Aruna selesai mengantarkan Abizar ke rumah dan langsung kembali ke toko. Ponselnya tidak terbawa karena terlalu tergesa-gesa. "Mas Dzaki pasti mengirim pesan." Entah mengapa pikiran Aruna pun mengarah ke sana.Singkat cerita Aruna sampai di toko yang saat itu cukup ramai. Terlihat Bi Mirna begitu keteteran. Sontak saja hal pertama yang dilakukan Aruna adalah membantu melayani. Keadaan itu berlangsung sampai jam makan siang datang bersamaan dengan waktu shalat Dzuhur. Aruna menutup sebentar toko agar mereka bisa beristirahat juga sebentar."Bibi bisa istirahat dulu. Aku juga sama." Aruna tersenyum kecil pada Bi Mirna. "Baik, Neng," sahut Bi Mirna.Aruna masuk ruangan yang menjadi tempat istirahat. Mencari ponsel yang sedari tadi hilang dari tangan. "Ternyata ada di sini." Benda itu ditemukan di loker. Ketika Aruna menyalakan layar benda canggih itu, beberapa pesan serta panggilan telepon tidak terjawab dari sang suami paling dominan. Aruna kaget. Sudah pasti ada hal yang darurat jika
"Mas Dzaki." Aruna turun dari mobil setelah menepikan ke sisi jalan agar tidak menghalangi pengendara yang lain. Dzaki kaget, begitu pun dengan Vanesha.Lirikan Vanesha penuh arti. Hanya saja tubuh wanita itu tidak bergerak.Beberapa saat lalu, kedua netra Aruna mendapati suaminya terlihat sedang memegang pinggang Vanesha. Jelas saja Aruna kaget, hampir tak percaya."Sayang." Dzaki baru menjawab.Aruna menatap Vanesha sekilas, lalu fokus pada Dzaki. "Mas, ada apa ini? Kenapa Mas bisa sama Mbaknya?" Emosi memang sudah berada di puncak. Akan tetapi, Aruna berusaha untuk mengontrol baik. Memasang wajah seperti biasanya pada Dzaki. Ekor mata kanan Aruna pun melirik dua mobil di depan, tentu salah satunya adalah milik Dzaki. Dan, pastinya milik wanita yang memakai tangtop berwarna merah muda dengan celana pendek di atas lutut. "Sepertinya istri Anda datang di waktu yang sedikit memanas." Vanesha tersenyum tipis. Aruna menatapnya lagi. "Kalau seperti itu, saya pamit dulu." Vanesha melengg
Malam datang menyapa. Aruna berbaring di kasur Abizar karena anak itu memintanya, sementara suster pergi ke dapur untuk mempersiapkan susu Abizar di tengah malam."Bu, apa om belum pulang?" tanya Abizar dengan polos. Piyama biru muda dengan motif salah satu robot itu pun dipakai Abizar.Aruna diam sejenak. Dari siang sampai detik ini pun, dirinya tidak berkomunikasi lagi dengan sang suami. Entah pergi ke mana lelaki itu? Namun, hati Aruna pun sedang tidak baik-baik saja. "Ibu," panggil Abizar sekali lagi.Aruna menoleh. "Maaf, Ibu, mengantuk, Sayang." Terpaksa berbohong. "Sepertinya om pulang malam. Kamu sebaiknya cepat tidur karena besok harus sekolah."Abizar tampak kecewa. Mengingat biasanya Dzakilah yang mengantarkan Abizar ke dunia mimpi. Bukan sesekali, tetapi hampir setiap malam. Aruna paham. Perlahan mencubit hidung Abizar sambil berkata, "Om pasti punya alasan kenapa belum pulang. Mungkin masih banyak pekerjaan. Kamu mengerti?" Akhirnya Abizar mengangguk pelan. Aruna lega.
Sesuai izin Dzaki, Aruna memilih menenangkan diri ke rumah Cantika. Tentunya membawa serta merta Abizar yang tidak mungkin ditinggal. Mereka berpisah bukan karena tidak saling cinta, melainkan agar hati keduanya merasa tenang dan merenungkan kesalahan masing-masing.Aruna, Cantika, dan Abizar tidur bertiga. Sudah dua hari Aruna ada di sana. Tokonya pun sengaja ditutup selama tiga hari untuk bisa leluasa menikmati waktu."Na, kamu yakin mau jalan-jalan berdua saja sama Abizar hari ini?" Pagi itu Cantika sedang membuat nasi goreng untuk sarapan di dapur, sedangkan Aruna sendiri memakaikan Abizar baju. "Aku tidak bisa menemani, harus masuk shift pagi."Jam dinding di rumah itu baru saja menunjukkan pukul setengah enam pagi. "Iya, Can. Aku juga mau menikmati hari saja sama Abizar. Pergi ke tempat-tempat yang jarang aku temui," jawab Aruna.Abizar selesai memakai pakaiannya dan berlarian tak tentu arah. Hari ini pun Abizar masih libur sekolah karena para guru harus rapat. Pas sekali waktu
"Apa yang Ibu lakukan ke Aruna?" Naufal secepat mungkin menghampiri ibu dan adik iparnya tersebut. Kedatangannya memang atas perintah sang ibu yang meminta ditemani untuk berbelanja. Padahal masih ada sang ayah, tetapi ibunya lebih nyaman ditemani oleh anak-anak.Bu Nani menurunkan tangan kanan lagi. "Lihatlah mantan istrimu ini, Nak. Berani membentak ibu mertuanya sendiri. Menantu macam apa dia?""Maaf, Bu, saya berbicara sesuai apa yang seharusnya." Aruna tidak terima posisinya disalahkan begitu saja."Seharusnya bagaimana. Mereka itu anak-anak saya, jadi saya berhak atas mereka. Termasuk suamimu itu!" Bu Nani tetap pada pendiriannya. Anak lelaki akan selalu menjadi milik ibunya sampai kapan pun. Pemikiran yang pastinya menggiring opini jika semua yang terjadi pada anak lelaki dan keluarganya, berhak untuk dicampuri. "Lagian saya sudah melarang Dzaki menikahimu, tapi dia seperti kerasukan setan. Tidak mendengar sama sekali!""Ibu!" Naufal berdiri di samping kanan ibunya. "Sudahlah,
"Kenapa Ibu menyuruhku ke sini?" tanya Dzaki ketika ibunya baru saja datang dengan beberapa barang belanjaan. Bu Nani menarik kursi di depan dan duduk. "Ibu ingin menghabiskan waktu dengan Naufal, tapi dia justru bermain dengan Abizar."Dzaki tersentak. "Abizar?" Mengulang nama keponakannya. Bu Nani mengangguk pelan. "Ya, Abizar." Bu Nani mengeluarkan tas dari kantong belanjaan. "Oh, ya, sama istrimu juga."Dzaki lebih tersentak. "Aruna juga?" "Memangnya Abizar bisa datang sendiri?" Bu Nani terlihat kesal, tetapi bisa sedikit terobati karena melihat tas unlimited yang baru saja didapatkan. "Sekarang Ibu lapar. Ayahmu itu susah sekali diajak makan bersama, alasannya sibuk bekerja." Terlihat sekali Bu Nani begitu kecewa.Dzaki diam dengan perasaan bercampur aduk. Sudah hampir dua hari putus komunikasi dengan sang istri. Alasannya agar Aruna bisa lebih tenang, tetapi hatinya justru panas ketika mendengar kabar itu dari sang ibu.Bu Nani mengamati wajah Dzaki. Ada yang aneh dengan anak
Dzaki mengantarkan sang ibu sampai rumah. Tempat yang sudah hampir dua minggu tidak didatangi."Aku langsung pulang saja, Bu. Masih ada pekerjaan lain," kata Dzaki.Bu Nani hanya sendiri di sini. Ada pembantu, tetapi kurang senang untuk diajak berbicara. "Kamu sudah lama tidak tidur di sini. Sesekali menginap saja." Berharap anak bungsunya mau mendengarkan.Dzaki menolak. "Maaf, Bu, sekarang sepertinya belum bisa. Kapan-kapan lagi saja." Keadaan hati Dzaki sedang tidak baik, tentu kurang tepat dirinya berada di sini. "Aku pamit dulu, ya. Assalamualaikum." Meraih tangan sang Ibu dan menciumnya. Bagaimanapun sifat sang ibu, Dzaki tetap memiliki rasa hormat."Wa'alaikum salam," jawab Bu Nani.Dzaki pamit dan keluar rumah. Begitu akan masuk mobil, ia menemukan mobil kakaknya datang dari arah gerbang. Dzaki berdiam diri, sengaja. Menunggu sang kakak keluar untuk menanyakan tentang Abizar.Mobil Naufal berhenti dan lelaki itu langsung keluar. "Anak bungsu ibu ternyata masih ingat jalan pula
Rupanya yang datang adalah Vanesha. Entah atas dasar tujuan apa perempuan itu datang. Yang pasti, kali ini Dzaki menyambutnya dengan biasa saja. Dzaki duduk di kursi kebangsaan, membenarkan jas hitam, lalu berkata, "Saya rasa, tidak ada alasan untuk kita bertemu lagi. Saya sudah mempertanggungjawabkan kesalahan saya waktu itu. Lalu ada apa lagi?"Saat ini, Vanesha memakai dress merah merona di bawah lutut dengan aksen sedikit renda di dada. Tentu dengan tangan pendek dan kerah berbentuk V. Kemudian, perempuan itu juga sengaja menggerai rambut hitam nan panjangnya sehingga terlihat sangat manis dan menggoda."Anda benar." Vanesha mengakui itu. Dengan tatapan penuh harapan, Vanesha menatap Dzaki. "Saya datang ke sini karena merasa merindukan Anda."Dzaki terdiam."Ini gila bukan?" Vanesha mengangkat kaki kanan dan membiarkannya menumpang di kaki kiri. Mengibaskan rambut bagian kanan agar leher jenjang itu bisa terlihat jelas. "Saya sepertinya tertarik dengan Anda.""Seharusnya Anda tau