Bu Nani keluar dari ruangan Dzaki dengan wajah penuh amarah. Bahkan saat sekretaris perempuan itu menyapa, ia sama sekali tidak menggubris. "Menantu tidak tau diri memang seperti itu!" Bu Nani terus berjalan ke arah lift. Kekesalannya terhadap Aruna bertambah banyak, baik itu dulu maupun sekarang. Kehadiran Aruna sudah dicap tidak baik sejak awal datang ke keluarganya, apalagi wanita itu berani mengambil kedua hati anaknya.Lift membawa Bu Nani ke lantai dasar. Wajah kemarahan itu menjadi tanda tanya besar bagi karyawan yang melihat. Tak jarang para karyawan saling berbisik satu sama lain. Bergosip, sepertinya.Bu Nani keluar gedung. Mobilnya berada di parkiran. Supir pun sudah menunggu di sana. Bu Nani masuk mobil "Cepat pulang!" Mengejutkan supir yang sedang asyik bermain media sosial."Baik, Bu." Supir itu pun mengerti. Langsung menyimpan ponsel di saku dan siap berkendara.Sabuk pengaman sudah dipakai Bu Nani. "Saya mau mampir dulu ke toko kue.""Toko kue Neng Aruna, Bu?" tanya
Sesuai kesepakatan kemarin, Dzaki akhirnya mengantarkan Aruna ke dokter kandungan untuk program hamil. Memang Aruna tidak mandul, tetapi program ini hanya sebagai ikhtiar saja."Sayang, kamu tunggu di sini dulu ya. Ada telepon masuk." Dzaki memperlihatkan panggilan telepon dari sekretarisnya saat mereka sedang duduk di ruangan tunggu.Aruna menoleh. "Iya, Mas." Wanita itu paham. Membiarkan Dzaki menjauh darinya.Dari sekian ibu hamil yang ada, hanya Aruna yang sama sekali belum hamil. Aruna mengamati yang lain. Mereka sedang mengelus perut. "Pasti menyenangkan kalau punya anak." Pikiran Aruna sudah mengarah pada bahagia.Satu, dua, sampai lima menit ke depan, Dzaki belum juga datang. Mungkin lelaki itu sedang membicarakan hal darurat. Awalnya Aruna menolak untuk diantar. Mengingat sang suami adalah pemimpin perusahaan yang harus selalu ada ketika jam kerja. Akhirnya Dzaki kembali. Duduk di samping Aruna lagi. "Maaf, Sayang, tadi ada hal penting." Lelaki itu menyimpan ponsel di saku j
"Semua akan baik-baik saja." Dzaki menenangkan istrinya. Bagaimanapun ia punya kendali penuh atas ketenangan di rumah tangga.Dzaki mendekap balik Aruna. "Kita sudah melewati banyak hal sebelum ini. Jangan takut, ada Allah."Aruna diam. Mereka saling berpelukan sekitar lima menit, kemudian melepaskan satu sama lain. "Kita lupakan apa pun masalah, ya. Kamu harus happy." Dzaki mengangkat dagu Aruna. "Senyum terus biar tambah cantik."Aruna cemberut. "Memangnya aku tidak cantik, Mas?" "Masya Allah, cantik. Tapi, kalau senyum, pasti tambah cantik. Naik dua ratus persen." Dzaki tertawa kecil.Tangan Aruna mencubit pinggang suaminya."Aw, sakit. Kamu nakal." Dzaki protes dengan nada rendah. Mereka tertawa bersama tanpa memperdulikan pandangan orang lain.Keduanya pun bergegas ke mobil. Tujuan pertama Dzaki adalah toko kue Aruna, lalu ke rumah penulis tersebut. Sesuai data yang masuk, rumah penulis itu berada di bagian kanan kota. Dzaki harus sedikit menyetir lebih jauh, tak masalah.Mobil
"Silakan duduk." Revan mempersilakan Dzaki duduk. "Terima kasih, Pak." Dzaki menyambut baik, duduk di sopa panjang dengan tenang.Revan, lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun itu pun sudah menggeluti dunia model sejak lama. Lalu, beranjak ke dunia literasi karena tertarik menekuni hobinya ketika masa remaja. "Saya cukup kaget mendengar Anda datang ke sini. Suatu kebanggaan tersendiri." Revan duduk di sopa kecil dan membiarkan kaki kanannya bertumpu di kaki kiri.Dzaki tersenyum kecil dengan tubuh duduk tegak. "Sebelumnya saya mohon maaf kalau sekiranya kedatangan saya tanpa perjanjian dulu, tapi sepertinya Anda sudah sangat hapal atas maksud saya ke sini."Revan melipat kedua tangan di dada sambil menyandarkan punggung ke kursi. "Tentu. Apalagi yang bisa menjadi alasan Anda datang selain keputusan saya pagi ini."Dzaki cukup lega karena Revan tidak terlalu rumit dalam membahas masalah. Langsung ke inti dan pastinya tak banyak menyita waktu. "Apa alasan Anda membatalkan kesepakatan.
Aruna pulang ke rumah bersama Abizar tepat pukul enam sore. Aruna meminta suster untuk menemani Abizar mandi dan ganti baju, sedangkan dirinya bersiap-siap salat. Dzaki belum pulang. Mungkin lelaki itu memang sangat sibuk. Bahkan, pesan Aruna pun tidak dibalas."Aku harap, Mas Dzaki segera dapat titik temu untuk masalahnya. Aamiin." Aruna berdoa yang terbaik untuk sang suami. Aruna membersihkan diri sebentar, wudhu dan langsung salat di mushola yang ada di rumah. Ruangannya memang tidak terlalu besar. Berukuran tiga kali tiga meter, tetapi keadaannya sangat damai dan tenang. Sering diisi dikumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Baik itu oleh Aruna maupun Dzaki. Keduanya kompak membangun rumah yang tenang.Aruna salat di sana. Menikmati waktu menuju malam dan akhirnya selesai. Tak lupa berdoa dengan mengangkat kedua tangan. Mulut perempuan itu berkomat-kamit melangitkan doa serta kalimat dzikir. Berharap ketenangan selalu diberikan untuk dirinya dan Dzaki.Aruna hendak akan beranjak d
Keesokan harinya, Aruna baru saja selesai salat Subuh ketika Abizar mendatanginya dengan tangisan. Dzaki kaget, begitu pun dengan Amira."Ada apa, Sayang?" Aruna memangku Abizar dan bertanya dengan lembut. Dzaki masih berada di atas sajadah. Menoleh ke belakang. "Ada apa?" Bertanya hal yang sama dengan sang istri."Aku takut, Bu." Abizar memeluk Aruna erat. Bahasa tubuhnya pun menunjukkan itu. Aruna semakin bingung. Melempar pandangan pada Dzaki. Kemudian, fokus lagi pada Abizar. "Memangnya kenapa?" Abizar masih saja memeluk Aruna. Lalu, menatap ibu asuhnya itu dengan lekat. "Ibu pergi dan Om juga pergi."Sejenak Aruna terdiam. Kalimat Abizar pendek, tetapi bermakna tertentu. "Apa Abizar bermimpi?" Aruna mencoba lebih tenang. Abizar mengangguk pelan. "Itu cuma mimpi, Sayang. Kamu tidak perlu takut." Mengelus rambut anak yang akan beranjak lima tahun tersebut."Ibu, benar. Kamu tidak perlu takut dengan mimpi karena itu cuma bunga tidur. Sekarang, sebaiknya Abizar siap-siap untuk sek
"Apa maksud, Ibu?" Dzaki tidak paham sama sekali.Bu Nani menghela napas kasar. "Pokoknya, Ibu tidak suka dengan dia!" Wanita paruh baya itu seolah mengalihkan pembicaraan. Dzaki diam. Memaksa hanyalah sebuah tindakan yang tak akan memberikan hasil baik. "Itu hak Ibu, tapi kalau boleh Dzaki meminta. Cobalah sedikit membuka hati. Sekarang, Aruna adalah isrie Dzaki."Bu Nani membuang wajah ke sembarang arah. "Ibu, pulang. Assalamualaikum." Segera melangkahkan kaki ke depan."Wa'alaikum salam." Dzaki menjawab dengan pelan. Setelah sang ibu keluar ruangan, Dzaki pun bangkit dari tempat duduk. Masih harus mempersiapkan berkas untuk rencana besarnya.***Vanesha memulai pemotretan pukul sepuluh pagi. Ia datang sekitar satu jam sebelumnya dan harus merias wajah lebih dulu."Kamu sepertinya lebih bahagia akhir-akhir ini. Ada apa?" tanya perias wajah Vanesha.Vanesha yang duduk di kursi tersenyum manis."Sepertinya ada hal baik terjadi." Perias itu mengambil alat tempur untuk melukis wajah Va
Pemotretan berjalan sekitar dua jam sampai waktunya makan siang dan beberapa menit lagi azan Dzuhur. Vanesha mengganti pakaiannya dengan gaun biru muda dan menata ulang lagi rambut hitam nan panjang sebahu tersebut."Kamu yakin mau menemuinya?" Perias lelaki itu seolah tidak percaya dengan keputusan Vanesha. Sedikit kasihan melihat sikap modelnya tersebut.Vanesha mantap dengan janjinya. "Aku sudah berjanji. Bukankah perlu ditepati?" Perias yang sedang menata rambut hanya bisa diam. Sudah menegur. Kalau pun Vanesha berbuat lebih dari pikiran, itu bukan kesalahannya. "Benar juga." Akhirnya ia memilih fokus pada pekerjaan.Vanesha menanti waktu makan siang bersama. Tempat yang disepakati pun cukup dekat. Jadi, tidak perlu terburu-buru.Tepat pukul dua belas siang lewat dua puluh menit, Vanesha berangkat dari tempat pemotretan ke cafe yang dituju menggunakan kendaraan pribadi. Mengingat ini adalah momentum penting, ia menyiapkan diri sebaik mungkin.Perjalanan menuju cafe pun cukup berj