Dzaki mengantarkan sang ibu sampai rumah. Tempat yang sudah hampir dua minggu tidak didatangi."Aku langsung pulang saja, Bu. Masih ada pekerjaan lain," kata Dzaki.Bu Nani hanya sendiri di sini. Ada pembantu, tetapi kurang senang untuk diajak berbicara. "Kamu sudah lama tidak tidur di sini. Sesekali menginap saja." Berharap anak bungsunya mau mendengarkan.Dzaki menolak. "Maaf, Bu, sekarang sepertinya belum bisa. Kapan-kapan lagi saja." Keadaan hati Dzaki sedang tidak baik, tentu kurang tepat dirinya berada di sini. "Aku pamit dulu, ya. Assalamualaikum." Meraih tangan sang Ibu dan menciumnya. Bagaimanapun sifat sang ibu, Dzaki tetap memiliki rasa hormat."Wa'alaikum salam," jawab Bu Nani.Dzaki pamit dan keluar rumah. Begitu akan masuk mobil, ia menemukan mobil kakaknya datang dari arah gerbang. Dzaki berdiam diri, sengaja. Menunggu sang kakak keluar untuk menanyakan tentang Abizar.Mobil Naufal berhenti dan lelaki itu langsung keluar. "Anak bungsu ibu ternyata masih ingat jalan pula
Rupanya yang datang adalah Vanesha. Entah atas dasar tujuan apa perempuan itu datang. Yang pasti, kali ini Dzaki menyambutnya dengan biasa saja. Dzaki duduk di kursi kebangsaan, membenarkan jas hitam, lalu berkata, "Saya rasa, tidak ada alasan untuk kita bertemu lagi. Saya sudah mempertanggungjawabkan kesalahan saya waktu itu. Lalu ada apa lagi?"Saat ini, Vanesha memakai dress merah merona di bawah lutut dengan aksen sedikit renda di dada. Tentu dengan tangan pendek dan kerah berbentuk V. Kemudian, perempuan itu juga sengaja menggerai rambut hitam nan panjangnya sehingga terlihat sangat manis dan menggoda."Anda benar." Vanesha mengakui itu. Dengan tatapan penuh harapan, Vanesha menatap Dzaki. "Saya datang ke sini karena merasa merindukan Anda."Dzaki terdiam."Ini gila bukan?" Vanesha mengangkat kaki kanan dan membiarkannya menumpang di kaki kiri. Mengibaskan rambut bagian kanan agar leher jenjang itu bisa terlihat jelas. "Saya sepertinya tertarik dengan Anda.""Seharusnya Anda tau
"Saya ada keperluan penting," jawab Vanesha.Aruna terus saja menatap Vanesha, terutama warna merah di leher perempuan itu. Ingin rasanya tidak berpikiran negatif, tetapi sulit."Kepentingan seperti apa itu?" Sebagai seorang istri, Aruna berhak tahu. "Apa urusan kalian belum selesai?"Vanesha menyunggingkan senyum kecil. "Sesuatu yang bisa dipahami oleh kami berdua saja."Sontak kedua bola mata Aruna membesar. Vanesha berjalan tiga langkah ke depan. Menyejajarkan posisinya dengan Aruna. "Kepentingan yang menarik dan pastinya penuh hal-hal indah." Ekor mata wanita itu melirik sinis, lalu pergi begitu saja ke arah mobilnya.Aruna bergeming. Menahan diri untuk tidak marah ataupun terpancing dengan kalimat Vanesha. Diam sejenak, memikirkan lagi kedatangannya ke sini. Sedikit ragu. "Pikiranku tidak bisa diajak kompromi. Berbicara sekarang pun, pastinya tidak baik. Aku pulang saja." Pada akhirnya Aruna memutuskan pulang. Mengurungkan niatnya kembali. Kepergian perempuan itu dengan kendara
Aruna diam di kamar mendengarkan suara gelak tawa Abizar yang kini sedang bermain dengan Naufal. Entah mendapatkan informasi dari mana lelaki itu tentang keberadaannya."Bagaimana kalau kita bermain lagi hari Minggu nanti?" Terdengar jelas Naufal mengajak Abizar bermain.Aruna bergegas keluar setelah menyimpan ponsel. Leher merah Vanesha masih teringat jelas. Perempuan itu seolah sengaja memamerkannya.Aruna keluar, melirik Cantika yang seperti sebal dengan kedatangan Naufal."Abizar, bukannya kamu sudah punya janji dengan Tante?" Cantika yang duduk di sopa kecil itu pun ikut andil dalam percakapan ayah dan anak. Bahkan, Cantika memasang wajah sedih. "Kita mau main bersama, bertiga saja dengan ibumu."Naufal melirik sinis Cantika, sedangkan Abizar sendiri diam. Anak lelaki itu bingung. Aruna datang, duduk di sopa dekat Cantika."Sayang, Tante Cantika benar. Kalau sudah janji, harus ditepati." Aruna memihak pada Cantika. Jelas saja tidak ingin bermain lagi dengan Naufal, bisa sesak nap
Mobil Dzaki sampai di depan rumah sewa Cantika, menyaksikan Naufal sedang memegang lengan Aruna. Tangan kanan Dzaki mengepal bersamaan dengan perasaan marah. Apakah ini alasan Aruna mengatakan mundur?Dzaki langsung keluar dari mobil dan menghampiri keduanya. Melihat Aruna menghempaskan tangan kakaknya sendiri, lalu mendengar kalimat istrinya tersebut."Apa yang sedang kalian lakukan?" Dzaki baru saja sampai di dekat mereka dan langsung bertanya.Aruna kaget. Sontak berbalik badan lagi, kemudian kedua matanya membesar. "Apa ini alasanmu untuk mundur?" Dzaki bertanya pada Aruna.Naufal kaget juga, tetapi tidak terlalu terlihat."Kamu bilang akan mundur dariku, tapi nyatanya kamu diam-diam bertemu dengan kakakku!" Dzaki berada di puncak kemarahan tanpa bertanya apa yang sebenarnya terjadi.Keadaan mereka yang memang belum sama-sama tenang dan membaik, serta ditambah dengan keterlibatan orang luar yang seolah ikut andil dalam kekacauan ini membuat Aruna ataupun Dzaki sulit mengontrol di
"Kenapa kamu malah melerai?" Dzaki membaringkan badan Aruna di kasur setelah meninggalkan Naufal sendiri di luar.Cantika tahu, tetapi memilih diam. Drama rumah tangga ini bukan areanya. Itu area kekuasaan Aruna dan Dzaki."Kak Naufal bisa mati, Mas." Aruna tak berbohong.Dzaki duduk di tepi ranjang bagian kanan. Menatap lekat sang istri. "Kamu lebih mengkhawatirkannya dibandingkan perasaanku?" Aruna menggelengkan kepala cepat. "Bukan itu maksudku." Aruna diam. Bimbang harus berkata seperti apa. Dzaki menghela napas kasar. Badannya lelah. "Apa punggungmu masih terasa sakit? Biar aku panggilkan dokter." Dzaki hendak beranjak dari tempat tidur. Akan tetapi, tangan Aruna meraih lengan kiri lelaki itu. "Tidak perlu, Mas," katanya agar Dzaki tidak melanjutkan niat. "Aku cukup berbaring saja," sambungnya pelan.Dzaki semakin menatap lekat dua bola mata perempuan yang sudah lama tidak ditemuinya. Ah, padahal baru beberapa hari. Namun, rasanya sudah hampir satu abad. "Sebaiknya kamu istirah
Aruna kembali ke rumah esok harinya bersama Dzaki serta Abizar. Mereka saling meminta maaf dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi."Anggap apa yang terjadi kemarin itu adalah pelajaran paling berharga." Salah satu pesan Dzaki terhadap istrinya.Seperti pagi biasanya, Aruna mengantarkan Abizar ke sekolah, lalu berniat memulai membuka toko lagi. Kali ini Dzaki juga ikut kegiatan keponakan dan istrinya."Om, aku boleh main sama ayah tidak?" Tiba-tiba Abizar bertanya.Aruna diam, takut sekali Dzaki marah.Dzaki yang kala itu sibuk menyetir pun, menyempatkan diri melirik ke samping kiri. Melempar senyum pada Abizar, kemudian fokus lagi menyetir. "Memangnya main sama ayah itu menyenangkan, ya?" Bukannya marah, justru Dzaki bersikap tenang.Abizar yang berada di jok depan itu pun seketika antusias. "Iya, Om. Sekarang ayah sering mengelus rambut Abizar." Mata anak lelaki tersebut berbinar, penuh bahagia. Namun, bagi Aruna itu terdengar sedikit menyakitkan. Kalimat itu seolah memberikan s
Aruna sudah berada di toko. Menemani Bi Mirna yang sedang membuat cupcakes. Toko belum dikatakan buka karena memang masih pagi.Bi Mirna memperhatikan Aruna yang sejak tadi terus senyum sendiri. "Harinya cerah, ya, Neng?" Bukannya bertanya alasan sang majikan tersenyum, Bi Mirna lebih senang bertanya hal lain. Aruna yang kala itu sedang menghias cupcakes pun langsung menoleh ke arah Bi Mirna. "Benar, Bi. Hari ini mentari juga memancarkan sinarnya ke penjuru kota. Panas, tapi cerah juga." Aruna kembali mengukir senyum. Bi Mirna mulai menebak-nebak sendiri. Suasana hati majikannya lebih baik setelah beberapa hari menutup toko. Mungkin jeda sebentar dari kesibukan toko adalah keputusan terbaik. "Seperti halnya Neng sekarang. Cerah sekali." Dua sudut bibir Bi Mirna terangkat ke atas membentuk senyuman kecil.Aruna terdiam. Ketahuan. "Apa terlihat jelas, ya?" Wanita itu kembali fokus ke cupcakes."Bahasa tubuh Neng juga cukup baik. Apa terjadi sesuatu selama libur, Neng?" tanya Bi Mirna
"Cepat! Bus harus segera berangkat," jawab si sopir.Aruna segera berbalik badan dan mengambil tempat duduk, sedangkan pria itu juga ikut naik. Entah mengapa perasaan Aruna sedikit tak karuan melihat sosok lelaki yang terakhir naik, seperti sebuah gerbang sedang terbuka untuk menuju satu jalan. "Astagfirullah, aku harus fokus ke diri sendiri." Aruna meluruskan pandangan ke depan dan memantapkan hati untuk tidak terlalu mengikuti hati.***Waktu berjalan begitu cepat dan tak terasa Dzaki sudah ada di depan sebuah ruangan operasi menunggu sang istri melahirkan.Ya, Aruna harus melakukan operasi sesar karena ketuban lebih cepat dahulu pecah dan si bayi belum ada tanda-tanda siap keluar karena baru berusia tiga puluh tujuh minggu. Sebuah keputusan terbaik diambil untuk keselamatan keduanya.Bu Nani dan Pak Arya pun berada di sana, menenangkan Dzaki dengan terus mengingatkan anak bungsunya untuk pasrah pada Yang Maha Kuasa."Istigfar, Nak. Insya Allah, Istri dan anakmu baik-baik saja," ka
Amira pergi ke toko kue dengan diantar sopir. Ia menyuruh lelaki paruh baya yang sudah lama bekerja di rumahnya tersebut untuk pulang lebih dahulu. Sebab, Aruna berniat seharian berada di sini.Bi Mirna senang bisa melihat Aruna lagi. "Alhamdulillah, Neng sudah membaik," katanya dengan penuh rasa bahagia. Aruna sendiri merasa disambut oleh seorang Ibu. Hangat dan penuh rasa cinta."Maaf, ya, Bi, aku sudah lama tidak datang," imbuh Aruna.Bi Mirna mengelus perut Aruna pelan. "Tidak apa-apa, Neng. Jangan khawatirkan soal toko karena Bibi akan selalu berusaha menjaganya.""Terima kasih, Bi." Aruna memperhatikan sekitar. Semuanya masih sama seperti empat bulan yang lalu. Namun, sekarang ditambah dengan dua karyawan baru yang membantu. Menurut penuturan Bi Mirna, penjualan meningkat drastis di empat bulan terakhir. Aruna yang menerima laporan itu pun cukup senang. Selama ini Bi Mirna hanya melaporkan hasil keuangan ke kantor Dzaki karena tidak berani datang ke rumah Aruna."Bi, aku rindu s
"Makanlah." Dzaki tampak lelah karena berkeliling mencari ramen di tengah malam. Namun, perasaan itu seketika hilang dengan melihat istrinya tersenyum bahagia.Aruna duduk di kursi makan yang berhadapan dengan Dzaki. Menelan ludah ketika melihat kentalnya kuah ramen yang bercampur dengan rasa pedas. "Masya Allah, pasti enak." Mengangkat kepala dan menatap Dzaki. "Terima kasih, Mas."Dzaki ikut tersenyum sambil mengulurkan tangan ke depan dan mengelus pucuk kepala istrinya. "Jangan ragu untuk katakan apa pun keinginanmu selama aku bisa. Ingat, kamu adalah istriku."Aruna mengangguk pelan. Benar-benar definisi diratukan oleh satu raja itu luar biasa bahagianya. "Tapi aku merasa bersalah karena Mas harus keliling untuk dapatkan ini."Tangan Dzaki masih berada di pucuk kepala Aruna. "Apa kamu tidak menganggapku suami?" Kedua pupil mata sontak membesar, lalu diikuti dengan gelengan kepala. "Kalau memang masih menganggap, biarkan aku membahagiakanmu dengan banyak cara. Kamu ratu di sini."H
"Sakitnya seorang Ibu itu nikmat, Sayang. Karena rasa bahagia ada adik bayi lebih besar dibandingkan rasa sakit," jawab Amira. Ia belum sanggup mengungkapkan identitas Abizar. Mungkin menunggu anak itu beranjak remaja saja.Pak Arya dan Bu Nani tidak berkat apa pun. Semua keputusan ada pada diri menantunya. Biarkan saja dahulu, Abizar pun belum tentu bisa memahami.Aruna berada di rumah sakit sekitar tiga hari. Setelah itu, ia kembali ke rumahnya sendiri dengan dibantu oleh asisten rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Aruna pun belum pergi ke toko. Mempercayakan semuanya pada Bi Marni.***Hari-hari berlalu dan akhirnya kehamilan Aruna menginjak usia enam belas Minggu. Rasa mual dan muntah berangsur membaik dan hanya dirasakan sesekali saja. Begitu pun dengan sakit kepala. Perut Aruna memang belum terlihat buncit karena usia kandungan masih kecil.Setiap harinya selalu ada saja yang diinginkan Aruna. Entah itu makanan ataupun sekadar ingin pergi ke suatu tempat. Selama itu
Aruna menjaga sekali kehamilannya. Tidak peduli rasa mual dan muntah itu semakin menyerang diri, ia terus berusaha untuk melakukan yang terbaik. Seminggu setelah vonis hamil dinyatakan, Aruna sama sekali tidak bisa bangun. Ia bahkan dilarikan ke rumah sakit karena terus menerus muntah yang mengharuskannya mendapatkan perawatan medis. Dzaki setia di samping. Bahkan saat Aruna merasakan mual di pagi hari, lelaki itu sigap untuk membawa sang istri ke kamar mandi."Aku ambilkan minum hangat, ya." Dzaki mendudukan Aruna di kasur. Mereka baru saja keluar dari kamar mandi hampir delapan kali. Wajah Aruna mulai terlihat pucat. Makanan dan minuman yang masuk akan kembali lagi. Lemas rasanya. "Iya, Mas." Aruna pasrah. Sakit ini akan berlalu dan digantikan kebahagiaan bertemu sang buah hati tercinta. Menginjak enam minggu memang masa-masa kritis, sekali pun ada ibu hamil yang memang baru merasakan mual di usia delapan minggu. Namun, ada sebagian lagi juga yang tidak merasakan morning sicknes
"Selamat, Pak. Anda akan segera menjadi ayah." Dokter lelaki menyalami Dzaki. Pemeriksaan dilakukan sekitar dua puluh menit dan hasilnya Aruna positif hamil sekitar empat minggu. "Mungkin setelah ini gejala sakit kepala, mual dan muntahnya bisa saja bertambah parah. Tapi Ibu dan Bapak tidak perlu cemas karena itu hal biasa. Selalu pastikan Ibu mencukupi gizi si janin dan terus minum vitamin yang akan saya resepkan."Dzaki masih belum bergerak sama sekali, sedangkan Aruna terharu dengan mengucap kata syukur."Pak Dzaki baik-baik saja?" Dokter lelaki itu kembali bertanya.Dzaki sadar, kemudian berkata, "Apa benar Dok, kalau istri saya hamil?" Bertanya lagi untuk memastikan."Semuanya akurat dan ini hasilnya." Dokter memberikan isyarat mata pada suster untuk menyimpan hasil tespek di meja. "Garis yang satu memang masih samar, tapi ini sudah bisa membuktikan jika istri Anda hamil. Saya minta kerjasamanya untuk menjaga kandungan Ibu sampai waktu melahirkan nanti."Dzaki masih memegang tang
"Aruna di mana, Bu?" Dzaki langsung ke dapur setelah selesai salat dan mengobrol dengan beberapa tetangga.Bu Nani seketika menoleh. "Katanya tadi perutnya sakit, jadi istrimu masuk kamar. Coba lihat dulu, Nak."Dzaki mengerti. "Baik, Bu." Dengan cepat ke luar dari dapur dan berjalan menapaki anak tangga satu per-satu menuju lantai dua. Suasana hening. Dzaki sempat tersentak ketika melihat kamar almarhum kakaknya, tetapi tidak begitu hanyut. Bergegas masuk kamar sendiri sambil berkata, "Assalamualaikum." Pandangan mata lelaki itu langsung tertuju pada sosok Aruna yang sedang terbaring. "Sayang, kamu baik-baik saja?"Aruna tidak menjawab. Secepat mungkin Dzaki semakin masuk ke kamar. Memeriksa keadaan sang istri. "Sayang, kamu kenapa?" Duduk di tepi ranjang bagian kanan. Barulah Aruna membuka mata. "Kata Ibu, kamu sakit perut. Kita ke dokter saja, ya?" Aruna tersenyum paksa. "Tidak perlu, Mas. Perutku kram, mungkin mau datang bulan."Dzaki diam. Tangan kanannya memegang perut Aruna.
Kepergian Naufal tentu menoreh luka hati untuk semua keluarga. Dzaki dan Aruna pun semakin sering mengunjungi rumah Bu Nani dan Pak Arya untuk sekadar menghibur mereka. Hubungan Aruna dengan keluarga suaminya pun semakin membaik. Bahkan Bu Nani sekarang menganggap Aruna seperti anak perempuan sendiri.Dzaki pun tetap meneruskan penuntutan pada Vanesha dan penulis yang bersangkutan, tetapi tidak melihatnya almarhum kakaknya. Bukan karena tidak bersalah, tetapi Naufal sudah tidak seharusnya dihukum ketika wujudnya saja sudah tidak ada di muka bumi.Aruna setia mendampingi Dzaki selama proses hukum. Vanesha sempat mengelak dan menyudutkan Naufal. Namun, penulis itu justru memberikan bukti rekaman suara di mana Vanesha mengaku jika semua rencana disusun tanpa sepengetahuan Naufal. Proses hukum masih berjalan. Sudah tiga kali Dzaki dipanggil ke kantor polisi dan persidangan pun berlangsung baru dua kali. Mereka akan segera mendapatkan hasil setelah satu kali sidang lagi. Dzaki tenang. Sem
Setelah mendapatkan kabar buruk tersebut, Dzaki sama sekali belum bisa menerima. Tiga hari setelahnya, Dzaki pun dipersilakan pulang oleh dokter. Hanya diwajibkan check up rutin per-dua minggu sekali.Sesuai keinginan Dzaki, setelah keluar dari rumah sakit lelaki itu langsung mengunjungi makam kakaknya dengan ditemani Aruna. Pakaian serba hitam serta kacamata hitam pun menjadi lambang kesedihan pada kedua orang tersebut.Aruna menemani dengan setia. Memayungi Dzaki sejak turun dari mobil sampai berada di depan makam Naufal. Mereka langsung berjongkok. Tak lupa Aruna melipat payung agar tidak memakan tempat.Dzaki menghela napas lelah. Bukan karena harus berjalan untuk sampai sini, melainkan sulit mengontrol diri sedari kemarin. Setelah dirasa sanggup, ia pun mulai berbicara. "Assalamualaikum, Kak. Maaf, baru bisa datang." Aruna melirik Dzaki. Kemudian, mereka membaca doa bersama. Semuanya sudah dilewati, Dzaki pun kembali terdiam. Jelas Aruna juga sama. Suasana pemakaman hening dan s