Aruna kembali ke kamar dengan kaki sedikit sakit. Dzaki bertanya beberapa kali, tetapi perempuan sama sekali tidak menjawab. Sekali pun ada rasa penasaran yang muncul di dada, tetapi Dzaki tidak berniat mendesak Aruna. Pada akhirnya lelaki itu meredam hasrat dan mengajak sang istri tidur saja.Sepanjang malam Aruna terjaga. Mengingat perkataan Naufal. Sesekali perempuan itu menatap Dzaki yang sepertinya sudah pergi lebih dahulu ke alam mimpi."Mas, kamu harus selalu baik-baik saja," tutur Aruna pelan. Usai itu, ia pun memejamkan mata dan menyusul sang suami ke alam mimpi.***Azan Subuh berkumandang ketika kedua mata Aruna terbuka. Tangan kanannya mencari keberadaan Dzaki, tetapi nihil. Aruna bangun, mengamati sekitar. Memang suaminya tidak ada. "Apa Mas Dzaki ke masjid?" Bertanya sendiri. Dengan memegang kepala yang cukup sakit karena kurang tidur. Aruna tetap bangun dan mengambil wudhu. Melaksanakan salat Subuh, lalu mandi dan bersiap turun ke bawah.Sampai pukul setengah enam pagi
Di kantor, Dzaki sudah memastikan semua berkas yang akan dilimpahkan ke yang berwajib. Ia yakin akan meneruskan ini semua. Sebelum pukul sepuluh, Dzaki sendiri harus berada di kantor polisi."Kalau ada yang mencari saya, katakan kalau saya sedang ada urusan ke kantor polisi." Dzaki tak lupa memberikan amanat pada sekretarisnya."Baik, Pak." Sekretaris itu paham.Dzaki membawa satu maps berwarna merah di tangan dan pergi ke arah lift. Menunggu satu orang lagi berkata jujur mungkin akan membutuhkan waktu lama. Terlebih, ia sangat hapal betul bagaimana orang tersebut."Aku tidak bisa mengalah sekarang. Ini menyangkut nama baikku sendiri," tutur Dzaki.Setelah kepergian Dzaki, sekretaris muda itu pun melanjutkan lagi pekerjaannya. Ada jadwal meeting bersama editor sekitar pukul sebelas nanti. Itu memang masih lumayan lama. Nanti bisa diberitahukan lagi pada Dzaki. "Sebaiknya aku mengatur jadwal Pak Dzaki besok hari." Sekretaris perempuan itu sudah bekerja dari pertama Dzaki membuka perus
Di toko, Aruna membuat kue seperti biasa. Namun, adonan kali ini ternyata gagal. Tidak tahu salahnya di mana. Semua sudah sesuai aturan dan resep."Coba Neng istirahat saja. Mungkin Neng sedikit kelelahan," saran Bi Mirna. Melihat majikannya sedih karena gagal. Ini mungkin bukan yang pertama, tetapi suasana hati Aruna jauh lebih terlihat kurang baik dari setengah jam tadi. Padahal Bi Mirna menyaksikan sendiri kemesraan Aruna dengan Dzaki dari jendela kaca."Astagfirullah, sebenarnya apa yang salah?" Aruna terdiam dengan tangan memegang kepala. Biasanya tidak seperti ini. "Mungkin Bibi benar, aku istirahat sebentar saja." "Biar ini Bibi yang selesaikan. Neng bisa menunggu pembeli di kasir saja." Bi Mirna langsung mengambil alih pekerjaan Aruna.Aruna tak enak hati, walaupun dirinya pemilik di sini. "Maaf, ya, Bi." Tersenyum kecil."Tidak masalah, Neng." Bi Mirna cukup cekatan dengan pekerjaan. Tentunya Aruna tidak khawatir ketika ditinggal.Masih menggunakan celemek dan topi khas pemb
"Mas, ini aku, Mas!" Aruna memanggil Dzaki ketika sampai di ruangan rawat inap. Dzaki mengalami kecelakaan beruntun bersama Naufal beberapa jam lalu. Dan hal ini mengejutkan semua keluarga, termasuk Aruna.Aruna datang bersama Cantika, sedangkan kedua orang tua Dzaki berada di ruangan Naufal yang berada di samping kanan."Na, istigfar, Sayang." Cantika memegang kedua bahu Aruna. Sedari kedatangan mereka, Aruna tak henti-hentinya memanggil nama Dzaki serta memegang tangan kanan pria itu. Seolah tidak percaya bahwa pria yang dicintainya sedang tidak sadarkan diri."Can, Mas Dzaki, Can!" Aruna histeris dengan air mata yang terus beranak sungai. Kenyataannya seorang istri akan selalu terluka ketika melihat suaminya terbaring tak berdaya. "Mas, buka matamu, Mas! Aku di sini."Cantika bisa memahami itu. Mengingat Aruna pernah kehilangan kedua orang tuanya dengan hal tragis juga. Dengan sangat setia, Cantika mendampingi Aruna sampai memasuki waktu Dzuhur. Ia pun mengingatkan perempuan itu un
Dua hari berlalu, baik Naufal maupun Dzaki belum ada yang siuman. Naufal sendiri langsung diberikan tindakan operasi kepala karena luka di bagian sana.Aruna dan mertuanya serta Cantika sedang ada di luar ruangan. Duduk termenung sambil berdoa. Mereka seolah tidak ingin beranjak dari sana. Tiba-tiba datanglah suster menghampiri mereka."Pak, Bu, bisa ke ruangan Pak Naufal sebentar. Beliau siuman," kata suster tersebut.Bu Nani langsung berdiri, lalu bergegas pergi tanpa menyahut sama sekali. Aruna pun ikut. Bagaimanapun Naufal adalah kakak ipar sekaligus mantan suaminya.Sesampainya di ruangan tersebut, terlihat kedua mata Naufal terbuka lebar dengan berbagai alat rumah sakit termasuk alat bantu napas. Aruna masuk, memperhatikan Bu Nani memegang tangan kanan anak sulungnya."Syukurlah kamu sudah sadar, Nak," kata Bu Nani.Naufal belum terlalu bisa diajak bicara. Hanya kedipan mata yang seolah menjadi perantara komunikasi antara anak dan ibu tersebut.Pak Arya memang diam, tetapi dipe
Aruna pergi ke rumah sakit dan menemui Dzaki. Masuk ke ruangan dengan suasana berbeda. Suaminya sudah siuman dan bisa diajak berkomunikasi. Perlahan kaki kanan Aruna melangkah ke dalam, menatap lekat lelaki yang masih terbaring. Namun, sudah membuka matanya. Terlihat juga Cantika setia menemani."Assalamualaikum." Aruna kini berada di ruangan bercat putih itu. Perlahan menghampiri Dzaki dan Cantika. Bersyukur sang suami bisa segera sadar dengan keadaan cukup menenangkan."Wa'alaikum salam," jawab Cantika. Aruna berdiri di samping kanan. Terlihat kedua mata Dzaki pun menatapnya penuh kerinduan. Aruna meraih tangan kanan Dzaki. Bahagia bercampur bimbang. Bagaimana mengatakan kabar duka tentang Naufal pada suaminya? "Alhamdulillah, Mas sudah sadar." Aruna terus saja menatap lekat Dzaki. Tangis memang ada, tetapi menandakan kebahagiaan. Melihat orang yang dicintai bisa membuka mata saja itu keajaiban luar biasa. Kerinduan untuk bisa saling berkomunikasi seperti biasanya."Aruna," panggi
Setelah mendapatkan kabar buruk tersebut, Dzaki sama sekali belum bisa menerima. Tiga hari setelahnya, Dzaki pun dipersilakan pulang oleh dokter. Hanya diwajibkan check up rutin per-dua minggu sekali.Sesuai keinginan Dzaki, setelah keluar dari rumah sakit lelaki itu langsung mengunjungi makam kakaknya dengan ditemani Aruna. Pakaian serba hitam serta kacamata hitam pun menjadi lambang kesedihan pada kedua orang tersebut.Aruna menemani dengan setia. Memayungi Dzaki sejak turun dari mobil sampai berada di depan makam Naufal. Mereka langsung berjongkok. Tak lupa Aruna melipat payung agar tidak memakan tempat.Dzaki menghela napas lelah. Bukan karena harus berjalan untuk sampai sini, melainkan sulit mengontrol diri sedari kemarin. Setelah dirasa sanggup, ia pun mulai berbicara. "Assalamualaikum, Kak. Maaf, baru bisa datang." Aruna melirik Dzaki. Kemudian, mereka membaca doa bersama. Semuanya sudah dilewati, Dzaki pun kembali terdiam. Jelas Aruna juga sama. Suasana pemakaman hening dan s
Kepergian Naufal tentu menoreh luka hati untuk semua keluarga. Dzaki dan Aruna pun semakin sering mengunjungi rumah Bu Nani dan Pak Arya untuk sekadar menghibur mereka. Hubungan Aruna dengan keluarga suaminya pun semakin membaik. Bahkan Bu Nani sekarang menganggap Aruna seperti anak perempuan sendiri.Dzaki pun tetap meneruskan penuntutan pada Vanesha dan penulis yang bersangkutan, tetapi tidak melihatnya almarhum kakaknya. Bukan karena tidak bersalah, tetapi Naufal sudah tidak seharusnya dihukum ketika wujudnya saja sudah tidak ada di muka bumi.Aruna setia mendampingi Dzaki selama proses hukum. Vanesha sempat mengelak dan menyudutkan Naufal. Namun, penulis itu justru memberikan bukti rekaman suara di mana Vanesha mengaku jika semua rencana disusun tanpa sepengetahuan Naufal. Proses hukum masih berjalan. Sudah tiga kali Dzaki dipanggil ke kantor polisi dan persidangan pun berlangsung baru dua kali. Mereka akan segera mendapatkan hasil setelah satu kali sidang lagi. Dzaki tenang. Sem