“Kalau kamu memang ingin bercerai, silakan! Aku akan memenuhi permintaanmu.”
Mendengar ucapan suaminya, Asma yang tengah duduk di kursi menangis sesenggukan. Pernikahan mereka yang sudah berlangsung tiga tahun hancur dalam sekejap.
Suami Asma, Tanto, beberapa jam lalu kepergok berselingkuh. Kini, dia hendak menceraikan Asma. Perselingkuhan Tanto untuk kesekian kalinya, sangat menghancurkan hati Asma dengan kehamilan wanita selingkuhannya.
Hati Asma semakin hancur karena suaminya kepergok mengantarkan wanita itu memeriksakan kehamilannya di klinik yang sama. Sedangkan, ia sudah tidak pernah diantar lagi ke dokter kandungan sejak usia kandungan satu bulan. Usia kehamilannya memasuki bulan ke-6.
“Kamu tega, Mas! Kamu lebih memilih wanita itu. Lalu, bagaimana anak yang ada di dalam kandunganku?” tanya Asma dengan berlinang air mata.
“Kamu sendiri yang meminta berpisah, kamu malah menyalahkan aku?” ucap Tanto dengan nada suara tinggi.
Asma berdiri dari tempat duduknya. Dia mendekati suaminya dan berkata, “Itu juga karena kesalahanmu sendiri yang berselingkuh di belakangku.”
“Kesalahanku?” Tanto mengulang ucapan Asma seraya tertawa. “Bagaimana dengan orang tuamu yang hingga sekarang belum menerimaku sebagai menantunya?”
“Tidak usah membawa-bawa orang tuaku untuk membenarkan perselingkuhanmu. Aku malah menyesal, mengapa dulu tidak mendengarkan ucapan orang tuaku,” balas Asma dengan nada meninggi. “Mengapa aku mau bersama dengan laki-laki bodoh sepertimu, Mas? Kamu sudah dibuang oleh wanita itu, tapi mau saja dipungut lagi. Dan itu bukan satu kali, tetapi berkali-kali. Apa itu namanya tidak bodoh sebagai seorang laki-laki?”
Plak!
Tamparan suaminya membuat Asma terkejut. Dia tidak menyangka bahwa sang suami akan bermain kasar padanya.
“Diam kamu! Perempuan tidak tahu diri! Kalau aku tidak menikahimu, kamu tidak akan pernah merasakan menjadi perempuan berkelas,” bentak Tanto.
Asma tergugu seraya memegang pipi bekas tamparan. Tidak hanya hatinya yang sakit, tetapi raganya juga merasa sakit. Dia mengakui bahwa dirinya bukan siapa-siapa jika tidak menikah dengan Tanto. Keluarganya hanya seorang petani kecil yang menggarap sebidang tanah untuk menghidupi keluarga. Selama ini, dia dibutakan oleh cintanya pada Tanto.
“Baiklah, kalau kamu juga menginginkan perpisahan ini. Aku akan pergi dari sini.” Asma hendak menuju ke kamar dengan linangan air mata.
“Silakan saja! Tapi jangan berharap kamu bisa membawa barang dari sini. Semua ini milikku!” seru Tanto dengan sombong.
Asma menghentikan langkahnya. Dia menengok ke arah sang suami dan tersenyum sinis. “Tepatnya milik orang tuamu. Kamu sendiri tidak punya apa-apa,” sindirnya yang mengetahui jika rumah dan isinya adalah milik sang mertua yang merupakan juragan tanah.
“Lihat saja nanti, memangnya kamu bisa hidup tanpaku,” seru Tanto.
Asma sudah tidak ingin menanggapi ucapan sang suami. Dia segera menuju ke kamar utama untuk mengemasi pakaiannya. Dia hanya akan membawa pakaian yang dibeli sendiri dari usaha pembuatan kue ulang tahun. Dia memasukkannya ke dalam koper dan segera menemui suaminya yang masih di tempat semula.
“Terima kasih atas waktunya selama ini, Mas. Terima kasih juga sudah memberi kesempatan menikmati kekayaan dari orang tuamu,” sindir Asma.
Sesungguhnya, dia berat meninggalkan rumah yang sudah hampir 3 tahun ditempatinya. Walaupun rumah itu bukan miliknya, tetapi banyak kenangan indah bersama sang suami yang tersimpan di dalam memorinya.
Tanto hanya diam melihat kepergian sang istri dari rumah. Dia memang tidak pernah mencintai Asma. Dia berpaling darinya semenjak mantan pacar yang sangat dicintainya hadir kembali dan kini sedang mengandung anaknya. Dia tidak peduli dengan keadaan Asma yang sedang hamil anaknya juga, karena sejak awal Tanto tidak menginginkan anak dari Asma.
Waktu semakin sore ketika Asma pergi meninggalkan rumah sang suami. Dia berjalan ke arah jalan besar dengan membawa sebuah koper dan sebuah tas selempang miliknya. Perutnya yang sudah mulai besar, membuatnya cepat lelah untuk berjalan. Jalan besar masih beberapa meter lagi di depan. Sesekali dia berhenti di pinggir jalan untuk mengatur nafas dan mengusap perutnya agar tidak kram.
Rumah-rumah warga sudah jarang terlihat. Di kanan kiri jalan yang dilaluinya berupa kebun dan pekarangan kosong. Asma duduk di sebuah batu besar yang ada di tepi jalan. Dia mengusap keringat yang ada di dahinya.
“Mau ke mana Asma?” tanya salah satu tetangga yang melihat Asma. Dia pun menghentikan motornya di depan Asma.
“Mau pulang ke rumah ibu, Mbak,” jawab Asma seraya tersenyum getir.
“Kamu berpisah dengan Tanto?” tanya tetangga itu. Senyuman Asma menjawab pertanyaan tersebut.
“Sabar ya, Asma. Tanto pasti suatu saat akan mendapatkan karma.”
Para tetangga sudah mengetahui perselingkuhan Tanto dengan seorang wanita hingga hamil. Banyak tetangga yang merasa kasihan pada Asma. Selama Asma menjadi warga di daerah itu, dikenal sebagai wanita yang ramah dan suka menolong sehingga banyak yang suka dengan kepribadiannya.
“Mari! Saya antar sampai di ujung jalan besar,” tawar tetangganya.
Pada awalnya Asma menolak karena tidak mau merepotkan orang lain. Akan tetapi, tetangganya memaksa dan juga waktu yang hampir magrib membuatnya mengiyakan tawaran tetangganya tersebut.
Asma naik ke atas boncengan motor. Dalam perjalanan menuju ujung jalan besar, tidak ada lagi percakapan diantara mereka.
“Terima kasih, Mbak. Maaf merepotkan,” ucap Asma ketika dia sampai di jalan besar.
“Sama-sama, Asma. Tapi maaf tidak bisa menemanimu menunggu kendaraan,” balas tetangganya tersebut sebelum meninggalkan Asma.
Sepeninggal tetangganya tersebut Asma menunggu kedatangan bus. Dengan hati yang sedang hancur, dia menatap ke arah jalan beraspal di depannya. Ada sebuah angkutan desa tujuan rumah orang tuanya melintas, tetapi dia hanya memandangi angkutan tersebut. Dia masih bingung ke mana tujuannya. Dia merasa malu kepada kedua orang tuanya jika dia pulang ke rumah.
Dari arah seberang jalan, Endang, mantan pacar sang suami yang telah merusak rumah tangganya, menghampiri Asma. Dia menengok ke arah Endang yang memakai pakaian seksi memperlihatkan perutnya yang sudah kelihatan buncit.
“Kasihan yang sudah dibuang suaminya,” cibir Endang pada Asma. “Makanya puaskan suami di ranjang. Jadi, dia tidak mencari di luar.”
Asma tidak menanggapi ucapan Endang. Dia berusaha mengontrol emosinya.
“Kenapa diam? Benarkan ucapanku?“
“Kucing disuguhi ikan asin pasti akan memakannya. Begitu pula seorang pelakor, walaupun naik tahta, tetap saja namanya pelakor. Lebih baik janin itu tidak terlahir, daripada lahir tapi tersemat menjadi anak haram,” ucap Asma dengan nada santai, tetapi membuat Endang meradang.
Asma melihat ada bus yang ke arah kota terlihat di kejauhan sedang menaik turunkan penumpang. Sedangkan di belakang bus itu juga ada sebuah angkutan desa yang biasa melewati arah rumah orang tuanya. Kedua kendaraan itu berhenti tepat di depannya.
“Kasihan sekali nasibmu dan anakmu. Kalian sama-sama tidak diterima keberadaannya.”
"Selamat menikmati hidup bersama dengan bekasku!" ucap Asma sebelum meninggalkan Endang. Asma pun segera naik ke dalam bus yang berhenti tepat di depannya. Dia merasa malu jika harus kembali ke rumah orang tua. Dia juga tidak mau orang tuanya malu karena perceraiannya dengan Tanto yang merupakan anak juragan tanah. Sejak awal para tetangga memang banyak yang mencibir pernikahannya.Di dalam bus tujuan kota, Asma duduk di samping jendela. Asma menatap lampu-lampu yang menerangi jalan. Air matanya tidak kuasa untuk tidak keluar dari mata indah miliknya ketika dia mengingat perselingkuhan sang suami.Bus semakin jauh meninggalkan desa tempat tinggalnya. Hati yang terluka mengiringi perjalanannya menuju ke kota. Sepanjang perjalanan, air mata menggenangi matanya. Dia tidak peduli dengan penumpang lain yang melihatnya dengan tatapan aneh.“Terminal..., terminal..., terakhir...!”Kondektur bus mengingatkan tujuan akhir bus. Asma tersadar jika dia sudah sampai ke tempat tujuan.Asma segera
Brak! Suara benda tertabrak mobil terdengar di telinga Asma. Sedangkan dia merasa tubuhnya ditarik oleh seseorang dan membentur dada bidang seseorang. “Lepaskan aku!” pekik Asma seraya meronta dari pelukan orang tersebut. “Biarkan aku mati.”Orang itu masih memeluk tubuh Asma yang masih meronta hendak menuju ke jalan. “Jangan bodoh, Mbak. Memangnya kalau Mbak mati akan menyelesaikan masalah?”Asma tidak mendengarkan ucapan orang itu. Dia terus meronta seraya menceracau. “Aku ingin mati! Semua orang sudah tidak peduli padaku!”Tiba-tiba Asma jatuh pingsan di pelukan orang yang telah menolongnya. Orang itu pun panik dan terkejut. Dia mengambil HP yang ada di saku kemejanya dan menghubungi seseorang. [“Mbak Khansa, tolong! Ada wanita pingsan. Aku di tepi jalan tidak jauh dari panti,”] ucap orang itu. Tidak lama kemudian, seorang wanita berjilbab menghampiri orang itu dan Asma yang masih pingsan. “Apa yang terjadi, Arya?” tanya wanita itu seraya berjongkok di samping orang yang dip
"Hai...."Arya menyapa Asma yang terkejut dengannya. Dia mendekati mereka dan menyerahkan kantong plastik berisi bubur ayam yang dibeli di depan klinik kepada Khansa. “Mbak, sarapan dulu saja. Apa dokter sudah datang, Mbak?”“Belum. Kemungkinan jam 7 pagi,” jawab Khansa seraya menerima bungkusan dari Arya. Dia pun menyingkir ke arah kursi tunggu yang ada di depan ruangan. Arya membuka bungkusan lain yang ditujukan untuk Asma. Dia mengambil sesendok bubur di styrofoam dan menyuapkan kepada Asma. “Kamu sarapan dulu. Ayo, buka mulutmu,” ucap Arya dan sesendok bubur sudah di depan mulut Asma. Semula Asma menolak disuapi, tetapi Arya memaksa sehingga dia tidak bisa berkutik. Asma menghabiskan satu porsi bubur ayam bersamaan dengan Khansa yang juga sudah menyelesaikan makannya. Beberapa menit kemudian, dokter datang ke ruangan Asma untuk memeriksa kondisinya. Asma sudah diperbolehkan pulang. Arya mengurus administrasi di klinik, sedangkan Asma dan Khansa menunggu di ruangan. Sejak ke
“Kalau tidak mau menjawab, tidak apa-apa Asma,” ucap Khansa melihat raut kesedihan di wajah Asma.Asma menatap Khansa yang duduk di sebelahnya. Ucapan sang suami yang lebih memilih wanita selingkuhannya terngiang kembali di telinga. Laki-laki yang sangat dicintai membuangnya hanya karena kehadiran cinta lamanya.“Suamiku selingkuh dengan mantannya dan sekarang hamil juga, Mbak. Dia lebih memilih wanita itu daripada aku dan anak yang di dalam kandunganku. Bukan kali ini saja dia berselingkuh, tetapi ini yang sangat menyakitkan. Aku tidak bisa bertahan lagi dengannya,” Asma mencoba bercerita kepada orang lain untuk meringankan beban di hatinya.Arya yang akan ke kamar Asma urung menyambanginya. Dia hanya berdiri di balik dinding kamar yang ditempati Asma dan mendengarkan cerita Asma.“Mungkin ini adalah hukuman Allah buatku, Mbak. Pernikahan kami tidak disetujui oleh orang tuaku karena melihat latar belakang keluarga kami yang berbeda dan juga sosok suamiku yang memang sejak dulu terken
“Cepat atau lambat, kamu pasti akan mengetahui semuanya, Arya. Cerita cintaku sangat menyedihkan ya,” ucap Asma seraya tertawa kecil menertawakan kebodohannya mencintai laki-laki yang salah. Arya menatap Asma dengan lekat. Dia melihat kesedihan pada wajah Asma dalam senyumannya. “Jangan menengok ke belakang. Masa depan yang penuh bahagia berada di depan. Yang lalu biarlah menjadi pengalaman dan pemicu untuk menjadi lebih baik lagi,” ujar Arya dan mengalihkan pandangannya ke arah yang lain. Asma menengok ke arah Arya yang sedang menatap ke arah depan. Mereka pun sama-sama terdiam, tidak ada lagi yang membuka suaranya. Khansa menghampiri Asma dan Arya. Dia duduk diantara keduanya. “Nyonya Asma!“ panggil petugas pendaftaran. Asma dengan di dampingi Khansa masuk ke dalam ruang pemeriksaan, sedangkan Arya tetap berada di luar. Sekitar dua puluh menit Asma dan Khansa berada di dalam ruang pemeriksaan. Arya berdoa agar kandungan Asma tidak terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. “Ayo pu
“Ada apa, Asma?”Arya baru saja memasuki toserba. Dia heran melihat raut wajah Asma yang terlihat bersedih. Asma terkejut dengan kedatangan Arya. Dia sedang melamun di tempatnya sehingga tidak mendengar kedatangan Arya. “Bagaimana Ar?” Asma balik bertanya pada Arya. Arya tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia bertanya malah Asma balik bertanya padanya. “Kamu ada masalah?”Asma menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. Dia menutupi apa yang terjadi padanya. “Nggak ada apa-apa kok.” Arya tidak menanyakan lebih lanjut lagi. Dia pamit untuk memeriksa persediaan barang di gudang. Sedangkan, Asma merasa khawatir barangkali Arya akan mengetahui gosip tentangnya yang bermula dari arah gudang. Arya menghentikan langkahnya ketika mendengar kasak-kusuk di balik tumpukan kardus-kardus minuman yang ada di gudang. Dia terkejut dengan ucapan salah satu karyawannya. Ketika Arya akan menegur mereka, Asma datang dan menarik lengan baju Arya. Dia memberi kode agar jangan mendekati m
"Kamu sendiri percaya gosip yang mana?” Asma bertanya kembali kepada Anis karena tidak segera dijawab olehnya.Anis menghembuskan nafas sebelum menjawab pertanyaan Asma. Mengapa suasananya berubah mencekam bagi Anis, padahal tadinya dia hanya ingin mendapat klarifikasi langsung dari Asma.“Sebenarnya aku kurang percaya dengan gosip yang beredar, Mbak. Tetapi, ketika Mbak Asma bertanya tentang mana yang aku percaya, kok terkesan bahwa salah satu gosip itu benar. Jika memang seperti itu, berarti Mbak pasti pernah berniat untuk bunuh diri. Sedangkan anak yang ada di perut itu, tidak mungkin lah hasil hubungan gelap. Walaupun aku belum lama mengenal Mbak Asma, aku yakin Mbak wanita baik-baik,” jawab Anis dengan panjang lebar.Asma terkekeh dengan melihat raut muka Anis yang terlihat tidak enak padanya saat menjawab dan suasana menjadi agak tegang.“Kenapa Mbak Asma malah ketawa?” tanya Anis heran melihat Asma yang tersenyum lebar mendengar ucapannya.“Kamu tuh lucu. Jawabnya kayak sedang
“Apa maksudmu, Sis?” tanya Usman yang tidak terima dengan ucapan Siska.Asma masih diam memperhatikan kedatangan Siska. Dia beristigfar di dalam hati agar emosinya tidak tersulut oleh ucapan Siska.“Alah, pura-pura tidak tahu atau sengaja melindungi pacar gelapnya nih.”Ucapan Siska membuat Usman tidak bisa menahan emosinya. Usman dan Siska memang sering terlihat adu mulut. Tidak hanya dengan Usman, Siska sering terlihat adu mulut dengan beberapa karyawan yang lain.“Kamu jangan membuat fitnah ya, Sis. Apalagi memfitnah Mbak Asma hanya karena kamu iri dan cemburu padanya. Kamu iri kan karena Arya lebih perhatian dan lebih percaya dengan Mbak Asma.”Siska tertohok dengan ucapan Usman yang memang benar adanya. Sebelum Siska menjawab ucapan Usman, Yuli dan Bowo datang untuk makan siang dengan bekal yang sudah dibawanya.“Ada apa ini, kok pada kumpul di sini?” tanya Yuli heran.Asma tersenyum pada Yuli dan Bowo seraya berkata, “Enggak ada apa-apa kok, Yul.”Berbeda dengan Asma, Siska mala