Dzaki menjauhkan Vanesha darinya. Kejadian yang sama sekali tidak diinginkan. "Wa'alaikum salam, Sayang." Dzaki langsung berdiri tanpa memperdulikan keberadaan Vanesha.Aruna berusaha tenang. Barangkali itu hanya sebuah kecelakaan. Ya … jangan sampai keadaan ini membuahkan pikiran negatif terhadap seorang suami.Vanesha menoleh ke arah pintu. Menatap Aruna lekat dan tersenyum manis. "Ah, maaf, saya tadi tidak sengaja." Wajahnya dibuat sama manisnya seperti senyum wanita itu.Aruna melangkahkan kedua kaki, menghampiri mereka. Sejenak diam, mengamati Vanesha. Dari sekian banyak karyawan di perusahaan ini, Aruna tidak mengenali Vanesha. Mungkinkah seorang penulis? Bisa jadi. "Tidak masalah, Mbak." Aruna membalas senyum. Mengalihkan pandangan pada sang suami. "Maaf, Mas, aku sedikit telat."Dzaki memperhatikan bahasa tubuh Aruna. Ada sedikit perbedaan, tetapi tidak terlalu menonjol. "Tidak masalah. Kamu pasti lelah. Mari, kita nikmati makan siangnya bersama.""Kalau seperti itu, saya pami
"Ibumu memang cantik. Siapa pun pasti berkata seperti itu, Sayang," ujar Dzaki.Aruna diam.Abizar beralih pandangan pada Dzaki. "Om, juga sayang sama Ibu, ya?" Pertanyaan yang bagi Dzaki adalah momentum untuk memperlihatkan bagaimana kekuatan cintanya. Lengan kanan Dzaki merangkul pundak Aruna sembari berkata, "Om dan ibumu saling sayang, Nak. Sama seperti Om dan ibumu sayang Abizar."Abizar senang. Memeluk Dzaki layaknya pada seorang ayah, sementara Naufal diam dengan sorot mata menakutkan. Lengan kanannya pun mengepal. Ada amarah yang bisa saja sebentar lagi akan meledak. Di balik keharmonisan rumah tangga Aruna, ada Naufal yang merasa panas. Entah mengapa naluri untuk memiliki Aruna menggebu-gebu. Memang benar, sesuatu yang sudah bilang dari genggaman akan terlihat lebih menarik dibandingkan sesuatu yang masih di tangan."Bagaimana kalau kita makan siang dulu. Kamu lapar bukan, Sayang?" Aruna memilih berbicara dengan Abizar agar bisa terhindar dari suasana kurang menyenangkan. D
Vanesha mengukir senyum kecil. Setiap kali berbicara dengan Dzaki, ia merasa sedang berada di ujung jalan. Buntu sekali."Ah, iya, saya lupa." Dzaki melirik ke arah pintu, lalu tersenyum manis. "Istri saya baru saja datang." Telunjuk kanan Dzaki mengarah pada pintu yang langsung diikuti oleh pandangan Vanesha. "Tentunya saya tidak mungkin datang sendiri saja."Dada Vanesha mendadak sesak dengan tangan kanan mengepal. Namun, perempuan itu berusaha untuk tetap tenang dan melebarkan senyuman. Jangan sampai Dzaki semakin kuat mengolok-oloknya. "Saya yakin kalau Anda memang tidak akan melakukan itu. Tenang saja."Aruna yang memakai gaun berwarna biru muda berlengan panjang serta sampai ke mata kaki. Dipadukan dengan pashmina instan berwarna hitam itu pun tampak cantik, menghampiri sang suami dan Vanesha. "Assalamualaikum. Maaf, saya telat, Mbak." Lengkungan senyum langsung diberikan Aruna pada Vanesha.Vanesha melirik Aruna. "Tidak masalah. Saya juga baru datang."Tampak Dzaki menahan tawa
Malam berganti siang. Aruna mempersiapkan bekal untuk Abizar yang hari ini pertama kali masuk sekolah paud. Langkah ini diambil agar sesuai permintaan Abizar. Mungkin karena suatu hari tanpa sengaja melihat beberapa anak sebayanya di sebuah sekolah. "Bu, nanti jemput aku, ya." Abizar menggendong tas berwarna merah muda dengan motif robot kesukaannya.Dzaki masih sarapan. Aruna berjongkok di depan Abizar. Memasukkan kotak bekal ke tas sambil berkata, "Insyaa Allah, ya, Nak." Tersenyum manis.Abizar membalas senyum. "Kalau Ibu tidak bisa, aku boleh telepon ayah?" Di bawah pengasuhan Aruna, Abizar diajari banyak hal. Terutama mengingat nama keluarga, alamat rumah juga nomor telepon. Anak itu pun dibekali sebuah kertas kecil yang berisikan hal yang sama. Tujuannya, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, Abizar bisa memberikan kertas itu pada orang dewasa yang ditemui. Dzaki melirik Abizar. "Kamu bisa hubungi Om saja. Nanti biar Om yang langsung meluncur."Abizar berbalik badan, m
Mengingat Abizar pulang sekitar pukul sepuluh siang dan Dzaki mengamanatkan untuk Aruna yang menjemput. Maka dari itu, Aruna tidak banyak waktu berada di dapur sebelum akhirnya Abizar pulang.Abizar tak diantar ke toko, tetapi rumah. Sebab, di sana pengasuhnya susah menunggu.Aruna sendiri hanya membuat dua adonan kue sebelum pergi menjemput Abizar. Terlebih waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh. Waktunya sekolah selesai."Bi, aku jemput Abizar dulu sebentar, ya." Aruna pamit pada Bi Mirna.Kendaraan roda empat berwarna hitam itu menjadi saksi betapa Aruna begitu terburu-buru. Aruna menyetir dengan sangat teliti, jangan sampai hanya karena waktu. Aruna melalaikan keselamatan diri. Jalanan ibu kota tidak terlalu ramai karena jam makan siang belum tiba. Aruna perlahan mengemudikan mobilnya ke arah kiri, terus saja menyetir sambil mulutnya komat-kamit mengucapkan kalimat dzikir. Hal yang selalu dilakukan ketika sedang berada di perjalanan.Mengingat waktu tempuh hanya lima menit, Aruna
"Ibu." Tangan Abizar menarik lengan Aruna. Anak itu cukup kaget, tetapi bimbang juga.Aruna sadar. Mengatur napas agar bisa lebih tenang. Menatap Abizar di bawah dan berkata, "Maaf, Sayang, Ibu sedang kurang enak badan. Kamu mengerti, kan?" Aruna berharap Abizar bisa memahami situasinya sekarang."Kamu sudah dewasa. Seharusnya bisa memahami keadaan Abizar, bukan malah Abizar yang memahamimu!" Naufal ikut campur lagi. Lelaki itu bergerak kembali dua langkah ke depan, semakin mengikis jarak dengan Aruna. "Anak kita cuma ingin makan bersama."Telinga Aruna panas. Anak kita? Rasanya sedikit lucu mendengar itu, tetapi juga bercampur dengan marah. Bagi Aruna, Abizar adalah anak semata wayangnya. Tidak peduli Abizar lahir dari rahim siapa, ia tetap menganggapnya anak."Sayang, Ibu, lelah. Kita makannya besok lagi, boleh?" Aruna bertanya pada Abizar lagi tanpa menghiraukan Naufal. Berharap kali ini anak usia empat tahun itu bisa merespon baik.Abizar mengangguk pelan dengan sorot mata yang po
Mobil Naufal baru saja sampai ruangan parkir perusahaannya. Gagal makan bersama dengan Aruna cukup memberikan rasa kecewa. Namun, pria itu mencoba untuk menerima.Sebagai seorang pemimpin, Naufal seharusnya tidak terlalu fokus pada hal pribadi ketika sedang bekerja. Akan tetapi, Naufal seolah tak memperdulikan itu.Kedua kaki Naufal melangkah masuk ke gedung nan tinggi tersebut. Berjalan begitu tenang dan naik lift khusus. Ruangannya berada di lantai paling atas. Di mana tidak ada satu pun orang yang bisa bebas hilir mudik, kecuali ada kepentingan.Naufal sampai di lantai delapan. Menemui sang sekretaris dan mengatakan jika ada seseorang yang mencarinya, katakan saja sedang ada di luar. Naufal sedang malas menemui siapa pun."Baik, Pak." Jawaban seorang sekretaris yang tak bisa berbuat apa pun."Saya ke ruangan dulu." Naufal mendorong pintu kaca dan masuk ruangan dengan cat berwarna putih.Kedatangannya sudah disambut dengan beberapa berkas yang menumpuk di meja. Melelahkan. Naufal mel
Aruna selesai mengantarkan Abizar ke rumah dan langsung kembali ke toko. Ponselnya tidak terbawa karena terlalu tergesa-gesa. "Mas Dzaki pasti mengirim pesan." Entah mengapa pikiran Aruna pun mengarah ke sana.Singkat cerita Aruna sampai di toko yang saat itu cukup ramai. Terlihat Bi Mirna begitu keteteran. Sontak saja hal pertama yang dilakukan Aruna adalah membantu melayani. Keadaan itu berlangsung sampai jam makan siang datang bersamaan dengan waktu shalat Dzuhur. Aruna menutup sebentar toko agar mereka bisa beristirahat juga sebentar."Bibi bisa istirahat dulu. Aku juga sama." Aruna tersenyum kecil pada Bi Mirna. "Baik, Neng," sahut Bi Mirna.Aruna masuk ruangan yang menjadi tempat istirahat. Mencari ponsel yang sedari tadi hilang dari tangan. "Ternyata ada di sini." Benda itu ditemukan di loker. Ketika Aruna menyalakan layar benda canggih itu, beberapa pesan serta panggilan telepon tidak terjawab dari sang suami paling dominan. Aruna kaget. Sudah pasti ada hal yang darurat jika