“Ada apa, Asma?”
Arya baru saja memasuki toserba. Dia heran melihat raut wajah Asma yang terlihat bersedih. Asma terkejut dengan kedatangan Arya. Dia sedang melamun di tempatnya sehingga tidak mendengar kedatangan Arya. “Bagaimana Ar?” Asma balik bertanya pada Arya. Arya tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia bertanya malah Asma balik bertanya padanya. “Kamu ada masalah?”Asma menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. Dia menutupi apa yang terjadi padanya. “Nggak ada apa-apa kok.” Arya tidak menanyakan lebih lanjut lagi. Dia pamit untuk memeriksa persediaan barang di gudang. Sedangkan, Asma merasa khawatir barangkali Arya akan mengetahui gosip tentangnya yang bermula dari arah gudang. Arya menghentikan langkahnya ketika mendengar kasak-kusuk di balik tumpukan kardus-kardus minuman yang ada di gudang. Dia terkejut dengan ucapan salah satu karyawannya. Ketika Arya akan menegur mereka, Asma datang dan menarik lengan baju Arya. Dia memberi kode agar jangan mendekati mereka. Dia pun menarik Arya menuju ke kasir. “Mengapa kamu melarangku menegur mereka?” tanya Arya dengan sedikit kesal. Kebetulan, toko sedang tidak ada pembeli sehingga Arya lebih leluasa berbicara dengan Asma. Dia duduk di kursi yang berada di belakang kasir. “Aku enggak mau ada keributan pada saat jam kerja seperti ini. Aku juga tidak mau diistimewakan olehmu. Biarkan saja mereka,” jawab Asma dengan tersenyum. “Tetapi semua yang dikatakan oleh mereka tidak benar, Asma. Kamu harus menjelaskan pada mereka. Kalau kamu tidak mau, biar aku yang menjelaskan.” Arya masih kesal dengan ucapan karyawannya yang berada di gudang. “Terima kasih atas perhatianmu. Tetapi, apakah jika aku membalas ataupun menjelaskan kepada mereka, akan menjamin mereka akan berhenti membicarakanku. Tidak, Arya. Mereka mungkin akan mengatakan lebih banyak hal lain yang akan lebih menyakitkan hatiku. Jadi, biarkan saja.”Asma memang tidak mau menjelaskan apa pun pada mereka. Dia yakin bahwa ada saatnya mereka akan mencari tahu sendiri. “Selain itu, kata mbak Asma, mereka yang menjelekkan kita artinya mereka sedang mentransfer pahala untuk kita. Aku sedang panen pahala, kan?”Selama Asma tinggal di panti asuhan, dia sering mengikuti kajian bersama Khansa. Dia berusaha menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Makanya, dia sangat menyesal pada tindakannya yang ingin bunuh diri. Arya tersenyum mendengar ucapan Asma. Akhirnya, Asma yang pernah dikenalnya saat masih sekolah dulu telah kembali. “Oh ya, ada apa kamu ke sini? Tumben. Hari ini bukan jadwal kamu mengecek laporan, kan?” Asma mengalihkan pembicaraan mereka. “Iya, aku sengaja mampir ke toko untuk memberitahukan kalau lusa jadwal kamu kontrol ke dokter kandungan. Aku sama Mbak Khansa sudah membuat janji dengan dokter kandungan teman Mbak Khansa.” Arya menyampaikan tujuannya bertandang ke toko miliknya. “Kenapa menyampaikannya enggak di panti saja?” tanya Asma heran. Arya tersenyum lebar. Dia memang sudah menduga jika Asma akan keberatan jika membicarakan dirinya di toko. Tetapi, dia tidak bisa ke panti hingga lusa. “Aku mau pergi ke luar kota sampai lusa nanti. Jadi, aku mendatangi kamu di sini,” jelas Arya. “Sekalian titip toko hingga lusa nanti.”“Oh begitu. Lah, kenapa kamu titip tokonya padaku. Biasanya Siska yang menghendel toko kalau kamu pergi ke luar kota.”“Kali ini memang enggak biasa. Aku menitipkannya ke kamu. Uang hasil penjualannya nanti serahkan ke Mbak Khansa, makanya aku meminta tolongnya sama kamu. Aku yang akan menyampaikannya pada Siska.”Asma pun menganggukkan kepala. Arya pergi meninggalkan Asma bertepatan dengan beberapa pembeli yang datang. Arya pun menuju ke bagian gudang, menemui Siska. Siska yang sedang mencatat persediaan barang di gudang, terkejut dengan kedatangan Arya. Ada perasaan lega di hatinya karena dia tidak sedang membicarakan Asma. Padahal, tanpa diketahuinya, Arya sudah mendengar pembicaraan di gudang. “Eh, Mas Arya. Baru datang ya, Mas?” tanya Siska mendekati Arya dengan wajah penuh senyuman. Dia memastikan jika Arya memang baru saja sampai di gudang. “Iya, kenapa?”Raut wajah Arya tidak seramah biasanya. Tetapi, Siska tidak menangkap hal itu. “Nggak apa-apa, Mas. Tumben saja karena hari ini bukan jadwal Mas Arya tinjau toko,” ucap Siska dengan menunjukkan senyum manisnya. “Sis, laporan persediaan barang dan laporan keuangan pekan ini nanti kamu serahkan ke Asma saja. Aku akan ke luar kota selama tiga hari, jadi toko aku serahkan pada Asma dulu. Uang pendapatan setiap hari juga serahkan ke Asma. Untuk persediaan barang aman sampai pekan ini, kan?”Mendengar ucapan Arya yang menyerahkan tanggung jawab toko pada Asma, membuat Siska semakin kesal dan benci padanya. Akan tetapi, dia berusaha menyembunyikan rasa kesalnya dengan tetap tersenyum pada Arya. “Aman, Mas.”“Ya sudah, saya harus segera pergi. Jangan lupa hasil pendapat kemarin dan hari ini serahkan kepada Asma, biar dia serahkan ke Mbak Khansa,” pesan Arya sebelum meninggalkan gudang. Sepeninggal Arya, Siska pun mengentak-entakkan kakinya seraya mengomel sendiri. “Awas saja kamu Asma! Sekarang Mas Arya semakin tidak memperhatikanku gara-gara kehadiranmu. Aku harus menyingkirkan Asma dari toko ini,” gumam Siska sebelum melanjutkan pekerjaannya. Arya sudah meninggalkan toko beberapa saat yang lalu. Asma sedang sibuk melayani pembeli di kasir. Seorang temannya yang bernama Anis menghampirinya dan membantu memasukkan barang yang sudah dipindai di mesin kasir ke dalam kantong plastik. “Terima kasih, Nis,” ucap Asma setelah tidak ada lagi pembeli yang mengantre di depan kasir. “Sama-sama, Mbak. Bagaimana dengan dedek bayinya, Mbak?”“Maaf Nis, aku duduk, ya.” Asma meminta izin pada Anis karena hanya ada satu kursi di sana. “Iya, Mbak.”“Alhamdulillah dedek bayinya sehat.” Asma menjawab pertanyaan Anis seraya mengelus perutnya yang buncit untuk mengurangi sakit. Asma melihat Anis ingin menanyakan sesuatu padanya tetapi terlihat ragu-ragu. “Ada apa, Nis? Kayaknya ada yang mau dikatakan?” Anis tersenyum simpul menatap Asma. “Kelihatan ya, Mbak?”Anis, salah satu teman Asma di toko yang sering mengobrol dengannya. Walaupun begitu, Asma belum pernah cerita apa pun tentang dirinya.Anis termasuk gadis yang baik dan ramah. Dia juga termasuk orang yang tidak gampang terpengaruh omongan orang sehingga dia dari tadi ingin mengkonfirmasi gosip yang beredar tentang Asma langsung pada orangnya. Dengan raut wajah yang penuh kehati-hatian, Anis berbicara dengan Asma, matanya terlihat sedikit terpejam dan bibirnya sedikit terkatup saat dia mencoba memilih kata yang tepat. “Mbak, benarkah gosip yang sedang beredar tentang Mbak Asma?” Asma tersenyum mendapat pertanyaan dari Anis. Dia memang tidak berniat menyangkal atau menjelaskan apa yang sedang beredar. Dia masih belum mengetahui mana yang memandangnya wanita baik-baik dan tidak mempercayai gosip yang beredar. “Gosip yang beredar kan ada dua. Yang pertama mengatakan jika aku pernah akan bunuh diri. Yang kedua, anak yang di kandunganku dikatakan anak hasil hubungan gelap. Kamu percaya gosip yang mana?”"Kamu sendiri percaya gosip yang mana?” Asma bertanya kembali kepada Anis karena tidak segera dijawab olehnya.Anis menghembuskan nafas sebelum menjawab pertanyaan Asma. Mengapa suasananya berubah mencekam bagi Anis, padahal tadinya dia hanya ingin mendapat klarifikasi langsung dari Asma.“Sebenarnya aku kurang percaya dengan gosip yang beredar, Mbak. Tetapi, ketika Mbak Asma bertanya tentang mana yang aku percaya, kok terkesan bahwa salah satu gosip itu benar. Jika memang seperti itu, berarti Mbak pasti pernah berniat untuk bunuh diri. Sedangkan anak yang ada di perut itu, tidak mungkin lah hasil hubungan gelap. Walaupun aku belum lama mengenal Mbak Asma, aku yakin Mbak wanita baik-baik,” jawab Anis dengan panjang lebar.Asma terkekeh dengan melihat raut muka Anis yang terlihat tidak enak padanya saat menjawab dan suasana menjadi agak tegang.“Kenapa Mbak Asma malah ketawa?” tanya Anis heran melihat Asma yang tersenyum lebar mendengar ucapannya.“Kamu tuh lucu. Jawabnya kayak sedang
“Apa maksudmu, Sis?” tanya Usman yang tidak terima dengan ucapan Siska.Asma masih diam memperhatikan kedatangan Siska. Dia beristigfar di dalam hati agar emosinya tidak tersulut oleh ucapan Siska.“Alah, pura-pura tidak tahu atau sengaja melindungi pacar gelapnya nih.”Ucapan Siska membuat Usman tidak bisa menahan emosinya. Usman dan Siska memang sering terlihat adu mulut. Tidak hanya dengan Usman, Siska sering terlihat adu mulut dengan beberapa karyawan yang lain.“Kamu jangan membuat fitnah ya, Sis. Apalagi memfitnah Mbak Asma hanya karena kamu iri dan cemburu padanya. Kamu iri kan karena Arya lebih perhatian dan lebih percaya dengan Mbak Asma.”Siska tertohok dengan ucapan Usman yang memang benar adanya. Sebelum Siska menjawab ucapan Usman, Yuli dan Bowo datang untuk makan siang dengan bekal yang sudah dibawanya.“Ada apa ini, kok pada kumpul di sini?” tanya Yuli heran.Asma tersenyum pada Yuli dan Bowo seraya berkata, “Enggak ada apa-apa kok, Yul.”Berbeda dengan Asma, Siska mala
“Maksud Ibu?” tanya Asma seraya mendekati Ibu Intan.“Jumlah uang di kasir dengan uang yang tercatat di komputer terdapat selisih,” jawab Ibu Intan menunjukkan selisih jumlah uangnya.Beberapa kali mereka mengulang menghitung, tetapi tetap saja ada selisih antara uang di kasir dengan yang tercatat di komputer.Ibu Intan pun memanggil Yuli dan Anis yang sedang merapikan barang dagangan di rak.“Yul, tolong tokonya tutup saja. Dan kamu, Nis, tolong sampaikan pada semua karyawan untuk kumpul di sini,” perintahnya.Yuli dan Anis segera melaksanakan perintah dari Ibu Intan. Setelah toko ditutup, semua karyawan berkumpul di dekat kasir.“Maaf, kalian, saya kumpulkan di sini karena ada sedikit masalah. Terdapat selisih antara uang yang ada di kasir dan yang tercatat di komputer, dan itu tidak sedikit. Apakah diantara kalian ada yang melihat orang mencurigakan masuk ke dalam toko?” tanya Ibu Intan tanpa basa basi.Semua saling berpandangan. Mereka mulai merasa cemas dan gelisah.“Yang bertuga
Berarti ada kemungkinan bukan Asma pelakunya, Ar? Ibu tidak yakin jika Asma akan melakukan pencurian itu,” tanya Ibu Intan.Arya melihat sang ibu yang terlihat khawatir. Ibunya memang sudah mengenal Asma sejak mereka masih duduk di bangku SMA.“Insya Allah nanti kita akan tahu, Bu, siapa pelaku sebenarnya. Ibu percaya kalau Asma melakukan pencurian?” tanya Arya seraya menatap ibunya.“Ibu tidak mungkin percaya kalau Asma sampai melakukan pencurian. Ibu sudah mengenal Asma sejak dulu. Ibu juga mengenal orang tuanya. Jika saja, Asma tidak melarang untuk memberitahukan keberadaannya pada orang tuanya, ibu sudah memberitahukannya. Agar sekalian ibu bisa melamar Asma,” jawab sang ibu seraya tersenyum lebar menatap Arya.“Kenapa bicaranya sampai lamar-lamaran. Asma tuh lagi hamil. Arya juga belum memikirkan untuk menikah lagi. Kami hanya sahabat, Bu,” elak Arya.Arya tidak mau merusak kembali persahabatan yang baru saja terjalin kembali. Dia tidak ingin mengulang kesalahan yang sama hanya k
"Apa maksudmu, Arya?” tanya Khansa memicingkan matanya.Arya menarik nafas sebelum mengemukakan apa yang terjadi di toko yang terpantau lewat CCTV. Dia menatap sang ibu, Asma dan Khansa secara bergantian.“Sebenarnya aku sudah mengetahui siapa yang mengambil uang di kasir.”“Apa?!” pekik Ibu Intan menatap tajam sang anak. “Kamu sudah mengetahuinya, tapi kenapa kamu tidak mengatakannya saat kita masih di toko?” lanjutnya dengan nada kesal.Asma juga terkejut dengan ucapan Arya. Ada perasaan kecewa di dalam hatinya karena Arya tidak mengungkapkan orang yang telah mencurinya sehingga dia yang menjadi tertuduh.“Maafkan aku, Asma. Aku tidak bermaksud membuatmu terpojok di depan karyawan yang lain. Tetapi, aku sendiri belum yakin bahwa dia bekerja sendiri dalam menjebakmu. Kalau kamu sudah melihat rekaman CCTV-nya, kamu pasti menerima apa yang aku lakukan padamu.” Arya menjelaskan alasannya pada Asma karena dia melihat wajah kecewanya.Arya pun mengambil ponselnya yang tersimpan di dalam t
“Katakanlah, Lin!”Lina masih menundukkan pandangannya ke meja yang ada di depannya. Arya masih menunggu Lina membuka suara, menjelaskan apa yang terjadi.“Lin, aku yakin kamu bukan orang yang jahat. Katakanlah! Kalau kamu berbicara jujur, aku tidak akan memecatmu,” ucap Arya.“Tolong! Saya jangan dipecat, Pak,” ucap Lina dengan nada memelas. “Saya harus menghidupi adik dan anak saya, Pak.”Arya menghela nafas. Dia bukan orang yang akan tega memecat orang. “Kalau begitu, katakanlah!”Lina mengangkat wajahnya dan menatap Arya. Wajah takut tercetak dalam raut wajahnya.“Tapi, tolong jangan pecat saya, Pak.” Lina memastikan kembali jika dia tidak akan dipecat.Lina menarik nafasnya. “Sa-saya disuruh Purwanto, Pak.”Lina pun menceritakan semuanya. Dia diancam oleh Purwanto. Purwanto akan menyebarkan masa lalunya yang kelam jika dia tidak mau melakukan pencurian itu.“Maafkan saya, Pak. Saya terpaksa melakukannya. Pak Arya sudah tahu kan masa lalu saya yang bekerja di dunia malam. Purwanto
"Ada apa, Asma?” tanya Khansa heran dengan tingkah laku Asma.Asma langsung membalikkan badan ketika dia melihat mantan suaminya dari kejauhan. Dia akan melangkah meninggalkan halaman klinik tersebut, tetapi Khansa menahan tangan Asma.“Ada apa? Kenapa malah pergi?” tanyanya.“Ehm..., i-itu..., kita batalkan saja ya, Mbak,” ucap Asma dengan gagap.“Loh, kok dibatalkan. Kita sudah sampai sini, loh.”Asma terlihat bingung untuk menjelaskan kepada Khansa. Matanya juga terlihat gelisah dan sesekali melirik ke arah teras klinik. Khansa mengikuti arah lirikan Asma.“Yuk, kita duduk dulu di halte itu.” Khansa mengajak Asma menuju ke halte yang berada di depan klinik.Mereka duduk di halte depan klinik. Kebetulan halte tidak dalam keadaan ramai, hanya terlihat dua orang sedang menunggu kendaraan yang akan ditumpanginya dan berada jauh dari posisi Khansa dan Asma.“Ceritalah! Ada apa sebenarnya?” tanya Khansa seraya menggenggam tangan Asma yang sangat dingin.Asma menghela nafas panjang sebelu
“Benarkah ini kamu, Asma?”Arya menanyakan kembali, padahal Asma sudah menganggukkan kepala. Khansa tersenyum melihat Arya tidak percaya dengan penampilan Asma.Ketika Asma akan membuka suaranya, dia mengurungkan diri. Tanto dan Endang keluar dari ruangan dokter dengan wajah sumringah.Arya mengikuti arah pandang Asma, dia terkejut dengan kehadiran Tanto. Dia memang mengenal Tanto. Arya menatap Asma yang menatap Tanto dengan tatapan kecewa. Arya pun paham mengapa penampilan Asma bercadar.“Kamu baik-baik saja?” bisik Arya. Asma hanya menganggukkan kepala.Endang menyapa Khansa ketika melewatinya. Asma menatap Tanto dan tatapan mereka bertemu, tetapi Asma segera menundukkan kembali pandangannya.Perutnya tiba-tiba terasa kencang saat Tanto melewatinya. Anak yang di dalam kandungannya, seolah merasakan kehadiran sang ayah melalui tendangan.“Sssss,” desis Asma seraya meringis. Dia pun mengusap perutnya untuk mengurangi rasa sakitnya. Anak di dalam kandungannya pun tenang kembali.“Mas,