“Cepat atau lambat, kamu pasti akan mengetahui semuanya, Arya. Cerita cintaku sangat menyedihkan ya,” ucap Asma seraya tertawa kecil menertawakan kebodohannya mencintai laki-laki yang salah.
Arya menatap Asma dengan lekat. Dia melihat kesedihan pada wajah Asma dalam senyumannya. “Jangan menengok ke belakang. Masa depan yang penuh bahagia berada di depan. Yang lalu biarlah menjadi pengalaman dan pemicu untuk menjadi lebih baik lagi,” ujar Arya dan mengalihkan pandangannya ke arah yang lain. Asma menengok ke arah Arya yang sedang menatap ke arah depan. Mereka pun sama-sama terdiam, tidak ada lagi yang membuka suaranya. Khansa menghampiri Asma dan Arya. Dia duduk diantara keduanya. “Nyonya Asma!“ panggil petugas pendaftaran. Asma dengan di dampingi Khansa masuk ke dalam ruang pemeriksaan, sedangkan Arya tetap berada di luar. Sekitar dua puluh menit Asma dan Khansa berada di dalam ruang pemeriksaan. Arya berdoa agar kandungan Asma tidak terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. “Ayo pulang,” ajak Khansa pada Arya ketika mereka sudah berada di luar ruangan. Arya berjalan di belakang keduanya untuk menuju ke mobil. Mobil melaju meninggalkan tempat tersebut. “Bagaimana hasil pemeriksaannya?” tanya Arya yang berada di balik kemudi ketika mereka dalam perjalanan pulang. “Alhamdulillah baik-baik saja ya, Asma. Ingat pesan dokter tadi ya. Jangan stress. Tidak usah memikirkan masalahmu yang lalu, tatap masa depanmu. Insya Allah, banyak kok yang menyayangimu.” Khansa menjawab pertanyaan Arya dan juga menyemangati Asma. “Terima kasih, Mbak Khansa, Arya. Semuanya berkat kalian. Aku berjanji akan menjadi wanita yang lebih kuat demi anakku,” ujar Asma dengan tersenyum dan mengelus perutnya. Arya menjalankan mobil menuju ke panti asuhan. Seperti biasa, Arya akan membelikan oleh-oleh untuk anak-anak panti. Dia mampir ke penjual martabak. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, Arya segera melajukan mobilnya menuju ke panti. Mereka sampai di panti bertepatan dengan azan magrib berkumandang. Anak-anak panti sudah bersiap untuk melaksanakan shalat Magrib berjamaah di mushola panti. Khansa, Arya dan Asma pun bergabung dengan mereka. Asma melaksanakan shalat Magrib kali ini dengan khusyuk. Dia merasakan ketenangan dalam shalat setelah sekian lama bolong-bolong sholatnya. Setelah shalat Magrib, anak-anak menjalankan rutinitasnya yaitu belajar Alquran dan mendengarkan kultum yang disampaikan oleh Khansa ataupun Arya. Kali ini, Khansa menyampaikan kultum tentang syukur dan shalat. Asma mendengarkan dengan saksama dari barisan perempuan. Dia merasa telah kufur nikmat karena sering meninggalkan shalat semenjak menikah. Mungkin ini adalah teguran baginya karena pernikahannya telah melalaikan Allah. Rutinitas kegiatan keagamaan di panti dilaksanakan sampai shalat Isya. Setelah shalat Isya, semua berkumpul di ruangan khusus yang digunakan untuk berkumpul bersama semua penghuni panti. Mereka menikmati martabak yang dibelikan Arya. Asma ikut bergabung dan membuat hatinya menghangat melihat kebersamaan tersebut. “Oh ya, Asma. Katanya kamu mau mencari pekerjaan?” tanya Khansa pada Asma yang sedang mengunyah martabak manis. “Iya, Mbak. Malam itu saya sudah mencari tapi tidak ada lowongan yang tersedia,” jawab Asma. Arya yang sedang mendampingi salah satu balita yang ada di panti tersebut, menengok ke arah Asma. “Kalau kamu mau, bisa bekerja di tokoku. Aku lagi butuh kasir.” Arya menawarkan pekerjaan kepada Asma di toserbanya.“Nah, tuh ada lowongan Asma. Diterima saja, untuk menambah biaya persalinan anakmu nanti,” ucap Khansa. Asma menerima pekerjaan itu. Dia menyadari bahwa dia butuh pekerjaan itu. Sekitar 4 bulan lagi dia membutuhkan biaya banyak untuk persalinannya. *** Keesokannya Arya menjemput Asma untuk berangkat ke toserba. Perjalanan dari panti asuhan ke toserba milik Arya sekitar 30 menit dan bisa dijangkau dengan kendaraan umum. Arya memperkenalkan Asma kepada semua pegawainya. Asma disambut baik oleh mereka. “Selamat bekerja, Asma. Semoga kamu betah bekerja di sini. Kalau ada apa-apa hubungi saja aku,” ucap Arya sebelum meninggalkan toko. “Insya Allah aku akan baik-baik saja di sini. Aku juga belum punya alat komunikasi lagi.” Asma mengatakan jika dia memang belum mempunyai alat komunikasi. Arya berjanji akan membelikan Asma ponsel, tetapi Asma menolak. Dia berdalih bahwa dia belum membutuhkannya. Arya pergi meninggalkan Asma menuju ke toko satunya. Dia ada pertemuan dengan pabrik pemasok barang-barang pengisi di toko perlengkapan rumah tangga. Asma tidak menyangka jika laki-laki yang pernah menjadi sahabatnya, sudah menjadi orang sukses. Dia belum mengetahui apa pun tentang Arya dan dia segan untuk menanyakan. Dia berpikir bahwa biar waktu saja yang akan menjawab semua pertanyaan dirinya tentang sosok Arya. Pekerjaan Asma di hari pertama cukup melelahkan dirinya yang dalam keadaan hamil tua. Tetapi, dia tidak mau mengeluh. Dia sudah berjanji pada dirinya bahwa dia akan menjadi lebih baik demi anak yang di dalam kandungannya. Teman-teman baru Asma juga sangat membantu sehingga dia bisa mengatasi kelelahannya. Satu bulan Asma sudah bekerja di toserba itu. Semua berjalan dengan baik, walaupun ada salah satu pegawai toko yang tidak menyukainya. Dia baru bertemu dengan Siska pada hari ketiga karena Siska memang sedang cuti. Asma baru saja dari toilet. Semenjak usia kandungannya memasuki trimester ketiga, dia semakin sering buang air kecil. Ketika dia melewati salah satu rak barang, dia mendengar seseorang membicarakannya. “Kamu tahu enggak, ternyata mbak Asma itu pernah akan bunuh diri tetapi ditolong oleh pak Arya,” ucap orang yang sudah dikenal Asma. Orang itu Siska dan Lina. “Beneran mbak Asma pernah akan bunuh diri? Kenapa dia melakukannya ya, padahal dia kan sedang hamil?” tanya Lina pada Siska. Siska yang memang sejak awal tidak menyukai Asma, merasa ada angin segar ketika temannya tertarik dengan ceritanya. “Kalau menurutku sih, mungkin anak yang dikandungnya anak dari hubungan gelap. Kita kan enggak tahu asal usul Mbak Asma. Mungkin saja dia dulunya wanita panggilan, kemudian dia hamil. Karena dia merasa malu, makanya berniat bunuh diri,” bisik Siska memberikan asumsinya pada Lina. Mendengar obrolan itu, air mata Asma menetes dari sudut matanya, tetapi dia segera menghapusnya. Sebenarnya, tidak hanya kali ini dia mendengar beberapa temannya membicarakan dirinya, tetapi obrolan kali ini sangat menyakiti hatinya. Apakah dia memang terlihat seperti bukan wanita baik. Asma segera meninggalkan tempat itu agar tidak ketahuan jika dia mendengarnya. “Ngawur ah. Kalau tidak benar, nanti jadinya fitnah loh,” ujar Lina mengingatkan Siska. “Ayo ah kita lanjut kerja.”“Ugh..., dikasih tahu kok,” ucap Siska agak kesal karena Lina meninggalkan dirinya. Dia pun segera menyusul Lina. Asma segera kembali ke tempat kasir. Dia berusaha melupakan obrolan itu. Dia memang mengetahui jika Siska tidak menyukainya sejak pertama kali bertemu, walaupun dia belum mengetahui alasan wanita itu tidak menyukainya. Apalagi tatapan Siska padanya terlihat kesal saat dia pulang bersama Arya.“Ada apa, Asma?”Arya baru saja memasuki toserba. Dia heran melihat raut wajah Asma yang terlihat bersedih. Asma terkejut dengan kedatangan Arya. Dia sedang melamun di tempatnya sehingga tidak mendengar kedatangan Arya. “Bagaimana Ar?” Asma balik bertanya pada Arya. Arya tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia bertanya malah Asma balik bertanya padanya. “Kamu ada masalah?”Asma menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. Dia menutupi apa yang terjadi padanya. “Nggak ada apa-apa kok.” Arya tidak menanyakan lebih lanjut lagi. Dia pamit untuk memeriksa persediaan barang di gudang. Sedangkan, Asma merasa khawatir barangkali Arya akan mengetahui gosip tentangnya yang bermula dari arah gudang. Arya menghentikan langkahnya ketika mendengar kasak-kusuk di balik tumpukan kardus-kardus minuman yang ada di gudang. Dia terkejut dengan ucapan salah satu karyawannya. Ketika Arya akan menegur mereka, Asma datang dan menarik lengan baju Arya. Dia memberi kode agar jangan mendekati m
"Kamu sendiri percaya gosip yang mana?” Asma bertanya kembali kepada Anis karena tidak segera dijawab olehnya.Anis menghembuskan nafas sebelum menjawab pertanyaan Asma. Mengapa suasananya berubah mencekam bagi Anis, padahal tadinya dia hanya ingin mendapat klarifikasi langsung dari Asma.“Sebenarnya aku kurang percaya dengan gosip yang beredar, Mbak. Tetapi, ketika Mbak Asma bertanya tentang mana yang aku percaya, kok terkesan bahwa salah satu gosip itu benar. Jika memang seperti itu, berarti Mbak pasti pernah berniat untuk bunuh diri. Sedangkan anak yang ada di perut itu, tidak mungkin lah hasil hubungan gelap. Walaupun aku belum lama mengenal Mbak Asma, aku yakin Mbak wanita baik-baik,” jawab Anis dengan panjang lebar.Asma terkekeh dengan melihat raut muka Anis yang terlihat tidak enak padanya saat menjawab dan suasana menjadi agak tegang.“Kenapa Mbak Asma malah ketawa?” tanya Anis heran melihat Asma yang tersenyum lebar mendengar ucapannya.“Kamu tuh lucu. Jawabnya kayak sedang
“Apa maksudmu, Sis?” tanya Usman yang tidak terima dengan ucapan Siska.Asma masih diam memperhatikan kedatangan Siska. Dia beristigfar di dalam hati agar emosinya tidak tersulut oleh ucapan Siska.“Alah, pura-pura tidak tahu atau sengaja melindungi pacar gelapnya nih.”Ucapan Siska membuat Usman tidak bisa menahan emosinya. Usman dan Siska memang sering terlihat adu mulut. Tidak hanya dengan Usman, Siska sering terlihat adu mulut dengan beberapa karyawan yang lain.“Kamu jangan membuat fitnah ya, Sis. Apalagi memfitnah Mbak Asma hanya karena kamu iri dan cemburu padanya. Kamu iri kan karena Arya lebih perhatian dan lebih percaya dengan Mbak Asma.”Siska tertohok dengan ucapan Usman yang memang benar adanya. Sebelum Siska menjawab ucapan Usman, Yuli dan Bowo datang untuk makan siang dengan bekal yang sudah dibawanya.“Ada apa ini, kok pada kumpul di sini?” tanya Yuli heran.Asma tersenyum pada Yuli dan Bowo seraya berkata, “Enggak ada apa-apa kok, Yul.”Berbeda dengan Asma, Siska mala
“Maksud Ibu?” tanya Asma seraya mendekati Ibu Intan.“Jumlah uang di kasir dengan uang yang tercatat di komputer terdapat selisih,” jawab Ibu Intan menunjukkan selisih jumlah uangnya.Beberapa kali mereka mengulang menghitung, tetapi tetap saja ada selisih antara uang di kasir dengan yang tercatat di komputer.Ibu Intan pun memanggil Yuli dan Anis yang sedang merapikan barang dagangan di rak.“Yul, tolong tokonya tutup saja. Dan kamu, Nis, tolong sampaikan pada semua karyawan untuk kumpul di sini,” perintahnya.Yuli dan Anis segera melaksanakan perintah dari Ibu Intan. Setelah toko ditutup, semua karyawan berkumpul di dekat kasir.“Maaf, kalian, saya kumpulkan di sini karena ada sedikit masalah. Terdapat selisih antara uang yang ada di kasir dan yang tercatat di komputer, dan itu tidak sedikit. Apakah diantara kalian ada yang melihat orang mencurigakan masuk ke dalam toko?” tanya Ibu Intan tanpa basa basi.Semua saling berpandangan. Mereka mulai merasa cemas dan gelisah.“Yang bertuga
Berarti ada kemungkinan bukan Asma pelakunya, Ar? Ibu tidak yakin jika Asma akan melakukan pencurian itu,” tanya Ibu Intan.Arya melihat sang ibu yang terlihat khawatir. Ibunya memang sudah mengenal Asma sejak mereka masih duduk di bangku SMA.“Insya Allah nanti kita akan tahu, Bu, siapa pelaku sebenarnya. Ibu percaya kalau Asma melakukan pencurian?” tanya Arya seraya menatap ibunya.“Ibu tidak mungkin percaya kalau Asma sampai melakukan pencurian. Ibu sudah mengenal Asma sejak dulu. Ibu juga mengenal orang tuanya. Jika saja, Asma tidak melarang untuk memberitahukan keberadaannya pada orang tuanya, ibu sudah memberitahukannya. Agar sekalian ibu bisa melamar Asma,” jawab sang ibu seraya tersenyum lebar menatap Arya.“Kenapa bicaranya sampai lamar-lamaran. Asma tuh lagi hamil. Arya juga belum memikirkan untuk menikah lagi. Kami hanya sahabat, Bu,” elak Arya.Arya tidak mau merusak kembali persahabatan yang baru saja terjalin kembali. Dia tidak ingin mengulang kesalahan yang sama hanya k
"Apa maksudmu, Arya?” tanya Khansa memicingkan matanya.Arya menarik nafas sebelum mengemukakan apa yang terjadi di toko yang terpantau lewat CCTV. Dia menatap sang ibu, Asma dan Khansa secara bergantian.“Sebenarnya aku sudah mengetahui siapa yang mengambil uang di kasir.”“Apa?!” pekik Ibu Intan menatap tajam sang anak. “Kamu sudah mengetahuinya, tapi kenapa kamu tidak mengatakannya saat kita masih di toko?” lanjutnya dengan nada kesal.Asma juga terkejut dengan ucapan Arya. Ada perasaan kecewa di dalam hatinya karena Arya tidak mengungkapkan orang yang telah mencurinya sehingga dia yang menjadi tertuduh.“Maafkan aku, Asma. Aku tidak bermaksud membuatmu terpojok di depan karyawan yang lain. Tetapi, aku sendiri belum yakin bahwa dia bekerja sendiri dalam menjebakmu. Kalau kamu sudah melihat rekaman CCTV-nya, kamu pasti menerima apa yang aku lakukan padamu.” Arya menjelaskan alasannya pada Asma karena dia melihat wajah kecewanya.Arya pun mengambil ponselnya yang tersimpan di dalam t
“Katakanlah, Lin!”Lina masih menundukkan pandangannya ke meja yang ada di depannya. Arya masih menunggu Lina membuka suara, menjelaskan apa yang terjadi.“Lin, aku yakin kamu bukan orang yang jahat. Katakanlah! Kalau kamu berbicara jujur, aku tidak akan memecatmu,” ucap Arya.“Tolong! Saya jangan dipecat, Pak,” ucap Lina dengan nada memelas. “Saya harus menghidupi adik dan anak saya, Pak.”Arya menghela nafas. Dia bukan orang yang akan tega memecat orang. “Kalau begitu, katakanlah!”Lina mengangkat wajahnya dan menatap Arya. Wajah takut tercetak dalam raut wajahnya.“Tapi, tolong jangan pecat saya, Pak.” Lina memastikan kembali jika dia tidak akan dipecat.Lina menarik nafasnya. “Sa-saya disuruh Purwanto, Pak.”Lina pun menceritakan semuanya. Dia diancam oleh Purwanto. Purwanto akan menyebarkan masa lalunya yang kelam jika dia tidak mau melakukan pencurian itu.“Maafkan saya, Pak. Saya terpaksa melakukannya. Pak Arya sudah tahu kan masa lalu saya yang bekerja di dunia malam. Purwanto
"Ada apa, Asma?” tanya Khansa heran dengan tingkah laku Asma.Asma langsung membalikkan badan ketika dia melihat mantan suaminya dari kejauhan. Dia akan melangkah meninggalkan halaman klinik tersebut, tetapi Khansa menahan tangan Asma.“Ada apa? Kenapa malah pergi?” tanyanya.“Ehm..., i-itu..., kita batalkan saja ya, Mbak,” ucap Asma dengan gagap.“Loh, kok dibatalkan. Kita sudah sampai sini, loh.”Asma terlihat bingung untuk menjelaskan kepada Khansa. Matanya juga terlihat gelisah dan sesekali melirik ke arah teras klinik. Khansa mengikuti arah lirikan Asma.“Yuk, kita duduk dulu di halte itu.” Khansa mengajak Asma menuju ke halte yang berada di depan klinik.Mereka duduk di halte depan klinik. Kebetulan halte tidak dalam keadaan ramai, hanya terlihat dua orang sedang menunggu kendaraan yang akan ditumpanginya dan berada jauh dari posisi Khansa dan Asma.“Ceritalah! Ada apa sebenarnya?” tanya Khansa seraya menggenggam tangan Asma yang sangat dingin.Asma menghela nafas panjang sebelu