sendiri dalam menjebakmu. Kalau kamu sudah melihat rekaman CCTV-nya, kamu pasti menerima apa yang aku lakukan padamu.” Arya menjelaskan alasannya pada Asma karena dia melihat wajah kecewanya.Arya pun mengambil ponselnya yang tersimpan di dalam t
“Katakanlah, Lin!”Lina masih menundukkan pandangannya ke meja yang ada di depannya. Arya masih menunggu Lina membuka suara, menjelaskan apa yang terjadi.“Lin, aku yakin kamu bukan orang yang jahat. Katakanlah! Kalau kamu berbicara jujur, aku tidak akan memecatmu,” ucap Arya.“Tolong! Saya jangan dipecat, Pak,” ucap Lina dengan nada memelas. “Saya harus menghidupi adik dan anak saya, Pak.”Arya menghela nafas. Dia bukan orang yang akan tega memecat orang. “Kalau begitu, katakanlah!”Lina mengangkat wajahnya dan menatap Arya. Wajah takut tercetak dalam raut wajahnya.“Tapi, tolong jangan pecat saya, Pak.” Lina memastikan kembali jika dia tidak akan dipecat.Lina menarik nafasnya. “Sa-saya disuruh Purwanto, Pak.”Lina pun menceritakan semuanya. Dia diancam oleh Purwanto. Purwanto akan menyebarkan masa lalunya yang kelam jika dia tidak mau melakukan pencurian itu.“Maafkan saya, Pak. Saya terpaksa melakukannya. Pak Arya sudah tahu kan masa lalu saya yang bekerja di dunia malam. Purwanto
"Ada apa, Asma?” tanya Khansa heran dengan tingkah laku Asma.Asma langsung membalikkan badan ketika dia melihat mantan suaminya dari kejauhan. Dia akan melangkah meninggalkan halaman klinik tersebut, tetapi Khansa menahan tangan Asma.“Ada apa? Kenapa malah pergi?” tanyanya.“Ehm..., i-itu..., kita batalkan saja ya, Mbak,” ucap Asma dengan gagap.“Loh, kok dibatalkan. Kita sudah sampai sini, loh.”Asma terlihat bingung untuk menjelaskan kepada Khansa. Matanya juga terlihat gelisah dan sesekali melirik ke arah teras klinik. Khansa mengikuti arah lirikan Asma.“Yuk, kita duduk dulu di halte itu.” Khansa mengajak Asma menuju ke halte yang berada di depan klinik.Mereka duduk di halte depan klinik. Kebetulan halte tidak dalam keadaan ramai, hanya terlihat dua orang sedang menunggu kendaraan yang akan ditumpanginya dan berada jauh dari posisi Khansa dan Asma.“Ceritalah! Ada apa sebenarnya?” tanya Khansa seraya menggenggam tangan Asma yang sangat dingin.Asma menghela nafas panjang sebelu
“Benarkah ini kamu, Asma?”Arya menanyakan kembali, padahal Asma sudah menganggukkan kepala. Khansa tersenyum melihat Arya tidak percaya dengan penampilan Asma.Ketika Asma akan membuka suaranya, dia mengurungkan diri. Tanto dan Endang keluar dari ruangan dokter dengan wajah sumringah.Arya mengikuti arah pandang Asma, dia terkejut dengan kehadiran Tanto. Dia memang mengenal Tanto. Arya menatap Asma yang menatap Tanto dengan tatapan kecewa. Arya pun paham mengapa penampilan Asma bercadar.“Kamu baik-baik saja?” bisik Arya. Asma hanya menganggukkan kepala.Endang menyapa Khansa ketika melewatinya. Asma menatap Tanto dan tatapan mereka bertemu, tetapi Asma segera menundukkan kembali pandangannya.Perutnya tiba-tiba terasa kencang saat Tanto melewatinya. Anak yang di dalam kandungannya, seolah merasakan kehadiran sang ayah melalui tendangan.“Sssss,” desis Asma seraya meringis. Dia pun mengusap perutnya untuk mengurangi rasa sakitnya. Anak di dalam kandungannya pun tenang kembali.“Mas,
"Pur, apa aku punya salah padamu?” tanya Asma sekali lagi karena Purwanto tidak menjawab pertanyaan Asma.Asma berusaha menahan emosi, dia tidak menyangka bahwa salah satu temannya sengaja menjebak dan memfitnahnya.“Lebih baik ke ruangan Arya dulu. Ayo, Asma!” ajak Khansa yang melihat Purwanto terdiam dan hanya berdiri saja.Khansa menggandeng Asma untuk masuk ke dalam toko, sedangkan Purwanto mengikuti di belakangnya.“Mbak Asma,” panggil Anis yang melihat kedatangannya. Asma membalas dengan senyuman.Selain Anis, Bowo dan Usma juga menyapa Asma. Mereka hendak meminta maaf.“Mbak Khansa!” pekik Siska yang baru keluar dari gudang saat melihat Khansa. Dia pun mendekati Khansa yang tersenyum pada Siska.“Bagaimana kabarnya, Sis?” tanya Khansa setelah Siska menyalami dan memeluknya. Asma bergeming di samping Khansa. Dia tersenyum pada Siska tetapi tidak dihiraukan olehnya.“Tidak terlalu baik. Apalagi, semenjak kehadiran seseorang yang akan merebut posisiku,” jawab Siska seraya melirik
“Asma, tolong! Kembalilah bekerja di toko lagi,” ujar Arya dengan tatapan yang penuh harap.Siska melihat tatapan Arya yang begitu berharap agar Asma bersedia bekerja kembali, menyalahkan artikan tatapan itu. Dia cemburu pada Asma.Asma menatap Arya dengan tatapan ragu. “Sebenarnya aku tidak ingin kembali bekerja setelah apa yang terjadi. Aku ingin mencari pekerjaan di tempat lain. Aku takut kemurahan hatimu padaku disalah artikan oleh karyawan lain,” jawabnya.“Asma, pikirkan lagi. Kamu sedang hamil, jarang ada yang mau menerima pekerja dalam kondisi hamil. Kamu butuh biaya untuk persalinan nanti.” Khansa juga mencoba membujuk Asma.Asma merasa bingung. Dia tidak ingin kembali bekerja di toko itu. Namun, dia juga tidak ingin membuat Arya kecewa.“Kenapa enggak kerja dari panti saja,” celetuk Siska.Celetukan Siska mengalihkan atensi mereka. Mereka menengok ke arah Siska.“Siska benar, Arya. Kamu butuh orang untuk membantumu dalam manajemen keuangan toko. Asma bisa tuh diperkerjakan d
“Kenapa Asma?” tanya Khansa seraya mendekati Asma yang langsung menghapus air matanya.“Tidak ada apa-apa, Mbak.” Asma tersenyum dan menengok ke arah Khansa. “Sudah mau shalat Magrib berjamaah ya, Mbak?”Khansa tidak bisa bertanya lebih lanjut kepada Asma. “Belum azan magrib, kok. Tapi, sudah ditunggu karena ada kajian sebelum shalat Magrib.”“Baik, Mbak. Aku nyusul, ya. Aku mau ganti baju dulu,” ucap Asma.Khansa meninggalkan kamar Asma. Sepeninggal Khansa, Asma segera berganti baju dan menuju ke mushala. Ternyata, semua penghuni sudah berkumpul di mushala dan kajian sudah dibuka dengan membaca Al-Quran oleh salah satu anak panti.“Hati-hati Mbak Asma! Enggak usah terburu-buru. Kajiannya baru dimulai, kok,” ucap Ibu Asih, salah satu ibu penghuni panti yang berada di barisan belakang memperingatkan Asma yang berjalan terburu-buru.Asma tersenyum mendengar teguran dari Ibu Asih. Dia pun duduk di sampingnya. “He... He... He... Iya, Bu. Asma takut telat.”Semua penghuni panti mendengarka
"Arya, panti kok terlihat ramai sekali, ada apa, ya?”Asma melihat panti terlihat ramai dengan ibu-ibu yang bertempat tinggal di sekitar panti. Karena bukan jadwal taklim ibu-ibu, membuatnya heran.Arya hanya mengedikkan bahu, mengatakan jika dia juga tidak mengetahui apa-apa. Mereka segera turun dari mobil.“Mas, panti ada acara apa?” tanya Siska yang juga heran dengan keramaian yang ada di panti.Arya menuju ke arah pintu panti dan diikuti oleh Asma dan Siska yang tanpa mereka sadari berjalan sambil bergandengan tangan. Siska terlihat membantu Asma berjalan tertatih karena perutnya yang sudah membesar.“Alhamdulillah, akhirnya datang juga orangnya,” ucap Khansa ketika melihat kehadiran Asma bersama Siska. Arya sudah berlalu lewat pintu belakang karena sudah banyak ibu-ibu di ruang tamu.Asma bingung dengan ucapan Khansa. “Mbak Khansa menungguku?”“Iyalah. Masa acara doa bersama dalam rangka tujuh bulan kehamilanmu, kamu enggak ada di antara kami,” jawab Khansa dengan tersenyum.“Aca