"Kenapa kamu malah melerai?" Dzaki membaringkan badan Aruna di kasur setelah meninggalkan Naufal sendiri di luar.Cantika tahu, tetapi memilih diam. Drama rumah tangga ini bukan areanya. Itu area kekuasaan Aruna dan Dzaki."Kak Naufal bisa mati, Mas." Aruna tak berbohong.Dzaki duduk di tepi ranjang bagian kanan. Menatap lekat sang istri. "Kamu lebih mengkhawatirkannya dibandingkan perasaanku?" Aruna menggelengkan kepala cepat. "Bukan itu maksudku." Aruna diam. Bimbang harus berkata seperti apa. Dzaki menghela napas kasar. Badannya lelah. "Apa punggungmu masih terasa sakit? Biar aku panggilkan dokter." Dzaki hendak beranjak dari tempat tidur. Akan tetapi, tangan Aruna meraih lengan kiri lelaki itu. "Tidak perlu, Mas," katanya agar Dzaki tidak melanjutkan niat. "Aku cukup berbaring saja," sambungnya pelan.Dzaki semakin menatap lekat dua bola mata perempuan yang sudah lama tidak ditemuinya. Ah, padahal baru beberapa hari. Namun, rasanya sudah hampir satu abad. "Sebaiknya kamu istirah
Aruna kembali ke rumah esok harinya bersama Dzaki serta Abizar. Mereka saling meminta maaf dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi."Anggap apa yang terjadi kemarin itu adalah pelajaran paling berharga." Salah satu pesan Dzaki terhadap istrinya.Seperti pagi biasanya, Aruna mengantarkan Abizar ke sekolah, lalu berniat memulai membuka toko lagi. Kali ini Dzaki juga ikut kegiatan keponakan dan istrinya."Om, aku boleh main sama ayah tidak?" Tiba-tiba Abizar bertanya.Aruna diam, takut sekali Dzaki marah.Dzaki yang kala itu sibuk menyetir pun, menyempatkan diri melirik ke samping kiri. Melempar senyum pada Abizar, kemudian fokus lagi menyetir. "Memangnya main sama ayah itu menyenangkan, ya?" Bukannya marah, justru Dzaki bersikap tenang.Abizar yang berada di jok depan itu pun seketika antusias. "Iya, Om. Sekarang ayah sering mengelus rambut Abizar." Mata anak lelaki tersebut berbinar, penuh bahagia. Namun, bagi Aruna itu terdengar sedikit menyakitkan. Kalimat itu seolah memberikan s
Aruna sudah berada di toko. Menemani Bi Mirna yang sedang membuat cupcakes. Toko belum dikatakan buka karena memang masih pagi.Bi Mirna memperhatikan Aruna yang sejak tadi terus senyum sendiri. "Harinya cerah, ya, Neng?" Bukannya bertanya alasan sang majikan tersenyum, Bi Mirna lebih senang bertanya hal lain. Aruna yang kala itu sedang menghias cupcakes pun langsung menoleh ke arah Bi Mirna. "Benar, Bi. Hari ini mentari juga memancarkan sinarnya ke penjuru kota. Panas, tapi cerah juga." Aruna kembali mengukir senyum. Bi Mirna mulai menebak-nebak sendiri. Suasana hati majikannya lebih baik setelah beberapa hari menutup toko. Mungkin jeda sebentar dari kesibukan toko adalah keputusan terbaik. "Seperti halnya Neng sekarang. Cerah sekali." Dua sudut bibir Bi Mirna terangkat ke atas membentuk senyuman kecil.Aruna terdiam. Ketahuan. "Apa terlihat jelas, ya?" Wanita itu kembali fokus ke cupcakes."Bahasa tubuh Neng juga cukup baik. Apa terjadi sesuatu selama libur, Neng?" tanya Bi Mirna
Di tempat lain, Dzaki berada di ruangan bercat putih. Memegang ponsel sambil sesekali melirik laptop. Ada satu naskah yang akan didiskusikan bersama editor hari ini. Namun, pikiran Dzaki masih berfokus pada sosok Aruna. Wajah istrinya yang keheranan menambah rasa besar cinta Dzaki pada Aruna."Dia semakin imut," kata Dzaki pelan.Semakin dipikirkan, Dzaki semakin sulit melupakan wajah Aruna pagi ini. Oleh sebab itu, Dzaki berusaha memfokuskan pikiran pada barisan kalimat yang ada di laptop.Waktu meeting tiba. Dzaki membawa laptopnya ke ruangan meeting. Mendapati seorang editor lelaki yang baru saja berusia dua puluh tiga tahun itu sudah ada di salah satu kursi meeting."Selamat pagi." Dzaki menyapa. Menarik salah satu kursi di depan editor muda itu dan duduk. Menyimpan laptop di meja. "Yang lain ke mana, Fik?" Kali ini Dzaki bersikap tidak terlalu formal.Fiki, lelaki yang sudah bergelut dengan dunia literasi sejak empat tahun terakhir itu pun menatap Dzaki. "Pagi, Pak. Sepertinya me
Naufal mengambil gelas berisi jus jeruk di meja. Menyedot dua kali sambil melirik pintu masuk cafe. Belum ada tanda-tanda juga. Lama sekali. Padahal bukan dirinya yang meminta bertemu. "Berani sekali dia menyuruhku menunggu!" Naufal berdecak kesal.Gelas itu kembali ke tempat. Kali ini Naufal merogoh saku jas, mengambil ponsel. Jari jemarinya langsung mengetik pesan. Pesan itu belum berhasil dikirim ketika suara derap langkah kaki mendekati Naufal. "Hai, selamat siang." Suara yang ditunggu Naufal terdengar. Sontak Naufal mengangkat kepala. Menatap lekat. "Mobilku mogok. Jadi suka tidak suka, harus menunggu taxi." Orang itu menarik kursi di depan Naufal, duduk dengan anggun sambil mengibaskan rambut bagian kanan. "Kamu sudah memesan?" Naufal menatap lekat lawan bicaranya. Kemudian, menyimpan ponsel di saku lagi. "Kamu menyuruhku menunggu selama ini?" Nada bicara Naufal meningkat karena kesal.Orang itu tersenyum manis bersamaan dengan menaikkan kaki kanan ke satunya. Terlihat paha
Aruna datang ke kantor Dzaki untuk memberikan kue kesukaan sang suami. Wanita itu membawa beberapa cupcakes dengan empat rasa dengan kotak kue berwarna hitam yang dibungkus ke dalam plastik putih.Belum sampai kantor, Aruna mendapati punggung mertuanya. Sejak pertemuan di mall waktu itu, Aruna memang belum bertemu lagi. Bahkan ia sudah lama juga tidak datang ke rumah mertuanya tersebut.Sempat ragu meneruskan langkah. Pada akhirnya Aruna tetap melanjutkan. Tak apa-apa. Ia juga berhak menemui Dzaki sebagai istri. "Untung aku bawa lumayan banyak." Melirik sekilas ke barang bawaan.Aruna berjalan mendekati pintu masuk dan menyapa satpam. Kedua kaki perempuan berhijab coklat itu pun semakin yakin ketika menghampiri lift. Beberapa karyawan menyapa Aruna. Dengan senang hati, Aruna pun membalas. Lift itu membawa Aruna serta dua karyawan perempuan ke atas. Aruna menuju lantai paling atas, sedangkan kedua karyawan berhenti di lantai tiga.Aruna keluar lift. Diam sejenak sambil meyakinkan diri
Bu Nani keluar dari ruangan Dzaki dengan wajah penuh amarah. Bahkan saat sekretaris perempuan itu menyapa, ia sama sekali tidak menggubris. "Menantu tidak tau diri memang seperti itu!" Bu Nani terus berjalan ke arah lift. Kekesalannya terhadap Aruna bertambah banyak, baik itu dulu maupun sekarang. Kehadiran Aruna sudah dicap tidak baik sejak awal datang ke keluarganya, apalagi wanita itu berani mengambil kedua hati anaknya.Lift membawa Bu Nani ke lantai dasar. Wajah kemarahan itu menjadi tanda tanya besar bagi karyawan yang melihat. Tak jarang para karyawan saling berbisik satu sama lain. Bergosip, sepertinya.Bu Nani keluar gedung. Mobilnya berada di parkiran. Supir pun sudah menunggu di sana. Bu Nani masuk mobil "Cepat pulang!" Mengejutkan supir yang sedang asyik bermain media sosial."Baik, Bu." Supir itu pun mengerti. Langsung menyimpan ponsel di saku dan siap berkendara.Sabuk pengaman sudah dipakai Bu Nani. "Saya mau mampir dulu ke toko kue.""Toko kue Neng Aruna, Bu?" tanya
Sesuai kesepakatan kemarin, Dzaki akhirnya mengantarkan Aruna ke dokter kandungan untuk program hamil. Memang Aruna tidak mandul, tetapi program ini hanya sebagai ikhtiar saja."Sayang, kamu tunggu di sini dulu ya. Ada telepon masuk." Dzaki memperlihatkan panggilan telepon dari sekretarisnya saat mereka sedang duduk di ruangan tunggu.Aruna menoleh. "Iya, Mas." Wanita itu paham. Membiarkan Dzaki menjauh darinya.Dari sekian ibu hamil yang ada, hanya Aruna yang sama sekali belum hamil. Aruna mengamati yang lain. Mereka sedang mengelus perut. "Pasti menyenangkan kalau punya anak." Pikiran Aruna sudah mengarah pada bahagia.Satu, dua, sampai lima menit ke depan, Dzaki belum juga datang. Mungkin lelaki itu sedang membicarakan hal darurat. Awalnya Aruna menolak untuk diantar. Mengingat sang suami adalah pemimpin perusahaan yang harus selalu ada ketika jam kerja. Akhirnya Dzaki kembali. Duduk di samping Aruna lagi. "Maaf, Sayang, tadi ada hal penting." Lelaki itu menyimpan ponsel di saku j