Aruna pulang ke rumah bersama Abizar tepat pukul enam sore. Aruna meminta suster untuk menemani Abizar mandi dan ganti baju, sedangkan dirinya bersiap-siap salat. Dzaki belum pulang. Mungkin lelaki itu memang sangat sibuk. Bahkan, pesan Aruna pun tidak dibalas."Aku harap, Mas Dzaki segera dapat titik temu untuk masalahnya. Aamiin." Aruna berdoa yang terbaik untuk sang suami. Aruna membersihkan diri sebentar, wudhu dan langsung salat di mushola yang ada di rumah. Ruangannya memang tidak terlalu besar. Berukuran tiga kali tiga meter, tetapi keadaannya sangat damai dan tenang. Sering diisi dikumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Baik itu oleh Aruna maupun Dzaki. Keduanya kompak membangun rumah yang tenang.Aruna salat di sana. Menikmati waktu menuju malam dan akhirnya selesai. Tak lupa berdoa dengan mengangkat kedua tangan. Mulut perempuan itu berkomat-kamit melangitkan doa serta kalimat dzikir. Berharap ketenangan selalu diberikan untuk dirinya dan Dzaki.Aruna hendak akan beranjak d
Keesokan harinya, Aruna baru saja selesai salat Subuh ketika Abizar mendatanginya dengan tangisan. Dzaki kaget, begitu pun dengan Amira."Ada apa, Sayang?" Aruna memangku Abizar dan bertanya dengan lembut. Dzaki masih berada di atas sajadah. Menoleh ke belakang. "Ada apa?" Bertanya hal yang sama dengan sang istri."Aku takut, Bu." Abizar memeluk Aruna erat. Bahasa tubuhnya pun menunjukkan itu. Aruna semakin bingung. Melempar pandangan pada Dzaki. Kemudian, fokus lagi pada Abizar. "Memangnya kenapa?" Abizar masih saja memeluk Aruna. Lalu, menatap ibu asuhnya itu dengan lekat. "Ibu pergi dan Om juga pergi."Sejenak Aruna terdiam. Kalimat Abizar pendek, tetapi bermakna tertentu. "Apa Abizar bermimpi?" Aruna mencoba lebih tenang. Abizar mengangguk pelan. "Itu cuma mimpi, Sayang. Kamu tidak perlu takut." Mengelus rambut anak yang akan beranjak lima tahun tersebut."Ibu, benar. Kamu tidak perlu takut dengan mimpi karena itu cuma bunga tidur. Sekarang, sebaiknya Abizar siap-siap untuk sek
"Apa maksud, Ibu?" Dzaki tidak paham sama sekali.Bu Nani menghela napas kasar. "Pokoknya, Ibu tidak suka dengan dia!" Wanita paruh baya itu seolah mengalihkan pembicaraan. Dzaki diam. Memaksa hanyalah sebuah tindakan yang tak akan memberikan hasil baik. "Itu hak Ibu, tapi kalau boleh Dzaki meminta. Cobalah sedikit membuka hati. Sekarang, Aruna adalah isrie Dzaki."Bu Nani membuang wajah ke sembarang arah. "Ibu, pulang. Assalamualaikum." Segera melangkahkan kaki ke depan."Wa'alaikum salam." Dzaki menjawab dengan pelan. Setelah sang ibu keluar ruangan, Dzaki pun bangkit dari tempat duduk. Masih harus mempersiapkan berkas untuk rencana besarnya.***Vanesha memulai pemotretan pukul sepuluh pagi. Ia datang sekitar satu jam sebelumnya dan harus merias wajah lebih dulu."Kamu sepertinya lebih bahagia akhir-akhir ini. Ada apa?" tanya perias wajah Vanesha.Vanesha yang duduk di kursi tersenyum manis."Sepertinya ada hal baik terjadi." Perias itu mengambil alat tempur untuk melukis wajah Va
Pemotretan berjalan sekitar dua jam sampai waktunya makan siang dan beberapa menit lagi azan Dzuhur. Vanesha mengganti pakaiannya dengan gaun biru muda dan menata ulang lagi rambut hitam nan panjang sebahu tersebut."Kamu yakin mau menemuinya?" Perias lelaki itu seolah tidak percaya dengan keputusan Vanesha. Sedikit kasihan melihat sikap modelnya tersebut.Vanesha mantap dengan janjinya. "Aku sudah berjanji. Bukankah perlu ditepati?" Perias yang sedang menata rambut hanya bisa diam. Sudah menegur. Kalau pun Vanesha berbuat lebih dari pikiran, itu bukan kesalahannya. "Benar juga." Akhirnya ia memilih fokus pada pekerjaan.Vanesha menanti waktu makan siang bersama. Tempat yang disepakati pun cukup dekat. Jadi, tidak perlu terburu-buru.Tepat pukul dua belas siang lewat dua puluh menit, Vanesha berangkat dari tempat pemotretan ke cafe yang dituju menggunakan kendaraan pribadi. Mengingat ini adalah momentum penting, ia menyiapkan diri sebaik mungkin.Perjalanan menuju cafe pun cukup berj
Aruna mendadak gelisah selama membuat kue. Sesekali melirik arloji di tangan ataupun sekadar mengecek ponsel. Sekali pun Dzaki sudah mengingatkan untuk tidak terlalu lelah dan masuk dapur. Namun, Aruna tak bisa hanya tinggal diam saja. "Astagfirullah, aku sepertinya harus istirahat dulu." Aruna kembali melirik arloji di tangan. Bukan saatnya melakukan itu karena jam pulang sekolah Abizar tinggal lima menit lagi."Bi, aku jemput Abizar dulu, ya." Aruna pamit pada Bi Mirna."Iya, Neng," jawab Bi Mirna yang sedang menata cupcakes di etalase.Aruna melepaskan celemek dan segera ke ruangannya untuk mengambil kunci mobil dan tas. Usai itu, Aruna berangkat menuju sekolah Abizar dengan mobil.Sepanjang jalan, rasa gelisah itu bukannya berkurang, justru terus bertambah. "Astagfirullah, ini sebenarnya ada apa?" Aruna sama sekali tidak memahami dengan perasan ini.Mendadak kemacetan terjadi di depan. Aruna terpaksa menghentikan mobil seperti kendaraan lainnya. Menunggu sambil berdzikir agar hati
"Kamu pantas mendapatkan itu karena kamu bermain licik!" Bu Nani menunjuk balik Vanesha. Entah bagaimana ceritanya sampai Bu Nani tahu apa yang terjadi. "Kamu menyuruh orang untuk menjelekan nama baik anak saya. Saya rasa, siraman tadi tidak cukup untuk membalas itu!" Dzaki langsung berdiri. Tidak menyangka kedatangan ibunya. "Ibu, hentikan." Dzaki tidak ingin sang ibu menjadi tatapan semua orang.Vanesha mengepalkan kedua tangan di bawah. Menatap Bu Nani dan Dzaki satu per-satu. "Hei, dengar, ya!" Telunjuk kanan Bu Nani masih berada di depan. "Saya hampir tertipu karena percaya denganmu. Wajahmu yang cantik ternyata digunakan untuk hal-hal kurang baik. Kamu tidak pantas bersama anak saya apalagi menggantikan posisi menantu saya!" Aruna tersentak. Pertama kalinya dibela sang mertua seumur hidup. Bahkan memuji pun, Bu Nani tidak pernah. Aruna belum beranjak dari dekat pintu. Masih menyaksikan mereka dari kejauhan. Untung saja tidak ada yang datang."Tante pikir, saya mau jadi menant
Aruna dan Dzaki beserta Abizar sampai di rumah orang tua Dzaki tepat pukul tujuh malam. Setelah salat Isya, mereka langsung meluncur. Di sana, Naufal juga ada."Maaf, Bu, kami tidak sempat membeli apa pun," imbuh Aruna tersenyum kecil.Bu Nani hanya melirik sebentar sambil membawa piring besar. "Suamimu sudah lapar. Cepat hidangjan makannya." Hanya itu yang keluar dari mulut Bu Nani. Masih merasa gengsi untuk mengakui jika Aruna memang menantu terbaik."Baik, Bu." Aruna memaklumi. Mungkin sang mertua belum terbiasa berinteraksi lebih lembut, walaupun dirinya sudah lama berada di keluarga ini.Aruna menurut. Membawa satu per-satu hidangan. Abizar bersorak gembira ketika melihat ayam goreng kesukaannya. "Aku mau makan, Bu." Meminta Aruna untuk duduk di samping."Kamu mau sama Nenek, ya. Ibumu juga butuh makan yang tenang," kata Bu Nani sambil menatap Abizar.Abizar sempat diam, melirik Aruna yang tersenyum seolah mengisyaratkan untuk menurut. Akhirnya Abizar menatap Bu Nani lagi. "Iya,
"Kakak dengar kamu akan berurusan dengan seorang penulis ternama?" Naufal bertanya setelah ayah mereka izin ke kamar lebih dulu. Hanya tinggal Naufal dan Dzaki saja di sana.Dzaki duduk di sofa pendek, sedangkan Naufal berada di sofa panjang. Mereka saling berhadapan dengan sama-sama melipatkan kedua tangan di dada. "Benar." Dzaki tak memungkiri itu. "Berkasnya sudah siap dan mungkin akan menyeret satu nama lagi." Dzaki diam sejenak, menatap Naufal. "Sebenarnya ada dua nama, tapi sayang yang satunya masih aku pertimbangkan untuk dituntut."Naufal bergeming dengan kerutan di kening. "Siapa nama orang itu? Apa Kakak mengenalnya?" Naufal penasaran.Lengkungan senyum bak rembulan diberikan Dzaki pada sang kakak. Bersikap sewajarnya dengan tetap menghormati. "Satunya seorang model cantik dan seksi, tapi satunya seorang lelaki dewasa dan muda. Apa aku harus beritahu nama mereka juga, Kak?" Seketika Naufal terdiam. Kedua tangannya turun ke bawah dan berdiri tegak. "Itu tergantung kamu, mau