"Ibu." Tangan Abizar menarik lengan Aruna. Anak itu cukup kaget, tetapi bimbang juga.Aruna sadar. Mengatur napas agar bisa lebih tenang. Menatap Abizar di bawah dan berkata, "Maaf, Sayang, Ibu sedang kurang enak badan. Kamu mengerti, kan?" Aruna berharap Abizar bisa memahami situasinya sekarang."Kamu sudah dewasa. Seharusnya bisa memahami keadaan Abizar, bukan malah Abizar yang memahamimu!" Naufal ikut campur lagi. Lelaki itu bergerak kembali dua langkah ke depan, semakin mengikis jarak dengan Aruna. "Anak kita cuma ingin makan bersama."Telinga Aruna panas. Anak kita? Rasanya sedikit lucu mendengar itu, tetapi juga bercampur dengan marah. Bagi Aruna, Abizar adalah anak semata wayangnya. Tidak peduli Abizar lahir dari rahim siapa, ia tetap menganggapnya anak."Sayang, Ibu, lelah. Kita makannya besok lagi, boleh?" Aruna bertanya pada Abizar lagi tanpa menghiraukan Naufal. Berharap kali ini anak usia empat tahun itu bisa merespon baik.Abizar mengangguk pelan dengan sorot mata yang po
Mobil Naufal baru saja sampai ruangan parkir perusahaannya. Gagal makan bersama dengan Aruna cukup memberikan rasa kecewa. Namun, pria itu mencoba untuk menerima.Sebagai seorang pemimpin, Naufal seharusnya tidak terlalu fokus pada hal pribadi ketika sedang bekerja. Akan tetapi, Naufal seolah tak memperdulikan itu.Kedua kaki Naufal melangkah masuk ke gedung nan tinggi tersebut. Berjalan begitu tenang dan naik lift khusus. Ruangannya berada di lantai paling atas. Di mana tidak ada satu pun orang yang bisa bebas hilir mudik, kecuali ada kepentingan.Naufal sampai di lantai delapan. Menemui sang sekretaris dan mengatakan jika ada seseorang yang mencarinya, katakan saja sedang ada di luar. Naufal sedang malas menemui siapa pun."Baik, Pak." Jawaban seorang sekretaris yang tak bisa berbuat apa pun."Saya ke ruangan dulu." Naufal mendorong pintu kaca dan masuk ruangan dengan cat berwarna putih.Kedatangannya sudah disambut dengan beberapa berkas yang menumpuk di meja. Melelahkan. Naufal mel
Aruna selesai mengantarkan Abizar ke rumah dan langsung kembali ke toko. Ponselnya tidak terbawa karena terlalu tergesa-gesa. "Mas Dzaki pasti mengirim pesan." Entah mengapa pikiran Aruna pun mengarah ke sana.Singkat cerita Aruna sampai di toko yang saat itu cukup ramai. Terlihat Bi Mirna begitu keteteran. Sontak saja hal pertama yang dilakukan Aruna adalah membantu melayani. Keadaan itu berlangsung sampai jam makan siang datang bersamaan dengan waktu shalat Dzuhur. Aruna menutup sebentar toko agar mereka bisa beristirahat juga sebentar."Bibi bisa istirahat dulu. Aku juga sama." Aruna tersenyum kecil pada Bi Mirna. "Baik, Neng," sahut Bi Mirna.Aruna masuk ruangan yang menjadi tempat istirahat. Mencari ponsel yang sedari tadi hilang dari tangan. "Ternyata ada di sini." Benda itu ditemukan di loker. Ketika Aruna menyalakan layar benda canggih itu, beberapa pesan serta panggilan telepon tidak terjawab dari sang suami paling dominan. Aruna kaget. Sudah pasti ada hal yang darurat jika
"Mas Dzaki." Aruna turun dari mobil setelah menepikan ke sisi jalan agar tidak menghalangi pengendara yang lain. Dzaki kaget, begitu pun dengan Vanesha.Lirikan Vanesha penuh arti. Hanya saja tubuh wanita itu tidak bergerak.Beberapa saat lalu, kedua netra Aruna mendapati suaminya terlihat sedang memegang pinggang Vanesha. Jelas saja Aruna kaget, hampir tak percaya."Sayang." Dzaki baru menjawab.Aruna menatap Vanesha sekilas, lalu fokus pada Dzaki. "Mas, ada apa ini? Kenapa Mas bisa sama Mbaknya?" Emosi memang sudah berada di puncak. Akan tetapi, Aruna berusaha untuk mengontrol baik. Memasang wajah seperti biasanya pada Dzaki. Ekor mata kanan Aruna pun melirik dua mobil di depan, tentu salah satunya adalah milik Dzaki. Dan, pastinya milik wanita yang memakai tangtop berwarna merah muda dengan celana pendek di atas lutut. "Sepertinya istri Anda datang di waktu yang sedikit memanas." Vanesha tersenyum tipis. Aruna menatapnya lagi. "Kalau seperti itu, saya pamit dulu." Vanesha melengg
Malam datang menyapa. Aruna berbaring di kasur Abizar karena anak itu memintanya, sementara suster pergi ke dapur untuk mempersiapkan susu Abizar di tengah malam."Bu, apa om belum pulang?" tanya Abizar dengan polos. Piyama biru muda dengan motif salah satu robot itu pun dipakai Abizar.Aruna diam sejenak. Dari siang sampai detik ini pun, dirinya tidak berkomunikasi lagi dengan sang suami. Entah pergi ke mana lelaki itu? Namun, hati Aruna pun sedang tidak baik-baik saja. "Ibu," panggil Abizar sekali lagi.Aruna menoleh. "Maaf, Ibu, mengantuk, Sayang." Terpaksa berbohong. "Sepertinya om pulang malam. Kamu sebaiknya cepat tidur karena besok harus sekolah."Abizar tampak kecewa. Mengingat biasanya Dzakilah yang mengantarkan Abizar ke dunia mimpi. Bukan sesekali, tetapi hampir setiap malam. Aruna paham. Perlahan mencubit hidung Abizar sambil berkata, "Om pasti punya alasan kenapa belum pulang. Mungkin masih banyak pekerjaan. Kamu mengerti?" Akhirnya Abizar mengangguk pelan. Aruna lega.
Sesuai izin Dzaki, Aruna memilih menenangkan diri ke rumah Cantika. Tentunya membawa serta merta Abizar yang tidak mungkin ditinggal. Mereka berpisah bukan karena tidak saling cinta, melainkan agar hati keduanya merasa tenang dan merenungkan kesalahan masing-masing.Aruna, Cantika, dan Abizar tidur bertiga. Sudah dua hari Aruna ada di sana. Tokonya pun sengaja ditutup selama tiga hari untuk bisa leluasa menikmati waktu."Na, kamu yakin mau jalan-jalan berdua saja sama Abizar hari ini?" Pagi itu Cantika sedang membuat nasi goreng untuk sarapan di dapur, sedangkan Aruna sendiri memakaikan Abizar baju. "Aku tidak bisa menemani, harus masuk shift pagi."Jam dinding di rumah itu baru saja menunjukkan pukul setengah enam pagi. "Iya, Can. Aku juga mau menikmati hari saja sama Abizar. Pergi ke tempat-tempat yang jarang aku temui," jawab Aruna.Abizar selesai memakai pakaiannya dan berlarian tak tentu arah. Hari ini pun Abizar masih libur sekolah karena para guru harus rapat. Pas sekali waktu
"Apa yang Ibu lakukan ke Aruna?" Naufal secepat mungkin menghampiri ibu dan adik iparnya tersebut. Kedatangannya memang atas perintah sang ibu yang meminta ditemani untuk berbelanja. Padahal masih ada sang ayah, tetapi ibunya lebih nyaman ditemani oleh anak-anak.Bu Nani menurunkan tangan kanan lagi. "Lihatlah mantan istrimu ini, Nak. Berani membentak ibu mertuanya sendiri. Menantu macam apa dia?""Maaf, Bu, saya berbicara sesuai apa yang seharusnya." Aruna tidak terima posisinya disalahkan begitu saja."Seharusnya bagaimana. Mereka itu anak-anak saya, jadi saya berhak atas mereka. Termasuk suamimu itu!" Bu Nani tetap pada pendiriannya. Anak lelaki akan selalu menjadi milik ibunya sampai kapan pun. Pemikiran yang pastinya menggiring opini jika semua yang terjadi pada anak lelaki dan keluarganya, berhak untuk dicampuri. "Lagian saya sudah melarang Dzaki menikahimu, tapi dia seperti kerasukan setan. Tidak mendengar sama sekali!""Ibu!" Naufal berdiri di samping kanan ibunya. "Sudahlah,
"Kenapa Ibu menyuruhku ke sini?" tanya Dzaki ketika ibunya baru saja datang dengan beberapa barang belanjaan. Bu Nani menarik kursi di depan dan duduk. "Ibu ingin menghabiskan waktu dengan Naufal, tapi dia justru bermain dengan Abizar."Dzaki tersentak. "Abizar?" Mengulang nama keponakannya. Bu Nani mengangguk pelan. "Ya, Abizar." Bu Nani mengeluarkan tas dari kantong belanjaan. "Oh, ya, sama istrimu juga."Dzaki lebih tersentak. "Aruna juga?" "Memangnya Abizar bisa datang sendiri?" Bu Nani terlihat kesal, tetapi bisa sedikit terobati karena melihat tas unlimited yang baru saja didapatkan. "Sekarang Ibu lapar. Ayahmu itu susah sekali diajak makan bersama, alasannya sibuk bekerja." Terlihat sekali Bu Nani begitu kecewa.Dzaki diam dengan perasaan bercampur aduk. Sudah hampir dua hari putus komunikasi dengan sang istri. Alasannya agar Aruna bisa lebih tenang, tetapi hatinya justru panas ketika mendengar kabar itu dari sang ibu.Bu Nani mengamati wajah Dzaki. Ada yang aneh dengan anak
"Cepat! Bus harus segera berangkat," jawab si sopir.Aruna segera berbalik badan dan mengambil tempat duduk, sedangkan pria itu juga ikut naik. Entah mengapa perasaan Aruna sedikit tak karuan melihat sosok lelaki yang terakhir naik, seperti sebuah gerbang sedang terbuka untuk menuju satu jalan. "Astagfirullah, aku harus fokus ke diri sendiri." Aruna meluruskan pandangan ke depan dan memantapkan hati untuk tidak terlalu mengikuti hati.***Waktu berjalan begitu cepat dan tak terasa Dzaki sudah ada di depan sebuah ruangan operasi menunggu sang istri melahirkan.Ya, Aruna harus melakukan operasi sesar karena ketuban lebih cepat dahulu pecah dan si bayi belum ada tanda-tanda siap keluar karena baru berusia tiga puluh tujuh minggu. Sebuah keputusan terbaik diambil untuk keselamatan keduanya.Bu Nani dan Pak Arya pun berada di sana, menenangkan Dzaki dengan terus mengingatkan anak bungsunya untuk pasrah pada Yang Maha Kuasa."Istigfar, Nak. Insya Allah, Istri dan anakmu baik-baik saja," ka
Amira pergi ke toko kue dengan diantar sopir. Ia menyuruh lelaki paruh baya yang sudah lama bekerja di rumahnya tersebut untuk pulang lebih dahulu. Sebab, Aruna berniat seharian berada di sini.Bi Mirna senang bisa melihat Aruna lagi. "Alhamdulillah, Neng sudah membaik," katanya dengan penuh rasa bahagia. Aruna sendiri merasa disambut oleh seorang Ibu. Hangat dan penuh rasa cinta."Maaf, ya, Bi, aku sudah lama tidak datang," imbuh Aruna.Bi Mirna mengelus perut Aruna pelan. "Tidak apa-apa, Neng. Jangan khawatirkan soal toko karena Bibi akan selalu berusaha menjaganya.""Terima kasih, Bi." Aruna memperhatikan sekitar. Semuanya masih sama seperti empat bulan yang lalu. Namun, sekarang ditambah dengan dua karyawan baru yang membantu. Menurut penuturan Bi Mirna, penjualan meningkat drastis di empat bulan terakhir. Aruna yang menerima laporan itu pun cukup senang. Selama ini Bi Mirna hanya melaporkan hasil keuangan ke kantor Dzaki karena tidak berani datang ke rumah Aruna."Bi, aku rindu s
"Makanlah." Dzaki tampak lelah karena berkeliling mencari ramen di tengah malam. Namun, perasaan itu seketika hilang dengan melihat istrinya tersenyum bahagia.Aruna duduk di kursi makan yang berhadapan dengan Dzaki. Menelan ludah ketika melihat kentalnya kuah ramen yang bercampur dengan rasa pedas. "Masya Allah, pasti enak." Mengangkat kepala dan menatap Dzaki. "Terima kasih, Mas."Dzaki ikut tersenyum sambil mengulurkan tangan ke depan dan mengelus pucuk kepala istrinya. "Jangan ragu untuk katakan apa pun keinginanmu selama aku bisa. Ingat, kamu adalah istriku."Aruna mengangguk pelan. Benar-benar definisi diratukan oleh satu raja itu luar biasa bahagianya. "Tapi aku merasa bersalah karena Mas harus keliling untuk dapatkan ini."Tangan Dzaki masih berada di pucuk kepala Aruna. "Apa kamu tidak menganggapku suami?" Kedua pupil mata sontak membesar, lalu diikuti dengan gelengan kepala. "Kalau memang masih menganggap, biarkan aku membahagiakanmu dengan banyak cara. Kamu ratu di sini."H
"Sakitnya seorang Ibu itu nikmat, Sayang. Karena rasa bahagia ada adik bayi lebih besar dibandingkan rasa sakit," jawab Amira. Ia belum sanggup mengungkapkan identitas Abizar. Mungkin menunggu anak itu beranjak remaja saja.Pak Arya dan Bu Nani tidak berkat apa pun. Semua keputusan ada pada diri menantunya. Biarkan saja dahulu, Abizar pun belum tentu bisa memahami.Aruna berada di rumah sakit sekitar tiga hari. Setelah itu, ia kembali ke rumahnya sendiri dengan dibantu oleh asisten rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Aruna pun belum pergi ke toko. Mempercayakan semuanya pada Bi Marni.***Hari-hari berlalu dan akhirnya kehamilan Aruna menginjak usia enam belas Minggu. Rasa mual dan muntah berangsur membaik dan hanya dirasakan sesekali saja. Begitu pun dengan sakit kepala. Perut Aruna memang belum terlihat buncit karena usia kandungan masih kecil.Setiap harinya selalu ada saja yang diinginkan Aruna. Entah itu makanan ataupun sekadar ingin pergi ke suatu tempat. Selama itu
Aruna menjaga sekali kehamilannya. Tidak peduli rasa mual dan muntah itu semakin menyerang diri, ia terus berusaha untuk melakukan yang terbaik. Seminggu setelah vonis hamil dinyatakan, Aruna sama sekali tidak bisa bangun. Ia bahkan dilarikan ke rumah sakit karena terus menerus muntah yang mengharuskannya mendapatkan perawatan medis. Dzaki setia di samping. Bahkan saat Aruna merasakan mual di pagi hari, lelaki itu sigap untuk membawa sang istri ke kamar mandi."Aku ambilkan minum hangat, ya." Dzaki mendudukan Aruna di kasur. Mereka baru saja keluar dari kamar mandi hampir delapan kali. Wajah Aruna mulai terlihat pucat. Makanan dan minuman yang masuk akan kembali lagi. Lemas rasanya. "Iya, Mas." Aruna pasrah. Sakit ini akan berlalu dan digantikan kebahagiaan bertemu sang buah hati tercinta. Menginjak enam minggu memang masa-masa kritis, sekali pun ada ibu hamil yang memang baru merasakan mual di usia delapan minggu. Namun, ada sebagian lagi juga yang tidak merasakan morning sicknes
"Selamat, Pak. Anda akan segera menjadi ayah." Dokter lelaki menyalami Dzaki. Pemeriksaan dilakukan sekitar dua puluh menit dan hasilnya Aruna positif hamil sekitar empat minggu. "Mungkin setelah ini gejala sakit kepala, mual dan muntahnya bisa saja bertambah parah. Tapi Ibu dan Bapak tidak perlu cemas karena itu hal biasa. Selalu pastikan Ibu mencukupi gizi si janin dan terus minum vitamin yang akan saya resepkan."Dzaki masih belum bergerak sama sekali, sedangkan Aruna terharu dengan mengucap kata syukur."Pak Dzaki baik-baik saja?" Dokter lelaki itu kembali bertanya.Dzaki sadar, kemudian berkata, "Apa benar Dok, kalau istri saya hamil?" Bertanya lagi untuk memastikan."Semuanya akurat dan ini hasilnya." Dokter memberikan isyarat mata pada suster untuk menyimpan hasil tespek di meja. "Garis yang satu memang masih samar, tapi ini sudah bisa membuktikan jika istri Anda hamil. Saya minta kerjasamanya untuk menjaga kandungan Ibu sampai waktu melahirkan nanti."Dzaki masih memegang tang
"Aruna di mana, Bu?" Dzaki langsung ke dapur setelah selesai salat dan mengobrol dengan beberapa tetangga.Bu Nani seketika menoleh. "Katanya tadi perutnya sakit, jadi istrimu masuk kamar. Coba lihat dulu, Nak."Dzaki mengerti. "Baik, Bu." Dengan cepat ke luar dari dapur dan berjalan menapaki anak tangga satu per-satu menuju lantai dua. Suasana hening. Dzaki sempat tersentak ketika melihat kamar almarhum kakaknya, tetapi tidak begitu hanyut. Bergegas masuk kamar sendiri sambil berkata, "Assalamualaikum." Pandangan mata lelaki itu langsung tertuju pada sosok Aruna yang sedang terbaring. "Sayang, kamu baik-baik saja?"Aruna tidak menjawab. Secepat mungkin Dzaki semakin masuk ke kamar. Memeriksa keadaan sang istri. "Sayang, kamu kenapa?" Duduk di tepi ranjang bagian kanan. Barulah Aruna membuka mata. "Kata Ibu, kamu sakit perut. Kita ke dokter saja, ya?" Aruna tersenyum paksa. "Tidak perlu, Mas. Perutku kram, mungkin mau datang bulan."Dzaki diam. Tangan kanannya memegang perut Aruna.
Kepergian Naufal tentu menoreh luka hati untuk semua keluarga. Dzaki dan Aruna pun semakin sering mengunjungi rumah Bu Nani dan Pak Arya untuk sekadar menghibur mereka. Hubungan Aruna dengan keluarga suaminya pun semakin membaik. Bahkan Bu Nani sekarang menganggap Aruna seperti anak perempuan sendiri.Dzaki pun tetap meneruskan penuntutan pada Vanesha dan penulis yang bersangkutan, tetapi tidak melihatnya almarhum kakaknya. Bukan karena tidak bersalah, tetapi Naufal sudah tidak seharusnya dihukum ketika wujudnya saja sudah tidak ada di muka bumi.Aruna setia mendampingi Dzaki selama proses hukum. Vanesha sempat mengelak dan menyudutkan Naufal. Namun, penulis itu justru memberikan bukti rekaman suara di mana Vanesha mengaku jika semua rencana disusun tanpa sepengetahuan Naufal. Proses hukum masih berjalan. Sudah tiga kali Dzaki dipanggil ke kantor polisi dan persidangan pun berlangsung baru dua kali. Mereka akan segera mendapatkan hasil setelah satu kali sidang lagi. Dzaki tenang. Sem
Setelah mendapatkan kabar buruk tersebut, Dzaki sama sekali belum bisa menerima. Tiga hari setelahnya, Dzaki pun dipersilakan pulang oleh dokter. Hanya diwajibkan check up rutin per-dua minggu sekali.Sesuai keinginan Dzaki, setelah keluar dari rumah sakit lelaki itu langsung mengunjungi makam kakaknya dengan ditemani Aruna. Pakaian serba hitam serta kacamata hitam pun menjadi lambang kesedihan pada kedua orang tersebut.Aruna menemani dengan setia. Memayungi Dzaki sejak turun dari mobil sampai berada di depan makam Naufal. Mereka langsung berjongkok. Tak lupa Aruna melipat payung agar tidak memakan tempat.Dzaki menghela napas lelah. Bukan karena harus berjalan untuk sampai sini, melainkan sulit mengontrol diri sedari kemarin. Setelah dirasa sanggup, ia pun mulai berbicara. "Assalamualaikum, Kak. Maaf, baru bisa datang." Aruna melirik Dzaki. Kemudian, mereka membaca doa bersama. Semuanya sudah dilewati, Dzaki pun kembali terdiam. Jelas Aruna juga sama. Suasana pemakaman hening dan s