"Kamu pantas mendapatkan itu karena kamu bermain licik!" Bu Nani menunjuk balik Vanesha. Entah bagaimana ceritanya sampai Bu Nani tahu apa yang terjadi. "Kamu menyuruh orang untuk menjelekan nama baik anak saya. Saya rasa, siraman tadi tidak cukup untuk membalas itu!" Dzaki langsung berdiri. Tidak menyangka kedatangan ibunya. "Ibu, hentikan." Dzaki tidak ingin sang ibu menjadi tatapan semua orang.Vanesha mengepalkan kedua tangan di bawah. Menatap Bu Nani dan Dzaki satu per-satu. "Hei, dengar, ya!" Telunjuk kanan Bu Nani masih berada di depan. "Saya hampir tertipu karena percaya denganmu. Wajahmu yang cantik ternyata digunakan untuk hal-hal kurang baik. Kamu tidak pantas bersama anak saya apalagi menggantikan posisi menantu saya!" Aruna tersentak. Pertama kalinya dibela sang mertua seumur hidup. Bahkan memuji pun, Bu Nani tidak pernah. Aruna belum beranjak dari dekat pintu. Masih menyaksikan mereka dari kejauhan. Untung saja tidak ada yang datang."Tante pikir, saya mau jadi menant
Aruna dan Dzaki beserta Abizar sampai di rumah orang tua Dzaki tepat pukul tujuh malam. Setelah salat Isya, mereka langsung meluncur. Di sana, Naufal juga ada."Maaf, Bu, kami tidak sempat membeli apa pun," imbuh Aruna tersenyum kecil.Bu Nani hanya melirik sebentar sambil membawa piring besar. "Suamimu sudah lapar. Cepat hidangjan makannya." Hanya itu yang keluar dari mulut Bu Nani. Masih merasa gengsi untuk mengakui jika Aruna memang menantu terbaik."Baik, Bu." Aruna memaklumi. Mungkin sang mertua belum terbiasa berinteraksi lebih lembut, walaupun dirinya sudah lama berada di keluarga ini.Aruna menurut. Membawa satu per-satu hidangan. Abizar bersorak gembira ketika melihat ayam goreng kesukaannya. "Aku mau makan, Bu." Meminta Aruna untuk duduk di samping."Kamu mau sama Nenek, ya. Ibumu juga butuh makan yang tenang," kata Bu Nani sambil menatap Abizar.Abizar sempat diam, melirik Aruna yang tersenyum seolah mengisyaratkan untuk menurut. Akhirnya Abizar menatap Bu Nani lagi. "Iya,
"Kakak dengar kamu akan berurusan dengan seorang penulis ternama?" Naufal bertanya setelah ayah mereka izin ke kamar lebih dulu. Hanya tinggal Naufal dan Dzaki saja di sana.Dzaki duduk di sofa pendek, sedangkan Naufal berada di sofa panjang. Mereka saling berhadapan dengan sama-sama melipatkan kedua tangan di dada. "Benar." Dzaki tak memungkiri itu. "Berkasnya sudah siap dan mungkin akan menyeret satu nama lagi." Dzaki diam sejenak, menatap Naufal. "Sebenarnya ada dua nama, tapi sayang yang satunya masih aku pertimbangkan untuk dituntut."Naufal bergeming dengan kerutan di kening. "Siapa nama orang itu? Apa Kakak mengenalnya?" Naufal penasaran.Lengkungan senyum bak rembulan diberikan Dzaki pada sang kakak. Bersikap sewajarnya dengan tetap menghormati. "Satunya seorang model cantik dan seksi, tapi satunya seorang lelaki dewasa dan muda. Apa aku harus beritahu nama mereka juga, Kak?" Seketika Naufal terdiam. Kedua tangannya turun ke bawah dan berdiri tegak. "Itu tergantung kamu, mau
Aruna kembali ke kamar dengan kaki sedikit sakit. Dzaki bertanya beberapa kali, tetapi perempuan sama sekali tidak menjawab. Sekali pun ada rasa penasaran yang muncul di dada, tetapi Dzaki tidak berniat mendesak Aruna. Pada akhirnya lelaki itu meredam hasrat dan mengajak sang istri tidur saja.Sepanjang malam Aruna terjaga. Mengingat perkataan Naufal. Sesekali perempuan itu menatap Dzaki yang sepertinya sudah pergi lebih dahulu ke alam mimpi."Mas, kamu harus selalu baik-baik saja," tutur Aruna pelan. Usai itu, ia pun memejamkan mata dan menyusul sang suami ke alam mimpi.***Azan Subuh berkumandang ketika kedua mata Aruna terbuka. Tangan kanannya mencari keberadaan Dzaki, tetapi nihil. Aruna bangun, mengamati sekitar. Memang suaminya tidak ada. "Apa Mas Dzaki ke masjid?" Bertanya sendiri. Dengan memegang kepala yang cukup sakit karena kurang tidur. Aruna tetap bangun dan mengambil wudhu. Melaksanakan salat Subuh, lalu mandi dan bersiap turun ke bawah.Sampai pukul setengah enam pagi
Di kantor, Dzaki sudah memastikan semua berkas yang akan dilimpahkan ke yang berwajib. Ia yakin akan meneruskan ini semua. Sebelum pukul sepuluh, Dzaki sendiri harus berada di kantor polisi."Kalau ada yang mencari saya, katakan kalau saya sedang ada urusan ke kantor polisi." Dzaki tak lupa memberikan amanat pada sekretarisnya."Baik, Pak." Sekretaris itu paham.Dzaki membawa satu maps berwarna merah di tangan dan pergi ke arah lift. Menunggu satu orang lagi berkata jujur mungkin akan membutuhkan waktu lama. Terlebih, ia sangat hapal betul bagaimana orang tersebut."Aku tidak bisa mengalah sekarang. Ini menyangkut nama baikku sendiri," tutur Dzaki.Setelah kepergian Dzaki, sekretaris muda itu pun melanjutkan lagi pekerjaannya. Ada jadwal meeting bersama editor sekitar pukul sebelas nanti. Itu memang masih lumayan lama. Nanti bisa diberitahukan lagi pada Dzaki. "Sebaiknya aku mengatur jadwal Pak Dzaki besok hari." Sekretaris perempuan itu sudah bekerja dari pertama Dzaki membuka perus
Di toko, Aruna membuat kue seperti biasa. Namun, adonan kali ini ternyata gagal. Tidak tahu salahnya di mana. Semua sudah sesuai aturan dan resep."Coba Neng istirahat saja. Mungkin Neng sedikit kelelahan," saran Bi Mirna. Melihat majikannya sedih karena gagal. Ini mungkin bukan yang pertama, tetapi suasana hati Aruna jauh lebih terlihat kurang baik dari setengah jam tadi. Padahal Bi Mirna menyaksikan sendiri kemesraan Aruna dengan Dzaki dari jendela kaca."Astagfirullah, sebenarnya apa yang salah?" Aruna terdiam dengan tangan memegang kepala. Biasanya tidak seperti ini. "Mungkin Bibi benar, aku istirahat sebentar saja." "Biar ini Bibi yang selesaikan. Neng bisa menunggu pembeli di kasir saja." Bi Mirna langsung mengambil alih pekerjaan Aruna.Aruna tak enak hati, walaupun dirinya pemilik di sini. "Maaf, ya, Bi." Tersenyum kecil."Tidak masalah, Neng." Bi Mirna cukup cekatan dengan pekerjaan. Tentunya Aruna tidak khawatir ketika ditinggal.Masih menggunakan celemek dan topi khas pemb
"Mas, ini aku, Mas!" Aruna memanggil Dzaki ketika sampai di ruangan rawat inap. Dzaki mengalami kecelakaan beruntun bersama Naufal beberapa jam lalu. Dan hal ini mengejutkan semua keluarga, termasuk Aruna.Aruna datang bersama Cantika, sedangkan kedua orang tua Dzaki berada di ruangan Naufal yang berada di samping kanan."Na, istigfar, Sayang." Cantika memegang kedua bahu Aruna. Sedari kedatangan mereka, Aruna tak henti-hentinya memanggil nama Dzaki serta memegang tangan kanan pria itu. Seolah tidak percaya bahwa pria yang dicintainya sedang tidak sadarkan diri."Can, Mas Dzaki, Can!" Aruna histeris dengan air mata yang terus beranak sungai. Kenyataannya seorang istri akan selalu terluka ketika melihat suaminya terbaring tak berdaya. "Mas, buka matamu, Mas! Aku di sini."Cantika bisa memahami itu. Mengingat Aruna pernah kehilangan kedua orang tuanya dengan hal tragis juga. Dengan sangat setia, Cantika mendampingi Aruna sampai memasuki waktu Dzuhur. Ia pun mengingatkan perempuan itu un
Dua hari berlalu, baik Naufal maupun Dzaki belum ada yang siuman. Naufal sendiri langsung diberikan tindakan operasi kepala karena luka di bagian sana.Aruna dan mertuanya serta Cantika sedang ada di luar ruangan. Duduk termenung sambil berdoa. Mereka seolah tidak ingin beranjak dari sana. Tiba-tiba datanglah suster menghampiri mereka."Pak, Bu, bisa ke ruangan Pak Naufal sebentar. Beliau siuman," kata suster tersebut.Bu Nani langsung berdiri, lalu bergegas pergi tanpa menyahut sama sekali. Aruna pun ikut. Bagaimanapun Naufal adalah kakak ipar sekaligus mantan suaminya.Sesampainya di ruangan tersebut, terlihat kedua mata Naufal terbuka lebar dengan berbagai alat rumah sakit termasuk alat bantu napas. Aruna masuk, memperhatikan Bu Nani memegang tangan kanan anak sulungnya."Syukurlah kamu sudah sadar, Nak," kata Bu Nani.Naufal belum terlalu bisa diajak bicara. Hanya kedipan mata yang seolah menjadi perantara komunikasi antara anak dan ibu tersebut.Pak Arya memang diam, tetapi dipe