Pemotretan berjalan sekitar dua jam sampai waktunya makan siang dan beberapa menit lagi azan Dzuhur. Vanesha mengganti pakaiannya dengan gaun biru muda dan menata ulang lagi rambut hitam nan panjang sebahu tersebut."Kamu yakin mau menemuinya?" Perias lelaki itu seolah tidak percaya dengan keputusan Vanesha. Sedikit kasihan melihat sikap modelnya tersebut.Vanesha mantap dengan janjinya. "Aku sudah berjanji. Bukankah perlu ditepati?" Perias yang sedang menata rambut hanya bisa diam. Sudah menegur. Kalau pun Vanesha berbuat lebih dari pikiran, itu bukan kesalahannya. "Benar juga." Akhirnya ia memilih fokus pada pekerjaan.Vanesha menanti waktu makan siang bersama. Tempat yang disepakati pun cukup dekat. Jadi, tidak perlu terburu-buru.Tepat pukul dua belas siang lewat dua puluh menit, Vanesha berangkat dari tempat pemotretan ke cafe yang dituju menggunakan kendaraan pribadi. Mengingat ini adalah momentum penting, ia menyiapkan diri sebaik mungkin.Perjalanan menuju cafe pun cukup berj
Aruna mendadak gelisah selama membuat kue. Sesekali melirik arloji di tangan ataupun sekadar mengecek ponsel. Sekali pun Dzaki sudah mengingatkan untuk tidak terlalu lelah dan masuk dapur. Namun, Aruna tak bisa hanya tinggal diam saja. "Astagfirullah, aku sepertinya harus istirahat dulu." Aruna kembali melirik arloji di tangan. Bukan saatnya melakukan itu karena jam pulang sekolah Abizar tinggal lima menit lagi."Bi, aku jemput Abizar dulu, ya." Aruna pamit pada Bi Mirna."Iya, Neng," jawab Bi Mirna yang sedang menata cupcakes di etalase.Aruna melepaskan celemek dan segera ke ruangannya untuk mengambil kunci mobil dan tas. Usai itu, Aruna berangkat menuju sekolah Abizar dengan mobil.Sepanjang jalan, rasa gelisah itu bukannya berkurang, justru terus bertambah. "Astagfirullah, ini sebenarnya ada apa?" Aruna sama sekali tidak memahami dengan perasan ini.Mendadak kemacetan terjadi di depan. Aruna terpaksa menghentikan mobil seperti kendaraan lainnya. Menunggu sambil berdzikir agar hati
"Kamu pantas mendapatkan itu karena kamu bermain licik!" Bu Nani menunjuk balik Vanesha. Entah bagaimana ceritanya sampai Bu Nani tahu apa yang terjadi. "Kamu menyuruh orang untuk menjelekan nama baik anak saya. Saya rasa, siraman tadi tidak cukup untuk membalas itu!" Dzaki langsung berdiri. Tidak menyangka kedatangan ibunya. "Ibu, hentikan." Dzaki tidak ingin sang ibu menjadi tatapan semua orang.Vanesha mengepalkan kedua tangan di bawah. Menatap Bu Nani dan Dzaki satu per-satu. "Hei, dengar, ya!" Telunjuk kanan Bu Nani masih berada di depan. "Saya hampir tertipu karena percaya denganmu. Wajahmu yang cantik ternyata digunakan untuk hal-hal kurang baik. Kamu tidak pantas bersama anak saya apalagi menggantikan posisi menantu saya!" Aruna tersentak. Pertama kalinya dibela sang mertua seumur hidup. Bahkan memuji pun, Bu Nani tidak pernah. Aruna belum beranjak dari dekat pintu. Masih menyaksikan mereka dari kejauhan. Untung saja tidak ada yang datang."Tante pikir, saya mau jadi menant
Aruna dan Dzaki beserta Abizar sampai di rumah orang tua Dzaki tepat pukul tujuh malam. Setelah salat Isya, mereka langsung meluncur. Di sana, Naufal juga ada."Maaf, Bu, kami tidak sempat membeli apa pun," imbuh Aruna tersenyum kecil.Bu Nani hanya melirik sebentar sambil membawa piring besar. "Suamimu sudah lapar. Cepat hidangjan makannya." Hanya itu yang keluar dari mulut Bu Nani. Masih merasa gengsi untuk mengakui jika Aruna memang menantu terbaik."Baik, Bu." Aruna memaklumi. Mungkin sang mertua belum terbiasa berinteraksi lebih lembut, walaupun dirinya sudah lama berada di keluarga ini.Aruna menurut. Membawa satu per-satu hidangan. Abizar bersorak gembira ketika melihat ayam goreng kesukaannya. "Aku mau makan, Bu." Meminta Aruna untuk duduk di samping."Kamu mau sama Nenek, ya. Ibumu juga butuh makan yang tenang," kata Bu Nani sambil menatap Abizar.Abizar sempat diam, melirik Aruna yang tersenyum seolah mengisyaratkan untuk menurut. Akhirnya Abizar menatap Bu Nani lagi. "Iya,
"Kakak dengar kamu akan berurusan dengan seorang penulis ternama?" Naufal bertanya setelah ayah mereka izin ke kamar lebih dulu. Hanya tinggal Naufal dan Dzaki saja di sana.Dzaki duduk di sofa pendek, sedangkan Naufal berada di sofa panjang. Mereka saling berhadapan dengan sama-sama melipatkan kedua tangan di dada. "Benar." Dzaki tak memungkiri itu. "Berkasnya sudah siap dan mungkin akan menyeret satu nama lagi." Dzaki diam sejenak, menatap Naufal. "Sebenarnya ada dua nama, tapi sayang yang satunya masih aku pertimbangkan untuk dituntut."Naufal bergeming dengan kerutan di kening. "Siapa nama orang itu? Apa Kakak mengenalnya?" Naufal penasaran.Lengkungan senyum bak rembulan diberikan Dzaki pada sang kakak. Bersikap sewajarnya dengan tetap menghormati. "Satunya seorang model cantik dan seksi, tapi satunya seorang lelaki dewasa dan muda. Apa aku harus beritahu nama mereka juga, Kak?" Seketika Naufal terdiam. Kedua tangannya turun ke bawah dan berdiri tegak. "Itu tergantung kamu, mau
Aruna kembali ke kamar dengan kaki sedikit sakit. Dzaki bertanya beberapa kali, tetapi perempuan sama sekali tidak menjawab. Sekali pun ada rasa penasaran yang muncul di dada, tetapi Dzaki tidak berniat mendesak Aruna. Pada akhirnya lelaki itu meredam hasrat dan mengajak sang istri tidur saja.Sepanjang malam Aruna terjaga. Mengingat perkataan Naufal. Sesekali perempuan itu menatap Dzaki yang sepertinya sudah pergi lebih dahulu ke alam mimpi."Mas, kamu harus selalu baik-baik saja," tutur Aruna pelan. Usai itu, ia pun memejamkan mata dan menyusul sang suami ke alam mimpi.***Azan Subuh berkumandang ketika kedua mata Aruna terbuka. Tangan kanannya mencari keberadaan Dzaki, tetapi nihil. Aruna bangun, mengamati sekitar. Memang suaminya tidak ada. "Apa Mas Dzaki ke masjid?" Bertanya sendiri. Dengan memegang kepala yang cukup sakit karena kurang tidur. Aruna tetap bangun dan mengambil wudhu. Melaksanakan salat Subuh, lalu mandi dan bersiap turun ke bawah.Sampai pukul setengah enam pagi
Di kantor, Dzaki sudah memastikan semua berkas yang akan dilimpahkan ke yang berwajib. Ia yakin akan meneruskan ini semua. Sebelum pukul sepuluh, Dzaki sendiri harus berada di kantor polisi."Kalau ada yang mencari saya, katakan kalau saya sedang ada urusan ke kantor polisi." Dzaki tak lupa memberikan amanat pada sekretarisnya."Baik, Pak." Sekretaris itu paham.Dzaki membawa satu maps berwarna merah di tangan dan pergi ke arah lift. Menunggu satu orang lagi berkata jujur mungkin akan membutuhkan waktu lama. Terlebih, ia sangat hapal betul bagaimana orang tersebut."Aku tidak bisa mengalah sekarang. Ini menyangkut nama baikku sendiri," tutur Dzaki.Setelah kepergian Dzaki, sekretaris muda itu pun melanjutkan lagi pekerjaannya. Ada jadwal meeting bersama editor sekitar pukul sebelas nanti. Itu memang masih lumayan lama. Nanti bisa diberitahukan lagi pada Dzaki. "Sebaiknya aku mengatur jadwal Pak Dzaki besok hari." Sekretaris perempuan itu sudah bekerja dari pertama Dzaki membuka perus
Di toko, Aruna membuat kue seperti biasa. Namun, adonan kali ini ternyata gagal. Tidak tahu salahnya di mana. Semua sudah sesuai aturan dan resep."Coba Neng istirahat saja. Mungkin Neng sedikit kelelahan," saran Bi Mirna. Melihat majikannya sedih karena gagal. Ini mungkin bukan yang pertama, tetapi suasana hati Aruna jauh lebih terlihat kurang baik dari setengah jam tadi. Padahal Bi Mirna menyaksikan sendiri kemesraan Aruna dengan Dzaki dari jendela kaca."Astagfirullah, sebenarnya apa yang salah?" Aruna terdiam dengan tangan memegang kepala. Biasanya tidak seperti ini. "Mungkin Bibi benar, aku istirahat sebentar saja." "Biar ini Bibi yang selesaikan. Neng bisa menunggu pembeli di kasir saja." Bi Mirna langsung mengambil alih pekerjaan Aruna.Aruna tak enak hati, walaupun dirinya pemilik di sini. "Maaf, ya, Bi." Tersenyum kecil."Tidak masalah, Neng." Bi Mirna cukup cekatan dengan pekerjaan. Tentunya Aruna tidak khawatir ketika ditinggal.Masih menggunakan celemek dan topi khas pemb
"Cepat! Bus harus segera berangkat," jawab si sopir.Aruna segera berbalik badan dan mengambil tempat duduk, sedangkan pria itu juga ikut naik. Entah mengapa perasaan Aruna sedikit tak karuan melihat sosok lelaki yang terakhir naik, seperti sebuah gerbang sedang terbuka untuk menuju satu jalan. "Astagfirullah, aku harus fokus ke diri sendiri." Aruna meluruskan pandangan ke depan dan memantapkan hati untuk tidak terlalu mengikuti hati.***Waktu berjalan begitu cepat dan tak terasa Dzaki sudah ada di depan sebuah ruangan operasi menunggu sang istri melahirkan.Ya, Aruna harus melakukan operasi sesar karena ketuban lebih cepat dahulu pecah dan si bayi belum ada tanda-tanda siap keluar karena baru berusia tiga puluh tujuh minggu. Sebuah keputusan terbaik diambil untuk keselamatan keduanya.Bu Nani dan Pak Arya pun berada di sana, menenangkan Dzaki dengan terus mengingatkan anak bungsunya untuk pasrah pada Yang Maha Kuasa."Istigfar, Nak. Insya Allah, Istri dan anakmu baik-baik saja," ka
Amira pergi ke toko kue dengan diantar sopir. Ia menyuruh lelaki paruh baya yang sudah lama bekerja di rumahnya tersebut untuk pulang lebih dahulu. Sebab, Aruna berniat seharian berada di sini.Bi Mirna senang bisa melihat Aruna lagi. "Alhamdulillah, Neng sudah membaik," katanya dengan penuh rasa bahagia. Aruna sendiri merasa disambut oleh seorang Ibu. Hangat dan penuh rasa cinta."Maaf, ya, Bi, aku sudah lama tidak datang," imbuh Aruna.Bi Mirna mengelus perut Aruna pelan. "Tidak apa-apa, Neng. Jangan khawatirkan soal toko karena Bibi akan selalu berusaha menjaganya.""Terima kasih, Bi." Aruna memperhatikan sekitar. Semuanya masih sama seperti empat bulan yang lalu. Namun, sekarang ditambah dengan dua karyawan baru yang membantu. Menurut penuturan Bi Mirna, penjualan meningkat drastis di empat bulan terakhir. Aruna yang menerima laporan itu pun cukup senang. Selama ini Bi Mirna hanya melaporkan hasil keuangan ke kantor Dzaki karena tidak berani datang ke rumah Aruna."Bi, aku rindu s
"Makanlah." Dzaki tampak lelah karena berkeliling mencari ramen di tengah malam. Namun, perasaan itu seketika hilang dengan melihat istrinya tersenyum bahagia.Aruna duduk di kursi makan yang berhadapan dengan Dzaki. Menelan ludah ketika melihat kentalnya kuah ramen yang bercampur dengan rasa pedas. "Masya Allah, pasti enak." Mengangkat kepala dan menatap Dzaki. "Terima kasih, Mas."Dzaki ikut tersenyum sambil mengulurkan tangan ke depan dan mengelus pucuk kepala istrinya. "Jangan ragu untuk katakan apa pun keinginanmu selama aku bisa. Ingat, kamu adalah istriku."Aruna mengangguk pelan. Benar-benar definisi diratukan oleh satu raja itu luar biasa bahagianya. "Tapi aku merasa bersalah karena Mas harus keliling untuk dapatkan ini."Tangan Dzaki masih berada di pucuk kepala Aruna. "Apa kamu tidak menganggapku suami?" Kedua pupil mata sontak membesar, lalu diikuti dengan gelengan kepala. "Kalau memang masih menganggap, biarkan aku membahagiakanmu dengan banyak cara. Kamu ratu di sini."H
"Sakitnya seorang Ibu itu nikmat, Sayang. Karena rasa bahagia ada adik bayi lebih besar dibandingkan rasa sakit," jawab Amira. Ia belum sanggup mengungkapkan identitas Abizar. Mungkin menunggu anak itu beranjak remaja saja.Pak Arya dan Bu Nani tidak berkat apa pun. Semua keputusan ada pada diri menantunya. Biarkan saja dahulu, Abizar pun belum tentu bisa memahami.Aruna berada di rumah sakit sekitar tiga hari. Setelah itu, ia kembali ke rumahnya sendiri dengan dibantu oleh asisten rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Aruna pun belum pergi ke toko. Mempercayakan semuanya pada Bi Marni.***Hari-hari berlalu dan akhirnya kehamilan Aruna menginjak usia enam belas Minggu. Rasa mual dan muntah berangsur membaik dan hanya dirasakan sesekali saja. Begitu pun dengan sakit kepala. Perut Aruna memang belum terlihat buncit karena usia kandungan masih kecil.Setiap harinya selalu ada saja yang diinginkan Aruna. Entah itu makanan ataupun sekadar ingin pergi ke suatu tempat. Selama itu
Aruna menjaga sekali kehamilannya. Tidak peduli rasa mual dan muntah itu semakin menyerang diri, ia terus berusaha untuk melakukan yang terbaik. Seminggu setelah vonis hamil dinyatakan, Aruna sama sekali tidak bisa bangun. Ia bahkan dilarikan ke rumah sakit karena terus menerus muntah yang mengharuskannya mendapatkan perawatan medis. Dzaki setia di samping. Bahkan saat Aruna merasakan mual di pagi hari, lelaki itu sigap untuk membawa sang istri ke kamar mandi."Aku ambilkan minum hangat, ya." Dzaki mendudukan Aruna di kasur. Mereka baru saja keluar dari kamar mandi hampir delapan kali. Wajah Aruna mulai terlihat pucat. Makanan dan minuman yang masuk akan kembali lagi. Lemas rasanya. "Iya, Mas." Aruna pasrah. Sakit ini akan berlalu dan digantikan kebahagiaan bertemu sang buah hati tercinta. Menginjak enam minggu memang masa-masa kritis, sekali pun ada ibu hamil yang memang baru merasakan mual di usia delapan minggu. Namun, ada sebagian lagi juga yang tidak merasakan morning sicknes
"Selamat, Pak. Anda akan segera menjadi ayah." Dokter lelaki menyalami Dzaki. Pemeriksaan dilakukan sekitar dua puluh menit dan hasilnya Aruna positif hamil sekitar empat minggu. "Mungkin setelah ini gejala sakit kepala, mual dan muntahnya bisa saja bertambah parah. Tapi Ibu dan Bapak tidak perlu cemas karena itu hal biasa. Selalu pastikan Ibu mencukupi gizi si janin dan terus minum vitamin yang akan saya resepkan."Dzaki masih belum bergerak sama sekali, sedangkan Aruna terharu dengan mengucap kata syukur."Pak Dzaki baik-baik saja?" Dokter lelaki itu kembali bertanya.Dzaki sadar, kemudian berkata, "Apa benar Dok, kalau istri saya hamil?" Bertanya lagi untuk memastikan."Semuanya akurat dan ini hasilnya." Dokter memberikan isyarat mata pada suster untuk menyimpan hasil tespek di meja. "Garis yang satu memang masih samar, tapi ini sudah bisa membuktikan jika istri Anda hamil. Saya minta kerjasamanya untuk menjaga kandungan Ibu sampai waktu melahirkan nanti."Dzaki masih memegang tang
"Aruna di mana, Bu?" Dzaki langsung ke dapur setelah selesai salat dan mengobrol dengan beberapa tetangga.Bu Nani seketika menoleh. "Katanya tadi perutnya sakit, jadi istrimu masuk kamar. Coba lihat dulu, Nak."Dzaki mengerti. "Baik, Bu." Dengan cepat ke luar dari dapur dan berjalan menapaki anak tangga satu per-satu menuju lantai dua. Suasana hening. Dzaki sempat tersentak ketika melihat kamar almarhum kakaknya, tetapi tidak begitu hanyut. Bergegas masuk kamar sendiri sambil berkata, "Assalamualaikum." Pandangan mata lelaki itu langsung tertuju pada sosok Aruna yang sedang terbaring. "Sayang, kamu baik-baik saja?"Aruna tidak menjawab. Secepat mungkin Dzaki semakin masuk ke kamar. Memeriksa keadaan sang istri. "Sayang, kamu kenapa?" Duduk di tepi ranjang bagian kanan. Barulah Aruna membuka mata. "Kata Ibu, kamu sakit perut. Kita ke dokter saja, ya?" Aruna tersenyum paksa. "Tidak perlu, Mas. Perutku kram, mungkin mau datang bulan."Dzaki diam. Tangan kanannya memegang perut Aruna.
Kepergian Naufal tentu menoreh luka hati untuk semua keluarga. Dzaki dan Aruna pun semakin sering mengunjungi rumah Bu Nani dan Pak Arya untuk sekadar menghibur mereka. Hubungan Aruna dengan keluarga suaminya pun semakin membaik. Bahkan Bu Nani sekarang menganggap Aruna seperti anak perempuan sendiri.Dzaki pun tetap meneruskan penuntutan pada Vanesha dan penulis yang bersangkutan, tetapi tidak melihatnya almarhum kakaknya. Bukan karena tidak bersalah, tetapi Naufal sudah tidak seharusnya dihukum ketika wujudnya saja sudah tidak ada di muka bumi.Aruna setia mendampingi Dzaki selama proses hukum. Vanesha sempat mengelak dan menyudutkan Naufal. Namun, penulis itu justru memberikan bukti rekaman suara di mana Vanesha mengaku jika semua rencana disusun tanpa sepengetahuan Naufal. Proses hukum masih berjalan. Sudah tiga kali Dzaki dipanggil ke kantor polisi dan persidangan pun berlangsung baru dua kali. Mereka akan segera mendapatkan hasil setelah satu kali sidang lagi. Dzaki tenang. Sem
Setelah mendapatkan kabar buruk tersebut, Dzaki sama sekali belum bisa menerima. Tiga hari setelahnya, Dzaki pun dipersilakan pulang oleh dokter. Hanya diwajibkan check up rutin per-dua minggu sekali.Sesuai keinginan Dzaki, setelah keluar dari rumah sakit lelaki itu langsung mengunjungi makam kakaknya dengan ditemani Aruna. Pakaian serba hitam serta kacamata hitam pun menjadi lambang kesedihan pada kedua orang tersebut.Aruna menemani dengan setia. Memayungi Dzaki sejak turun dari mobil sampai berada di depan makam Naufal. Mereka langsung berjongkok. Tak lupa Aruna melipat payung agar tidak memakan tempat.Dzaki menghela napas lelah. Bukan karena harus berjalan untuk sampai sini, melainkan sulit mengontrol diri sedari kemarin. Setelah dirasa sanggup, ia pun mulai berbicara. "Assalamualaikum, Kak. Maaf, baru bisa datang." Aruna melirik Dzaki. Kemudian, mereka membaca doa bersama. Semuanya sudah dilewati, Dzaki pun kembali terdiam. Jelas Aruna juga sama. Suasana pemakaman hening dan s