"Apa yang Ibu lakukan ke Aruna?" Naufal secepat mungkin menghampiri ibu dan adik iparnya tersebut. Kedatangannya memang atas perintah sang ibu yang meminta ditemani untuk berbelanja. Padahal masih ada sang ayah, tetapi ibunya lebih nyaman ditemani oleh anak-anak.Bu Nani menurunkan tangan kanan lagi. "Lihatlah mantan istrimu ini, Nak. Berani membentak ibu mertuanya sendiri. Menantu macam apa dia?""Maaf, Bu, saya berbicara sesuai apa yang seharusnya." Aruna tidak terima posisinya disalahkan begitu saja."Seharusnya bagaimana. Mereka itu anak-anak saya, jadi saya berhak atas mereka. Termasuk suamimu itu!" Bu Nani tetap pada pendiriannya. Anak lelaki akan selalu menjadi milik ibunya sampai kapan pun. Pemikiran yang pastinya menggiring opini jika semua yang terjadi pada anak lelaki dan keluarganya, berhak untuk dicampuri. "Lagian saya sudah melarang Dzaki menikahimu, tapi dia seperti kerasukan setan. Tidak mendengar sama sekali!""Ibu!" Naufal berdiri di samping kanan ibunya. "Sudahlah,
"Kenapa Ibu menyuruhku ke sini?" tanya Dzaki ketika ibunya baru saja datang dengan beberapa barang belanjaan. Bu Nani menarik kursi di depan dan duduk. "Ibu ingin menghabiskan waktu dengan Naufal, tapi dia justru bermain dengan Abizar."Dzaki tersentak. "Abizar?" Mengulang nama keponakannya. Bu Nani mengangguk pelan. "Ya, Abizar." Bu Nani mengeluarkan tas dari kantong belanjaan. "Oh, ya, sama istrimu juga."Dzaki lebih tersentak. "Aruna juga?" "Memangnya Abizar bisa datang sendiri?" Bu Nani terlihat kesal, tetapi bisa sedikit terobati karena melihat tas unlimited yang baru saja didapatkan. "Sekarang Ibu lapar. Ayahmu itu susah sekali diajak makan bersama, alasannya sibuk bekerja." Terlihat sekali Bu Nani begitu kecewa.Dzaki diam dengan perasaan bercampur aduk. Sudah hampir dua hari putus komunikasi dengan sang istri. Alasannya agar Aruna bisa lebih tenang, tetapi hatinya justru panas ketika mendengar kabar itu dari sang ibu.Bu Nani mengamati wajah Dzaki. Ada yang aneh dengan anak
Dzaki mengantarkan sang ibu sampai rumah. Tempat yang sudah hampir dua minggu tidak didatangi."Aku langsung pulang saja, Bu. Masih ada pekerjaan lain," kata Dzaki.Bu Nani hanya sendiri di sini. Ada pembantu, tetapi kurang senang untuk diajak berbicara. "Kamu sudah lama tidak tidur di sini. Sesekali menginap saja." Berharap anak bungsunya mau mendengarkan.Dzaki menolak. "Maaf, Bu, sekarang sepertinya belum bisa. Kapan-kapan lagi saja." Keadaan hati Dzaki sedang tidak baik, tentu kurang tepat dirinya berada di sini. "Aku pamit dulu, ya. Assalamualaikum." Meraih tangan sang Ibu dan menciumnya. Bagaimanapun sifat sang ibu, Dzaki tetap memiliki rasa hormat."Wa'alaikum salam," jawab Bu Nani.Dzaki pamit dan keluar rumah. Begitu akan masuk mobil, ia menemukan mobil kakaknya datang dari arah gerbang. Dzaki berdiam diri, sengaja. Menunggu sang kakak keluar untuk menanyakan tentang Abizar.Mobil Naufal berhenti dan lelaki itu langsung keluar. "Anak bungsu ibu ternyata masih ingat jalan pula
Rupanya yang datang adalah Vanesha. Entah atas dasar tujuan apa perempuan itu datang. Yang pasti, kali ini Dzaki menyambutnya dengan biasa saja. Dzaki duduk di kursi kebangsaan, membenarkan jas hitam, lalu berkata, "Saya rasa, tidak ada alasan untuk kita bertemu lagi. Saya sudah mempertanggungjawabkan kesalahan saya waktu itu. Lalu ada apa lagi?"Saat ini, Vanesha memakai dress merah merona di bawah lutut dengan aksen sedikit renda di dada. Tentu dengan tangan pendek dan kerah berbentuk V. Kemudian, perempuan itu juga sengaja menggerai rambut hitam nan panjangnya sehingga terlihat sangat manis dan menggoda."Anda benar." Vanesha mengakui itu. Dengan tatapan penuh harapan, Vanesha menatap Dzaki. "Saya datang ke sini karena merasa merindukan Anda."Dzaki terdiam."Ini gila bukan?" Vanesha mengangkat kaki kanan dan membiarkannya menumpang di kaki kiri. Mengibaskan rambut bagian kanan agar leher jenjang itu bisa terlihat jelas. "Saya sepertinya tertarik dengan Anda.""Seharusnya Anda tau
"Saya ada keperluan penting," jawab Vanesha.Aruna terus saja menatap Vanesha, terutama warna merah di leher perempuan itu. Ingin rasanya tidak berpikiran negatif, tetapi sulit."Kepentingan seperti apa itu?" Sebagai seorang istri, Aruna berhak tahu. "Apa urusan kalian belum selesai?"Vanesha menyunggingkan senyum kecil. "Sesuatu yang bisa dipahami oleh kami berdua saja."Sontak kedua bola mata Aruna membesar. Vanesha berjalan tiga langkah ke depan. Menyejajarkan posisinya dengan Aruna. "Kepentingan yang menarik dan pastinya penuh hal-hal indah." Ekor mata wanita itu melirik sinis, lalu pergi begitu saja ke arah mobilnya.Aruna bergeming. Menahan diri untuk tidak marah ataupun terpancing dengan kalimat Vanesha. Diam sejenak, memikirkan lagi kedatangannya ke sini. Sedikit ragu. "Pikiranku tidak bisa diajak kompromi. Berbicara sekarang pun, pastinya tidak baik. Aku pulang saja." Pada akhirnya Aruna memutuskan pulang. Mengurungkan niatnya kembali. Kepergian perempuan itu dengan kendara
Aruna diam di kamar mendengarkan suara gelak tawa Abizar yang kini sedang bermain dengan Naufal. Entah mendapatkan informasi dari mana lelaki itu tentang keberadaannya."Bagaimana kalau kita bermain lagi hari Minggu nanti?" Terdengar jelas Naufal mengajak Abizar bermain.Aruna bergegas keluar setelah menyimpan ponsel. Leher merah Vanesha masih teringat jelas. Perempuan itu seolah sengaja memamerkannya.Aruna keluar, melirik Cantika yang seperti sebal dengan kedatangan Naufal."Abizar, bukannya kamu sudah punya janji dengan Tante?" Cantika yang duduk di sopa kecil itu pun ikut andil dalam percakapan ayah dan anak. Bahkan, Cantika memasang wajah sedih. "Kita mau main bersama, bertiga saja dengan ibumu."Naufal melirik sinis Cantika, sedangkan Abizar sendiri diam. Anak lelaki itu bingung. Aruna datang, duduk di sopa dekat Cantika."Sayang, Tante Cantika benar. Kalau sudah janji, harus ditepati." Aruna memihak pada Cantika. Jelas saja tidak ingin bermain lagi dengan Naufal, bisa sesak nap
Mobil Dzaki sampai di depan rumah sewa Cantika, menyaksikan Naufal sedang memegang lengan Aruna. Tangan kanan Dzaki mengepal bersamaan dengan perasaan marah. Apakah ini alasan Aruna mengatakan mundur?Dzaki langsung keluar dari mobil dan menghampiri keduanya. Melihat Aruna menghempaskan tangan kakaknya sendiri, lalu mendengar kalimat istrinya tersebut."Apa yang sedang kalian lakukan?" Dzaki baru saja sampai di dekat mereka dan langsung bertanya.Aruna kaget. Sontak berbalik badan lagi, kemudian kedua matanya membesar. "Apa ini alasanmu untuk mundur?" Dzaki bertanya pada Aruna.Naufal kaget juga, tetapi tidak terlalu terlihat."Kamu bilang akan mundur dariku, tapi nyatanya kamu diam-diam bertemu dengan kakakku!" Dzaki berada di puncak kemarahan tanpa bertanya apa yang sebenarnya terjadi.Keadaan mereka yang memang belum sama-sama tenang dan membaik, serta ditambah dengan keterlibatan orang luar yang seolah ikut andil dalam kekacauan ini membuat Aruna ataupun Dzaki sulit mengontrol di
"Kenapa kamu malah melerai?" Dzaki membaringkan badan Aruna di kasur setelah meninggalkan Naufal sendiri di luar.Cantika tahu, tetapi memilih diam. Drama rumah tangga ini bukan areanya. Itu area kekuasaan Aruna dan Dzaki."Kak Naufal bisa mati, Mas." Aruna tak berbohong.Dzaki duduk di tepi ranjang bagian kanan. Menatap lekat sang istri. "Kamu lebih mengkhawatirkannya dibandingkan perasaanku?" Aruna menggelengkan kepala cepat. "Bukan itu maksudku." Aruna diam. Bimbang harus berkata seperti apa. Dzaki menghela napas kasar. Badannya lelah. "Apa punggungmu masih terasa sakit? Biar aku panggilkan dokter." Dzaki hendak beranjak dari tempat tidur. Akan tetapi, tangan Aruna meraih lengan kiri lelaki itu. "Tidak perlu, Mas," katanya agar Dzaki tidak melanjutkan niat. "Aku cukup berbaring saja," sambungnya pelan.Dzaki semakin menatap lekat dua bola mata perempuan yang sudah lama tidak ditemuinya. Ah, padahal baru beberapa hari. Namun, rasanya sudah hampir satu abad. "Sebaiknya kamu istirah